Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Phillip Winn
Abstrak :
Komunitas Lonthoir masa kini yang menetap di Kepulauan Banda terdiri dari penduduk dengan asal usul historis yang berbeda satu sama lain. Walau demikian, mereka mampu untuk menyatakan suatu identitas diri berdasarkan karakteristik lokal yang sangat kuat. Dalam tulisan ini penulis mengkaji suatu dimensi yang penting dari situasi tersebut. Dengan memfokus pada 'praktek sakral' ('sacred practice') di Lonthoir, penulis memperlihatkan bahwa aktivitas tersebut mewujudkan suatu tatanan moral dengan sangsi supernatural. Tatanan moral ini secara efektif melarutkan setiap perbedaan di antara gagasan-gagasan religi dan adat melalui reproduksi dari sosialitas lokal, dan suatu perasaan yang hidup mengenai 'tempat' (a lived sense of place). Penulis menyatakan bahwa istilah-istilah seperti 'sinkretisme' (syncretism) atau 'agama sinkretik' (syncretic religion) tidak bermanfaat dalam memahami proses yang kompleks ini. Lagipula, di samping menyebabkan adanya suatu visi dikotomi dari modern dan tradisional, 'sinkretisme' mengekalkan suatu gagasan murni tentang kebudayaan yang acap kali menemukan ekspresinya dalam wacana 'kesukubangsaan'. Penulis mengajukan istilah 'bricolage' sebagai suatu alternatif yang memungkinkan untuk memahamidinamika dari identifikasi lokal.
1998
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Celerina Dewi Hartati
Abstrak :
Disertasi ini merupakan kritikan terhadap teori Emile Durkheim mengenai konsep sakral dan profan. Emile Durkheim melihat religi sebagai suatu bentuk dikotomi antara sakral dan profan dalam dimensi ruang dan waktu. Diskusi sakral dan profan selama ini senantiasa memperlakukan ruang dan waktu dalam analisis yang coextensive atau menyatu. Padahal dalam beberapa kebudayaan, pemisahan kedua hal tersebut yaitu antara ruang dan waktu sangat dibutuhkan dalam memahami konsepsi sakral, dan profan itu sendiri. Dalam kebudayaan Cina perlu adanya pemisahan ruang dan waktu dalam memperlihatkan yang sakral. Disertasi ini menunjukkan ruang sakral menjadi tidak sakral ketika tidak ada upacara dan dimensi waktu menentukan konsepsi sakral. Melalui dimensi waktulah, proses transformasi terjadi dengan mengubah yang profan menjadi sakral demikian juga sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian metode etnografi yang dilakukan di kelenteng Hok Lay Kiong, Bekasi. Teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pengamatan terlibat, dan pengamatan terhadap upacara-upacara seperti sembahyang ceit capgo, rangkaian upacara Imlek mulai dari upacara mengantar dewa dapur, upacara memandikan patung dewa, sampai dengan upacara Imlek, upacara Capgomeh, dan upacara ulang tahun dewa Hian Thian Siang Tee, yang merupakan dewa utama kelenteng. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap orang-orang kelenteng yang eliputi pengurus yayasan, pengurus kelenteng, medium, penjaga kelenteng, dan umat kelenteng. Dengan menganalisis upacara-upacara tersebut terlihat bagaimana konsepsi sakral terwujud dalam sebuah upacara dan dimensi waktu yang mengubah profan menjadi sakral. ......This dissertation is a form of criticism of Emile Durkheim’s theory of the concepts of the sacred and profane. Emile Durkheim perceives religion as dichotomy between the sacred and profane in the dimensions of space and time. The discussion related to the sacred and profane has always treated space and time in coextensive or unified analysis. Whereas in some cultures, the separation between space and time is needed to understand the concepts of the sacred and profane. In Chinese culture, it is necessary to separate space and time in showing the sacred. This dissertation presents that the sacred space is not sacred when there is no ceremony, and the time dimension determines the conception of the sacred. Through the time dimension, the process of transformation occurs by changing the profane into the sacred, and vice versa. This study uses ethnographic method conducted at Hok Lay Kiong Temple, Bekasi. The main data collection techniques used are involved-observation, and ceremonies observation such as the Ceit Capgo, Chinese New Year ceremonies ranging from accompanying the Kitchen God, bathing ceremony to god statues, to Chinese New Year ceremonies, Capgomeh ceremony, and the celebration of Hian Thian Siang Tee birthday. Indepth interviews were also conducted with the temple’s people including the foundation’s management, the temple administrator, the medium, the temple guards, and the temple community. By analyzing the ceremonies, it can be seen how the conception of the sacred occured, and the time dimension changes the profane into a sacred.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ike Iswary Lawanda
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini menunjukkan interpenetrasi antara Amaterasu Oomikami dan lingkungan dalam pemikiran orang Jepang. Perlindungan terhadap lingkungan sebagai produk interpretasi dengan kebudayaan Jepang dalam hubungan timbal balik adalah berdasarkan klasifikasi: yang normatif ? yang nyata; yang sakral ? yang profan; dunia gaib - dunia nyata. Sistem penggolongan merupakan produk dari pengetahuan orang Jepang memandang lingkungannya: golongan yang dalam (uchi) ? yang luar (soto/yoso). Penggolongan ini dan atributnya menjadi ciri pembeda antara yang dalam dengan yang luar. Perusakan lingkungan merupakan perbuatan yang memalukan dan perbuatan yang kotor. Pelanggaran terhadapnya dikenai sangsi. Orang Jepang menjaga lingkungannya sebagaimana pola tindakan mereka menjaga kuil Shinto (jinja) dan kuil budha (tera). Tindakan manusia yang murni adalah menjaga lingkungan sedangkan tindakan yang kotor adalah yang patut dihindari. Pandangan orang Jepang terhadap lingkungannya terkait dengan keyakinan keagamaan yang primordial yaitu Amaterasu Oomikami sebagai leluhur dari leluhur kaisar Jepang. Keyakinan terhadap yang sakral sebagai yang menyelimuti kehidupan masyarakat Jepang menanamkan kesadaran kolektif setiap individu dan kelompok dalam jenjang lokal, daerah, dan negara. Kesadaran kolektif atau solidaritas dalam diri orang per orang disosialisasikan melalui dan dalam institusi sehingga menghasilkan konfirmitas antara orang per orang dan orang dengan lingkungannya. Metode interpretif menggunakan pendekatan simbolik menghasilkan pemahaman bahwa Amaterasu Oomikami dan lingkungan merupakan satu sistem hubungan dalam kebudayaan Jepang dimana satu sama lain saling terkait melalui seperangkat nilai dan tindakan.
Abstract
The article indicate the interpenetration between Amaterasu Oomikami and environment within the Japanese thought. The protection of environment as a product of interpretation of Japanese culture in reciprocal relation is categorized by: the normative ? the real; the sacred ? the profane; supranatural world ? human world. The system classification is the product of knowledge from the Japanese way in seeing the world based on the classification of the inside (uchi) ? the outside (soto/yoso). This classification and its attributes produce differentiation between the inside ? the outside. The environment destruction is considered as disgrafuk and dirty action. Any violation should be given sanctions. The Japanese watch over their environment by following the pattern of jinja and tera maintainance. The purity of human behaviour is to protect the environment whilst dirty actions should be avoided. The Japanese view the environment in relevant to the religious belief as primordial as Amaterasu Oomikami the great ancestor of Japanese tenno. The belief in the sacred enfolds the life of the Japanese to nurture collective consciousness in every individual and groups in local, prefecture and nation-state hierarchically. Collective consciousness or solidarity in individuals is socialized by and within institutions in order to produce confirmity among individuals and with the environment. Interpretive method with symbolic approach produce the understanding of Amaterasu Oomikami and the environment as a system of relations in Japanese interpenetrated in the culture through a set of values and actions.
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia], 2008
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
Abstrak :
Tulisan ini menunjukkan interpenetrasi antara Amaterasu Oomikami dan lingkungan dalam pemikiran orang Jepang. Perlindungan terhadap lingkungan sebagai produk interpretasi dengan kebudayaan Jepang dalam hubungan timbal balik adalah berdasarkan klasifikasi: yang normatif ? yang nyata; yang sakral ? yang profan; dunia gaib - dunia nyata. Sistem penggolongan merupakan produk dari pengetahuan orang Jepang memandang lingkungannya: golongan yang dalam (uchi) ? yang luar (soto/yoso). Penggolongan ini dan atributnya menjadi ciri pembeda antara yang dalam dengan yang luar. Perusakan lingkungan merupakan perbuatan yang memalukan dan perbuatan yang kotor. Pelanggaran terhadapnya dikenai sangsi. Orang Jepang menjaga lingkungannya sebagaimana pola tindakan mereka menjaga kuil Shinto (jinja) dan kuil budha (tera). Tindakan manusia yang murni adalah menjaga lingkungan sedangkan tindakan yang kotor adalah yang patut dihindari. Pandangan orang Jepang terhadap lingkungannya terkait dengan keyakinan keagamaan yang primordial yaitu Amaterasu Oomikami sebagai leluhur dari leluhur kaisar Jepang. Keyakinan terhadap yang sakral sebagai yang menyelimuti kehidupan masyarakat Jepang menanamkan kesadaran kolektif setiap individu dan kelompok dalam jenjang lokal, daerah, dan negara. Kesadaran kolektif atau solidaritas dalam diri orang per orang disosialisasikan melalui dan dalam institusi sehingga menghasilkan konfirmitas antara orang per orang dan orang dengan lingkungannya. Metode interpretif menggunakan pendekatan simbolik menghasilkan pemahaman bahwa Amaterasu Oomikami dan lingkungan merupakan satu sistem hubungan dalam kebudayaan Jepang dimana satu sama lain saling terkait melalui seperangkat nilai dan tindakan.
The article indicate the interpenetration between Amaterasu Oomikami and environment within the Japanese thought. The protection of environment as a product of interpretation of Japanese culture in reciprocal relation is categorized by: the normative ? the real; the sacred ? the profane; supranatural world ? human world. The system classification is the product of knowledge from the Japanese way in seeing the world based on the classification of the inside (uchi) ? the outside (soto/yoso). This classification and its attributes produce differentiation between the inside ? the outside. The environment destruction is considered as disgrafuk and dirty action. Any violation should be given sanctions. The Japanese watch over their environment by following the pattern of jinja and tera maintainance.. The purity of human behaviour is to protect the environment whilst dirty actions should be avoided. The Japanese view the environment in relevant to the religious belief as primordial as Amaterasu Oomikami the great ancestor of Japanese tenno. The belief in the sacred enfolds the life of the Japanese to nurture collective consciousness in every individual and groups in local, prefecture and nation-state hierarchically. Collective consciousness or solidarity in individuals is socialized by and within institutions in order to produce confirmity among individuals and with the environment. Interpretive method with symbolic approach produce the understanding of Amaterasu Oomikami and the environment as a system of relations in Japanese interpenetrated in the culture through a set of values and actions.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
LG. Saraswati Putri
Abstrak :
This research is an attempt to delve into understanding the process of creative imagination of the sacred which is revealed in the intertwining of culture and nature in Geriana Kauh, Karangasem, Bali. This study aims to investigate the relationship between the individual, the social and ecology, as well as the transformation of individual consciousness into a collective awareness sharing a communal reality. This qualitative research is developed by incorporating theoretical analysis and formulating field data collected in the traditional Village of Geriana Kauh, as the villagers resort to their cultural resources to deal with the cosmological imbalances caused by pandemics. By means of a phenomenological examination, this investigation underlines the dynamic interlocking of the cultural and the natural worlds.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
909 UI-WACANA 23:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sarumaha, Aloma
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang pemahaman kaum muda tentang gereja di Paroki Trinitas Cengkareng, Jakarta Barat. Pemahaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (sebuah) akumulasi pengetahuan, penghayatan, dan interpretasi kaum muda tentang gereja. Pemahaman itulah yang akan menjadi alat untuk memperlakukan gereja. Kaum muda yang dimaksud dalam studi ini adalah sejumlah orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang umurnya antara 15 s.d. 35 tahun dan belum menikah, yang selalu datang dan aktif di gereja. Pendekatan yang dipergunakan untuk mendeskripsi pemahaman tersebut adalah pendekatan kualitatif, dengan tekanan pada pemahaman informan. Maksudnya dengan pendekatan ini, peneliti berusaha memahami orang-orang secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangannya tentang gereja. Untuk mendapatkan pemahaman tersebut, saya melakukan field work dan kajian pustaka. Field work untuk mendapatkan data primer dan kajian pustaka untuk data-data sekunder. Data-data primer diperoleh dengan menggunakan teknik pengamatan, wawancara, diskusi terfokus. Informan penelitian ini adalah anak-anak muda, umat, tokoh umat, pimpinan Paroki. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan teori. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa pemahaman kaum muda tentang gereja cenderung tidak dilihat (semata-mata) sebagai tempat sakral, berdoa; tetapi sebagai sebuah arena sosial, tempat berkumpul dan berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Gereja dipandang sebagai arena sosial, dalam mana potensi-potensi yang dimiliki dapat diakomodir dan dikembangkan. Dengan hasil studi ini, peneliti menduga bahwa apa yang dilakukan oleh informan atau kaum muda yang tercakup dalam pemahaman tersebut, dapat direfleksi bahwa di dalam kaum muda ada kebudayaan yang berkembang sesuai dengan pemahamannya. Gereja bermakna sebagai sebuah arena untuk menjawab kebutuhan sosial kaum muda. Misalnya, ketika tidak mempunyai pekerjaan, mengalami masalah dalam keluarga, maka solusinya adalah kembali ke gereja, dimana ia dapat bertemu dengan orang-orang yang dapat menolongnya (yang awalnya berupa informasi bagaimana seseorang dihubungkan dengan sumber informasi). Ketika mau belajar untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki, maka gereja dipandang sebagai tempat yang aman untuk berlatih, karena diberi peluang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki; hal ini operasional dalam munculnya kelompok kegiatan kaum muda di gereja.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Mariani
Abstrak :
Penelitian ini berjudul "Penggambaran Adegan Relief Cerita Bertemakan Lukat Pada Bangunan Suci Masa Singhasari - Majapahit (abad 13-15 Masehi): Suatu Ritus-Upacara Peralihan". Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan lukat, dari beberapa bangunan suci Candi dengan latar belakang agama Hindu dan Buddha, diperkirakan pula agama dari kaum rsi. Melihat dari data artefaktual (relief), antara lain relief Garudeya yang terdapat pada Candi Kidal, Rimbi, Kedaton. Relief Ku jarakarwa yang terdapat pada Candi Jago, relief Sri Tanjung yang terdapat pada Pendopo Teras 11 Candi Panataran, Candi Jabung, Surawana, Kari Agung Gapura Bajangratu, Relief Sudamala yang terdapat pada Candi Tegowangi dan Sukuh. Relief Nawaruci yang terdapat pada Candi Sukuh dan Punden Berundak Candi Kendalisada. Selanjutnya akan disetarakan dengan data tekstual (naskah susastra) antara lain, naskah Garudeya, Kui jarakarna, Sri Tanjung, Sudamala dan Nawaruci. Mengingat relief merupakan bagian dari karya arsitektur selain memiliki nilai estetika, juga memiliki nilai simboilis religius. Lebih lanjut akan dikaitkan dengan teori `ritus-upacara' peralihan dari Van Gennep (1975), kemudian dihubungkan dengan sistem religi yang terdiri dari lima komponen religi antara lain, yaitu; (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan;(3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat agama. Lebih lanjut komponen sistem keyakinan dalam suatu sistem religi yang berwujud pikiran dan gagasan manusia, menyangkut sistem nilai, sistem norma keagamaan, menyangkut ajaran kesusilaan, dan ajaran doktrin religi yang mengatur tingkah laku manusia (Koentjaraningrat, 1980). Karena di dalam naskah-naskah yang telah dibahas ini khususnya lukat, hubungannya dengan sistem religi diperkirakan diuraikan dengan sangat tersamar. Hasil analisa dari pembahasan kajian mengenai lukat ini, akan dicoba untuk melihat fungsi lukat dan perkembangan selanjutnya yang kemungkinan diperkirakan sebagai ruwat, merupakan suatu `ritus' atau `upacara'. Lukat dan ruwat ini apakah suatu upacara yang berkaitan dengan suatu tujuan dari magi (ilmu gaib), seperti dijelaskan oleh Raymond Firth (1953: 124-125). Demikian pula dapat disesuaikan dengan pendapat K.T.Preusz (1869-1938), bahwa lukat diperkirakan merupakan suatu `ritus' atau `upacara'yang terdiri dari upacara magis dan upacara religi, yaitu adanya dua aspek dari satu tindakan yang bersifat magis seringkali nampak dalam upacara religi, atau disebut sebagai magisch religios (religio magis) (dalam Koentjaraningrat, 1980: 69; Santiko 1995:2).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ifryansyah Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas analisis makna simbol yang berada di Masjid Agung Demak. Pada skripsi ini menggunakan teori semiotik yaitu memahami simbol atau makna berdasarkan segitiga makna. Kemudian dalam skripsi ini menggunakan beberapa teori untuk mengacu pada pembahasan skrispi ini. Beberapa teori yang digunakan dalam skripsi ini seperti teori kebudayaan, teori kebudayaan Islam, teori kebudayaan Jawa, teori akulturasi, dan teori simbol dan makna. Peneliti mendapat beberapa temuan yang menjadi bahasan skripsi ini. Temuan yang pertama adanya akulturasi pada bagian atap Masjid Agung Demak serta puncak atap Masjid Agung Demak. Kemudian akulturasi kedua terdapat pada bagian utama Masjid Agung Demak seperti pada gambar penyu, keramik, pintu dan jendela. Kemudian terdapat mihrab, mimbar, dan serambi pada Masid Agung Demak yang mengacu kepada masjid yang pertama dibangun oleh Nabi Muhammad. Kemudian terdapat kentongan dan bedhug yang memiliki akulturasi dari Cina. Selain itu, keramik yang ada di dalam Masjid Agung Demak juga akulturasi dari Cina. Ketiga adalah hiasan dalam Masjid Agung Demak yang memiliki makna dan akulturasi dari Majapahit seperti, hiasan pintu petir, gambar penyu, dan hiasan kaligrafi pada makam para raja. Keempat pada halaman Masjid Agung Demak memiliki akulturasi dan makna dari Majapahit seperti kolam, Gapura, dan pagar masjid. Kelima adalah lokasi Masjid Agung Demak yang memiliki makna dan akulturasi dari Majapahit. Sebenarnya pendirian lokasi Masjid Agung Demak dipengaruhi oleh Kerajaan Demak sebelum berdiri. Sampai pada akhirnya Kerajaan Demak berpindah yang saat ini sebagai kota Demak dan didirikan Masjid Agung Demak.
ABSTRACT
This Thesis is discuss/talked about analysis the meaning of symbol in Agung Demak Mosque. This thesis use semiotic method which is understanding the triangle of meaning. Then this thesis use several theory referred to this thesis discussion. Several theory that used in this thesis such as culture theory, moeslim culture theory, Javaness culture thory, acculturation theory, and the theory symbol and meaning. Researcher discovered view things that become the discussion of this thesis. The firs discovery: there is an acculturation that found in the part of the Agung Demak Mousque rooftop also an the top of the rooftop of Agung Demak Mosque. The second discovery is in the main part of Agung Demak Mosque like the picture of turtle, ceramics, door, and window. And then there are mihrab, mimbar, and serambi which is the part of Agung Demak Mosque that referred to the first mosque built by the prophet Muhammad saw. After that there is ?kentongan? and ?bedhug? that have the acculturation from China. Besides that, ceramics in the Agung Demak Mosque are also acculturation from China. The third is the gatnish/ornament inside Agung Demak Mosque that has meaning and acculturation from Majapahit such as ?pintu petir?, the drawing of turtle, ?kaligrafi? garnish/ornament in the king‟s grave. Fourth, they yard of Agung Demak Mosque has the acculturation and meaning from Majapahit such as the pool, ?gapura? and the mosque gate. Fifth, is the location of Agung Demak Mosque that has meaning and acculturation from Majapahit. Actually the decision of Agung Demak. Mosque location is affected by the Kingdom of Demak before it way built in the end, the Kingdom of Demak moved to a city that right now we call it Demak city and established Agung Demak Mosque.
2015
S58747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>