Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
Bhatt, S
New Delhi: A.P.H. Publishing, 2013
341.47 BHA i
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Hikmahanto Juwana
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Novia Pujiastuti
"Penelitian ini membahas representasi kekuatan Uni Soviet dalam eksplorasi ruang angkasa pada masa Perang Dingin melalui kartu pos «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika] yang dipublikasikan pada tahun 1972. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bentuk-bentuk kekuatan Uni Soviet dalam eksplorasi ruang angkasa pada masa Perang Dingin melalui gambar yang ada pada kartu pos «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika]. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yang dipadukan dengan the circuit of circle milik Stuart Hall. Melalui the circuit of circle milik Stuart Hall ditemukan bentuk-bentuk kekuatan Uni Soviet dalam eksplorasi ruang angkasa dan pengembangan teknologi oleh ilmuwan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa kartu pos «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika] merepresentasikan bentuk kekuatan Uni Soviet dalam eksplorasi dan pengembangan teknologi ruang angkasa serta terjadi pergeseran makna eksplorasi ruang angkasa yang merupakan bentuk pengembangan sains menjadi alat untuk menunjukkan kekuatan politik di ranah internasional dan penyebaran komunisme ke seluruh dunia.
This research examines the representation of the Soviet Union’s power in space exploration during the Cold War through images on «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika] postcard published in 1972. The aim of this research is to discover the form of Soviet Union’s power in space exploration through images on «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika] postcard. This research uses library study method combined with Stuart Hall’s the circuit of culture. Through the circuit of culture discovered the form of Soviet Union’s power in space exploration and technology development by Soviet scientists during the Cold War. The results of this research prove that «Советская Космонавтикa» [Sovetskaja Kosmonavtika] postcard represents the form of Soviet Union’s power in space exploration and there were shift of space exploration meanings into a form of showing international political power and spreading communism to the world."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Sabrina Talitha Rizqi Amanda
"Pada abad ke-21, dunia sudah memasuki Space Age yang ditandai oleh Space Race 1 antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perlombaan dalam bidang teknologi ruang angkasa ini dilakukan untuk menunjukkan pada dunia siapa negara yang paling hebat dan dapat menjadi pemimpin dunia. Dari peristiwa ini pula kesadaran akan potensi kekuatan ruang angkasa menjadi perhatian dunia. Dalam perlmbaan ini Amerika Serikat berhasil menang dan menjadi pemimpin ruang angkasa. Selama beberapa dekade berhasil menjadi space power dunia karena belum ada negara lain yang memiliki kemampuan seperti mereka. Amerika Serikat menemui ancaman saat negara lain sudah mulai mengembangkan teknologi ruang angkasanya, salah satunya adalah Rusia. Sehingga dalam mempertahankan kedudukannya mereka memiliki misi untuk mendominasi LEO. Pada pemerintahan Presiden Barack Obama Amerika Serikat menerapkan pendekatan commercial space power dengan kebijakan dan komersialisasi ruang angkasa yang dijalankan oleh NASA sebagai badan antariksa nasional. Obama tidak menggunakan pendekatan militer karena hal tersebut merupakan hal yang dilarang oleh Outer Space Treaty 1967. Tanpa menggunakan militer, Amerika Serikat harus melakukan cara lain yang dapat memanipulasi publik dan mempertahankan kedudukannya. Dengan cara tersebut mereka berhasil hadir sebagai negara yang mendominasi LEO karena space power yang mereka miliki berbanding lurus dengan kehadirannya di ruang angkasa. Pendekatan pada pemerintahan Obama berhasil membawa kembali Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi ruang angkasa.
In the 21st century, the world has entered a Space Age marked by Space Race 1 between the United States and Soviet Union. The competition in the field of space technology is carried out to show the world who is the most powerful country and can become a world leader. From this event, awareness of the potential power possessed by space became the world's attention. It’s all because space as new domain serves so many benefits. The United States managed to win and become the leader of space. For decades the United States has succeeded in becoming the dominant world space power because no other country has the equal ability. But in the end they faces a threat when other countries have begun to develop thir space technology, one of them is Russia. So in maintaining their position in space they have to dominate LEO. In the administration of President Barack Obama, United States use commercial space power approach by implementing space policy and commercialization that run by NASA as the national space agency. Barack Obama did not use a military approach because it is something that is prohibited by the Outer Space Treaty of 1967. Without using the military, the United States must use other means that can manipulate the public and maintain their position. In this way, they managed to emerge as a country that dominates LEO because the space power they have is directly proportional to their presence in space. The method that was use in Obama administration has succeeded in bringing back the United States as a space dominating nation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Anindita Galuh Saraswati
"Skripsi ini membahas Artemis Accords sebagai kerangka hukum internasional baru yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Artemis Accords bertujuan untuk menunjang kegiatan komersial sumber daya ruang angkasa berdasarkan Outer Space Treaty. Artemis Accords tidak menggunakan Moon Agreement sebagai dasar perjanjiannya karena Moon Agreement mengatur bahwa Bulan, benda-benda ruang angkasa lain, dan sumber daya di dalamnya merupakan common heritage of mankind (CHM) yang manfaatnya harus dibagi kepada seluruh umat manusia dan tidak ada negara manapun yang dapat melakukan apropriasi atas ruang angkasa, berbeda dengan Artemis Accords yang tidak mengatur hal tersebut. Sementara itu, Outer Space Treaty mengatur bahwa ruang angkasa bebas untuk diakses dan dimanfaatkan oleh semua negara selama berlandaskan kepentingan seluruh negara dan menjadi province of all mankind (POM). Berdasarkan hal tersebut, prinsip yang lebih baik untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa adalah prinsip CHM. Akan tetapi, apabila implementasi prinsip CHM di ruang angkasa dibandingkan dengan wilayah berstatus CHM lainnya, terlihat bahwa hukum ruang angkasa internasional belum mengatur secara spesifik mekanisme hukum eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa serta pembagian manfaat yang adil untuk semua negara. Dalam hal ini, Artemis Accords juga belum mengatur mekanisme hukum yang jelas dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa dan tidak memandang ruang angkasa sebagai CHM, maka dari itu terdapat kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebih oleh negara tertentu yang dapat merugikan keberlanjutan sumber daya ruang angkasa.
This thesis discusses the Artemis Accords as a new international legal framework governing the exploration and exploitation of space resources. Artemis Accords aims to support commercial activities of space resources under the Outer Space Treaty. The Artemis Accords did not based its principles on the Moon Agreement because the Moon Agreement stipulates that the Moon, other celestial bodies, and its resources are the common heritage of mankind (CHM) which its benefits must be shared with all mankind and no other country can make appropriations over space, in contrast to the Artemis Accords which does not regulate this. Meanwhile, the Outer Space Treaty stipulates that outer space is free to be accessed and utilized by all countries as long as it is based on the interests of all countries and becomes a province of all mankind (POM). Based on this, a better principle for regulating the exploration and exploitation of space resources is the CHM principle. However, if the implementation of the CHM principle in space is compared with other CHM status areas, it appears that international space law has not specifically regulated the legal mechanism for the exploration and exploitation of space resources and equitable benefit sharing for all countries. In this case, the Artemis Accords also has not regulated a clear legal mechanism in the exploration and exploitation of space resources and does not view space as a CHM, therefore there is a possibility of overexploitation by certain countries which can harm the sustainability of space resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sitompul, Ricky Jordan
"Penelitian ini membahas tentang kebijakan ruang angkasa India. Sejak diinisiasi pada tahun1962, kebijakan ruang angkasa India ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan teknologi di bidang komunikasi, meteorologi dan penginderaan jauh. Akan tetapi, sejak memasuki abad ke-21, orientasi kebijakan ruang angkasa India bergeser menjadi bersifat lebih eksploratif dan dekat dengan kepentingan militer. Dengan pendekatan kualitatif, dalam penelitian ini digunakan konsep Geopolitical Vision yang dikemukakan oleh Gertjan Dijkink untuk menjelaskan pelaksanaan kebijakan ruang angkasa India setelah pengesahan Chandrayaan-1 pada tahun 2003. Melalui empat indikator di dalam konsep tersebut, yaitu territorial borders, geopolitical code, national missions dan impersonal forces, penelitian ini menjelaskan pertimbangan apa yang diambil pemerintah India untuk menentukan orientasi kebijakan ruang angkasa India pasca
pengesahan misi Chandrayaan-1 tahun 2003. Penelitian ini menemukan bahwa perubahan orientasi kebijakan ruang angkasa India yang menjadi lebih eksploratif dan dekat dengan kepentingan militer diawali oleh konflik dengan Pakistan dalam Perang Kargil tahun 1999, dan berikutnya dipicu pula oleh perkembangan kebijakan ruang angkasa Tiongkok, keinginan India untuk menjadi space power serta perubahan pola kebijakan ruang angkasa global.
This research discusses the Indian space policy. Since it was initiated in 1962, Indian space policy was aimed to improve the welfare of the community, through the use of technology in the fields of communication, meteorology and also remote sensing. However, since entering the 21st century, the orientation of Indian space policy has shifted to become more exploratory and closer to the military interests. With a qualitative approach, in this study the concept of Geopolitical Vision proposed by Gertjan Dijkink was used to explain the implementation of Indian space policy after the ratification of Chandrayaan-1 in 2003. Through the four indicators in the concept, namely territorial borders, geopolitical code, national missions and impersonal forces, this study explains what considerations the Indian government took to determine the orientation of Indian space policy after the enactment of the Chandrayaan-1 mission in 2003. This study finds that changes in the orientation of Indian space policy which became more explorative and closer to military interests were precededby conflict with Pakistan in the 1999 Kargil War, and subsequently triggered by the development of China`s space policy, India's desire to become space power and changes in global space policy patterns."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Difa Zahra Afifah
"Mega-Konstelasi Satelit di Low Earth Orbit (MegaLEO) merupakan fenomena eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa baru yang didorong oleh kemajuan teknologi. Peluncuran MegaLEO berpotensi menghasilkan space debris yang mengancam lingkungan ruang angkasa. Karakteristik teknis MegaLEO membuat potensi timbulnya space debris yang berada di Orbit Bumi, terutama LEO, menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hukum internasional, negara-negara memiliki kewajiban internasional untuk tidak mencemari lingkungan ruang angkasa. Mitigasi space debris merupakan hal penting yang dapat dilakukan untuk menjamin setiap negara bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan ruang angkasa dari harmful contamination. Beragam organisasi internasional telah mengeluarkan instrumen-instrumen pedoman mitigasi space debris seperti UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines dan IADC Space Debris Mitigation Guidelines dan telah diinkorporasikan di tingkat nasional oleh negara-negara, utamanya spacefaring nations. Penelitian ini bertujuan ini melihat bagaimana mitigasi space debris yang berpotensi dihasilkan oleh MegaLEO diatur dalam hukum internasional. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut adalah yuridis normatif atau doktrinal. Penelitian ini menemukan bahwa upaya mitigasi space debris yang ada saat ini belum cukup untuk menekan pertumbuhan space debris dan belum dapat secara efektif mengatasi masalah space debris yang disebabkan oleh MegaLEO. Hal ini didasari pada peningkatan keberadaan space debris di orbit bumi sejak MegaLEO diluncurkan. Dengan demikian, perlu dilakukannya pengkajian ulang atas guidelines mitigasi space debris yang dan perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait penerapan upaya penanggulangan space debris lainnya seperti upaya remediasi berupa Active Debris Removal.
Mega-Constellation of Satellites in Low Earth Orbit (MegaLEO) is a new phenomenon of space exploration and utilization driven by technological advances. The launch of MegaLEO has the potential to produce space debris that threatens the space environment. The technical characteristics of MegaLEO make the potential creation of space debris in Earth orbit, especially LEO, even higher. Under international law, states have an international obligation not to pollute the space environment. Space debris mitigation is an important thing that can be done to ensure that every country is responsible for protecting the space environment from harmful contamination. Various international organizations have issued space debris mitigation guidance instruments such as the UNCOPUOS Space Debris Mitigation Guidelines and IADC Space Debris Mitigation Guidelines and have been incorporated at the national level by countries, especially by spacefaring nations. The aim of this research is to look at how mitigation of space debris that could potentially be generated by MegaLEO is regulated in international law. The research method used to answer the research objectives is normative juridical or doctrinal. This research found that existing space debris mitigation efforts are not sufficient to suppress the growth of space debris and cannot effectively overcome the space debris problem caused by MegaLEO. This is based on the increase in the presence of space debris in Earth's orbit since MegaLEO was launched. Thus, it is necessary to review the existing space debris mitigation guidelines and further research needs to be carried out regarding the implementation of other space debris management efforts, such as remediation efforts in the form of Active Debris Removal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library