Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghafiqi Amhariputra
"Salah satu ketentuan tentang transfer pricing di Indonesia diatur oleh PER-32/PJ/2011. Dalam Pasal 3 ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan jumlahnya melebihi 10 miliar Rupiah dalam satu tahun pajak diwajibkan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Salah satu langkah dalam menerapkan prinsip tersebut adalah melakukan dokumentasi setiap langkah-langkah untuk menentukan harga wajar atau laba wajar. Dokumentasi tersebut dikenal sebagai transfer pricing documentation. PT C Indonesia adalah Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan induknya yakni C Corporation Jepang. PT C Indonesia memiliki sejumlah transaksi dengan total melebihi 10 miliar Rupiah dengan C Corporation Jepang. Salah satu dari transaksi tersebut adalah transaksi pembayaran royalti atas pemakaian harta tidak berwujud. Berdasarkan fakta tersebut, PT Indonesia wajib membuat transfer pricing documentation atas pembayaran royalti yang dibayarkan untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Penelitian ini membahas penerapan ketentuan transfer pricing documentation atas transaksi pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT C Indonesia dan hambatan-hambatan yang dialami dalam penerapannya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan PT C Indonesia dalam penerapan transfer pricing documentation atas transaksi pembayaran royalti telah menjelaskan bahwa royalti yang dibayarkan memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan terpenuhinya tiga syarat pembuktian yakni pembuktian keberadaan harta tidak berwujud (existence), pembuktian manfaat ekonomis (economical benefit) dan pembuktian royalti yang dibayarkan menggunakan harga wajar (benchmark).

One of the provisions on transfer pricing in Indonesia is organized by PER-32/PJ/2011. Article 3 of the regulation explains that any taxpayer who has transactions that exceed 10 billion rupiah in a tax year are required to apply the arm?s length principle. Step one in applying these principles is to document any steps to determine a reasonable price or a reasonable profit. That documentation is known as transfer pricing documentation. PT C Indonesia is the taxpayer who has an afiliate with C Corporation of Japan. PT C Indonesia has a number of transactions with an amount exceeding 10 billion to C Corporation of Japan. One of these transactions are royalty payments for the use of intangible assets. Based on these facts, PT Indonesia shall make transfer pricing documentation for the payment of royalties to prove that transactions apply the arm?s length principle.
This study discusses application of transfer pricing documentation, provisions on royalty payments transactions conducted by PT C Indonesia, and constraints experienced in its application. The approach used is a qualitative approach with descriptive research.
The results of PT C Indonesia in the application of transfer pricing documentation on a royalty payment transaction shows that the royalties apply the the arm?s length principle with the fulfillment of three conditions: proving the existence of intangible assets, proving the economic benefits, and proof the royalties used reasonable price (benchmark).
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2015
S61320
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romi Fajar Ali
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan terhadap peranan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN dengan Copyright Royalty Board dalam penyelesaian sengketa royalti musik. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana bentuk sengketa terkait royalti musik, bagaimana kedudukan LMKN dan Copyright Royalty Board dalam penyelesaian sengketa royalti, dan apakah perlu LMKN mengadopsi aturan yang terkait kewenangan Copyright Royalty Board dalam penyelesaian sengketa royalti. Setelah dilakukan penelitian, disimpulkan bahwa bentuk sengketa royalti musik yang sering terjadi antara lain berupa formulasi penghitungan royalti yang tidak sesuai, royalti atas pemberian lisensi dan besaran royalti. Adapun peranan LMKN dalam penyelesaian sengketa royalti musik yaitu dapat melakukan mediasi apabila terjadi sengketa, sedangkan Copyright Royalty Board dapat memutuskan terkait distribusi royalti secara parsial sebagian selama menunggu proses penyelesaian sengketa berjalan, menerima atau menolak klaim royalti, menerima atau menolak permohonan penyesuaian tarif dan menyetujui/mengesahkan suatu kesepakatan/perjanjian tentang hal-hal yang disetujui oleh sebagian atau semua pihak selama proses penyelesaian sengketa, sebagai dasar penentuan syarat-syarat dan tarif atau sebagai dasar distribusi pembayaran royalti. Agar tidak terjadi lagi multitafsir terkait kewenangan dan kedudukan LMKN, kiranya Pemerintah perlu segera menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dan dalam penyusunannya perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi beberapa aturan yang terkait kewenangan Copyright Royalty Board dalam penyelesaian sengketa royalti.

ABSTRACT
This thesis aims to examine the comparison of the role of the National Collective Management Organization Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN and the Copyright Royalty Board in musical royalties related dispute settlement. The problems of this thesis include what musical royalties related disputes are, how LMKN and the Royal Royalty Board are positioned in the settlement of royalties related disputes, and whether or not it is necessary for LMKN to adopt the rules relating to the authority of the Copyright Royalty Board in the settlement of royalties related disputes. After conducting the research, it is concluded that forms of most frequent musical royalties related disputes include unacceptable formulation of royalty calculations, royalties for licensing and amounts of royalties. The role of LMKN in the settlement of royalties related disputes is to mediate in the event of a dispute, while the Copyright Royalty Board may decide on partial royalty distribution while pending a dispute settlement process, accept or reject a claim for royalty, accept or reject an application for rate adjustment and approve endorse an understanding agreement on matters agreed by some or all parties during a dispute resolution process, as a basis for determining terms and rates or as a basis for distribution of royalty payments. In order to avoid further multiple interpretations with regard to the authority and position of LMKN, it is necessary for the Government to immediately enact a Government Regulation as the implementation of Law Number 28 of 2014 and, in its preparation, it is necessary to consider the adoption of several rules with regard to the authority of the Copyright Royalty Board in the settlement of royalty disputes. "
2018
T51351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dame Maria
"Terdapat paradoks antara perlindungan lingkungan hidup dengan iuran produksi (royalti) batubara 0% (nol persen) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adanya aspek resiko kerusakan lingkungan yang harus diperhitungkan Negara pada kegiatan pertambangan batubara maka sebagian dari royalti seharusnya dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat termasuk salah satunya untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang terdampak kegiatan pertambangan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, royalti batubara bukan ditambah melainkan dikurangi, padahal ada biaya pemulihan lingkungan (public compensation) yang harus dipertimbangkan atas terganggunya aspek ekologi pada kegiatan pertambangan batubara, yaitu kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat aktivitas penambangan batubara. Seharusnya Negara dalam menentukan nilai royalti batubara mempertimbangkan aspek ekologi tersebut yang mana sebagian dari royalti tersebut dapat dipergunakan untuk mengembalikan fungsi lingkungan dan pemulihan (restorasi) ekosistem termasuk rehabilitasi lingkungan yang terdampak.

There is a paradox between environmental protection with 0% (zero percent) coal production fee (royalty) in Law No.11 of 2020 regarding Job Creation. The risk existence of environmental damage that must be taken into account by the State in coal mining activities, then part of the royalties should be used as much as possible for the prosperity of the people, including to restore environmental functions affected by coal mining activities. In Law No.11 of 2020 regarding Job Creation, coal royalties are not increased but even reduced, even though there are environmental restoration costs (public compensation) that must be considered for effecting the ecological aspects of coal mining activities, namely environmental and ecosystem damage due to coal mining activities. The State should in determining the value of coal royalties consider the ecological aspects in which part of the royalties can be used to restore environmental functions and ecosystem restoration (restoration), including rehabilitation of the affected environment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Budi Permono
"Skripsi ini membahas tentang cara-cara PT STU mempraktikan serangkaian skema Base Erosion and Profit Shifting dalam rangka meminimalisasi pembayaran pajak di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Ada tiga transaksi yang digunakan PT STU melakukan upaya Base Erosion and Profit Shifting yaitu pembayaran sewa, transaksi royalti dan skema cash pooling. Transaksi pembayaran sewa dan royalti kepada afiliasi menggerus basis pajak penghasilan badan. Sedangkan skema cash pooling meniadakan kewajiban pembayaran pajak pemotongan dan pemungutan. Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah sebagai regulator perlu menyusun aturan baru terkait Cash pooling dan royalti, serta menentukan dasar penghitungan royati dan sewa yang diperbolehkan.

This thesis discusses the method of PT STU practicing a series of schemes Base Erosion and Profit Shifting in order to minimize tax payment in Indonesia. This reserach is qualitative research with case study design. There are three transactions used by PT STU to make efforts on Base Erosion and Profit Shifting, namely lease payments, royalty transactions and cash pooling schemes. Lease and royalty payment transactions to affiliates erode the corporate income tax base. While the cash pooling scheme eliminates the obligation to pay withholding taxes. The result of the study suggest that the goverment as a regulator needs to develop new rules regarding cash pooling and royalties, and determine the basis for calculating allowable royalties and rent payment."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Putri Wijanarko
"Transformasi dari industri musik konvensional ke musik digital merupakan peralihan yang cukup signifikan. Munculnya aplikasi-aplikasi musik streaming digital pada dua dekade terakhir merupakan bukti peralihan tersebut, termasuk adanya aplikasi Spotify yang diluncurkan pada tahun 2006 di Swedia. Spotify merupakan salah satu aplikasi yang tersedia di lebih dari seratus negara yang menyediakan layanan streaming musik secara daring, baik secara gratis maupun membayar paket langganan bulanan. Namun, terlepas dari media pengunggahan musik itu sendiri, seluruh Pencipta yang terlibat masih berhak atas hak ekonomi mereka dalam bentuk Royalti. Hak Pencipta untuk mendapat Royalti merupakan hal yang mutlak. Namun, karena adanya digitalisasi industri musik ini, mekanisme pemungutan dan pendistribusian Royalti pun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hingga saat ini, ketentuan yang mengatur mengenai musik digital belum cukup jelas. Oleh sebab itu, Penulis akan menjabarkan mekanisme pemungutan dan pendistribusian Royalti Pencipta dari aplikasi musik Spotify berdasarkan ketentuan dari Spotify, Undang-Undang Hak Cipta dan peraturan lain yang berlaku di Indonesia serta melalui wawancara langsung dengan Pencipta dan salah satu Lembaga Manajemen Kolektif. Temuan yang Penulis dapatkan berupa sebuah skema pemungutan dan pendistribusian Royalti yang dibedakan menjadi Royalti terhadap Performing Rights dan Mechanical Rights. Mekanisme yang Penulis temukan pun nantinya akan dibandingkan dengan dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Jerman

The transformation from the conventional music industry to digital music shall be considered as a significant transition. The emergence of digital streaming music applications in the last two decades has proven the rise of digital music industry, including the launching of Spotify which was launched in 2006 in Sweden. Spotify is one of the online music streaming applications available in more than a hundred countries that provides music streaming services, both for free and by monthly subscription plans. However, regardless of the media for uploading the music itself, all the Authors involved are still entitled to their economic rights in the form of Royalties. The Creator's right to receive Royalties is absolute. However, due to the digitalization of the music industry, the mechanism for collecting and distributing Royalties has undergone significant changes. Until now, the provisions governing digital music are not clear enough. Therefore, the Writer will describe the mechanism for collecting and distributing Royalties from Spotify based on the provisions of Spotify, Undang-Undang Hak Cipta and other regulations that apply in Indonesia as well as through interviews with an Author and one of the Collective Management Organizations. The findings that the Writer got were in the form of a Royalties collection and distribution scheme which were divided into Royalties against Performing Rights and Mechanical Rights. The mechanism that the Writer found will later be compared with two countries, namely the United States and Germany.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Setiawan
"Sengketa pajak dapat terjadi karena adanya perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dan DJP. Perbedaan interpretasi tersebut terjadi baik terhadap peraturan perpajakan maupun kontrak transaksi. Penelitian studi kasus bermanfaat untuk mengatasi masalah pada situasi yang berbeda secara teknis dalam konteks kehidupan nyata secara kontemporer. Penelitian ini menggunakan studi kasus PT XYZ yang bertujuan untuk menganalisis konsep imbalan jasa teknik dan royalti, penerapannya menurut Wajib Pajak, DJP, dan Majelis Hakim, dan konsep imbalan jasa teknik dan royalti berdasarkan substance over form dan asas clarity. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Dalam peraturan perpajakan, terdapat irisan antara konsep imbalan jasa teknik dan royalti yang dapat menyebabkan sengketa pajak. Dalam menerapkan konsep imbalan jasa teknik dan royalti, Wajib Pajak menggunakan konsep active income dan passive income dan P3B Indonesia-Jepang, DJP menggunakan interpretasi perjanjian dan rujukan paragraph 11.6 OECD Commentary on Article 12, dan Majelis Hakim menggunakan konsep active income dan passive income dan P3B Indonesia-Jepang, serta keyakinan Hakim yang bersifat independen. Konsep imbalan jasa teknik dan royalti berdasarkan substance over form dan asas clarity, untuk meminimalisasi terjadinya sengketa pajak terkait dengan perbedaan interpretasi, maka seharusnya imbalan jasa teknik dan royalti didefinisikan di dalam peraturan perpajakan dengan membedakan secara jelas mengenai ruang lingkup aktivitas (scope of activities) terkait pemberian informasi dan bantuan tambahannya, kriteria yang memperhatikan adanya konsep active income dan passive income, dan adanya penegasan mengenai bentuk-bentuk jasa yang dapat dikategorikan sebagai bantuan tambahan atas pemberian know how.

Tax disputes can occur due to differences in interpretation between the Taxpayer and the Tax Authorities. The difference in interpretation occurs in both tax regulations and transaction contracts. Case study research is useful for addressing problems in technically different situations in contemporary real-life contexts. This research uses a case study PT XYZ which aims to analyze the concept of technical service fees and royalties, its application according to taxpayers, Tax Authorities, and the Judges, and the concept of technical service fees and royalties based on substance over form and the principle of clarity. This research uses a qualitative approach with literature study and in-depth interviews as data collection techniques. In tax regulations, there is a wedge between the concept of technical service fees and royalties that can lead to tax disputes. In applying the concept of technical service fees and royalties, Taxpayer uses the concepts of active income and passive income and Indonesia-Japan Tax Treaty, Tax Authorities use the interpretation of agreements and references to paragraph 11.6 OECD Commentary on Article 12, and Judges use the concepts of active income and passive income and Indonesia-Japan Tax Treaty. The concept of technical service fees and royalties based on substance over form and the principle of clarity, to minimize the tax disputes related to differences in interpretation, then technical service fees and royalties should be defined in tax regulations by clearly distinguishing the scope of activities related to the provision of information and ancillary services, criteria based on the concept of active income and passive income, and the affirmation of forms of services that can be categorized as ancillary services for the provision of know how"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Alexander
"Skripsi ini menganalisis legalitas penggunaan lagu dalam aplikasi Spotify untuk hiburan karaoke massal komersial serta perlindungan hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Karaoke adalah suatu hiburan yang menyanyikan lagu-lagu dengan diiringi musik berbentuk rekaman. Industri karaoke ini kian berkembang hingga menciptakan berbagai konsep baru, salah satunya karaoke massal. Karaoke Massal merupakan suatu konsep karaoke dimana puluhan bahkan ratusan orang bernyanyi bersama-sama sambil mengikuti lirik yang ditampilkan di sebuah layar. Penyelenggara karaoke massal umumnya memanfaatkan aplikasi Spotify untuk memperdengarkan lagu serta menampilkan lirik kepada pengunjung. Penyelenggara karaoke massal umumnya juga mematok tiket masuk atau minimal pembelian makanan dan/atau minuman bagi pengunjung sehingga memberikan keuntungan bagi penyelenggara. Pemanfaatan lagu untuk memperoleh keuntungan merupakan bentuk dari Penggunaan Secara Komersial yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Tindakan memperdengarkan lagu kepada pengunjung dalam karaoke massal juga tergolong sebagai Pengumuman ciptaan yang merupakan hak ekonomi pencipta. Penggunaan lagu dalam aplikasi Spotify untuk hiburan karaoke massal komersial tanpa memperoleh izin dan membayar royalti adalah tindakan yang ilegal. Penggunaan lagu untuk hiburan karaoke massal komersial harus memperoleh izin dari pencipta berupa lisensi pengumuman serta membayar royalti. Lisensi dan royalti merupakan bentuk perlindungan hukum hak cipta dan hak terkait yang diberikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.

This thesis analyzes the legality of using songs in the Spotify application for commercial mass karaoke entertainment as well as legal protection for authors, copyright holders, and related rights owners. This thesis was prepared using doctrinal research methods. Karaoke is an entertainment that involves singing songs accompanied by recorded music. The karaoke industry is increasingly developing to create various new concepts, one of which is mass karaoke. Mass Karaoke is a karaoke concept where tens or even hundreds of people sing together while following the lyrics displayed on a screen. Mass karaoke organizers generally use the Spotify application to play songs and display the lyrics to visitors. Organizers of mass karaoke generally also set entrance tickets or minimum purchases of food and/or drinks for visitors, thereby providing a profit for the organizer. The use of songs to gain profit is a form of Commercial Use regulated by Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The act of playing songs to visitors in mass karaoke is also classified as publishing works which is the economic right of the creator. Using songs in the Spotify application for commercial mass karaoke entertainment without obtaining permission and paying royalties is illegal. The use of songs for commercial mass karaoke entertainment must obtain permission from the creator in the form of a performing license and paying royalties. Licenses and royalties are a form of legal protection for copyright and related rights given to authors, copyright holders, and related rights owners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eliana Eka Kurniawati
"Skripsi ini membahas tentang Analisis Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penjualan Konten Ring Back Tone (RBT) antara Perusahaan Operator (Provider) dengan Partner (Studi Kasus : PT XYZ). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan aspek Pajak Penghasilan (PPh) yang timbul dari penjualan konten Ring Back Tone (RBT) antara PT XYZ dengan Partner dan menjelaskan permasalahan dari ketidakjelasan peraturan yang masih didasarkan kepada persepsi masing-masing Provider.
Hasil dari penelitian ini adalah: penerapan aspek Pajak Penghasilan atas penjualan konten Ring Back Tone (RBT) bisa berbeda-beda antar perusahaan operator (Provider) tergantung pada kontrak kerja sama dengan Partner. Pada studi kasus di PT XYZ, pembayaran dari PT XYZ kepada Partner dapat dikategorikan sebagai royalti karena bebagai macam ciri-ciri yang disebutkan oleh berbagai konsep dan juga dianalisis kembali dengan didasarkan kepada peraturan terkait yang mengatur. Oleh sebab itu, PT XYZ berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 15%. Hasil penelitian yang kedua adalah terjadi perbedaan penerapan aspek PPh di masing-masing Provider yang dapat mengakibatkan adanya kerugian adanya penundaan penerimaan negara (time value of money).

This thesis discusses the analysis of the Income Tax Treatment on Sale of Content Ring Back Tone (RBT) between the Company Operator (Provider) and Partner (Case Study: PT XYZ). The study was a qualitative research design with descriptive analysis. The purpose of this study is to explain aspects of the Income Tax arising from sales of content Ring Back Tone (RBT) of PT XYZ with partners and explain the problem of uncertainty regulatory that is still based on the perception of each Provider.
The results of this study are: the application of income tax on the sales aspect of the content Ring Back Tone (RBT) can vary from operator companies (Provider) depending on the contract of cooperation with partners. On a case study in PT XYZ, XYZ to the payment of a partner can be categorized as royalties due to the characteristics mentioned by the various concepts and also re-analyzed with the relevant regulations based on the set. Therefore, PT XYZ is obliged to cut income tax art 23, 15%. The second result is there differences in the application of income tax aspects of each Provider which can result in the loss of state revenue delays (time value of money).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eliana Eka Kurniawati
"Skripsi ini membahas tentang Analisis Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penjualan Konten Ring Back Tone (RBT) antara Perusahaan Operator (Provider) dengan Partner (Studi Kasus : PT XYZ). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan aspek Pajak Penghasilan (PPh) yang timbul dari penjualan konten Ring Back Tone (RBT) antara PT XYZ dengan Partner dan menjelaskan permasalahan dari ketidakjelasan peraturan yang masih didasarkan kepada persepsi masing-masing Provider.
Hasil dari penelitian ini adalah: penerapan aspek Pajak Penghasilan atas penjualan konten Ring Back Tone (RBT) bisa berbeda-beda antar perusahaan operator (Provider) tergantung pada kontrak kerja sama dengan Partner. Pada studi kasus di PT XYZ, pembayaran dari PT XYZ kepada Partner dapat dikategorikan sebagai royalti karena bebagai macam ciri-ciri yang disebutkan oleh berbagai konsep dan juga dianalisis kembali dengan didasarkan kepada peraturan terkait yang mengatur. Oleh sebab itu, PT XYZ berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 15%. Hasil penelitian yang kedua adalah terjadi perbedaan penerapan aspek PPh di masing-masing Provider yang dapat mengakibatkan adanya kerugian adanya penundaan penerimaan negara (time value of money).

This thesis discusses the analysis of the Income Tax Treatment on Sale of Content Ring Back Tone (RBT) between the Company Operator (Provider) and Partner (Case Study: PT XYZ). The study was a qualitative research design with descriptive analysis. The purpose of this study is to explain aspects of the Income Tax arising from sales of content Ring Back Tone (RBT) of PT XYZ with partners and explain the problem of uncertainty regulatory that is still based on the perception of each Provider.
The results of this study are: the application of income tax on the sales aspect of the content Ring Back Tone (RBT) can vary from operator companies (Provider) depending on the contract of cooperation with partners. On a case study in PT XYZ, XYZ to the payment of a partner can be categorized as royalties due to the characteristics mentioned by the various concepts and also re-analyzed with the relevant regulations based on the set. Therefore, PT XYZ is obliged to cut income tax art 23, 15%. The second result is there differences in the application of income tax aspects of each Provider which can result in the loss of state revenue delays (time value of money).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library