Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lutfiani Fajrin
Abstrak :
Infeksi ulang/reinfeksi COVID-19 didefinisikan sebagai seseorang yang telah sembuh dari infeksi COVID-19 kemudian terinfeksi kembali. Banyaknya laporan kejadian reinfeksi dibeberapa negara seperti Hongkong, Nevada, Amerika Serikat, Belgium, Ekuador, India, dan negara lainnya menunjukkan besaran masalah kejadian reinfeksi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang beresiko terhadap kejadian reinfeksi COVID-19. Studi ini menggunakan desain studi cross-sectional dalam mengetahui faktor resiko reinfeksi COVID-19. Subjek penelitian ini adalah pasien dengan Riwayat reinfeksi yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi dari data sekunder (data surveilans epidemiologi) di RSDC Wisma Atlet, Jakarta pada bulan Juli – Desember 2021. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 7 variabel yang berhubungan dengan kejadian reinfeksi COVID-19 pada pasien RSDC WAK, diantaranya: variabel usia, usia 30-39 tahun (POR: 0.60, 95% CI: 0.47-0.77), usia ≥40 tahun (POR 0.41, 95%CI: 0.32-0.53), variabel pekerjaan; pekerjaan non-nakes (POR: 0.91, 95% CI: 0.68-1.22), pekerjaan nakes (POR: 1.80, 95% CI: 1.32-2.46), riwayat kontak erat (POR: 0.75, 95% CI: 0.59-0.97), penggunaan transportasi umum (POR: 1.36, 95% CI:1.02-1.79), perjalanan ke luar daerah (POR: 0.69, 95% CI: 0.51-0.96), bepergian ke fasilitas umum (POR: 2.01, 95% CI: 1.45-2.78), status vaksin; vaksin dosis 1 (POR: 0.56, 95% CI: 0.42-0.74), dan belum vaksinasi (POR:0.62, 95% CI: 0.48-0.78). Determinan atau faktor prediktor dominan reinfeksi COVID-19 pada pasien rawat inap RSDC WAK adalah variabel bepergian ke fasilitas umum. ......COVID-19 reinfection may be defined as a person who has recovered from infection with COVID-19 and then re-infected. The number of reinfection report in several countries such as Hongkong, Nevada, Amerika Serikat, Belgium, Ekuador, India, and the other country shows the magnitude of the reinfection problem. Therefore, this study was conducted to determine risk factor of COVID-19 reinfection. This study is an analytical study with a cross-sectional to determine the risk factors of COVID-19 reinfection. The subjects of this study were patients with a history of reinfection who met the inclusion and exclusion criteria from secondary data (epidemiological surveillance data) at the RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta (RSDC WAK) in July – December 2021. The results showed that there were 7 variables related to the incidence of reinfection of COVID-19 in RSDC WAK patients, including: age; age 30-39 years old (POR: 0.60, 95% CI: 0.47-0.77), age ≥40 years old (POR 0.41, 95%CI: 0.32-0.53), occupation; non-health workers occupation (POR: 0.91, 95% CI: 0.68-1.22), health worker occupation (POR: 1.80, 95% CI: 1.32-2.46), history of close contact (POR: 0.75, 95% CI: 0.59-0.97), public transportation uses (POR: 1.36, 95% CI: 1.02-1.79), travel outside the region (POR: 0.69, 95% CI: 0.51-0.96), visit public facilities (POR: 2.01, 95% CI: 1.45 -2.78), vaccine status; vaccinated doses 1 (POR: 0.56, 95% CI: 0.42-0.74), and unvaccinated (POR:0.62, 95% CI: 0.48-0.78). Predictor of COVID-19 reinfection in inpatients at RSDC WAK is visit public facilities.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Chelein Lestyani
Abstrak :
Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Beberapa faktor risiko kanker leher rahim diantaranya yaitu usia, pengetahuan, kebiasaan merokok, riwayat seksual, paritas, pemakaian kontrasepsi, hereditas, kurangnya pap smear, immunocompromise dan stres. Tujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko kejadian kanker leher rahim pada penderita kanker leher rahim. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian cross sectional. 100 Responden dipilih dengan metode pusposive sampling. Mayoritas responden tidak memiliki faktor keturunan kanker dan riwayat kanker sebelumnya, kontrasepsi terbanyak yang digunakan adalah kontrasepsi hormonal dengan tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap kontrasepsi yang digunakan. Responden tidak pernah melakukan pemeriksaan papsmear dengan mayoritas alasan tidak tahu, tidak memiliki riwayat immunocompromise, menggunakan cara yang kurang tepat dalam membersihkan alat kelamin, mempunyai pengetahuan yang baik tentang kanker leher rahim dan mayoritas responden mengalami kecemasan tingkat ringan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi untuk edukasi kesehatan terhadap para perempuan dengan tujuan menekan angka kejadian kanker leher rahim. ...... Cancer is the second largest cause of deadth after cardiovascular disease in the word. Several factors the risk of cervical cancer of them the age, knowledge, smoking, the acts of sexual, parity, discharging contraceptive, heredity, papsmear , immunocompromise and stress. The purpose to reveal the risk factor for cervical cancer incidence in patient with cervical cancer this research method was conducted using cross sectional study. 100 respondents were selected by pusposive sampling metode. The mayority of respondents did not have cancer heredity factors and a history of previous cancer, contraception most use is a hormonal contraception with not doing a routine of contraceptive use. Respondents never do papsmear examination with a majority do not know the reason, do not have a history of immunocompromise , using a less precise way in cleanig genitals, have a good knowledge about cervical cancer and the majority of respondents experienced mild anxiety level. This research can be used as information for health education to women with the aim of suppressing the incidence of cervical cancer.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mogadam, Michael
New York: New American Library, 2001
616.123 05 MOG e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
Abstrak :
Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009. Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %). Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Exhalation Channel Infection Disease of Acute (ISPA) be one of health problem of main public because still height of mortality because ISPA espicially at baby and balita. In Sub-Province Bandung death because ISPA reachs 54,55% and in kecamatan Gununghalu x'self patient ISPA at balita experiences improvement from the year 2003 until the year 2005. Risk the increasing of ISPA can be influenced by low economic social status , condition of housing which still varying according to quality of its (the building, causing is required research about factor relating to case of ISPA at balita. This researh type is analytic observasional with planning cross sectional. Variable which is accurate is house wall type, house floor type, ventilation wide of house, situation of house temperature, house dampness, existence of hole smoke of kitchen, unmate density, ripe fuel type, usage of anti mosquito drug, smoking habit member of family, umminization status, status gizi, time body weight borned and case of ISPA at balita. Result of research with test chi square there is relationship having a meaning (of) between house wall types (p value = 0,044 and OR = 3, 338), ventilation wide of house (p value = 0,030 and OR = 3,589), house temperature (p value = 0.023 and OR = 2,972) existence of hole smoke of kitchen (p value = 0,014 and OR = 3,824) smoking habit member of family (p value = 0,022 and OR = 6,182) status gizi (p value = 0,000 and OR = 12,600) and time body weight borned (p value = 0,049 and OR = 5, 800) dengan case of ISPA at balita. suggestion is given by intensifying counselling to public about healthy house and preventive effort the happening of ISPA at balita.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendry Azwar
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang faktor terjadinya risiko manual handling pada pekerjaan feeding katern di bagian penjilidan PT.PGC. Risiko manual handling merupakan salah satu unsur risiko ergonomi yang ada di tempat kerja yang berpengaruh terhadap kenyamanan, keselamatan, gangguan kesehatan dan produktivitas kerja. Penelitian ini adalah penelitian semi kuantitatif dengan menggunakan metode risk asssessment MAC (Manual Handling Assessment Chart) tools yang dimodifikasi menjadi risk assessment Gramedia of Printing. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat risiko manual handling pada pekerjaan feeding katern masuk dalam kategori perlu dilakukan investigasi dan tindakan perbaikan segera. Hal ini disebabkan oleh postur janggal (posisi badan membungkuk dan gerakan badan memutar), kendala rute, faktor lingkungan dan faktor psikososial. Dari hasil penelitian disarankan untuk melakukan rekayasa teknik di area produksi dan penyediaan peralatan pendukung serta rekayasa manajemen menyangkut kompetensi, penyediaan dokumen standar dan evaluasi pekerjaan. ......This thesis discussed the manual handling risk factors at feeding katern activities in section binding PT.PGC. The risk of manual handling is one element that is ergonomic risk in the workplace that affect comfort, safety, health problems and work productivity. This research was semi-quantitatively using asssessment risk MAC (Manual Handling Assessment Chart) tools are modified to be a risk assessment Gramedia of Printing. The results showed that the level of risk of manual handling at feeding katern activities into the category needs to be investigated and corrective action immediately. This is caused by awkward posture (bended posture and twisting body), obstacles en route, environmental factors and psychosocial factors. Advised of the research to conduct engineering in the area of production and provide support equipment, then in engineering management regarding competency, provision of standard documents and job evaluation.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Oktaria Batubara
Abstrak :
CAPD merupakan suatu tehnik dialisis dengan menggunakan membran peritoneum sebagai membran dialisis yang memisahkan dialisat dalam rongga peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah peritoneum. Berbagai komplikasi dapat timbul pada penanganan CAPD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko terjadinya komplikasi CAPD. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah 130 pasien CAPD di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang dipilih dengan cara purposive sampling. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap prosedur standar ( p = 0,019) dan higienitas saat penggantian cairan dialisat (p = 0,013) memiliki hubungan yang bermakna dengan komplikasi CAPD. Pasien dengan higienitas kurang baik saat mengganti cairan dialisat berisiko untuk mengalami komplikasi CAPD 3,82 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang higienitasnya baik setelah dikontrol oleh variabel kepatuhan terhadap prosedur standar CAPD. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan evaluasi berkala terhadap kemampuan perawatan CAPD dirumah. ......CAPD is a dialysis technique using peritoneal membran as a dialysis membrane that separate the dialysate in the peritoneal cavity and blood plasma in the blood peritonium vessels. This study aimed to identify the risk factors of complications on CAPD. The study used a descriptive design with cross sectional analytic. The population in this study was 130 CAPD patients in hospitals RSUD Dr. Moewardi Surakarda and RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, selected by using purposive sampling. The results of the study indicated that adherence to standard procedures (p = 0.019) and hygiene during the dialysate fluid replacement (p = 0.013) had a significant association with complications of CAPD. The patients with poor hygiene during dialysat replacement had a risk for experiencing complication of CAPD at about 3.82 times greater than patients who had good hygiene when controlled by variable of adherence to standard procedures CAPD. The recommendation of this study was the necessity of conducting periodic evaluation of the patient?s ability of CAPD treatment at home.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Haeny
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kelelahan mata. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan disain cross sectional. Sampel ini berjumlah 60 pekerja radar controller di PT Angkasa Pura II (Persero) Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta, dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengambilan data dengan kuesioner, observasi dan pengukuran tingkat pencahayaan dan temperatur. Hasil penelitian didapatkan sebesar 86,7% pekerja mengalami keluhan subjektif kelelahan mata. Dari variabel yang diteliti yaitu umur, masa kerja, gangguan penglihatan, durasi kerja, kekontrasan layar, tingkat pencahayaan dan temperatur ruang yang dihubungkan dengan kelelahan mata, hanya variabel temperature yang memiliki hubungan yang signifikan (p=0,013). Disarankan untuk pihak perusahaan untuk melakukan penyesuaian temperature di ruang kerja sesuai dengan rekomendasi ICAO Circular 241/93 dan peraturan Kepmenkes 1405/2002. Untuk pekerja pada saat break diharapkan melakukan stretching 10 menit atau dimanfaatkan untuk istirahat.
The purpose of this research is to know the risk factor that have related to eye fatigue. The design study of this research was observational with cross-sectional approach. The samples of this research was 60 radar controller workers in PT Angkasa Pura II (Persero) Branch Bandara Soekarno-hatta. And the sample is chosen by simple random sampling. Data were obtained by means of quesioners, observation and measurement illumination level and temperature.From the research result 86,7% workes complained of eye fatigue. From variable influencing this study is age, length of work, eyesight trouble, duration, contras display, illumination and temperature. Only temperature factor is significant risk factors to eye fatigue (p=0.013). It is recommended that the company to appropriated temperature level by recommended ICAO Cir. 241/93 and Kepmenkes 1405/20002. For the employess to decrease the eye fatigue, must do stretching 10 minute or provide rest time they break.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
Abstrak :
Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan. Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS. Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%. Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif. ......Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management. Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program. Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%. Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>