Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Paul Zakaria DaGomez
Abstrak :
ABSTRAK
Prevalensi rinitis alergi dan asma alergi (RA3) Cukup tingi. Dermatophogoldes pteronysstnus (DP) dan dog dander (DD) sering menimbulkan alergi. Alergi sering dihubungkan dengan peningkamn kadar IgE dan adanya IgE spesifik. Penderita alergi yang diimunoterapi hiposensitisasi dan secara klinis membaik, terjadi penurunan kadar IgE dan peningkatan kadar 1gG4. IgG4 dikenal sebagai blocking antibody yang menghambat reaksi alergi. Dugaan bahwa IgG4 juga berperan sebagai IgE menimbulkan alergi masih kontroversial.

Tujuan peneiitian ini untuk mengetahui pola reaksi IgG penderita RA3 terhadap DP clan DD dengan alergennya serta kemungkinan ada fraksi antigen(f-Ag) DP dan DD yang sama BMnya dan sama antigenisitasnya. Untuk ini ada tiga kelompok serum yaitu I, senim penderita RA3 dengnn skin prick test,(SPT)+ terhadnp DP dan DD serta mempunyai aktivitas IgE anti-DP (lgmbp) dan Ig; ami-DD (1gE¢DD); II, mm RA; dengan SPT- terhadap DP dan DD serta tanpa IgEotDP dan IgEa.DD; III, serum orang sehat tanpn riwayat alergi.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Dhewi
Abstrak :
Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit respiratori kronik utama dengan prevalens yang semakin meningkat di seluruh dunia. Pada anak, masalah health-related quality of life (HRQL) antara lain gangguan belajar, ketidakmampuan bergaul dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Penting untuk mengenali dan menatalaksana RA pada anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Tujuan: (1) Mendapatkan karakteristik pasien RA di RSCM. (2) Mengetahui kualitas hidup dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien RA. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 92 anak RA usia 6-17 tahun yang datang ke Klinik Alergi Imunologi Departemen IKA dan THT-KL RSCM, sejak bulan Mei hingga Agustus 2015. Penelitian menggunakan Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) dan Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) untuk menilai HRQL. Hasil: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak (6-11 tahun) sebesar 45,7% dan remaja (12-17 tahun) sebesar 54,3% dengan jenis terbanyak pada kedua kelompok tersebut adalah rinitis alergi persisten sedang-berat (39,1%). Rerata skor total kualitas hidup RA anak 1,5 (SB 1,16) dan RA remaja 1,9 (SB 1,28). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah gejala klinis (p = 0,031 pada anak; dan 0,014 pada remaja) dan respons klinis (p = 0,000). Pada analisis multivariat, faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup adalah respons klinis (p = 0,000). Simpulan: Proporsi pasien rinitis alergi di RSCM pada anak lebih sedikit dibanding remaja, dengan jenis terbanyak adalah rinitis alergi persisten sedangberat. Kualitas hidup pada pasien rinitis alergi usia anak lebih baik dibanding remaja dan faktor yang paling berhubungan dengan kualitas hidup pasien adalah respons klinis.
Background: Allergic rhinitis is a major chronic respiratory disease in children, its prevalence is increasing in the world. In children, health-related quality of life (HRQL) issues include learning impairment, inability to integrate with peers, anxiety, and family dysfunction. It is important to recognize and treat AR in children to enhance quality of life. Objectives: (1) To identify the characteristics of AR in children patients at Cipto Mangunkusumo Hospital. (2) To measure quality of life in children with AR and to assess the correlation of contributing factors. Methods: A cross-sectional study was performed among 92 children with AR age 6-to-17-year-old visiting Allergy Immunology Outpatient Clinic Departement of Pediatric and ENT at Cipto Mangunkusumo Hospital from May to August 2015. The Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (PRQLQ) and Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (ARQLQ) was used to assess HRQL. Results: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children (6-to-12-year-old) and 54.3% in adolescents (12-to-17-year-old) with the most type was the moderate-severe persistent group (39,1%). The mean quality of life score was 1.5 (SD 1.16) in children and 1.9 (SD 1.28) in adolescents. The correlated factors were clinical symptom (p = 0.031 in children; and 0.014 in adolescents) and clinical response (p = 0.000). A multivariate study, the most correlated factor was clinical response (p = 0.000). Conclusions: The proportion of allergic rhinitis in CM Hospital in children was less than that in adolescents with the most type was the moderate-severe persistent group. Quality of life in children with allergic rhinitis was better than adolescents and the most correlated factors was clinical response.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Utama
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang. Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi. Tungau debu rumah TDR merupakan aeroalergen tersering yang mensensitisasi reaksi alergi. Pada tahun 1988 reseptor vitamin D VDR , berhasil di klon. Reseptor vitamin D berlokasi di beberapa jaringan dan sel tubuh manusia, termasuk di peripheral blood mononuclear cells PBMCs dan limfosit T yang telah teraktivasi. Riset yang lebih jauh memperlihatkan bahwa vitamin D mempunyai beberapa efek dari pengaturan sitokin terhadap beberapa sel yang berbeda dari sistem imun. Vitamin D dapat menekan respon Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.Tujuan. Melihat pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar IL-10, IFN-? dan histamin pada kultur PBMC pasien rinitis alergiMetode. Sampel merupakan darah segar whole blood penderita rinitis alergi yang telah dilekukan prick test, serta diiisolasi dengan metode Ficoll. Bahan biologis tersimpan yang berupa supernatan kultur. Kultur sel limfosit sebelum perlakuan, diberi pendedahan tanpa atau dengan 1,25 OH 2D3 100 nM, waktu inkubasi 7 hari, dengan penambahan PHA dan alergen tungau pada hari ke-4. Kultur sel-sel PBMC dari pasien RA setelah perlakuan, dilakukan harvest pada hari ke-7, kemudian supernatanannya dialikuot untuk diukur kadar sitokin IFN-? dan IL-10, dan diuji secara statistik untuk melihat pola dari tiap parameter.Hasil: Pemberian alergen tungau tanpa vitamin D menyebabkan meningkatnya kadar histamin serta menurunkan kadar IL-10 dan IFN-?. Pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC yang telah diberi alergen tungau menyebabkan peningkatan kadar IL-10 dan penurunan kadar IFN-? dan histamin.Simpulan: Menurunnya kadar histamin dan IFN-? terhadap stimulasi alergen tungau pasien rinitis alergi yang diberi vitamin D cenderung berhubungan dengan meningkatnya kiadar IL-10.
ABSTRACT
Background. Allergic rhinitis is an inflammatory disease caused by an allergic reaction in atopic patients. House dust mites TDR are the most common aeroalergens that sensitize allergic reactions. In 1988 vitamin D receptor VDR , successfully in clones. Vitamin D receptors are located in several tissues and human body cells, including peripheral blood mononuclear cells PBMCs and activated T lymphocytes. Further research has shown that vitamin D has some effects of cytokine regulation on several cells different from the immune system. Vitamin D can suppress Th1 and Th2 responses. Th1 and Th2 cells inhibit the development of each other. Aim.To identify the Effect of Vitamin D On IL 10 IFN and histamine levels on PBMC Cultur of Allergic Rhinitis PatientsMethod. The sample is fresh blood whole blood of allergic rhinitis patients who have been prick tested, and isolated by Ficoll method. Pre treated lymphocyte culture, treated with or without 1,25 OH 2D3 100 nM, and incubated for 7 days, with addition of PHA and allergen mites on day 4. Cultures of PBMC cells from RA patients after treatment were harvested on day 7, then the supernatant was dialyzed for measured levels of IFN and IL 10 cytokines using elisa kits and tested statistically to see patterns of each parameter.Result. Giving allergen mites without vitamin D causes increased levels of histamine and lowers levels of IL 10 and IFN . Provision of vitamin D in PBMC cell culture that has been given allergen mites causes increased levels of IL 10 and decreased levels of IFN and histamine.Conclusion. Reduced levels of histamine and IFN against allergen mite stimulation of allergic rhinitis patients given vitamin D tend to be associated with increased IL 10 levels.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifda Suryati
Abstrak :
Asma merupakan salah satu penyakit alergi respiratorik kronis paling sering ditemukan pada anak dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di masyarakat. Prevalens asma pada anak bervariasi, di Amerika Serikat berkisar antara Penelitian di beberapa kota di Indonesia yang dilakukan antara tahun 1991-2002 mendapatkan prevalens asma pada anak berkisar antara 347,4%. Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan suatu pola yang berkesinambungan antara proses sensitisasi terhadap alergen dengan perkembangan dari perjalanan penyakit alergi yang dikenal dengan allergic march. Allergic march secara klinis berawal sebagai alergi kulit (dermatitis atopi) dan selanjutnya dengan bertambah usia menjadi alergi saluran napas (asma dan rinitis alergi). Dermatitis atopi (DA) merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang paling umum ditemui pada anak dan manifestasi penyakit ini sering terlihat pada masa bayi. Prognosis DA biasanya baik tetapi penyakit ini merupakan salah satu risiko untuk menderita asma. Penelitian Cafarelli, dkk menemukan riwayat DA pada anak dengan asma sebesar 38% dan penelitian oleh Zimmerman, dkk 42,2%. Sepanjang pengetahuan penulis, prevalens riwayat dermatitis atopi pada anak dengan asma di Indonesia belum pemah diteliti maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui prevalensi riwayat dermatitis atopi pada anak dengan asma dan karakteristik pasien.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21357
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Rinitis alergi RA merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi tinggi pada anak. Akhir-akhir ini, kekurangan vitamin D pada anak dipercaya berhubungan dengan disregulasi sistem imun, yang berujung pada makin beratnya RA. Analisis hubungan antara kadar vitamin D dan keparahan RA diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Tujuan: 1 Mengetahui rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi; 2 Membandingkan rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi dan anak pada populasi normal; 3 Mengetahui rerata kadar 25 OH D serum sesuai dengan tingkat keparahan rinitis alergiMetode: Penelitian potong lintang pada 60 anak usia 6-18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan berkunjung ke RSCM dan RSI Pondok Kopi. Seluruh subyek dibagi menjadi kelompok rinitis alergi n=30 dan kontrol n=30 . Kemudian, dilakukan pemeriksaan kadar 25 OH D serum dengan cara CLIA chemiluminescence immunoassay . Kadar 25 OH D serum normal, insufisiensi, dan defisiensi lalu dihubungkan dengan RA berdasarkan lama gejala yaitu intermiten dan persisten. Hasil: Rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi didapatkan 17,75 SB 5,60 ng/mL. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar vitamin D di kelompok RA 17,75 5,60 ng/mL dengan kelompok kontrol 19,22 6,11 ng/mL , p=0,336. Didapatkan hubungan bermakna antara rerata kadar vitamin D pada rinitis intermiten 22,82 4,59 ng/mL dengan rinitis persisten 15,22 4,19 ng/mL , p
ABSTRACT Background. Allergic rhinitis AR was a global health problem with high prevalence in children. Recently, vitamin D deficiency in children was found to have a correlation with immune system dysregulation, which leads to more severe symptoms of AR. Association between vitamin D serum level and AR incidence is needed to prevent further complications.Aim. 1 to recognize mean vitamin D serum level in children with AR 2 to compare mean vitamin D serum level in children with AR and normal children population 3 to find out mean vitamin D serum level according to severity level of AR.Methods. A cross sectional study was performed in 60 children aged 6 18 years old, who meet the inclusion criteria and visit CM hospital and Islamic Pondok Kopi hospital. All subjects were divided into 2 groups AR group n 30 and control group n 30 . Blood were taken for 25 OH D serum level examination with CLIA method. Association between 25 OH D serum level normal, insufficiency, deficiency and severity level of AR intermittent and persistent was then being analyzed.Results. Mean vitamin D serum level in children with AR was 17,75 SD 5,60 ng mL. There was no significant difference between mean vitamin D serum level in AR group 17,75 5,60 ng mL and control group 19,22 6,11 ng mL , p 0,336. Association was found between mean vitamin D serum level in intermittent rhinitis 22,82 4,59 ng mL and persistent rhinitis 15,22 4,19 ng mL , p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring. Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak. Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring. Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01). Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.
Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux. Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME. Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not. Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01). Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library