Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elga Audia Putri
"Dengan semakin maraknya penggunaan data pribadi dalam suatu transaksi elektronik yang tidak dengan sepengetahuan atau tidak dengan sepertujuan pemilik data pribadi yang bersangkutan, menjadi suatu permasalahan bagaimana hukum melindungi privasi dan data pribadi termasuk hak pemilik data untuk menghapus informasi. Dengan melakukan penelitian hukum terhadap norma hukum yuridis normatif dengan studi kepustakaan, maka diperoleh hasil penelitian bahwa di Indonesia hak ini sudah ada dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam revisi Undang Undang Informasi dan Transkasi Elektronik yakni Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 pada pasal 27 dan Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi yang didalamnya juga memuat mengenai hak pemusnahan data pribadi yang tidak lagi relevan pada sistem elektronik pada pasal 26 dan Pasal 28. Namun, ketentuan dalam peraturan tersebut masih belum efektif karna lebih banyak membuka ruang bagi penyedia jasa aplikasi untuk menolak penghapusan khususnya dengan alasan relevansi.
As the number of personal data flow is increasing in electronic transaction, there are troubles that occurs that it needs a right to erase. This research is juridically normative. From this study showed In Indonesia, the new right is recognized and endorsed in 2016 precisely on 29 November 2016 in the renewal of Law No.11 of 2008 on Information and Electronic Transactions on article 26. A few days after the Ministry of Communications and information Indonesia issued a Ministerial Regulation No. 20 of 2016 on the Protection of personal Data also includes the rights to erase personal data that is no longer relevant. There is no further elaboration regarding the extent to which the information can be regarded as irrelevant and that it can be used as a reason for the rejection deletion by an Application Service Provider under the pretext that the information is still relevant and still have an interest. "
2017
S66226
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Amirah Deaz Putri
"Deepfake pornography adalah konten foto, video, atau audio yang memiliki muatan pornografi. 90-95% konten deepfake di internet adalah konten deepfake pornography. Faktanya, 90% korban adalah perempuan. Penelitian ini menggunakan metode sosio-legal dan etnografi digital yang berperspektif feminist legal theory untuk mengetahui apakah regulasi dan upaya yang ada telah mengakomodir kebutuhan korban perempuan. Regulasi yang dianalisis adalah UU Pornografi, UU ITE, UU TPKS, dan UU PDP. Hasil penelitian ini adalah regulasi yang ada belum cukup efektif dalam melindungi korban deepfake pornography. Kemudian, upaya yang dilakukan dalam pelindungan korban adalah literasi artificial intellegence, penghapusan jejak digital korban (right to be forgotten), pendampingan hukum dan psikologis, dan upaya mewujudkan peraturan pendukung. Tantangan yang dihadapi adalah seperti kurangnya edukasi deepfake pornography, kurangnya kesadaran aparat penegak hukum, kurangnya kualitas dan kuantitas fasilitas pengada layanan, belum adanya peraturan khusus deepfake pornography, dan platform digital yang belum berpartisipasi maksimal dalam upaya pelindungan. Lalu, meskipun peraturan dan hukuman Indonesia lebih banyak dan lebih tinggi dari Thailand, ternyata kualitas penanganan Indonesia masih kurang. Kemudian, refleksi dari pengalaman korban adalah bahwa budaya patriarki menjadi faktor perbuatan pelaku. Terakhir, delik aduan yang ada di UU TPKS menghambat korban melaporkan kasusnya ke jalur hukum. Karena, dari perspektif feminist legal theory, sistem hukum ini tidak sensitif terhadap korban perempuan yang seringkali merasa takut, malu, atau terintimidasi untuk melapor. Lalu, aparat penegak hukum kurang aktif menangani kasus dengan membebankan pembuktian kepada korban. Hal ini menghambat pelaksanaan right to be forgotten sebagai hak atas pemulihan korban.

Deepfake pornography is photo, video or audio content that has pornographic content. 90-95% of deepfake content on the internet is deepfake pornography content. In fact, 90% of victims are women. This research uses socio-legal methods and digital ethnography with a feminist legal theory perspective to find out whether existing regulations and efforts have accommodated the needs of female victims. The regulations analyzed are the Pornography Law, the ITE Law, the TPKS Law, and the PDP Law. The results of this research are that existing regulations are not effective enough in protecting victims of deepfake pornography. Then, the efforts made to protect victims are artificial intelligence literacy, erasing digital traces of victims (right to be forgotten), legal and psychological assistance, and efforts to create supporting regulations. The challenges faced include a lack of education on deepfake pornography, a lack of awareness by law enforcement officials, a lack of quality and quantity of service provision facilities, the absence of specific regulations on deepfake pornography, and digital platforms that have not participated optimally in protection efforts. Then, even though Indonesia's regulations and penalties are more numerous and higher than Thailand's, it turns out that Indonesia's handling quality is still lacking. Then, a reflection of the victim's experience is that patriarchal culture was a factor in the perpetrator's actions. Lastly, the complaint offense contained in the TPKS Law prevents victims from reporting their cases to legal channels. Because, from the perspective of feminist legal theory, this legal system is not sensitive to female victims who often feel afraid, embarrassed or intimidated to report. Then, law enforcement officials are less active in handling cases by placing the burden of proof on the victim. This hampers the implementation of the right to be forgotten as a right to recovery for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Amira Hanan
"Hak untuk dilupakan (RTBF) sebagai salah satu perkembangan hukum baru-baru ini yang dibangun sebagai pengembangan hak privasi dan perlindungan data penting bagi masyarakat informasi zaman sekarang dan perkembangan teknologi informasi. Berbagai sistem hukum di dunia termasuk Indonesia telah memasukkan RTBF dalam kerangka hukum mereka yang dilengkapi dengan sejumlah masalah. Oleh karena itu, Penulis mencoba untuk menganalisis peraturan hak tersebut dalam sistem hukum Indonesia yang terkandung dalam undang-undang dan menganalisis posisinya dalam undang-undang dengan membandingkannya dengan peraturan RTBF dari sistem hukum lain. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. Studi ini menemukan bahwa peraturan perlindungan data yang mendasari pembentukan RTBF di Indonesia bersifat sporadis dan belum ada peraturan yang terharmonisasi tentang perlindungan data. Perumusan RTBF dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bermasalah. Meski begitu, di berbagai negara, RTBF telah diimplementasikan sebagai alat penyeimbang melalui pendekatan kontekstual dalam menangani kasus. Untuk alasan ini, maka perlu untuk melakukan analisis hukum perumusan RTBF di Indonesia dengan mengacu pada perumusan hak yang sama yang diterapkan di sistem hukum lain.

The right to be forgotten (RTBF) as one of the recent legal developments that is constructed as a development of the right to privacy and data protection is crucial in this day and age information society and development of information technology. Various jurisdictions in the world including Indonesia’s have incorporated the RTBF in their legal frameworks which comes with a number of problems. For that reason, the Author tries to analyze the Indonesian regulatory framework on the RTBF contained in the legislation and analyze its position in the law by comparing and contrasting other jurisdictions’ regulatory frameworks against it. This research is a normative legal research that uses descriptive analytical research method. This study found that the data protection regulation which underlies the establishment of the RTBF in Indonesia is sporadic and that no harmonized regulation on data protection has not yet been established. The formulation of the RTBF in Article 26 paragraph (3) of Law Number 19 Year 2016 on The Revision to Law Number 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE Law) is problematic. Even so, in various jurisdictions, a balancing tool has been made out of the RTBF through contextual approach on dealing with cases. For this reason, it is necessary to conduct a legal analysis of the formulation of the RTBF in Indonesia with the reference to the formulation of the same right that is applied in other jurisdictions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library