Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elizabeth Elysia
"Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN Persero, sebagaimana Perseroan Terbatas, tunduk pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007. Hal tersebut berdampak pada adanya pemisahan kekayaan dan terbaginya modal BUMN Persero dalam bentuk saham. Mengingat kedudukan BUMN Persero sebagai pemegang Hak Pengelolaan, menjadi pertanyaan apakah BUMN Persero layak memegang status tersebut? Hasil penelitian menunjukan terdapat inkonsistensi antara pengaturan yang mengatur Hak Pengelolaan dan ketentuan yang mengatur BUMN Persero seperti tidak ada prioritas bagi pihak ketiga yang dapat menjadi mitra kerja bagi BUMN Persero. Selain itu, menurut pandangan beberapa ahli, nomenklatur "kekayaan negara yang dipisahkan" dalam UU No. 19 Tahun 2003, menyebabkan aset negara kini telah beralih kepemilikannya kepada BUMN Persero yang digunakan untuk mencari keuntungan. Kemudian, diperbolehkannya pemindahan harta kekayaan BUMN dimana Hak Pengelolaan telah ditetapkan untuk tidak dapat dipindahtangankan. Dengan ini, BUMN Persero pun tidak layak disebut pemegang Hak Pengelolaan. Terkait dengan ketentuan yang mengatur tindakan yang harus diambil apabila Hak Pengelolaan jatuh ke tangan pihak yang bukan pemegang Hak Pengelolaan, hal ini belum diatur secara jelas. Menurut Permen No. 246/PMK/06/2014, berakhirnya jangka waktu penggunaan barang milik negara dapat menjadi pembatasan penggunaan tanah Hak Pengelolaan oleh BUMN Persero. Dengan berakhirnya jangka waktu tersebut, dapat dilakukan serah terima barang milik negara antara BUMN Persero dengan BPN sebagai pengguna barang, yang mana kemudian BPN dapat menyampaikan hal tersebut kepada Menteri BUMN. Ketentuan ini berikutnya harus ditindaklanjuti dengan ketentuan yang mengatur pencatatan hapusnya Hak Pengelolaan.

Law No. 19 Yr. 2003 stipulates that State Owned Limited Liability Company SOLLC has to comply with Law No. 40 Yr. 2007. This resulted in a separated asset and a division of capital into shares. Is SOLLC suitable to be the holder of the Management Right The research showed that there is a discrepancy between the rules controlling the Management Right and the regulation managing SOLLC, which is no priority for third parties who could partner with SOLLC. Besides, some law experts think in relation to declaration statement of ldquo the state rsquo s separated asset rdquo that the land asset is now in SOLLC rsquo s hand, for commercial use. Furthermore, the Management Right as one of the company rsquo s assets are transferrable, which are supposed to be the opposite non transferrable . The previous notion supports the idea of SOLLC is not suitable to be the holder of the Management Right. Unfortunately, there is no regulation dealing with it. Based on Regulation of The Minister of Finance No. 246 PMK 06 2014, the expiration date of using state property also could restrict utilization of the Management Right. Thus, SOLLC must have to hand over state propery to Minister of Agrarian and Spatial Planning at the end of the term. It must be followed with making record of transfer and conveying to Minister of State Owned Enterprises. As a consequence, Minister of Agrarian and Spatial Planning is obliged to do the registration of the nullification of the Management Right."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Ambarwati
"Terbitnya SK Menhut Nomor 463/KPTS-II/2013, khususnya pada kawasan seluas 1.834 hektar yang mengubah peruntukkan tanah hak pengelolaan menjadi kawasan hutan lindung menimbulkan polemik di Batam. Kawasan yang dimaksud pada faktanya telah berdiri kawasan industri, kawasan perumahan, dan kawasan kantor Pemerintahan, namun dengan terbitnya SK Menhut tersebut maka akan ada pemanfaatan ruang di Batam yang berubah.
Permasalahan yang dapat dicermati adalah mengenai bagaimana perubahan peruntukkan tanah hak pengelolaan `menjadi kawasan hutan lindung ditinjau dari perspektif hukum penataan ruang dan bagaimana kedudukan pemegang hak atas tanah di atas tanah hak pengelolaan sehubungan dengan perubahan peruntukkan tanah hak pengelolaan menjadi kawasan hutan lindung.
Metode penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini apabila dilihat dari sifatnya merupakan penelitian eksploratoris dimana penelitian yang menjelajah sebuah SK Menhut Nomor 463/KPTS-II/2013 tentang perubahan peruntukkan tanah sehingga mengubah pula rencana tata ruang yang telah berlaku di Batam serta berdampak bagi kedudukan warga selaku pemegang hak atas tanah di atas tanah hak pengelolaan yang statusnya menjadi tidak pasti.
Adapun simpulan dari permasalahan bahwa SK Menhut tersebut mengesampingkan aturan-aturan yang berlaku khusus di Batam terutama terkait dengan aturan rencana tata ruang di Batam sebagai daerah industri dan mengenai kedudukan pemegang hak atas tanah di atas tanah hak pengelolaan sama dengan pemegang hak atas tanah di atas tanah Negara dan sekalipun perubahan peruntukkan tersebut terjadi maka Pemerintah harus memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah guna mengakomodir kerugian yang ditimbulkan dari perubahan peruntukkan lahan tersebut.

Publication of Ministry of Forestry decree No. 463/KPTS-II/2013, especially in an area of 1,834 hectares which change the designation of land management rights be protected forest area in Batam polemical. Region is in fact already established industrial area, residential area, and the Government office region, but with the publication of the Ministry of Forestry decree there will be use of a changing utilization of space in Batam.
Problems that can be observed is about how to change the designation of land management rights be protected forest area viewed from the perspective of spatial planning law and how to position holders of land rights on land management rights with respect to changes in the designation of land management rights be protected forest areas.
The method used in this paper when seen from the nature of exploratory research is research that explores where a Minister of Forestry Decree No. 463/KPTS-II/2013 about changing the designation of the land so as to change anyway spatial plan that has prevailed in Batam and has implications for the position of resident as the holder of land rights on land management rights whose status is uncertain.
The conclusion of the Ministry of Forestry decree issues that override the rules that apply in Batam mainly related to spatial planning rules in Batam as an industrial area and the position holders of land rights over the same land management rights to holders of land rights on the ground state and even change the designation of the case then the Government must provide guarantees and legal protection for holders of land rights in order to accommodate the losses from changes in the designation of the land.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliana Gunawan
"Tesis ini membahas mengenai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 71/PDT/G/2007 juncto No. 418/PDT/2007/PT.DKI tentang sengketa tanah antara PT. Roda Kencana Mendiri melawan Perusahaan Umum Pelabuhan II Tanjung Priok (sekarang PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok) dan PT. Maju Terus Jaya yang bermula dari permintaan Perum Pelabuhan Indonesia II Tanjung Priok kepada PT. Roda Kencana Mandiri untuk melakukan pembayaran kembali atau pembayaran ulang atas tanah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.105/Kalibaru yang dikuasainya dengan alasan tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna Bangunan (HGB) diatas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dimana pihak Perum Pelabuhan Indonesia II Tanjung Priok sebagai Pemegang HPL atas tanah objek sengketa tersebut.
Penulisan tesis ini dengan metode penelitian yuridis normatif untuk mengetahui dan menganalisis norma-norma/asas-asas hukum dalam Putusan Pengadilan dan bahan hukum pustaka atau data sekunder (berupa peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, khususnya mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 71/Pdt/G/2007 jo. No. 418/PDT/2007/PT.DKI. menyatakan bahwa Akta Jual Beli No. 454/Cilincing/1998 adalah sah dan berharga dan PT. Roda Kencana Mandiri dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas tanah objek sengketa dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 105/Kalibaru tersebut. Pertimbangan hukum yang diberikan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 71/Pdt/G/2007 jo. No. 418/PDT/2007/PT.DKI. tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku mengenai pemberian HGB di atas tanah HPL.

This thesis is to analyze the Verdict of North Jakarta District Court Number 71/PDT/G/2007 jo. Number 418/PDT/2007/PT.DKI concerning land dispute between PT. Roda Kencana Mandiri versus Perusahaan Umum Pelabuhan II Tanjung Priok (now PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok) and PT. Maju Terus Jaya which was caused by the petition of Pelabuhan Indonesia II Tanjung Priok towards PT. Roda Kencana Mandiri to perform re-payment or recompense onto land under Building Utilization Title Number 105/Kalibaru occupied by PT. Roda Kencana Mandiri by reason that the land under the Certificate of Right of Building (HGB) located within the area of Right of Management (HPL) whereas Pelabuhan Indonesia II Tanjung Priok as the holder of the Certificate of HPL to such disputed land.
This thesis writ with normative juridical research method to study and analyze the norms / principles of law on the Verdict and legal material libraries or secondary data (in form of legislations on the land sector, particularly regarding the provision of Right of Building upon Land under Right of Management). The Verdict of North Jakarta District Court Number 71/PDT/G/2007 jo. Number 418/PDT/2007/PT.DKI stated that the Sales and Purchase Deed Number 454/Cilincing/1998 is lawfully valid and recognized hence PT. Roda Kencana Mandiri declared as a rightful owner upon disputed land under the Certificate of Right of Building Number 105/Kalibaru. Juristical judgment provided by the Panel of Judges in the Verdict of North Jakarta District Court Number 71/PDT/G/2007 jo. Number 418/PDT/2007/PT.DKI is not in according with the prevailing laws and regulations regarding the issuance of HGB upon the HPL.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrul Fauzi
"Para pemegang sertipikat hak guna bangunan atas hak pengelolaan milik PT. KBN (Persero) mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Objek sengketa berupa surat keputusan direksi tentang tarif perpanjangan hak dan sikap diam terhadap permohonan rekomendasi perpanjangan hak yang telah diajukan. Putusan No. 171 PK/TUN/2016 yang berkekuatan hukum tetap memenangkan pihak KBN tetapi perlindungan hukum tetap harus diberikan para pemegang hak guna bangunan atas hak pengelolaan. Pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai implementasi pemberian dan perpanjangan hak guna bangunan serta perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat hak guna bangunan dalam Putusan No. 171 PK/TUN/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan memanfaatkan data sekunder untuk membahas pokok permasalahan dari sudut pandang hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemberian hak guna bangunan yang dilakukan KBN pada tahun 1988 hingga 1990 telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977. Sedangkan, implementasi perpanjangan hak guna bangunan yang sebagian besar berakhir pada 2013 hingga 2014 menghadapi problematika yang berujung penyelesaian di pengadilan. Pengenaan tarif pemanfaatan tanah oleh KBN merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan. Oleh karena itu, pemegang sertipikat hak guna bangunan tetap harus membayar tarif yang disyaratkan untuk dapat memperpanjang haknya. Namun perlindungan hukum terhadap pemegang hak guna bangunan tetap harus diberikan berupa perlindungan terhadap hak prioritas perpanjangan hak dan perlindungan hukum terhadap operasional bisnis, bangunan, serta benda milik pemegang hak guna bangunan. Beberapa perjanjian penggunaan tanah industri terdahulu telah menjanjikan hak prioritas perpanjangan hak guna bangunan sehingga KBN terikat untuk memenuhi hak itu apabila pemegang hak guna bangunan yang telah memenuhi persyaratan. Tidak diperpanjangnya hak guna bangunan juga dapat berimbas pada terhambatnya operasional bisnis, resiko kehilangan bangunan, dan bertambahnya pengeluaran bagi pemegang hak guna bangunan. Sehingga diperlukan perlindungan hukum dan mekanisme penyelesaian yang dapat meringankan beban kerugian pemegang hak guna bangunan. Selain itu, kekosongan hukum yang terjadi pasca dicabutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 juga kurang memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan.

The holders of the certificate of right to build on the right of management belonging to PT KBN (Persero) filed a lawsuit to the state administrative court. There are two objects of dispute, namely director letters concerning the cost of extending the right and silence/rejection on the application for a recommendation for the extension of the right that has been submitted. Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016, which has been inkracht won KBN, must still give legal protection to the holders of the right to build on the right of management. The main issues discussed are the implementation of the granting and extension of the right to build and the legal protection for the holders of the certificate of the right to build in the Supreme Court Decision No. 171 PK/TUN/2016. The research method used is normative legal research by utilizing secondary data to discuss the subject matter from the applicable laws and regulations. This study indicates that the implementation of the granting of the right to build carried out by KBN from 1988 to 1990 was following the applicable legislation, namely the Minister of Home Affairs Regulation No. 1 of 1977. Meanwhile, the implementation of the extension of right to build, which mostly ended in 2013 to 2014, faced problems that led to a settlement in court. The imposition of fees for land use by KBN is one of the powers possessed by the holder of the right of management. Therefore, the holders of the certificate of right to build still has to pay the required fee to extend their right. However, it must still give legal protection for the holders of the right to build in the form of protection of the priority right of the extension of the right and legal protection of business operations, buildings, and objects belonging to the holders of the right to build. Several previous industrial land use agreements have promised priority rights to extend the right to build so that KBN is bound to fulfill these rights if the holders of the right to build have fulfilled the requirements. The non-extension of the right to build can also impact the delay of business operations, the risk of losing the building, and increasing expenses for the holders of the right to build. So that legal protection and settlement mechanisms are needed can ease the burden of losses for the holders of the right to build. In addition, the legal vacuum that occurred after the revocation of the Minister of Home Affairs Regulation Number 1 of 1977 also did not guarantee legal certainty for holders of the right to build on the right of management."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library