Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachru Nofrian
"Fokus utama skripsi ini adalah kritik atas fondasionalisme dalam pemikiran Richard Rorty, Metode yang digunakan bersifat deskriptif. Pemikiran (filsafat) modern dapat dikatakan titik equilibrium antara filsafat dan fondasionalisme daiam suatu masa. Ambisi Rorty adalah menjadikan filsafat bebas dari fondasionalisme. Rorty mengawali pembahasan tentang fondasionalisme dengan menelusuri para filsuf mulai dari Descartes sampai dengan Kant. Sedangkan filsuf seperti Husserl, Heidegger dan Russell juga dikatakan masih terjebak pada fondasionalisme. Agar dapat lebilt mudah dan tajam dalam memahami Rorty, perlu memahami pemikiran Filsuf tersebut dan juga Sellar, Quine, Rawls, Wittgenstein, Dewey. Peirce dan Davidson. Filsuf seperti tersebut yang pertama dibahas pada Bab 11, sedangkan yang terakhir dibahas pada Bab III. Karakter mendasar dari fondasionalisme adalah kesadaran dan kebenaran. Melalui kesadaran, semua penampakan adalah kesadaran atau ada dalam kesadaran. Eksistensi dan esensi ada dalam kesadaran. Dengan demikian ada keterpisahan antara kesadaran, dapat disebut ruang privat atau res cogitans dan natur, disebut ruang publik atau res extensa. Kesadaran kemudian berperan sebagai mahkamah pemikiran yang menentukan realitas, dengan demikian kesadaran mengatasi perbedaan esensi-eksistensi yang ada dalam filsafat atau pemikiran sebelumnya. Dengan adanya kesadaran. muncul kekuatan pikir sebagai penentu pengetahuan. Kesadaran merupakan pandangan yang terpisah dari realitas itu sendiri. Pada filsafat sebelumnya, tidak terdapat keterpisahan yang mampu memberikan kekuasaan pengetahuan pada manusia ini. Konsekuensi logis dari kekuatan pikir ini adalah munculnya sumber pengetahuan: rasionalitas dan empirisitas; pemilik pengetahuan, yaitu subyek dan yang diketahui, yaitu obyek; dan kondisi pengetahuan : subyektivitas dan obyektivitas. Kebenaran adalah keakuratan dan ketepatan representasi dengan realitas, disebut juga korespondensi. Filsafat Rorty merupakan usaha menghilangkan kesadaran yang memiliki keyakinan dan pengetahuan yang berada dalam kesadaran tersebut. Untuk itu, ia memulai filsafatnya dengan mengotak-atik ontologi epistemologi, yaitu mental-fisikal. Ia menganalisa antara mental-fisikal dengan partikularitas-universalitas. Selama ini, mental merupakan properti pengetahuan yang dimiliki subyek yang ada secara intuitif melalui kesadaran. Mental menghasilkan reduksi realitas universal, sementara realitas yang belum direduksi adalah realitas partikular atau hanya penampakan. Akibatnya, pengetahuan bergantung pada mahkamah pemikiran. Rorty menolak inidengan melihat bahwa ontologi adalah realitas partikular-universal saja, bukan mental-fisikal. Dengan kata lain, mental-fisikal hanyalah bagian dari distingsi ontologi partikular-universal itu tadi. Dengan ontologi epistemologi tersebut, maka pengetahuan lebih bergantung pada konteks daripada pada kesadaran. Kalaupun kesadaran ada, maka ia ada dalam konteks, yang artinya lebih ditentukan oleh proses sosial, justifikasi sosial dan sebab sosial. Di sinilah bahasa menjadi hanya bahasa, bukan gambaran realitas yang paling benar ataupun yang paling Ada. Bahasa tidak lagi memiliki unsur-unsur metafisis, baik itu melalui logika matematika ataupun logika bahasa, dan terlebih lagi tidak ada penentuan makna dari bahasa atas suatu realitas secara mental. Intuisi yang berasal dari mental digantikan intuisi sosial yang bersifat spontan. Pengetahuan ini bukan berarti tidak ada makna, tapi justru menjadi banyak makna. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah tidak ada kebenaran yang absolut, kebenaran adalah permainan bahasa dan bersifat historis, bukan ahistoris. Kebenaran bersifat kontingen (berubah), bukan necessary. Oleh karena itu, seluruh perangkat pengetahuan, seperti rasionalitas dan obyektivitas yang selama ini menjadi house of knowledge dari ilmu pengetahuan menjadi banal (tumpul), lebih jauh lagi, itu semua adalah mitos. Rorty ingin mengembalikan semua kekuasaan pengetahuan pada manusia itu sendiri, bukan pada kesadaran yang bersifat nonhuman tersebut. Intuisi spontan membawanya pada metafora. Baginya metafora penting karena bisa memperluas ruang logis yang kemudian diilmiahkan melalui proses sosial dan justifikasi sosial. Definisi-definisi seperti: sejarah adalah semata-mata perjuangan kelas. cinta adalah satu-satunya aturan, adalah sebuah metafora yang kemudian mengalami justifikasi sosial menjadi definisi dari sesuatu. Implikasi sosial pemikiran Rorty adalah perlunya percakapan (konversasi) dalam menghilangkan masalah utama manusia, yaitu kesendirian. Baginya, semua metode ilmu pengetahuan bukan ditujukan untuk menekankan realisme, yaitu korespondensi yang paling akurat dengan realitas partikular diluarsana, tapi hanya suatu metafora yang mungkin berguna bagi suatu jaman, atau masa, sebelum diperluas lagi oleh metafora lainnya. Ia lebih melihat percakapan sebagai suatu evolusi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S16109
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Dardiri
"Thesis ini dilatar belakangi oleh adanya pandangan yang pro dan kontra terhadap pragmatisme, di samping adanya daya tarik terhadap pandangan pragmatisme Richard Rorty, yang terang-terangan mendekonstruksi epistemologi, dan pandangannya yang menyentuh isu postmodernisme. Thesis ini ingin menjawab permasalahan: Bagaimanakah pandangan Richard Rorty tentang pragmatisme, sehingga ia dianggap sebagai penerus tradisi pragmatisme Amerika bahkan sebagai pendiri neopragmatisme?; Bagaimanakah kritiknya terhadap epistemologi? Apakah benar pragmatismenya menyentuh issu postmodernisme?
Thesis ini penting dan diharapkan bermanfaat bagi dunia akademis, umumnya dalam bidang filsafat, juga bagi masyarakat luas, karena Richard Rorty mengajak kita untuk selalu membuka diri dan memperbaharui diri lewat dialog secara terus menerus daripada mempertahankan status quo dan merasa puas terhadap hasil-hasil yang telah dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai dalam thesis ini adalah mengungkapkan pokok-pokok pikiran Richard Rorty tentang pragmatisme dan kritiknya terhadap epistemologi; juga ingin mengetahui sejauh mana pragmatismenya menyentuh issu postmodernisme. Metode yang digunakan adalah: metode hernrneneutik; metode analisis-sintesis; metode historis, dan metode kids.
Pragmatismenya merupakan reaksi terhadap pandangan Descartes, Locke, dan Kant. Pemikirannya dipengaruhi oleh Wittgenstein, Heidegger, dan Dewey. Pemikirannya juga berkaitan dengan para filsuf pragmatis sebelumnya, utamanya Dewey, sekaligus sebagai penerus ide-ide Dewey. Meskipun demikian, pragmatismenya memiliki kekhasan.
Bagi Rorty, kesadaran bukanlah entitas yang menilai status ontologis di mana proses mental berlangsung. Oleh sebab itu, epistemologi yang berdasarkan pemikiran demikian tidak diperlukan. Pragamatisme atau neopragmatismenya nampak dari cara memperlakukan kesadaran dan epistemologi.
Setelah kematian epistemologi, hernmeneutikalah yang berperan. Filsafat yang diperlukan sekarang bukan filsafat sistematis, melainkan filsafat edifikasi. Dari pandangannya tentang epistemologi dan filsafat, ternyata ia juga seorang postmodernis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Zulfa Kazhim
"Kesadaran masyarakat Indonesia untuk bersimpati akan lingkungannya masih sangat rendah dan kian mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan yang terus terjadi menjadi ancaman besar bagi eksistensi manusia. Penelitian ini berfokus pada pembahasan mengenai bagaimana pragmatisme Richard Rorty menjadi tawaran lain dalam menjawab persoalan masalah lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan metode kritik pragmatis yang didukung dengan kajian pustaka. Kajian diawali dengan menjelaskan orientasi epistemologi Barat yang menghasilkan empat aspek utama dalam pragmatisme Richard Rorty. Kemudian pragmatisme Rorty dan etika solidaritas-nya selanjutnya digunakan sebagai perspektif alternatif dalam pembahasan topik etika lingkungan dalam rangka menemukan solusi atau jalan keluar dari kebuntuan diskursif dalam perdebatan filsafat lingkungan fundamentalis dan mencari solusi praktis yang relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Dalam hal ini penulis menggunakan aksi Pandawara Group untuk menunjukkan manifestasi dari nilai teori solidaritas Richard Rorty dan juga untuk menguatkan kesimpulan penulis bahwa penekanan pada aspek praktikal yang mengakar pada pengalaman manusia sehari-hari atau realitas konkrit dalam konteks-konteks tertentu dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam meningkatkan kepekaan moral terhadap penderitaan orang lain.

The awareness of Indonesian to sympathize with their environment is still very low and increasingly worrying. Environmental degradation that continues to occur is a major threat to human existence. This research focuses on discussing how Richard Rorty's pragmatism becomes another offer in the problem of environmental problems. This research uses pragmatic criticism methods supported by literature review. The study begins by explaining the Western epistemological orientation which produces four main aspects in Richard Rorty's pragmatism. Then Rorty's pragmatism and his ethics of solidarity are further used as alternative perspectives in discussing the topic of environmental ethics in order to find solutions or a way out of the discursive deadlock in the debate on fundamentalist environmental philosophy and to seek practical solutions that are relevant in the context of Indonesian society. In this case, the author uses the actions of the Pandawara Group to demonstrate the manifestation of the values of Richard Rorty's solidarity theory and at the same time to strengthen the author's conclusion that emphasizing practical aspects rooted in everyday human experience or concrete realities in certain contexts can be a more effective solution in increasing moral sensitivity to the suffering of others."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library