Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S6109
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Maria Estherlina Maskoen
Abstrak :
Sejak, 1949, menyusul berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC), di negri itu telah terjadi serentetan guncangan politik. Hal itu terutama terjadi setelah Mao Zedong melancarkan Gerakan Seratus Bunga pada tahun 1955. Akan tetapi dari sekian banyak guncangan politik yang terjadi di Cina itu, tidak ada yang menyamai kehebatan yang diakibatkan oleh Revolusi Kebudayaan {1966-1976). Gerakan yang nama resminya Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat atau Whuchanjieji Wenhuca Da Geming itu telah mengakibatkan dampak yang besar atas seluruh bangsa Cina mulai dari golongan elitenya sampai ke lapisan mayarakat yang paling bawah. Dalam gerakan tersebut, para pemuda Cina yang tergabung dalam Pengawal Merah (Hongwebing ) yang mendapat inspirasi dari pemikiran Mao (Mao Zedong Sixiang) mengganyang semua bentuk sistem para pemimpin dan golongan yang mendapat cap reaksioner. Seperti yang dikatakan di atas, Revolusi Kebudayaan juga mengakibatkan jatuhnya banyak pemimpin Cina, bahkan pada waktu itu berada di puncak kekuasaan, antara lain Presiden Liu Shaoqi. Namun, dari segelintir pemimpin yang berhasil lolos dari serangan pengawal Merah adalah Zhou Enlai yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri Cina. Feranan Zhou Enlai dalam Revolusi Kebudayaan tahun 1966 sampai dengan 1959 ini perlu saya tulis karena tokoh Zhou Enlai sepanjang hayatnya merupakan tokoh yang menarik dan sepanjang pengetahuan saya belum ada penulisan skripsi yang menelaah topik ini.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dinda Ning Kasih Abduh Putri
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang penerapan konsep kritik dan kritik-diri yang terjadi pada era Revolusi Kebudayaan RRT (1966-1976). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab apakah sebenarnya kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi yang terjadi di PKT menjelang Revolusi Kebudayaan. Melalui metode kualitatif deskriptif, penelitian dilakukan dengan memaparkan Pemikiran Mao serta kontradiksi antara kelompok Maois dan Liuis yang terjadi di era tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi tersebut meskipun penerapannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
The focus of this study is Criticism and Self-Criticism Concept Implementation in Chinese Cultural Revolution (1966-1976). The purpose of this study is to find the answer of whether criticism and self-criticism concept could truly solve the contradiction which was happened in Chinese Communist Party towards Chinese Cultural Revolution. Through descriptive qualitative method, this study explains Mao Zedong?s Thought and the contradiction between Maoist and Liuist which occured in that era. The result of this study shows that criticism and self-criticism concept could solve the contradiction, although the implementation was not executed as what it is meant to be.
2016
S62434
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ignatius Edhi Kharitas
Abstrak :
Setelah revolusi kebudayaan berakhir, di RRC muncul aliran puisi baru yang disebut menglongshi. Gu Cheng adalah salah satu pelopor aliran ini. Pendekatan stilistis-sastra digunakan untuk menganalisis lima belas puisi yang ditulis Gu Cheng pada tahun 1968 sampai 1980.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13026
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Armand Eugene Richir
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk nenggambarkan secara jelas peristiwa Revolusi Kebudayaan (1965-1969), yang menitik beratkan pada pertentangan antara Mao Zedong dan Liu Shaogi. Revolusi Kebudayaan adalah suatu revolusi untuk mentransformasikan pera_daban bangsa dan untuk merubah sikap manusia agar tercipta seorang manusia kolektif yang sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada perjuangan kelas, garismassa, dan pendekatan Maois menuju transformasi sosialis.Dalam perkembangan selanjutnya Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan oleh - Mao lebih merupakan suatu kekuatan untuk menghancurkan bangunan atas atau penguasa Partai yang mengambi] jalan kapitalis..Periode tahun 1965 merupakan periode pengkonsolidasian kediktatoran proletar.'Periode tahun 1966-1969 merupakan periode persaingan atau perebutan ke_kuasaan (power struggle) antara elit politik dan penguasa di Cina. Pada perio_de ini Mao mencari dukungan di luar Partai seperti Pengatral Merah, yaitu para pemuda-pemudi yang diorganisir menjadi kelompok yang bersifat militer dan mili_tan. Selain itu, Mao juga mengandalkan kekuatan Tentara Pembebasan Rekyat/TPR yang ditandai dengan pembentukan Komite Revolusioner. Kekuatan-kekuatan Pengawal Merah dan TPR digunakan Mao untuk membangun kembali supremasi otoritasnya dan memastikan keabadian ideologi serta pemikiran Mao yang mulai memudar pada awal Revolusi Kebudayaan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Revolusi Kebudayaan sesungguhnya dirancang oleh Mao untuk memurnikan gagasan ideologi dan menciptakan masyarakat sosialis berdasarkan pikiran-pikiran Mao. Namun, jalan yang ditempuh untuk men_capai tujuan itu secara tak terelakkan harus melalui perebutan kekuasaan...
1986
S12831
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
N. Ika M. Sukarno
Abstrak :
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas mengenai Lin Biao, menitikberatkan pada peranan Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan dan sepak terjangnya sesudah revolusi berakhir hingga ia meninggal dunia. Lin Biao adalah seorang panglima perang yang tangguh, di mana ia dikenal ahli dalam strategi peperangan. Titik awal karir Lin Biao dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Whampoa tahun 1926. Selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, Lin Biao selalu berada di belakang Mao. Pidato-pidato dan perkataan-perkataan Mao selalu ia dengungkan dalam setiap pertemuan massa. Dengan cara ini, ia menarik massa untuk turut serta dalam Revolusi Kebudayaan. Lin Biao juga merupakan orang yang menggerakkan Pengawal Merah. Setelah keadaan negara menjadi sangat kacau, Lin Biao menggunakan Tentara Pembebasan Rakyat yang berada di bawah pengaruhnya untuk mengamankan situasi. Hasilnya adalah kepercayaan Mao padanya bertambah dan Lin Biao diangkat secara resmi menjadi ahli waris dan penerus Mao. Setelah pengangkatan itu, Mao merasa pengaruh Lin Biao terlalu besar, sehingga ia merasa perlu menantangnya dengan maksud agar pengaruhnya berkurang. Di lain pihak, Lin Biao merasakan kekuatannya cukup kuat untuk dapat menggeser Mao. la dan kelompoknya menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk menggulingkan Mao. Rencana ini rupanya tercium oleh Mao, sehingga sebelum Lin Biao melaksanakan impiannya, Mao sudah terlebih dahulu memusnahkan Lin Biao pada tanggal 12 September 1971
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Leressae
Abstrak :
Sebagai salah satu bentuk kesusastraan, puisi mengalami masa-masa keemasan di Cina. Puisi samar atau Menglongshi merupakan salah satu jenis puisi di Cina yang sulit diinterpretasikan maknanya dan muncul pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Bei Dao adalah salah satu penyair yang menulis puisi samar berjudul “Xuanyan (Deklarasi)” pada masa itu. Revolusi kebudayaan membuat Bei Dao dan para penyair puisi samar lainnya tidak bebas berekspresi sehingga harus menggunakan berbagai simbol untuk menyembunyikan makna sebenarnya dalam puisi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna situasi zaman yang terkandung di dalam puisi “Xuanyan (Deklarasi)” karya Bei Dao melalui simbol-simbol yang dituangkan ke dalam puisi ini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis puisi “Xuanyan (Deklarasi)” dan melakukan interpretasi untuk mendapatkan makna simbolik dari puisi ini. Penelitian ini mendapati hasil bahwa puisi “Xuanyan (Deklarasi)” memiliki makna simbolik tentang kritik dan penolakan Bei Dao terhadap segala propaganda dalam Revolusi Kebudayaan.
......As a form of literature, poetry experienced golden times in China. Misty poetry or Menglongshi is a type of poetry in China that is difficult to interpret and emerged during the Cultural Revolution (1966-1976). Bei Dao was one of the poets who wrote the misty poem “Xuanyan (Declaration)” at that time. The cultural revolution made Bei Dao and other misty poets not free to express themselves, so they had to use various symbols to hide the true meaning in their poetry. This study aims to find out the meaning of the current situation contained in the poem "Xuanyan (Declaration)” by Bei Dao through the symbols that are poured into this poem. The research method used is descriptive qualitative, namely analyzing the poem "Xuanyan (Declaration)" and interpreting it to get the symbolic meaning of this poem. This study found that the poem "Xuanyan (Declaration)" has a symbolic meaning about Bei Dao's criticism and rejection of all propaganda in the Cultural Revolution.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Jasmine Kartika
Abstrak :
ABSTRAK
Revolusi Kebudayaan Cina 1966-1976 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Cina. Revolusi Kebudayaan adalah kebijakan yang dicetuskan oleh Mao Zedong ??? . Mao mencetuskan Revolusi Kebudayaan ini untuk menghilangkan pengaruh Kapitalis di Cina, Berdasarkan dinamika yang terjadi dalam peristiwa ini maka sering kali digunakan menjadi latar di berbagai film Cina. Salah satu film yang mengambil latar pada saat Revolusi Kebudayaan adalah film Sh?nzh?sh Zh? Li n Under The Hawthorn Tree . Film ini menceritakan kisah cinta seorang gadis bernama Zhang Jingqiu, dan pemuda bernama Sun Jianxin pada masa Revolusi Kebudayaan. Penelitian ini berusaha mencari korelasi apa saja aspek simbol dan kebijakan apa yang muncul sebagai cerminan Revolusi Kebudayaan. Selain itu bagaimanakah aspek-aspek tersebut mencerminkan Revolusi Kebudayaan dalam film.
ABSTRACT
The Chinese Cultural Revolution 1966-1976 was one of the most important events in Chinese history. The Cultural Revolution is a policy initiated by Mao Zedong ??? . Mao sparked this Cultural Revolution to eliminate the influence of Capitalists in China. Based on the dynamics of this event, it is often used as a backdrop for various Chinese films. One of the films that took place during the Cultural Revolution was the Sh?nzh?sh Zh? Li n Under The Hawthorn Tree film. The film tells the love story of a girl named Zhang Jingqiu, and a young man named Sun Jianxin during the Cultural Revolution. This research seeks to find out what correlation aspects of symbols and policies emerge as a reflection of the Cultural Revolution. In addition, how these aspects reflect the Cultural Revolution in the film.
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Wan Ghassani Nabila
Abstrak :
Film Under the Hawthorn Tree (山楂树之恋Sanzhashuzhi Lian) berkisah tentang hubungan cinta sepasang kekasih yang akrab dipanggil Jingqiu (Zhang Jingqiu) dan Lao San (Sun Jianxin). Film ini mengambil latar waktu pada masa Revolusi Kebudayaan. Jingqiu dan Lao San memiliki hubungan yang sangat unik, penuh keluguan, menjadikan pohon sanzha sebagai simbol cinta, yang semuanya terjalin pada saat Revolusi Budaya berlangsung. Sepanjang film tidak terlihat adanya campur tangan atau pengawasan Partai terhadap perjalanan kisah cinta mereka. Pengawasan dan keberatan terhadap hubungan mereka justru muncul dari pihak Ibu Jingqiu. Keberatan dari Ibu Jingqiu disebabkan oleh alasan-alasan politis dan kondisi keluarga mereka. Bagaimana kondisi keluarganya? Dan apa yang terjadi dengan hubungan cinta mereka dengan latar belakang keluarga masing-masing? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan melakukan pembedahan terhadap film melalui analisis tokoh dan penokohan serta analisis cerita dalam film. Melalui analisis ini diharapkan dapat mengungkapkan bagaimana keunikan kisah cinta antara kedua tokoh yang berbeda latar belakang di masa Revolusi Kebudayaan dalam film Cinta Under the Hawthorn Tree (山楂树之恋Sanzhashuzhi Lian).
`Under the Hawthorn Tree,` a movie that tells a romance story of Jingqiu (Zhang Jingqiu) and Lao San (Sun Jianxin). The tale of this two lovers set during the Chinese Cultural Revolution. Jingqiu and Lao San have a very unique relationship, ingenuous love, they both perceive shanzha tree as a symbol of love. Although their love tale in the movie shows that there is no interference to their relationship by the communist party, it's Jingqiu's mother that disapprove about their love between one another. Family background and politics reason are causing this objection from Jingqiu's mother. What is the background situation within their family? What happen with their love relationship with such family circumstances? To answer these questions, the author will examine the story through character and characterization analysis by also analyzing the story plot within the movie. Through this analysis, the author expects to reveal uniqueness of this romance between two different characters and two different background during the Cultural Revolution in the movie entitled Under the Hawthorn Tree (山楂树之恋Sanzhashuzhi Lian).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Meidiama Syarifah
Abstrak :
Under The Hawthorn Tree karya sutradara Zhang Yimou (张艺谋) adalah film bergenre romansa drama yang dirilis pada tahun 2010 dengan latar waktu zaman Revolusi Kebudayaan Cina (1966-1976). Film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama, karya Ai Mi yang diambil dari kisah nyata, yaitu cerita cinta teman Ai Mi pada masa Revolusi Kebudayaan Cina. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penyebab citra perempuan tangguh yang muncul film UTHT melalui penokohan Jing Qiu dan ibu Zhang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif analisis. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah citra perempuan tangguh yang terlihat pada dua tokoh perempuan, yaitu Jing Qiu dan Ibu Zhang berkaitan dengan latar waktu film, yaitu pada masa Revolusi Kebudayaan. Melalui analisis dari adegan termasuk juga dialognya, penelitian ini menemukan ketangguhan tokoh Ibu dan anak disebabkan karena hidup pada masa Revolusi Kebudayaan yang penuh dengan kebijakan sepihak dari partai kepada masyarakat Cina.
......Under The Hawthorn Tree is a 2010 romance drama film directed by Zhang Yimou (张艺谋) that takes place during the Chinese Cultural Revolution (1966-1976). The movie is adapted from the novel with the same title, by Ai Mi, which is taken from a true story of her friend during the Chinese Cultural Revolution. This study aims to reveal the causes of the image of a tough woman appearing in the UTHT film through the characterizations of Jing Qiu and Zhang's mother. The method used in this research is qualitative analysis. This study concludes that the image of a tough woman seen in the two female characters, Jing Qiu and Zhang Laoshi is related to the film's time setting, the Cultural Revolution period. Through analysis of the scenes, including the dialogues, this research finds the toughness of the mother and daughter characters was due to living during the Cultural Revolution which was full of unilateral from the party to people.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library