Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Rizky Hanif Perdana Puteranda
"Dalam platform media digital, khususnya Twitter, terdapat konten revenge porn. Pada media sosial Twitter terdapat banyak akun yang menyediakan layanan berupa kumpulan konten revenge porn yang dikomodifikasikan dengan sistem membership. Konten revenge porn dapat menjadi sebuah komoditas karena masyarakat masih terbiasa dengan objektifikasi perempuan di dalam dunia maya. Komodifikasi merupakan pemahaman bahwa segala hal yang mereduksi nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis dan kemudian membuat berbagai perbedaan menjadi sama yang seharusnya menjadi karakteristik kehidupan sehari-hari. Dari proses komodifikasi tersebut terdapat beberapa pihak yang mendapatkan social capital. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk menganalisa proses objektifikasi perempuan menjadi penyebab komodifikasi dari konten revenge porn dan juga bagaimana komodifikasi berpengaruh terhadap social capital dari pihak yang terkait dengan konten tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis komparatif yang membandingkan beberapa penelitian yang membahas topik serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dianggap sebagai objek yang memiliki nilai untuk diperjualbelikan lalu beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab melakukan komodifikasi lalu social capital, sang pelaku dan korban dalam revenge porn mengalami perbedaan perubahan kapital-nya dan bersifat berat sebelah atau dalam kata lain hanya bersifat positif bagi laki-laki saja.
Revenge porn has grown prevalent on Twitter. Realising the potential of a digital market, an exclusive band of users have found ways to collect and distribute ‘exclusive’ revenge porn, and eventually established a paid membership system for such content. A commodity of sorts. One in which women are objectified. This journal critically analyzes how women are commodified as revenge porn content, as well as how commodification affects the dynamics of social capital for those involved in the process of revenge porn distribution. This journal uses a comparative analysis of secondary sources that discuss similar topics, as well as an interview with past revenge porn victims. The research results confirm the perception that women are valuable ‘objects’, allowing them to be exploited and commodified, including in the form of digital images. As a further result, this perception tips social capital in favor of men."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Rizky Hanif Perdana Puteranda
"Dalam platform media digital, khususnya Twitter, terdapat konten revenge porn. Pada media sosial Twitter terdapat banyak akun yang menyediakan layanan berupa kumpulan konten revenge porn yang dikomodifikasikan dengan sistem membership. Konten revenge porn dapat menjadi sebuah komoditas karena masyarakat masih terbiasa dengan objektifikasi perempuan di dalam dunia maya. Komodifikasi merupakan pemahaman bahwa segala hal yang mereduksi nilai kemanusiaan menjadi nilai ekonomis dan kemudian membuat berbagai perbedaan menjadi sama yang seharusnya menjadi karakteristik kehidupan sehari-hari. Dari proses komodifikasi tersebut terdapat beberapa pihak yang mendapatkan social capital. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk menganalisa proses objektifikasi perempuan menjadi penyebab komodifikasi dari konten revenge porn dan juga bagaimana komodifikasi berpengaruh terhadap social capital dari pihak yang terkait dengan konten tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis komparatif yang membandingkan beberapa penelitian yang membahas topik serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dianggap sebagai objek yang memiliki nilai untuk diperjualbelikan lalu beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab melakukan komodifikasi lalu social capital, sang pelaku dan korban dalam revenge porn mengalami perbedaan perubahan kapital-nya dan bersifat berat sebelah atau dalam kata lain hanya bersifat positif bagi laki-laki saja.
Revenge porn has grown prevalent on Twitter. Realising the potential of a digital market, an exclusive band of users have found ways to collect and distribute ‘exclusive’ revenge porn, and eventually established a paid membership system for such content. A commodity of sorts. One in which women are objectified. This journal critically analyzes how women are commodified as revenge porn content, as well as how commodification affects the dynamics of social capital for those involved in the process of revenge porn distribution. This journal uses a comparative analysis of secondary sources that discuss similar topics, as well as an interview with past revenge porn victims. The research results confirm the perception that women are valuable ‘objects’, allowing them to be exploited and commodified, including in the form of digital images. As a further result, this perception tips social capital in favor of men."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Hajar Nafila Azzahra
"Revenge porn menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang menempatkan perempuan dalam tatanan sosial yang rendah karena perempuan dibuat tidak berdaya serta tidak kuasa untuk membela diri dan haknya. Penelitian ini menjelaskan revenge porn–penyebaran konten seksual berupa gambar atau video melalui platform online (mis. Facebook, Instagram) tanpa persetujuan yang dimotivasi oleh niat untuk menyakiti atau mempermalukan korban. Penelitian ini menjelaskan latar belakang pelaku melakukan revenge porn dengan menggunakan pendekatan kualitatif feminis melalui studi kasus terhadap 3 (tiga) pelaku revenge porn. Feminis radikal menjadi kerangka teori untuk melihat adanya niat pelaku berdasarkan hegemoni maskulinitas. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (i) adanya kontruksi maskulinitas dan femininitas yang membentuk gagasan pelaku melakukan revenge porn, (ii) adanya objektifikasi seksual yang menunjukan relasi kuasa pelaku, (iii) Revenge porn sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan berbasis siber, sehingga revenge porn tidak dapat dikatakan sekedar tindakan pornografi melain sudah merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang difasilitasi oleh internet (berbasis siber). Saran jangka pendek yang diajukan yaitu perubahan hukum yang berpihak pada perempuan serta memuat pasal khusus terkait kekerasan seksual berbasis siber.
This research explains revenge porn - sharing sexually explicit images or videos of a person without consent - based on the perspective of the perpetrator. Furthermore, this research attempts to explain more deeply the background of perpetrators of revenge porn by using a feminist qualitative approach through a case study of 3 (three) revenge porn actors. This study uses a radical feminist theory to see the intentions of perpetrators based on hegemonic masculinity. The result of this research shows that (i) there is a construction of masculinity and femininity that forms the idea of perpetrators doing revenge porn, (ii) the existence sexual objectification which shows the power relations of perpetrators, (iii) revenge porn as a form of sexual violence against women based on cyber, so that revenge porn cannot be said to be merely an act of pornography but is already a form of sexual violence against women facilitated by the internet (cyber-based). This research suggest the change of law that stands for women and contains specific articles related to cyber-based sexual violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Iftah Putri Nurdiani
"Penyebarluasan gambar seksual secara non-konsensual merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi dalam era digital ini. Masyarakat yang patriarkal mendorong adanya ketimpangan kekuasaan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, hal ini lah yang kemudian melanggengkan praktik penyebarluasan terus terjadi. Selama ini, konsep revenge porn digunakan untuk melihat dan menjelaskan fenomena ini dalam masyarakat, padahal konsep tersebut banyak menuai perdebatan karena tidak peka dan insensitif terhadap korban. Penulisan ini bertujuan ingin melihat bagaimana praktik penyebarluasan gambar seksual secara non konsensual dijelaskan sebagai sebuah bentuk Image-Based Sexual Abuse (IBSA) atau kekerasan seksual berbasis gambar. Melalui analisis dengan sudut pandang feminisme radikal dan juga analisa berdasar definisi IBSA dan kerugiannya oleh McGlynn dan Rackley, ditemukan bahwa penyebarluasan gambar seksual secara non-konsensual adalah sebuah kejahatan seksual berbasis gambar (IBSA) yang merugikan perempuan dan sangat berkaitan dengan adanya dominasi serta kontrol laki-laki terhadap perempuan dan tubuhnya.
The non-consensual dissemination of sexual images is one of the most common phenomena in this digital era. A patriarchal society encourages inequality of power and male domination of women. Hence the practice of dissemination continues up until now. The concept of revenge porn has been used to explain and understand the phenomena despite its insensitivity to the victims. This writing aims to see how non-consensual dissemination of sexual abuse as a form of Image-Based Sexual Abuse (IBSA). Through the analysis using radical feminism perspective and definition of IBSA by McGlynn and Rackley, the data findings show that the non-consensual dissemination of sexual images is a form of Image-Based Sexual Abuse (IBSA) that harms women and is closely related to male domination and control towards women."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Theofani Febriyanti Charista
"Media sosial berpeluang menjadi medium terjadinya Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), seperti revenge porn yang tidak terlepas dari objektifikasi dan komodifikasi seksual serta dominasi dan kontrol laki-laki atas perempuan dan tubuhnya sesuai dengan perspektif feminis radikal. Tulisan ini menggunakan metode analisis konten kualitatif untuk menilai reaksi yang ditimbulkan para pengguna Twitter terhadap uraian kasus revenge porn yang dialami oleh korban melalui bot Anonymous Chat di Telegram. Sebanyak 41.6% warganet memberikan dukungan pada korban, sementara 58.4% warganet memberikan opini yang mengarah pada viktimisasi sekunder dan akan dikategorikan ke dalam lima skala viktimisasi sekunder, yakni minimization of the victim’s suffering, avoidance of the victim, blaming the victim, attractiveness of the victim, dan derogation of the victim.
Social media has the opportunity to become a medium for Gender-Based Cyber Violence (GBCV), such as revenge porn which cannot be separated from sexual objectification and commodification, as well as men’s domination and control over women and their bodies by a radical feminist perspective. This article uses a qualitative content analysis method to assess the reactions caused by Twitter users to the description of the revenge porn case experienced by the victim via the Anonymous Chat bot on Telegram. As many as 41.6% of netizens provide support for victims. In comparison, 58.4% of netizens who provide opinions that lead to secondary victimization will be categorized into five scales of secondary victimization, namely minimization of the victim’s suffering, avoidance of the victim, blaming the victim, the attractiveness of the victim, and derogation of the victim."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library