Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasibuan, Helario
Abstrak :
Abstrak Tujuan : Untuk mengetahui aktifitas enzim ALDH didalam darah penderita DM dengan retinopati dengan penderita DM tanpa retinopati diabetik. Metoda : Sampel darah dari enam puluh subjek penelitian, yang terdiri dari 40 penderita NIDDM dan 20 orang kelompok kontrol, dinilai aktifitas enzim ALDHnya dan diperbandingkan terhadap penderita dengan retinopati tanpa retinopati maupun kontrol. Hasil: Aktifitas enzim ALDH secara statistik berbeda bermakna pada penderita DM tanpa retinopati, dengan retinopati dan kelompok kontrol.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T15476
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranee Devina Rusli Putri
Abstrak :
Diabetes melitus (DM) dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya diabetik retinopati yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Salah satu pengobatan yang dilakukan terhadap penyakit ini ialah injeksi intravitreal senyawa kortikosteroid yang umumnya hanya bertahan hingga 3 bulan. Injeksi yang cukup sering dapat meningkatkan resiko katarak, pseudo-endophtalmitis dan meningkatkan tekanan intraokular. Sehingga dibutuhkan sistem pelepasan terkendali agar obat dapat memberikan efek terapeutik lebih lama setidaknya hingga 6 bulan. Sistem enkapsulasi senyawa aktif deksametason menggunakan polimer PolyLactic Co-Glycolic Acid (PLGA) 90:10 dengan penambahan surfaktan kationik Dioctadecyldimethylammonium Bromide diharapkan dapat meningkatkan lama tinggalnya obat. Penambahan surfaktan pada nanopartikel dilakukan dengan dua metode. Dalam penelitian ini diperoleh efisiensi enkapsulasi dan pemuatan obat partikel PLGA-PVA-DDAB sebesar 13.47% dan 3.26%, sementara PLGA-DDAB-PVA sebesar 11.54% dan 2.74%. Morfologi partikel sferis dan tidak beragregat. Ukuran partikel yang dihasilkan ialah PLGA-PVA = 2151.2 11.8 nm, PLGA-PVA-DDAB = 1308.2 59.5 nm, PLGA-DDAB = 626.9 nm, dan PLGA-DDAB-PVA = 547.4 87.02 nm. Muatan permukaan partikel ialah PLGA-PVA = -27.7 mV, PLGA-PVA-DDAB = -22.6 mV, PLGA-DDAB = +22.5 mV, dan PLGA-DDAB-PVA = -15.4 mV. ......Diabetes melitus (DM) can leads to various of complications, one of those is diabetic retinopathy, the main cause of blindness in adults. The latest common treatment for this disease is corticosteroids intravitreal injection that is generally lasted for only three months. High frequency of injection could increase the risk of cataract, pseudo-endophthalmitis and increasing intraocular pressure. Thus, a controlled release drug system is needed to obtain drug that give a longer therapeutic effect, at least for six months. Encapsulation of dexamethasone using PolyLactic Co-Glycolic Acid (PLGA) 90:10 with addition of Dioctadecyldimethylammonium Bromide as the cationic surfactant is expected to prolong drugs retention time. There are two methods used for addition of cationic surfactant. In this research, we obtained that the encapsulation efficiency and loading capacity of PLGA-PVA-DDAB particles are 13.47% and 3.26%, meanwhile PLGA-DDAB-PVA particles are 11.54% dan 2.74%. The particles? morphology are spheres without aggregation. Particles size are PLGA-PVA = 2151.2 11.8 nm, PLGA-PVA-DDAB = 1308.2 59.5 nm, PLGA-DDAB = 626.9 nm, and PLGA-DDAB-PVA = 547.4 87.02 nm. Surface charge of particles are PLGA-PVA = -27.7 mV, PLGA-PVA-DDAB = -22.6 mV, PLGA-DDAB = +22.5 mV, and PLGA-DDAB-PVA = -15.4 mV.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bijak Rabbani
Abstrak :
Diabetik retinopati adalah komplikasi dari penyakit diabetes yang dapat mengakibatkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan. Penyakit ini menjadi tidak dapat disembuhkan jika telah melewati fase tertentu, sehingga diagnosa sedini mungkin menjadi sangat penting. Namun, diagnosa oleh dokter mata memerlukan biaya dan waktu yang cukup besar. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi kerja dokter mata dengan bantuan komputer. Deep learning merupakan sebuah metode yang banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satu arsitektur deep learning yang memiliki performa terbaik adalah residual network. Metode ini memiliki kelebihan dalam menghindari masalah degradasi akurasi, sehingga memungkinkan penggunaan jaringan yang dalam. Di sisi lain, metode persistent homology juga telah banyak berkembang dan diaplikasikan pada berbagai masalah. Metode ini berfokus pada informasi topologi yang terdapat pada data. Informasi topologi ini berbeda dengan representasi data yang didapatkan dari model residual network. Penelitian ini melakukan analisis terhadap penerapan persistent homology pada kerangka kerja residual network dalam permasalahan klasifikasi diabetik retinopati. Dalam studi ini, dilakukan eksperimen berkaitan dengan informasi topologi dan proses pengolahannya. Informasi topologi ini direpresentasikan dengan betti curve atau persistence image. Sementara itu, pada proses pengolahannya dilakukan ujicoba pada kanal citra, metode normalisasi, dan layer tambahan. Hasil eksperimen yang telah dilakukan adalah penerapan persistent homology pada kerangka kerja residual network dapat meningkatkan hasil klasifikasi penyakit diabetik retinopati. Selain itu, penggunaan betti curve dari kanal merah sebuah citra sebagai representasi informasi topologi memberikan hasil terbaik dengan skor kappa 0.829 pada data test. ......Diabetic retinopathy is a complication of diabetes which can result in visual disturbance and even blindness. This disease becomes incurable after reaching certain phases, thus immidiate diagnosis is highly important. However, diagnosis by a professional ophthalmologist requires a great amount of time and cost. Therefore, efforts to increase the work efficiency of ophthalmologists using computer system has been done. Deep learning is a method that widely used to solve this particular problem. Residual network is one of deep learning architecture which has the best performance. The main advantage of residual network is its ability to prevent accuracy degradation, thus enabling the model to go deeper. On the other hand, persistent homology is also rapidly developing and applied in various fields. This method focus on the topological information of the data. This information are different with the data representation that extracted by neural network model. This study analyze the incorporation of persistent homology to residual networks framework for diabetic retinopati classification. In this study, experiments regarding about topological information and its process were carried out. The topological information is represented as betti curve or persistence image. Meanwhile, the experiments are analyzing the impact of image colour channel, normalization method, and additional layer. According to the experiments, application of persistent homology on residual network framework could improve the outcome of diabetic retinopathy classification. Moreover, the application of betti curve from the red channel as a representation of topological information has the best outcome with kappa score of 0.829.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellia Ambarningrum
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan Gangguan Kognitif dengan Kelainan Mikrovaskular Retina dan Otak pada Penyandang HipertensiMellia Ambarningrum , Diatri nari Lastri , Eva Dewati , Jacub Pandelaki , Joedo Prihartono Departemen Neurologi, FKUI-RSCM, Jakarta Departemen Radiologi, FKUI-RSCM, Jakarta Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI, Jakartamelliaambarningrum@yahoo.com AbstrakLatar Belakang : Hipertensi merupakan penyakit sistemik yang berisiko terkena aterosklerosis dan mengakibatkan kerusakan multi organ. Serebral small vessel disease SVD dan retinopati merupakan sebagian komplikasi mikrovaskular dari hipertensi. Manifestasi klinis tersering dari serebral SVD adalah infark lakunar dan penurunan fungsi kognitif. Struktur mikrovaskular retina dan otak secara embriologis memiliki pola vaskularisasi, morfologi dan fungsional yang sama. sehingga pembuluh darah retinadapat dianggap sebagai cerminan dari vaskulatur otak. Oleh karena itu perlu diketahui adakah hubungan antara gangguan kognitif dengan retinopati dan serebral SVD pada penyandang hipertensi.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang terhadap 39 subyek penyandang hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek berusia antara 23-65 tahun yang berobat rawat jalan ke poli ginjal hipertensi dan poli saraf RSUP Cipto Mangunkusumo antara bulan September-November 2016. Subyek kemudian dilakukan pemeriksaan funduskopi, foto retina, neuropsikologi dan pencitraan otak tanpa kontras.Hasil : Ranah kognitif yang paling sering terganggu pada penyandang hipertensi dengan serebral SVD adalah memori, psikomotor, bahasa, visuospasial, fungsi eksekutif dan atensi. Sebanyak 43 subyek memiliki penyempitan arteriol dan 48,7 subyek dengan lesi white matter. Tidak terdapat perbedaan antara subyek yang mengalami serebral SVD dengan gangguan kognitif p=1,000; R:0,324 , retinopati dengan serebral SVD p=1,000; R:0,235 dan retinopati dengan gangguan kognitif p=0,727; R:0,424 .Kesimpulan : Terdapat hubungan yang lemah antara gangguan kognitif dengan retinopati dan serebral SVD pada penyandang hipertensi.
ABSTRACT
The Association between Cognitive Impairment with Retinal and Cerebral Microvascular Abnormalities in Hypertensive PatientsMellia Ambarningrum , Diatri Nari Lastri , Eva Dewati , Jacub Pandelaki , Joedo Prihartono Neurology Department, FKUI RSCM, Jakarta Radiology Department, FKUI RSCM, Jakarta Community Medicine Department, FKUI, JakartaAbstractBackground Hypertension is a systemic disease in which patients are prone to multi organ diseases and atherosclerosis. Cerebral small vessel disease SVD and retinopathies make up part of the microvascular complications of hypertension. The most common clinical manifestations of cerebral SVD is a cognitive decline due to a lacunar infarct. The microvasculature of the brain and the retina is an analog to brain 39 s. We aim to observe if there a significant association between cognitive decline and retinopathy with cerebral SVD in hypertensive patients.Method This cross sectional study analysed a population of 39 chronic hypertensive patients which met our inclusion criteria. Subjects were aged bertween 23 65 years old, and visited the Renal Hypertension Clinic at RSUP Cipto Mangunkusumo between September and November 2016. we performed on each patient a funduscopy, a retinal photograph, a neuropsychological assessment and a non contrast brain imaging.Results The most common neurological deficits in our population with cerebral SVD were memory, psychomotoric, language, visuospatial, executive function and attention deficits. 43 of our subjects had some degree of arterial occlusion, and we observed white matter lesions WML in 48,7 of our patients. We did not find any differences between subjects who had cerebral SVD with cognitive impairment p 1,000 R 0,324 , retinopathy with cerebral SVD p 1,000 R 0,235 and retinopathy with cognitive impairment p 0,727 R 0,424 .Conclusion There is a weak association between cognitive impairment with retinopathy and cerebral SVD in chronic hypertensive patients.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amnia Salma
Abstrak :
Retinopati Diabetik (RD) merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan pada mata, bahkan dapat menyebabkan kebutaan jika penanganan yang dilakukan tidak tepat. Upaya penanganan penyakit RD dapat dilakukan dengan deteksi dini. Melalui pendeteksian dini, pasien RD dapat diobati sesuai dengan tingkat keparahan yang diderita. Namun, pemeriksaan penyakit RD membutuhkan waktu yang lama dan hanya dapat dilakukan oleh profesional. Para peneliti telah mengembangkan sistem deteksi pengklasifikasian penyakit RD yang dengan memanfaatkan perkembangan teknologi seperti penerapan Artifficial Intelligence (AI) pada gambar fundus. Dalam penelitian ini, peneliti mengaplikasikan Attention Mechanism (AM) pada Convolutional Neural Network (CNN) untuk selanjutnya menganalisis dan mengevaluasi hasil dari kinerja algoritma tersebut dalam mengklasifikasikan RD ke dalam level normal, mild, moderate, severe dan PDR. AM berfokus pada daerah yang berpenyakit dan CNN digunakan untuk proses klasifikasi. Arsitektur CNN yang digunakan adalah AlexNet dan GoogleNet. Phyton digunakan sebagai bahasa pemrograman dengan perpustakaan Pytorch. Hasil performa akurasi yang paling tinggi diperoleh oleh GoogleNet dan AM dengan capaian akurasi mencapai 85%. Performa model pada tiap-tiap kelas menunjukkan nilai akurasi terbaik pada kelas normal, severe, dan PDR dengan capaian nilai f-1 score masing-masing 86%, 90% dan 95%. Sementara untuk kedua kelas lainnya yaitu mild dan moderate cenderung lebih rendah, yaitu 73% dan 76%. Hal ini menunjukkan bahwa model mampu mengklasifikasikan kelas normal, Severe, dan PDR lebih baik daripada mild dan moderate. ......Diabetic retinopathy (DR) is a disease that can cause decreased vision function in the eye, and can even lead to blindness. Efforts to treat DR disease can be done with early detection. Through early detection, DR patients can be treated according to their severity. However, DR disease examination takes a long time and can only be done by a professional. Researchers have developed a detection system for classifying DR disease by technological developments such as the application of Artifficial Intelligence to fundus images. In this study, the researchers applied the Attention Mechanism (AM) to CNN to further analyze and evaluate the results of the algorithm's performance in classifying RD into normal, mild, moderate, severe and PDR levels. AM focused on pathological area in the fundus images and CNN is used as classifier. We used Architecture of CNN such AlexNet and GoogleNet. The results of the highest accuracy performance were obtained by GoogleNet and AM with the achievement of 85%. The performance of the model in each class shows the best accuracy values in the normal, severe, and PDR classes with the achievement of f-1 scores of 86%, 90% and 95%, respectively. Meanwhile, the other two classes, namely mild and moderate, tended to be lower, namely 73% and 76%. This shows that the model is able to classify normal, severe, and PDR classes better than mild and moderate.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitalisa Andayani
Abstrak :
Retinopati diabetik (DR) merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus (DM). Fenofibrat oral dapat mencegah progresivitas DR dengan mekanisme pengaturan kadar lipid lipid-related dan mekanisme lain nonlipid-related, antara lain dengan mencegah disfungsi endotel, mengurangi inflamasi, dan angiogenesis. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek fenofibrat oral terhadap ketebalan makula sentral (CMT) dan volume makula, serta pengaruhnya pada kadar penanda biologis serum disfungsi endotel eNOS, inflamasi (VCAM-1), dan angiogenesis (VEGF) pada penyandang DR dengan dislipidemia. Penelitian prospektif ini menggunakan disain uji klinis acak tersamar ganda dengan membagi subjek menjadi kelompok intervensi simvastatin dan fenofibrat dan kontrol simvastatin dan plasebo. Penelitian berlangsung sejak Nopember 2016 hingga Oktober 2017, di Klinik Vitreo-retina, Departemen Medik Mata ndash;RSCM Kirana, melibatkan 60 mata dari 30 pasien penyandang DR non-proliferatif NPDR dengan dislipidemia. Penelitian pada tiap subjek dilakukan selama tiga bulan dengan evaluasi klinis, foto fundus, dan spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT) makula tiap bulan. Pengukuran kadar eNOS, VCAM-1, dan VEGF, serta HbA1c dan profil lipid dilakukan sebelum dan setelah tiga bulan pengobatan.Sebelum intervensi, pada kedua kelompok tidak didapatkan perbedaan karakteristik demografik, klinik, dan penanda biologis serum. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada CMT kelompok simvastatin fenofibrat 248,0 40,4 m dibandingkan kelompok simvastatin plasebo 265,8 40,8 m, namun CMT lebih rendah secara bermakna pada bulan ke-1 pada kelompok simvastatin fenofibrat. Pada subjek dengan edema makula diabetik DME pemberian simvastatin fenofibrat setelah tiga bulan menunjukkan CMT lebih rendah secara bermakna. Volume makula setelah tiga bulan pemberian obat 10086 886,4 m3 pada kelompok simvastatin fenofibrat dan 10307 1058,6 m3 pada simvastatin plasebo. Perbedaan tersebut tidak bermakna, namun pada subjek dengan regulasi glukosa darah yang baik HbA1c 7 didapatkan volume makula lebih rendah pada bulan ke-2. Kadar penanda biologis serum setelah tiga bulan pemberian obat menunjukkan rerata kadar eNOS dan median VEGF sebesar 3878,8 873,33 pg/mL dan 242,8 86 - 1123,3 pg/mL pada kelompok simvastatin fenofibrat, dibandingkan 4031,2 742,56 pg/mL dan 370 134,8 - 810,6 pg/mL pada kelompok simvastatin plasebo, yang tidak berbeda bermakna, namun penurunan kadar VCAM-1 serum lebih besar secara bermakna pada kelompok simvastatin fenofibrat 50,7 pg/mL, 32,5 - 223,4 pg/mL vs. 40,4 pg/mL, 27,9 - 94,2 pg/mL . Pada subjek dengan kontrol glukosa darah ketat HbA1c 6,5 kadar VEGF 128,7 114,5 - 145,2 pg/mL, lebih rendah secara bermakna dibandingkan 423 86 - 1233,3 pg/mL pada subjek dengan HbA1c > 6,5 .Disimpulkan pemberian simvastatin fenofibrat selama tiga bulan pada subjek DR dengan dislipidemia secara umum tidak menurunkan CMT dan volume makula, namun menurunkan CMT khusus pada subjek DR dengan DME. Pemberian simvastatin fenofibrat pada subjek DR tidak mencegah penurunan kadar eNOS, peningkatan kadar VCAM-1 dan VEGF, namun pengendalian gula darah yang baik dapat mencegah peningkatan kadar VEGF. Simvastatin fenofibrat dapat dipertimbangkan sebagai terapi ajuvan pada penyandang DR dengan DME yang disertai dislipidemia. Pengontrolan glukosa yang baik merupakan manajemen utama pada DR.
Diabetic retinopathy (DR) is a microvascular complication of diabetes mellitus (DM) due to structural and biochemical changes. Previous studies showed that oral fenofibrate prevents DR progression through lipid-regulating and nonlipid-related mechanisms, including preventing endothelial dysfunction, reducing inflammation and angiogenesis. This study aims to investigate the effects of oral fenofibrate on central macular thickness CMT and macular volume, and on specific biomarkers of endothelial dysfunction eNOS, inflammation VCAM-1 , and angiogenesis VEGF in DR individuals with dyslipidemia. This is a prospective, double-blind randomized clinical trial, with subjects divided into intervention group simvastatin fenofibrate and control group simvastatin placebo. This study was conducted from November 2016 to October 2017 at the Vitreo-retina Clinic, Department of Ophthalmology ndash; RSCM Kirana, involving 60 eyes from 30 non-proliferative DR patients NPDR with dyslipidemia that met inclusion criteria. Each subject was observed for three months, with monthly clinical evaluation, fundus photo, and macular spectral domain optical coherence tomography SD-OCT . Serum eNOS, VCAM-1, and VEGF biomarkers, as well as HbA1c and lipid profile, were examined before and after intervention.Before intervention, there were no differences in demographic and clinical characteristics, and serum biomarker levels between two groups. After three months of treatment, there was no significant difference between CMT in the intervention group and the control group 248 40.4 ? m vs. 265.8 40.8 ? m , but a significantly lower CMT was observed in the intervention group at the first month. There was also a significantly lower CMT compared to the control group 294 39,2 vs 263 24,4, p=0,045 in eyes with diabetic macular edema DME . Macular volume after three-month treatment was 10086 886.4 ? m3 in the intervention group and 10307 1058.6 ? m3 in the control group, this difference was not significant. However, in all subjects with good blood glucose regulation HbA1c 7 , macular volume in the second month was significantly lower compared to subjects with HbA1c > 7 . Serum biologic marker levels after three-month treatment showed no significant difference between control and intervention group, respectively, in mean eNOS 3878.8 873.33 pg/mL vs 4031.2 742.56 pg/mL and median VEGF levels 242.8 86 - 1123.3 pg/mL vs 370 134.8 - 810.6 pg/mL . Nonetheless, the decrease in VCAM-1 level was significantly higher in the intervention group 50.7 pg/mL, 32.5 - 223.4 pg/mL vs. 40.4 pg/mL, 27.9 - 94.2 pg/mL . In subjects with tighter blood glucose control HbA1c 6.5 , serum VEGF level was 128.7 114.5 - 145.2 pg/mL, which was significantly lower compared to 423 86 - 1233.3 pg/mL in subjects with HbA1c > 6.5 .In conclusion, three-month treatment with simvastatin fenofibrate does not reduce CMT and macular volume in overall DR subjects with dyslipidemia, but it reduces CMT in subjects with DME. Simvastatin fenofibrate treatment in DR subjects does not prevent lowering of serum eNOS levels, elevation of VCAM-1 levels, and elevation of VEGF levels, but tight blood sugar control prevents elevation of serum VEGF. Although good glucose control remains the most essential in the management of DR, simvastatin fenofibrate may be considered as adjuvant therapy for DR with dyslipidemia and DME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Safiera
Abstrak :
ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronis. Jumlah penderita DM di Indonesia meningkat dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2013. Jika tidak diobati, diabetes dapat menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya retinopati diabetik. Pengobatan retinopati diabetik membutuhkan sistem penghantaran obat ke bagian posterior dari mata. Sistem enkapsulasi obat dengan menggunakan polimer Poly Lactic Acid (PLA) dapat memberikan waktu pelepasan obat di rongga intravitreal yang lebih lama. Pembuatan obat untuk pengobatan retinopati diabetik mengharuskan polimer memiliki ukuran sebesar 200 nm. Ukuran ini bertujuan agar dapat menembus jaringan kapiler terkecil dan tersempit pembuluh darah pada retina yang disebabkan ukurannya yang sangat kecil. Ukuran nanopartikel PLA memiliki beberapa faktor dalam pembuatannya, salah satunya adalah kecepatan high speed homogenizer. Peningkatan kecepatan high speed homogenizer diketahui dapat menurunkan ukuran partikel melalui pengaruh energi dan shear stress yang diberikan kepada emulsi. Untuk mengetahui morfologi dan ukuran yang dihasilkan, digunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dan Particle Size Analyzer (PSA). Melalui penelitian didapatkan kecepatan high speed homogenizer sebesar 10000 rpm menghasilkan nanopartikel PLA dengan ukuran partikel rata-rata 190,4 nm yang memenuhi target ukuran untuk pelepasan obat terkendali di retina penderita retinopati diabetik.
ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder marked with chronic hyperglycemia. Patients diagnosed with DM in Indonesia increased from 1.1% in 2017 to 2.1% in 2013. If left untreated, diabetes may cause several complications, such as diabetic retinopathy (DR). The treatment needs a drug delivery system to the posterior region of the eye. Drug encapsulation system using Poly Lactic Acid (PLA) is expected to provide longer release period in intravitreal chamber. Making a remedy for DR treatment requires polymer having size 200 nm. This size aims so it can penetrate the smallest and narrowest tissue capillary of blood vessels on retina caused of the size is very small. PLA nanoparticle size has several factors, including the speed of high speed homogenizer (HSH). Increasing speed of HSH is known can reduce particle size through the influence of energy and shear stress given to the emulsion. To observe the morphology and measure the particle size, Scanning Electron Microscope and Particle Size Analyzer is used. It is obtained the speed of the high speed homogenizer at 10000 rpm to produce PLA nanoparticle with a mean particle size 190,4 nm that fulfill target of size for controlled drug release in retina of DR patient
2016
S63718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ressa Yuneta
Abstrak :
"ABSTRAK
" Tujuan: menilai kadar Hypoxia-inducible Factor-1? HIF-1? dan Intercellular Adhesion Molecule-1 ICAM-1 vitreus pada retinopati diabetik proliferatif yang diberikan bevacizumab intravitreal, serta hubungan keduanya terhadap ketebalan makula sentral previtrektomi.Metode: tiga puluh dua mata dirandomisasi menjadi 2 kelompok, yaitu yang mendapatkan suntikan bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi dan kelompok kontrol langsung dilakukan vitrektomi . Penghitungan kadar HIF-1? dan ICAM-1 dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay ELISA . Ketebalan makula sentral diukur saat awal, previtrektomi, serta 2, 4, dan 12 minggu pascavitrektomi dengan menggunakan Stratus OCT.Hasil: rerata kadar HIF-1? vitreus dalam ng/mg protein pada kelompok kontrol dan bevacizumab intravitreal masing-masing 0,020 0,006;0,077 dan 0,029 0,016;0,21 . Kadar ICAM-1 vitreus dalam ng/mL adalah 20,10 3,41;40,16 dan 23,33 0,63;68,5 . Rerata kadar HIF-1? dan ICAM-1 vitreus didapatkan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.Simpulan: bevacizumab intravitreal 1-2 minggu previtrektomi belum dapat membuat kadar HIF-1? lebih rendah daripada kelompok kontrol. Kadar ICAM-1 kelompok bevacizumab didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara ketebalan makula sentral previtrektomi terhadap kadar HIF-1? dan ICAM-1.Kata kunci: retinopati diabetic proliferatif, HIF-1?, ICAM-1, bevacizumab "
" "ABSTRACT
"Purpose to assess the levels of Hypoxia inducible factor 1 HIF 1 and intercellular adhesion molecule 1 ICAM 1 in vitreous of proliferative diabetic retinopathy patients which were given intravitreal bevacizumab IVB , as well as its relation to the central macular thickness CMT measured prior to vitrectomy.Method this was post test only randomized clinical trial open label, in which thirty two eyes were randomized into two groups, one that received an IVB injection at 1 2 weeks previtrectomy and the control group. Measurement of HIF 1 and ICAM 1 was conducted using enzyme linked immunosorbent assay ELISA . The CMT were measured at the initial visit, prior to vitrectomy, and at follow up time 2, 4, and 12 weeks postoperative using Stratus OCT.Result The mean levels of HIF 1 vitreous ng mg protein in the control group and IVB respectively 0.020 0.006 0.077 and 0.029 0.016 0.21 . Vitreous levels of ICAM 1 ng mL in control group and IVB group were 20.10 3.41 40.16 and 23.33 0.63 68.5 . The mean levels of HIF 1 and ICAM 1 vitreous obtained did not differ significantly between the two groups.Conclusion Intravitreal bevacizumab 1 2 weeks prior to vitrectomy was not enough to make the levels of HIF 1 lower in IVB group. Median of ICAM 1 level in IVB group was higher than control group. There were no correlation between CMT with HIF 1 and ICAM 1 levels.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Farikha
Abstrak :
Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh suplementasi pycnogenol 150 mg perhari selama 8 minggu terhadap amplitudo dan waktu implisit pada gelombang b dan oscillatory potential (OP) ERG skotopik retinopati diabetik nonproliferatif ringan dan sedang. Metode: Uji klinik acak tersamar. Empat puluh subjek dengan retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang diacak dan dibagi menjadi dua kelompok, 20 subjek mendapat pycnogenol, 20 subjek mendapat pycnogenol. Pengukuran objektif dilakukan sebelum pemberian suplementasi dan 8 minggu setelahnya, yang meliputi amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP . Hasil: Pada kelompok pycnogenol sebelum perlakuan, amp gel.b 397,9±109,6μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 193,05 (15,2-498,9) μV dan waktu implisit sum OP 126,18± 7,8ms. Setelah 8 minggu pada kelompok pycnogenol, amp gel.b 396,2±115,7 μV, waktu implisit gel.b 47,8 (43,4-58,4)ms, amp sum OP 228,45 (16,3-511,8) μV dan waktu implisit sum OP 126,2 (118,2-137) ms. Pada kelompok plasebo sebelum intervensi, amp gel.b 349± 79 μV, waktu implisit gel.b 48,7 (44,3-68,2) ms, amp sum OP 101,45 (28,3-301,2) μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Setelah 8 minggu pada kelompok plasebo, amp gel.b 334,65±70,3 μV, waktu implisit gel.b 49,15 (44,3 -68,2) ms, amp sum OP 124,9 (51,3-303,8)μV dan waktu implisit sum OP 130 (121,6-163,5) ms. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada semua keluaran. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter amplitudo gel.b, waktu implisit gel.b, amplitudo sum OP, waktu implisit sum OP dari pemberian pycnogenol 150 mg sehari selama 8 minggu pada retinopati diabetik nonproliferatif ringan sedang.
Objective: This study is to evaluate the effect of eight weeks supplementation of 150 mg pycnogenol, to b-wave amplitude, b-wave implicit time, sum Oscillatory Potential (OP) amplitude and sum Oscillatory Potential (OP) implicit time on Electroretinography (ERG) result of mild - moderate nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) patient, compared to plasebo. Methods: Randomized clinical trial of 40 mild - moderate NPDR patients, which further equally divided into two groups. The b-wave amplitude (amp), b-wave implicite time (it), sum OP amplitude (amp), sum OP implicit time (it) ERG were evaluated before and after eight weeks pycnogenol supplementation Results:The ERG results of pycnogenol group before intervention were as follows: b wave amp 397,9±109,6μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 193,05 (15,2-498,9) μV and sum OP it 126,18± 7,8ms. After 8 weeks in pycnogenol group, b wave amp 396,2±115,7 μV, b wave it 47,8 (43,4-58,4)ms, sum OP amp 228,45 (16,3-511,8) μV and sum OP it 126,2 (118,2-137) ms. Meanwhile in placebo group before intervention, the b wave amp was 349± 79 μV, b-wave it 48,7 (44,3-68,2) ms, sum OP amp 101,45 (28,3-301,2) μV and sum OP it 130,8±8,4 ms. After 8 weeks in placebo group, b wave amp 334,65±70,3 μV, b-wave it 49,15 (44,3 -68,2) ms, sum OP amp 124,9 (51,3-303,8)μV and sum OP it 130 (121,6-163,5) ms. No statistical significant differences in all outcome Conclusions: No significant differences in b-wave amplitude, b-wave implicite time, sum OP amplitude and sum OP implicit time ERG after 150 mg pycnogenol supplementation for 8 weeks in mild-moderate NPDR compare with placebo.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desti Fitriati
Abstrak :
Penelitian ini melakukan klasifikasi stadium penyakit Diabetik Retinopati (DR) menjadi 2 hirarki, yaitu Global dan Lokal. Hirarki Global hanya terdiri dari normal (0) dan abnormal (1). Sedangkan klasifikasi lokal terdiri dari 4 kategori yaitu kategori normal (R0), early NPDR (R1), advanced NPDR (R3), dan PDR (R4). Kategori early NPDR adalah stadium mild NPDR, sedangkan advanced NPDR adalah gabungan dari moderate dan severe NPDR. Secara umum penelitian ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat adanya kemiripan citra per kenaikan stadium yang tidak bisa dinilai secara kasat mata. Sehingga membutuhkan sebuah penanganan dimana citra retina dapat digolongkan ke dalam kategori yang tepat. Berdasarkan masalah tersebut, dilakukan 2 mekanisme percobaan untuk setiap hirarki, yaitu melalui pendekatan computer vision yang hanya fokus untuk mengolah citra secara keseluruhan dan pendekatan yang dilakukan oleh medis dimana sebelum menentukan kategori citra, terlebih dahulu dilakukan deteksi fitur penanda DR seperti eksudat, mikroaneurisma, dan pembuluh darah. Data yang digunakan ada 2 jenis yaitu data citra dari RSCM Jakarta dan database publik Diaretdb0. Metode klasifikasi ELM yang diusulkan mampu memberikan performansi yang cukup baik dari sisi waktu dan akurasi, dimana rata-rata klasifikasi menggunakan cross validation mencapai 50% untuk data RSCM dan 60% untuk data DB0. Sedangkan untuk klasifikasi lokal mencapai 50% untuk data RSCM dan 40% untuk data DB0. ......This study determined the classification of the stage of disease Diabetic retinopathy (DR) into two hierarchies , namely the Global and the Local . Global hierarchy consisting only of normal (0) and abnormal (1). While local classification consists of 4 categories: normal category (R0), early NPDR (R1), advanced NPDR (R3), and PDR (R4). Categories early stages of NPDR is Mild NPDR, whereas advanced NPDR is a combination of moderate and severe NPDR. In general, this study was conducted to resolve the problems arising from the similarity image that stage increments can not be assessed by naked eye . Thus require a treatment in which the retinal image can be classified into appropriate categories . Based on these issues, conducted 2 experiments for each hierarchy mechanism, namely through the computer vision approach that only focuses on the image of the overall process and the approach taken by a medical before determining which image category , first detection of features such as bookmarks DR exudates, microaneurysms, and blood vessels . The data used there are 2 types of image data from public databases RSCM Jakarta and Diaretdb0. The proposed classification method ELM is able to provide good enough performance in terms of time and accuracy , where the average classification using cross validation to achieve 50 % for data RSCM and 60 % for data DB0. Whereas for the local classification, data RSCM achieve 50 % and 40 % for data DB0.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>