Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Cipta Anugrah
"ABSTRAK
Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Menurut Pasal 3.7 DSU, sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa dan sistem ini sangat cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi daripada proses pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dilaksanakan dengan beberapa cara yang diatur dalam DSU, yaitu konsultasi atau negosiasi, pemeriksaan oleh Panel dan Appelate Body, arbitrase, dan good offices, conciliation, dan mediation, dengan yurisdiksi yang bersifat integrated, compulsory, dan contentious. Berdasarkan Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untuk memelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Persetujuan WTO (covered agreement). Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di World Trade Organization (WTO) atau mengambil kebijakan yang kemudian merugikan kepentingan negara lain. Negara - negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara - negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Salah satu jalan keluar, dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi/putusan DSB adalah retaliasi atau penangguhan konsesi. Pasal 22 ayat 6 DSU.

ABSTRACT
Dispute settlement procedure in the WTO set in article XXII and XXIII of GATT 1994 and the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). According to Article 3.7 DSU, major goals and objectives of the WTO dispute settlement system is to ensure a positive solution to a dispute and the system is very likely to resolve disputes through consultation rather than litigation. Dispute resolution is implemented in several ways set out in the DSU, namely consultation or negotiation, examination by the Panel and the Appelate Body, arbitration and good offices, Conciliation and mediation, with jurisdictions that are integrated, compulsory, and contentious. Pursuant to Article 3.2 DSU, the WTO dispute settlement system aims to preserve the rights and obligations of Member States under the provisions contained in the WTO Agreement (covered agreement). Disputes can arise when a country sets a certain trade policies that are contrary to the commitments in the World Trade Organization (WTO) or take out a policy which then harm the interests of other countries. Countries - WTO members have agreed that if member countries that violate trade rules of the WTO, the country - the member states will use the multilateral settlement system rather than take unilateral action. This means that these countries should comply with agreed procedures and respect the decision taken. One way out, and it is the last resort in resolving disputes, if the offender can not implement the recommendation / decision DSB is retaliation or suspension of concessions. Article 22, paragraph 6 DSU.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ismail
"

Amerika Serikat mengesahkan Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) di tahun 2009, dan UU ini menjadi awal mula sengketa perdagangan Indonesia-Amerika Serikat. Pasalnya FSPTCA ini merupakan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap rokok kretek asal Indonesia. Indonesia meresponnya dengan upaya diplomasi bilateral maupun multilateral dengan mensengketakannnya ke dalam Dispute Settlement Body World Trade Organization (DSB WTO). Amerika Serikat diputus bersalah oleh panel maupun Badan Banding karena FSPTCA sebagai tindakan yang melanggar prinsip non-diskriminasi WTO serta agar Amerika Serikat segera mematuhi rekomendasi panel maupun Badan Banding. Namun hingga batas tertentu, Amerika Serikat tak kunjung mematuhinya, hingga Indonesia meminta otorisasi DSB WTO untuk melakukan retaliasi. Namun retaliasi sesuai dengan otorisasi DSB WTO tidak terjadi, melainkan yang terjadi adalah retaliasi dalam bentuk penandatanganan Moratorium of Understanding/MoU (mutually agreed solution) untuk mengakhiri sengketa perdagangan FSPTCA. Penelitian tesis ini bertujuan untuk menjelaskan alasan pemerintah Indonesia tidak melakukan retaliasi sesuai otorisasi DSB WTO tetapi memilih retaliasi dengan menandatangani MoU (mutually agreed solution). Dalam menjawab pertanyaan tersebut, tesis ini menggunakan model analisa dari two-level games theory. Penggunaan teori ini bertujuan untuk memahami interaksi antar aktor nasional (level II) dan internasional (level I) serta belum ada penelitian terdahulu dengan unit analisanya Indonesia dianalisis menggunakan two-level games theory. Temuan dalam penelitian ini mengidentifikasi bahwa FSPTCA bersifat politis, totally banned, melanggar prinsip national treatment. Temuan penting lainnya adalah bahwa Indonesia tidak melakukan retaliasi sesuai otorisasi DSB WTO terhadap Amerika Serikat, dikarenakan Amerika Serikat menawarkan MoU dengan poin sesuai kebutuhan Indonesia yang dianggap lebih signifikan bagi Indonesia.    

 


The United States ratified the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) in 2009, and this act became the beginning of the Indonesia-United States trade dispute. The FSPTCA is an act of discrimination carried out by the United States against Indonesian clove cigarettes. Indonesia responded with bilateral and multilateral diplomacy efforts by disputing it into the Dispute Settlement Body World Trade Organization (DSB WTO). The United States has been found guilty by panel and Appellate Body because the FSPTCA is an act that violates the WTO principle of non-discrimination and so that the United States immediately obey to the panel and Appellate Body recommendations. But to a certain extent, the United States has never obeyed it, so Indonesia has requested DSB WTO authorization to carry out retaliation. However, retaliation in accordance with DSB WTO authorization did not occur, but what happened was retaliation in the form of signing the Moratorium of Understanding/MoU (mutually agreed solution) to end the FSPTCA trade dispute. This thesis research aims to explain the reason of the Indonesian government did not retaliate according to the DSB WTO authorization but chose retaliation in the form of signing the MoU (mutually agreed solution). In answering these questions, this thesis uses an analysis model from the two-level games theory. The use of this theory aims to understand the interactions between national (level II) and international (level I) actors and there have been no previous studies with Indonesia as a unit of analysis analyzed using two-level games theory. The findings in this study identified that FSPTCA was political, totally banned, violate the national treatment principle. Another important finding is that Indonesia did not retaliate according to the authorization of the DSB WTO against the United States, because the United States offered a MoU with points according to Indonesia`s needs which were considered more significant for Indonesia.

 

"
2019
T53291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Kahlila
"Mekanisme penyelesaian sengketa WTO, yang sering dianggap sebagai "crown jewel" organisasi ini, memainkan peran penting dalam menegakkan hukum perdagangan internasional. Namun, kepatuhan sebagian besar tetap bergantung pada kesediaan pihak yang kalah. Oleh karena itu, para anggota WTO dapat memanfaatkan upaya hukum yang tersedia untuk mendorong kepatuhan dari pihak yang kalah terhadap kewajiban mereka. Skripsi ini mengevaluasi apakah retaliasi, sebagai salah satu dari upaya hukum tersebut, dapat efektif untuk melindungi kepentingan Indonesia. Selain itu, skripsi ini mengadopsi metode penelitian hukum doktrinal untuk menganalisis dan menginterpretasikan ketentuan DSU serta menggunakan pendekatan studi kasus untuk menilai penerapan upaya hukum dalam praktik guna menentukan efektivitasnya. Skripsi ini menyimpulkan bahwa upaya hukum dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO tidak selalu efektif dalam mendorong kepatuhan pihak yang kalah. Kompensasi tidak efektif karena sifatnya yang sukarela dan kebutuhan akan kesepakatan bersama. Sedangkan retaliasi, sebagai upaya terakhir untuk mendorong kepatuhan, juga menghadapi tantangan seperti ketidakpastian dalam DSU yang menyebabkan kesulitan bagi Arbiter dalam memberikan tingkat retaliasi yang dapat efektif, kurangnya kekuatan pendorong dalam kasus-kasus dengan dukungan domestik yang kuat untuk tindakan yang tidak konsisten, dan kesulitan implementasi ketika ada kesenjangan ekonomi antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam ketiadaan masalah-masalah ini, retaliasi dapat mendorong kepatuhan atau setidaknya mendorong pihak yang kalah untuk menangani isu yang diangkat dan menawarkan beberapa bentuk manfaat bagi pihak yang dirugikan. Indonesia telah memiliki kesempatan untuk menggunakan retaliasi dalam dua kasus, namun gagal mencapai kepatuhan dari pihak yang kalah. Meskipun menghadapi kesulitan di masa lalu, retaliasi masih dapat efektif melindungi kepentingan Indonesia. Retaliasi dapat dirancang untuk menjadi kuat sekaligus disesuaikan dengan kapasitas Indonesia, pemanfaatan mekanisme seperti retaliasi silang, dan Indonesia dapat mengacu pada preseden dari negara berkembang lainnya. Dengan mengatasi tantangan hukum terkait dan mempersiapkan diri secara domestik, termasuk memberlakukan regulasi nasional tentang retaliasi, Indonesia dapat meningkatkan strategi retaliasi dan lebih melindungi kepentingannya.

The WTO dispute settlement mechanism, often hailed as the "crown jewel" of the organization, plays a crucial role in enforcing international trade laws. However, compliance largely depends on the non-prevailing party’s willingness. Members may seek the utilization of legal remedies to induce compliance from non-prevailing parties with their WTO obligations. This thesis evaluates whether retaliation, as one of these legal remedies, can be effective to protect Indonesia’s interests. Furthermore, this thesis adopts a doctrinal legal research method to analyze and interpret DSU provisions and employs a case study approach to assess the application of legal remedies in practice to determine its effectiveness. This thesis concludes that legal remedies may not always be effective in inducing compliance of non-prevailing parties. Compensation is often ineffective due to its voluntary nature and the necessity for mutual acceptance. Retaliation, as the last resort to induce compliance, also faces challenges such as ambiguities in the DSU causing difficulties for Arbitrators in awarding levels of retaliation, lack of inducement power in cases with strong domestic support for the inconsistent measure and implementation difficulties when economic disparities exist between disputing parties. In the absence of such issues, retaliation has been able to induce compliance or at the very least, push non-prevailing parties to address the concerned issues and offer some form of benefit. Indonesia has had opportunities to use retaliation in two notable cases, yet failed to do so. Despite past struggles, retaliation can still be effective to protect Indonesia’s interests. It can be designed to be powerful while adjusting to Indonesia’s capacity, there are mechanisms like cross-retaliation, and  Indonesia may draw on precedents from other developing countries. By overcoming associated legal challenges and preparing itself domestically, including enacting its own national regulations on retaliation, Indonesia can enhance its strategy to retaliate and better protect its interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library