Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahma Dewi Handari
"Tuberkulosis resistan obat (TB RO) menjadi tantangan utama kesehatan global, dengan Indonesia sebagai salah satu dari 7 negara dengan beban kasus TB RO tertinggi dengan insiden rate 10 per 100.000 orang-tahun. Keberhasilan pengobatan TB RO secara nasional rendah sebesar 51% dengan angka kematian pasien TB RO cukup tinggi sebesar 20%. Infeksi HIV pada pasien TB RO memperburuk kondisi klinis, meningkatkan risiko kegagalan pengobatan dan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mortality rate dan perbedaan probabilitas survival antara pasien TB RO dengan komorbid HIV dan tanpa komorbid HIV, dan mengetahui hubungan komorbid HIV dengan kematian pasien TB RO dewasa di Indonesia tahun 2021-2022. Penelitian dilakukan dengan desain studi kohort restrospektif menggunakan data sekunder SITB Nasional Kemenkes tahun 2021-2022. Analisis data dilakukan menggunakan survival Kaplan Meier dan cox regression dengan ukuran asosiasi Hazard Ratio (HR). Terdapat 7172 pasien TB RO eligible yang dijadikan sampel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan mortality rate pasien TB RO dewasa yang memiliki komorbid HIV (14,191 per 10.000 orang-hari) lebih tinggi dibandingkan pasien TB RO dewasa yang tidak memiliki komorbid HIV (4,776 per 10.000 orang-hari). Probabilitas kumulatif survival pasien TB RO dewasa yang memiliki komorbid HIV (41,89%) secara signifikan lebih rendah dibandingkan probabilitas kumulatif survival pasien TB RO dewasa yang tidak memiliki komorbid HIV (78,32%). Pasien TB RO dewasa dengan komorbid HIV yang menggunakan paduan pengobatan TB jangka panjang memiliki risiko kematian 6,66 kali lebih tinggi dibandingkan pasien TB RO dewasa tanpa komorbid HIV yang menggunakan paduan pengobatan jangka pendek (HR adjust:6,66, 95%CI:4,96-8,96). Pasien TB RO dewasa dengan komorbid HIV yang menggunakan paduan pengobatan TB jangka pendek memiliki risiko kematian 6,02 kali lebih tinggi dibandingkan pasien TB RO dewasa tanpa komorbid HIV yang menggunakan paduan pengobatan TB jangka pendek (HRadjust:6,02, 95%CI:3,89-9,31). Komorbid HIV secara signifikan meningkatkan risiko kematian pasien TB RO selama pengobatan. Tatalaksana pengobatan TB RO dan infeksi HIV yang tepat diperlukan untuk menurunkan risiko kematian pasien TB RO selama pengobatan.

Drug-resistant tuberculosis (DR TB) is a major global health challenge, Indonesia is one of 7 countries with the highest burden of DR TB cases with an incidence rate of 10 per 100.000 persons per year. The success of DR TB treatment nationally is low at 51% with the proportion of mortality high at 20%. HIV infection in DR TB patients worsens the condition, increasing the risk of treatment failure and death. The purpose of this study is to determine the mortality rate and the difference in survival probability between comorbid HIV patients and noncomorbid HIV patients and to determine the relationship between comorbid HIV and death in adult DR TB patients in Indonesia in 2021-2022. The design of this study was a retrospective cohort study using secondary data on SITB national DR TB cases that started treatment in 2021-2022. Data analysis was performed using survival Kaplan Meier and Cox regression to obtain hazard ratio (HR). There were 7172 patients as eligible patients who became the research sample. The results showed that the mortality rate for adult DR TB patients who had comorbid HIV (14,191 per 10,000 person days) was higher than adult DR TB patients without comorbid HIV (4,776 per 10,000 person days). The cumulative probability of survival of adult DR TB patients with comorbid HIV (41.89%) is significantly lower than the cumulative probability of survival of adult RO TB patients without comorbid HIV infection (78.32%). Adult DR TB patients with comorbid HIV who used long-term TB regimens have a 6,66 times higher risk of death than adult DR TB patients without comorbid HIV who used short-term TB regimens (adjusted HR: 6,66 95%CI: 4,96-8,96). Adult RO TB patients with comorbid HIV who used a short-term TB regimen have a 6.02 times higher risk of death than adult DR TB patients without comorbid HIV who used a short-term TB regimen (adjusted HR: 6.02, 95%CI:3.89-9.31).Comorbid HIV significantly increased the the risk of death during treatment. Appropriate DR TB and HIV treatment management is needed to reduce the risk of  DR TB patient death during treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Irsandi Johan
"Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi bakteri. Batas toleransi bagi masing-masing indikator untuk peresepan antibiotik pada penatalaksanaan ISPA non-pneumonia sebesar 20%, penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan diare non-spesifik 8%. Tujuan dari penyusunan laporan praktik kerja ini adalah untuk mengetahui peran apoteker dalam monitoring penggunaan obat rasional antibiotik pada pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik di Puskesmas Kecamatan Kalideres bulan Juni 2023. Pelaksanaan dilakukan secara observasional deskriptif, data penelitian diperoleh secara retrospektif dengan mengambil data resep bulan Juni 2023 melalui sistem setelah dilakukan pelayanan terhadap pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik. Dari monitoring yang telah dilakukan diketahui bahwa persentase penggunaan obat antibiotik pada pasien dengan diagnosis ISPA non-pneumonia dan diare non-spesifik di Puskesmas Kecamatan Kalideres bulan Juni 2023 dapat dikatakan rasional dan telah sesuai dengan kriteria POR Nasional yaitu ≤ 20% untuk kasus ISPA non-pneumonia dan ≤ 8% untuk kasus diare non-spesifik.

The excessive use of antibiotics and inappropriate antibiotic use are suspected as the main causes of the high prevalence of resistant pathogens and commensal bacteria worldwide. Reducing the incidence of inappropriate antibiotic use is the best way to control bacterial resistance. The tolerance limit for each indicator for antibiotic prescribing in the management of non-pneumonia acute respiratory infections (ARIs) is 20%, while for the management of non-specific diarrhea, it is 8%. The purpose of this internship report is to understand the role of pharmacists in monitoring rational antibiotic use in patients diagnosed with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea at the Kalideres District Health Center in June 2023. The implementation was done descriptively through observational methods, with research data obtained retrospectively by collecting prescription data from June 2023 through the system after providing services to patients with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea. From the monitoring conducted, it was found that the percentage of antibiotic drug use in patients diagnosed with non-pneumonia ARIs and non-specific diarrhea at the Kalideres District Health Center in June 2023 can be considered rational and has met the National POR criteria, which are ≤ 20% for non-pneumonia ARIs cases and ≤ 8% for non-specific diarrhea cases."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adeputri Tanesha Idhayu
"Latar belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) merupakan salah satu tantangan terbesar dalam upaya pemberantasan TB di dunia, termasuk di Indonesia. Pengobatan TB RO menghadapi sejumlah kendala,termasuk hipotiroid, yang sering kali tidak terdiagnosis walau berpotensi memengaruhi kepatuhan dan hasil pengobatan TB RO, dikarenakan gangguan farmakokinetik obat dan penurunan kualitas hidup. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden kejadian hipotiroid dan faktor risikonya (jenis kelamin, indeks massa tubuh, komorbiditas HIV, jenis OAT dan anti-TPO) pada pasien TB RO di Jakarta Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort ambispektif yang dilakukan di empat rumah sakit rujukan TB RO di Jakarta, Indonesia. Data awal diambil dari sistem informasi tuberkulosis nasional dan subjek yang tidak memiliki data TSH awal atau memiliki masalah tiroid pada awal penelitian akan dieksklusi. Subjek yang telah menjalani pengobatan TB RO selama 3 sampai 6 bulan direkrut dan diambil data berupa kuesioner, pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel darah vena (TSH dan anti-TPO). Hasil: Sebanyak 148 subjek TB RO diikutsertakan dalam penelitian ini. Hipotiroid ditemukan pada 8 subjek (5,4%). Walaupun kejadian hipotiroid tampaknya lebih sering terjadi pada subjek dengan jenis kelamin wanita (4/56, 7,1% vs 4/92, 4,3%) HIV (1/5, 20% vs 7/143, 4,9%), mendapat OAT kombinasi etionamid/PAS (3/28, 10,7% vs 5/120, 4,2%%), dan dengan anti-TPO positif (1/9, 11,1% vs 7/139, 5%), sedangkan lebih jarang terjadi pada subjek dengan malnutrisi (4/83, 4,8% vs 4/65,6,1%), namun penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin (RR = 1,6, IK 95% 0,4-6,3), indeks massa tubuh (RR = 0,7, IK 95% 0,2 - 3,0), komorbiditas HIV (RR = 4,1, IK 95% 0,6-27,2), jenis OAT kombinasi etionamid/PAS (RR = 2,6, IK 95% 0,6-10,1), anti-TPO (RR = 2,2, IK 95% 0,3-16,0) dengan kejadian hipotiroid pada TB RO, yang mungkin terkait dengan angka kejadian hipotiroid yang relatif rendah dalam penelitian ini. Kesimpulan: Insiden hipotiroid pada pasien TB RO di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Penelitian yang lebih besar diperlukan untuk menilai faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian hipotiroid pada pasien TB RO.

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) represents one of the most significant challenges to the global effort to eradicate TB, including in Indonesia. The treatment of DR-TB is confronted with a number of significant obstacles, including hypothyroidism, which may frequently unrecognised and underdiagnosed, despite the fact that it may potentially affect DR-TB treatment adherence and outcomes, due to its impaired drug pharmacokinetics and reduced quality of life. Objective: We aim to assess the incidence of hypothyroidism, and its respective risk factors (Sex, body mass index, HIV comorbidity, DR-TB drug regimen, anti-TPO), in DR-TB patients in health services for DR-TB in Jakarta. Methods: This was an ambispective cohort study conducted in four tuberculosis referral hospitals in Jakarta, Indonesia. Baseline data was retrieved from the national tuberculosis information system. Participants who had undergone DR-TB treatment for a period of 3 to 6 months were recruited for questionairre, physical examination and venous blood sampling (TSH and Anti-TPO). Participants with baseline thyroid problems were excluded. Results: A total of 148 DR-TB subjects were included in this study. Hypothyroidism were found in 8 subjects (5.4%). Interestingly, the incidence of hypothyroidism was more frequent among subjects with female gender (4/56, 7.1% vs. 4/92, 4.3%), those with HIV (1/5, 20% vs 7/143, 4.9%), receiving ethionamide/PAS (3/28, 10.7% vs 5/120, 4.2%) and with positive anti-TPO (1/9, 11.1% vs 7/139, 5%), hereas it was less t frequent in subjects with malnutrition (4/83, 4.8% vs 4/65, 6.1%). Our study observed no statistically significant relationship between sex (RR = 1.6, 95% CI 0.4 - 6.3), body mass index (RR = 0.7, 95% CI 0.2 - 3.0), HIV comorbidity (RR = 4.1, 95% CI 0.6 - 27.2), type of antituberculosis drugs (ethionamide/PAS) (RR = 2.6, 95% CI 0.6 - 10.1), anti-TPO (RR= 2.2, 95% CI 0.3 - 16.0) and hypothyroidism, which might be related to the relatively low incidence of hypothyroidism in our study. Conclusions: The incidence of hypothyroidism among DR-TB patients in Indonesia was relatively low in comparison to other countries. Larger study is needed to assess the contributing risk factors for the development of hypothyroidism among DR-TB patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ekky Fajar Frana
"ABSTRACT
Di Indonesia, angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat sejak tahun 2013-2015 masih rendah yaitu sebesar 52,4%. Upaya yang dilakukan adalah dengan diterapkannya metode baru yaitu metode standar jangka pendek pada tahun 2107. Seiring diterapkannya metode baru, metode standar konvensional tetap terus dilakukan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengobatan antara metode standar standar konvensional dan metode standar jangka pendek. Data yang digunakan adalah data pasien TB MDR yang memulai pengobatan antara Januari-Desember 2017 yang teregister dalam e-TB Manager. Hasil pengobatan yang baik pada metode standar konvensional adalah 39,8% dan pada metode standar jangka pendek adalah 48,9%. Hasil analisis uji chi square terhadap perbedaan hasil antara metode konvensional dan jangka pendek adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p-value = 0,067). Dan hanya faktor umur 45 tahun dan interval inisiasi pengobatan 30 hari yang perbedaan hasil pengobatannya signifikan (p-value = 0,005 dan 0,047).

ABSTRACT
In Indonesia, the success rate of treatment of drug-resistant TB patients from 2013-2015 is still low at 52.4%. The efforts made were to implement a new method, namely the standard short-term method in 2107. As new methods were implemented, conventional standard methods continued. This study used a cross sectional design aimed to determine differences in treatment outcomes between conventional standard standard methods and short-term standard methods. The data used is data on MDR TB patients who started treatment between January-December 2017 registered in e-TB Manager. The good treatment results in the conventional standard method are 39.8% and in the standard short term method is 48.9%. The results of the chi square test analysis of the differences in results between conventional and short-term methods there is no significant difference (p-value = 0.067). And only age factors 45 years and treatment initiation intervals 30 days for which the difference in results was significantly different (p-value = 0.005 and 0.047)."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Aldiani
"Latar belakang dan tujuan : Semua jenis paduan pengobatan TB RO bukan tanpa efek samping sehingga direkomendasikan implementasi farmakovigilans dan pengawasan serta tata laksana keamanan obat secara aktif terhadap efek samping. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian efek samping yang paling sering yakni efek gastrointestinal (GI) dan efek samping yang dapat berakibat fatal yakni efek kardiovaskular yang terjadi pada pasien TB RO yang mendapatkan paduan jangka pendek (STR) di poliklinik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain kohort prospektif yang dilakukan bulan Agustus 2019-Januari 2021 dengan metode consecutive sampling pada pasien TB RO yang mendapatkan STR di poliklinik paru RSUP Persahabatan. Pasien dalam pengobatan STR akan diikuti selama masa pengobatan 9-11 bulan untuk evaluasi subjektif dan objektifnya sampai terjadinya luaran pengobatan.
Hasil : Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 68 orang dengan karakteristik dasar yaitu median usia 37 tahun, laki-laki (67,6%), status gizi kurang (52,9%) dan komorbid diabetes (17,6%). Luaran putus berobat cukup tinggi (26,5%) Hampir seluruh subjek mengalami efek gastrointestinal (95,6%) seluruhnya muncul pada fase intensif dan dominan derajat ringan. Efek samping GI akan semakin menurun setelah fase intensif. Hanya sebagian subjek yang mengalami efek kardiovaskular (41,2%) dan trennya semakin lama kejadiannya semakin meningkat. Terdapat satu subjek dengan luaran meninggal dunia pada efek samping kardio derajat berat. Pada efek samping GI tidak ada kecenderungan faktor yang menyebabkan, sementara durasi pengobatan yang mencapai 9 bulan yang mempengaruhi efek samping kardiovaskular (p=0,001).
Kesimpulan : Pada penelitian ini efek samping GI terjadi pada hampir seluruh pasien namun trennya akan menurun setelah fase intensif. Sementara efek samping kardiovaskular dapat berakibat fatal dan trennya akan meningkat seiring berjalannya pengobatan. Durasi pengobatan yang lebih panjang dapat secara bermakna menyebabkan timbulnya efek samping kardiovaskular.

Background : All types of drug-resistant (DR) tuberculosis (TB) treatment are not without effects, thus implementation of pharmacovigilance and active drug safety monitoring and management against adverse events are highly recommended. This study was conducted to determine the incidence gastrointestinal (GI) adverse events and cardiovascular adverse events that occur in DR TB outpatients who received short-term regimen (STR) at the Persahabatan General Hospital.
Methods : This study was an observational study with a prospective cohort design that was conducted between August 2019 and January 2021 with consecutive sampling of DR TB outpatients who received STR at Persahabatan General Hospital. Patients on STR treatment will be followed for a 9 to 11 months treatment period for subjective and objective evaluation of treatment outcomes
Result : There were 68 subjects eligible for this study with general characteristics median age of 37 years, male (67.6%), malnutrition status (52.9%), and having diabetes comorbid (17.6%). The default case was quite high in this study (25.6%). Almost all subjects experienced GI adverse events (95.6%) which appeared in the intensive phase with predominant mild degree of GI symptoms. The GI adverse events was decrease after the intensive phase. Only some of the subjects experienced cardiovascular effects (41.2%) and the trend increasing over time. There was one death as treatment outcome in a sever cardiovascular adverse events. In GI adverse events, there was no trend of causal factors, while the treatment duration of up to 9 months correlated with cardiovascular side effects (p = 0.001).
Results : In this study, it was found that GI adverse events were common but its occurrence decreased over time after intensive phase. The cardiovascular adverse events could be fatal and tis occurrence showed to be increase as treatment progresses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jefman Efendi Marzuki HY
"Pendahuluan: Delamanid (DLM) merupakan obat baru tuberkulosis resistan obat (TB-RO) yang sudah digunakan di Indonesia sejak tahun 2019. DLM diketahui dapat menginhibisi kanal kalium hERG sehingga berpotensi menyebabkan pemanjangan interval QT hingga risiko Torsades de pointes (TdP). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan interval QTc pada pasien TB-RO yang mendapatkan paduan DLM dibandingkan dengan kelompok tanpa paduan DLM yakni shorter treatment regimens (STR) dengan injeksi di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder di RSPG dan RSSA. Nilai interval QTc dan perubahan nilai interval QTc dari baseline (ΔQTc) akan dinilai selama 24 minggu.
Hasil: Peningkatan rerata interval QTc dan ΔQTc pada kelompok DLM dan STR dengan injeksi terjadi sejak minggu pertama pengobatan. Peningkatan interval QTc maksimum dan ΔQTc yang lebih kecil pada kelompok DLM dengan mean difference 18,6 milidetik (95%IK 0,3 sampai 37,5) dan 31,6 milidetik (95%IK 14,1 sampai 49,1). Proporsi pemanjangan interval QTc lebih kecil pada kelompok DLM dibandingkan STR dengan injeksi (RR= 0,62; 95%IK 0,42 sampai 0,93).
Kesimpulan: Penelitian ini mengindikasikan paduan mengandung DLM cenderung lebih sedikit meningkatkan interval QTc dibandingkan kelompok STR dengan injeksi. Akan tetapi, pemantauan ketat risiko pemanjangan interval QT perlu dilakukan pada penggunaan obat yang berisiko memperpanjang interval QT.

Backgrounds: Delamanid (DLM) is a tuberculosis resistant (TB-RO) drug and has been used in Indonesia since 2019. It is known that DLM inhibits hERG potassium channel which has the potential to cause cardiac repolarization disorders such as QT prolongation which eventually leads to a risk of Torsades de pointes. This study aims to analyze the QTc interval changes in TB-RO patients who received the DLM-containing regimens compared to the shorter treatment regimens (STR) with injection in Indonesia.
Methods: This is a retrospective cohort study which uses secondary data at RSPG and RSSA. The value of the QTc interval and the changes in the value of the QTc interval from the baseline (ΔQTc) will be assessed for a period of 24 weeks.
Results: There are 31 subjects who received DLM-containing regimens and 76 subjects who received STR with injection. The mean QTc interval and ΔQTc in both groups occurred since the first week of treatment. The increase of QTc interval maximum and ΔQTc was smaller in the DLM group with a mean difference 18.6 miliseconds (95%CI 0.3 to 37.5) and 31.6 milliseconds (95%CI 14.1 to 49.1). The proportion of QTc interval prolongation was smaller in the DLM group (RR= 0.62; 95%CI 0.42 to 0.93
Conclusion: This study indicate that DLM-containing regimens is less likely to increase the QTc interval compared to the STR group with injection. However, close monitoring of the risk of QT prolongation needs to be carried out upon the use of QT prolonging drugs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dini Azika
"Latar Belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Tahun 2020 secara global terdapat 157.903 kasus TB Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant (MDR/RR) terdeteksi dan ternotifikasi, 95% dilakukan enrollment, namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 59% dan TB XDR sebesar 52%, sedangkan di Indonesia terdapat 8.268 kasus TB RR/MDR, 52% dilakukan enrollment namun angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR sebesar 47% dan TB XDR 30%. Tahun 2020, Klofazimin (CFZ) merupakan salah satu bagian grup B pengobatan TB RO tanpa injeksi pada paduan jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat beberapa efek samping dalam penggunaan CFZ salah satunya adalah hiperpigmentasi kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerapan, karakteristik subjek, awitan, durasi, dan derajat hiperpigmentasi kulit akibat CFZ serta faktor apa saja yang berhubungan pada pengobatan TB RO di RSUP Persahabatan. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien, dilakukan di Poli TB RO RSUP Persahabatan Juli 2021-Mei 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien TB RO yang mendapatkan CFZ di Poli TB RO di RSUP Persahabatan yang memulai enrollment pada tahun 2019-2020 yang memenuhi kriteria penelitian. Hiperpigmentasi kulit dinilai dari anamnesis bulanan setiap pasien kontrol. Hasil: Didapatkan 429 subjek penelitian dengan kekerapan hiperpigmentasi kulit pada 48 subjek (11,18%). Karakteristik subjek usia 41 (18−78) tahun, 58% laki-laki, 48% dengan gizi kurang dan normal, 25,2% komorbid DM tipe 2 dan 2,8% komorbid HIV, durasi pengobatan 285 (1−860) hari, kasus terbanyak TB RR/MDR sebesar 89,3%, dan luaran sembuh sebesar 47%. Efek samping hiperpigmentasi kulit didapatkan dengan median awitan 31 (28−168) hari pengobatan dan hingga pengobatan selesai efek samping hiperpigmentasi kulit masih didapatkan (belum reversibel). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara efek samping hiperpigmentasi kulit dengan durasi pengobatan (p=<0,001)m yakni hari ke 344 (70−769) dan paduan jangka pendek oral dan jangka pendek injeksi (p=<0,001)f dengan RR 10,100 (5,059−20,166).

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR TB) is still a major health problem in the world. In 2020 globally there were 157,903 cases of Multi Drug Resistant/Rifampin Resistant (MDR/RR) TB detected and notified, 95% were enrolled, but the treatment success rate for RR/MDR TB was 59% and XDR TB was 52%, while in Indonesia there were Of the 8,268 cases of RR/MDR TB, 52% underwent enrollment but the success rate of RR/MDR TB treatment was 47% and 30% XDR TB. In 2020, Clofazimine (CFZ) is part of group B RO-TB treatment without injection in short-term and long-term combinations. There are several side effects in using CFZ, one of which is skin hyperpigmentation. This study aims to determine the frequency, subject characteristics, onset, duration, and degree of skin hyperpigmentation due to CFZ and what factors are related to the treatment of DR TB at Persahabatan Hospital. Methods: The design of this study was a retrospective cohort using patient medical record data, carried out at the DR TB clinic Persahabatan Hospital from July 2021-May 2022, with a total sampling technique. The research subjects were DR TB patients who received CFZ at the DR TB clinic at the Persahabatan Hospital who started enrollment in 2019-2020 who met the research criteria. Skin hyperpigmentation was assessed from the monthly history of patient. Results: There were 429 subjects who received CFZ with frequent skin hyperpigmentation in 48 subjects (11.18%). Subject’s characteristics are 41 (18−78) years old, 58% male, 48% with malnutrition and normal, 25.2% comorbid type 2 DM and 2.8% comorbid HIV, duration of treatment 285 (1−860) days, the most cases of RR/MDR TB were 89.3%, and the outcome recovered was 47%. The side effect of skin hyperpigmentation was obtained with a median onset of 31 (28−168) days of treatment and until the end of treatment the side effect of skin hyperpigmentation was still found (not reversible). Conclusion: There is a relationship between side effects of skin hyperpigmentation with treatment duration (p=<0.001)m i.e. day 344 (70−769) and short-term oral and short-term injection (p=<0.001)f with RR 10.100 (5.059−20.166)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanita Novalina Ursula
"Latar Belakang: Tuberkulosis resistan obat (TB-RO) masih menjadi masalah kesehatan global, penyakit utama penyebab kematian kasus infeksi tunggal terbanyak setelah Corona virus disease 2019 (COVID-19). Tahun 2021 secara global terdapat 167.000 orang dengan TB Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant (MDR/RR) terkonfirmasi, 162.000 memulai terapi. Angka keberhasilan global pengobatan TB RR/MDR sebesar 60%, sedangkan di Indonesia sebesar 47%. WHO merekomendasikan paduan bebas injeksi untuk TB-RO tahun 2019 meningkatkan angka keberhasilan 60% menjadi 73% dan menurunkan angka putus berobat 17,3% menjadi 9,9%. Pengobatan OAT all-oral direkomendasikan di Indonesia sejak 2020 termasuk paduan individual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran pengobatan TB-RO dengan paduan individual all-oral serta faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli TB-RO RSUP Persahabatan Oktober 2022, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien TB-RO yang mendapatkan paduan individual all-oral dan memulai terapi Januari2020-Desember 2021 di poli TB-RO RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 162 subjek penelitian dengan karakteristik median usia 44 (18−74) tahun, 61,7% laki-laki dan 52,5% subjek dengan IMT<18,5 kg/m2. Komorbid terbanyak adalah DM tipe 2 dengan proporsi 37%. Jenis resistansi terbanyak TB-MDR 45,1% dengan proporsi bacterial load terbanyak BTA negatif (25,9%). Proporsi konversi biakan sputum ≤ 2 bulan 56,2%. Terdapat 86,4% subjek mengalami intoleransi obat dengan proporsi terbanyak gastrointestinal 66,2%. Luaran berhasil sebesar 43,2%, meninggal 40,1%, putus berobat 13,6% dan gagal 3,1%. Analisis multivariat mendapatkan bacterial load dan kecepatan konversi merupakan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO.
Kesimpulan: Luaran berhasil pasien TB-RO yang menggunakan paduan individual all-oral 43,2%, meninggal 40,12%, gagal 3,09% dan putus berobat 13,6%. Bacterial load,BTA ≤1+ dan kecepatan konversi ≤ 2 bulan merupakan faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan TB-RO dengan paduan individual all-oral. Nilai odds masing-masing faktor berturut-turut aOR:2,35 (95%IK: 1,12-4,90) dan aOR: 2,2 (95%IK: 1,05-4,61).

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is still the global health problem, the leading cause of death in the single infectious case after Corona virus disease 2019 (COVID-19). Globally, there were 167.000 confirmed cases of Multi Drug Resistant/Rifampicin Resistant tuberculosis (MDR/RR-TB) in 2021 and 162.000 started treatment. Global success rate for MDR/RR-TB treatment reach 60% while in Indonesia 47%. In 2019 WHO recommended injection-free regimen that increase treatment success rate of DR-TB treatment from 60% to 73% and lower lost to follow up (LTFU) cases 17,3% to 9,9%. Indonesia started all-oral regimen in 2020 consist of shorter and longer regimen. Aim of this study is to observe outcomes of drug-resistant tuberculosis (DR-TB) treated with long term all-oral regimen and factors that influence the success rate of DR-TB treatment at Persahabatan Hospital Jakarta.
Metods: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records. It carried out in October 2022 at DR-TB clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of DR-TB patients enrolled with long-term all-oral regimen treatment by January 2020-December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 162 subjects with median of age 44 (18-74) years old, 61,7% were male, and 52,5% subject were malnutrition. Proportion of DM type 2 comorbid was 37%. MDR-TB were found in 45,1% of subject with the high proportion of negative smear bacterial load (25,9%) as baseline. Amount of sputum Mtb culture conversion within 2 months reached 56,2%. There were 86,4% subjects experiencing drug intolerance with the highest proportion being gastrointestinal 66,2%. Outcomes of the long-term DR-TB treatment were successful 43,2%, died 40,1%, dropped-out 13,6% and failed 3,1%. Multivariate analysis found that bacterial load and time of sputum conversion were factors that associated with DR-TB success rate treatment.
Conclusion: Outcomes of drug-resistant tuberculosis (DR-TB) treated with long term all-oral regimen 43,2% cured, 40,12% died, dropped-out from treatment 13,6% and failed 3,1%. Bacterial load ≤1+ and time of sputum conversion ≤2 months were factors that associated with DR-TB success rate treatment with adjusted aOR:2,35 (CI95% :1,12-4,90) and aOR:2,2 (CI95% : 1,05-4,61) respectively.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Maulana Sopian,author
"ABSTRACT
Tuberkulosis merupakan salah satu dari banyak penyakit dengan biaya kesehatan yang mahal baik untuk pasien maupun keluarga pasien. Tuberkulosis menyebabkan peningkatan biaya kesehatan, kehilangan pendapatan, dan kehilangan produktifitas bagi pasien untuk bekerja. Penelitian ini menggunakan analisis potong lintang untuk mengetahui perbandingan biaya kesehatan katastropik pasien TB tanpa resistensi obat dengan pasien TB dengan resistensi obat di Jakarta Timur. Dari 159 subjek, diperoleh 97 61 subjek TB tanpa resistensi obat dan 62 39 subjek TB dengan resistensi obat. Dari uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna.

ABSTRACT
Tuberculosis is one of many diseases with a costly health care either for patients or families in general. Tuberculosis causes an increase in health care costs, loss of income, and productivity losses for patients to work. This study used an cross sectional analysis to compare catastrophic health expenditures in TB patients without drug resistance and in TB patients with drug resistance in East Jakarta. From a total of 159 subjects, obtained 97 subjects 61 suspected TB without drug resistance and 62 subjects 39 suspected TB with drug resistance. In Mann Whitney test, there was a significantly different."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoana Anandita
"Tesis ini mengeksplorasi tentang pemberian dukungan sosial kepada pasien Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO) oleh penyintas di Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo (RSPG), salah satu pusat rujukan pelayanan TBC RO. Penelitian ini mengkaji program dukungan pasien yang diinisiasi oleh kelompok penyintas TB Terjang sejak 2019. Menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif, data dikumpulkan pada Mei 2023 melalui wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen. Penelitian ini melibatkan 14 (empat belas) informan, meliputi Patient Supporter (PS), Manajer Kasus (MK), Perawat, dan pasien TB Resistan Obat. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa mekanisme dukungan sosial yang diberikan PS sebagai penyintas kepada pasien TBC RO di RSPG sudah berjalan, dirasakan manfaatnya baik bagi pasien maupun penyedia layanan kesehatan. Namun, penguatan dalam koordinasi dan forum evaluasi formal diperlukan untuk implementasi yang optimal. Anggaran kegiatan pendampingan bergantung sepenuhnya pada dukungan donor. Peran PS dalam pendampingan pasien berfokus pada pemberian dukungan sosial kepada pasien dan keluarganya. Berbagai bentuk dukungan sosial diidentifikasi, termasuk dukungan emosional, instrumental, informasi, penilaian (appraisal), penghargaan, jaringan, tenaga kerja dan waktu, pengurangan stigma dan diskriminasi, pemantauan pengobatan, bantuan paralegal, dan dukungan kesehatan mental. Penelitian ini menyoroti pentingnya dukungan sosial yang digerakkan oleh penyintas TBC RO untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengalaman baik bagi pasien. Peningkatan mekanisme koordinasi dan evaluasi akan semakin meningkatkan efektivitas program. Dengan mengenali peran para penyintas dan menangani kebutuhan dukungan mereka, fasilitas layanan kesehatan dapat mengembangkan pendekatan komprehensif untuk perawatan dan pengelolaan TBC RO.

This thesis, review the provision of social support to drug-resistant tuberculosis (DRTB) patients by survivors at Dr. M. Goenawan Partowidigdo Lung Hospital (RSPG), a referral center for DRTB service. The study examines patient support programs initiated by a TB survivors’ group Terjang since 2019. Employing a qualitative case study approach, data was collected in May 2023 through in-depth interviews, observations, and document reviews. The research involved 14 informants, including Patient Supporters (PS), Case Managers (MK), Nurses, and Drug Resistant TB patients. The study findings reveal that the mechanism of social support provided by PS as survivor to TB patients at RSPG has been implemented, benefiting both patients and healthcare providers. However, improvements in coordination and formal evaluation forums are necessary for optimal implementation. The program's budget relies entirely on donor support. PS's role in patient accompaniment focuses on providing social support to patients and their families. Various forms of social support were identified, including emotional, instrumental, informational, appraisal, appreciation, network, labor and time support, stigma and discrimination reduction, treatment monitoring, paralegal assistance, and mental health support. This research highlights the importance of survivor-driven social support in improving the well-being and experiences of drug-resistant TB patients. Enhancing coordination and evaluation mechanisms will further enhance the program's effectiveness. By recognizing the role of survivors and addressing their support needs, healthcare institutions can develop comprehensive approaches to TB care and management."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>