Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annissa Ayu Maharani
Abstrak :
Skripsi ini membahas kemunculan musik Indorock yang dikaitkan dengan peristiwa repatriasi orang-orang Indo ke Belanda akibat peristiwa dekolonisasi. Penelitian ini akan memakai metode kualitatif deksriptif yang bertumpu pada teori identitas budaya Stuart Hall. Dalam proses penyesuaian terhadap kondisi kebudayaan yang baru, orang Indo menciptakan sebuah jenis musik baru yang dinamakan musik Indorock. Musik Indorock akan dikaitkan dengan proses pencarian identitas orang Indo sebagai pendatang baru di tengah masyarakat multikultural Belanda.
This undergraduate thesis examines the emergence of Indorock music pertaining to the Indo’ repatriation to the Netherlands due to decolonisation. It will use a descriptive qualitative research method based on Stuart Hall’s identity theory. During the process of adaptation with a new culture, the Indo created a new genre of music called Indorock. This music will be associated with the quest of identity by the Indo as newcomers within the multicultural society of the Dutch.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S53217
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.H.A. Saleh
Abstrak :
Kerajaan Jepang yang sejak akhir abad ke-19 telah berkembang menjadi negara modern, sudah memperlihatkan sifat-sifat imperialismenya. Negara itu telah mulai dengan ekspansinya untuk menguasai negara-negara tetangganya di daratan Asia, dimulai berturut-turut dari Manchuria, Korea dan China. Rupanya Jepang telah menganggap dirinya sebagai pemimpin Asia dan menghendaki agar seluruh bangsa Asia berhimpun dibawah pimpinan Jepang untuk bersama-sama menentang hegemoni bangsa Barat atas bangsa Asia. Pada waktu pecah Perang Dunia Kedua yang dimulai di Eropa, pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang,pangkalan angkatan laut Amerika di Pearl Harbor, untuk selanjutnya bergerak secara cepat ke selatan untuk mencaplok sejumlah negara di kawasan Asia, diantaranya nusantara Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Dalam peperangan yang menentukan di pulau Jawa, sejak kapitulasi Belanda pada tanggal 9 Maret 1942, Jepang berhasil menduduki dan menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Seluruh Tentara Hindia Belanda yang disebut KNIL di pulau Jawa menjadi takiukan Jepang, dan anggota-anggotanya, terutama yang berwarga Belanda, dijadikan tawanan perang. Mereka dikurung dalam sejumlah kamp khusus, tidak saja di pulau Jawa, bahkan sampai dibawa ke luar wilayah Indonesia, dimana mereka banyak dipekerjakan sebagai buruh kasar di berbagai proyek pertahanan di tempat-tempat yang mempunyai nilai strategis militer. Tidak hanya anggota militer, Jepang juga menginternir seluruh penduduk warga Belanda dan mengasingkan mereka dalam kamp-kamp tertutup yang dijaga keras oleh tentara Jepang. Sejak dimasukkan dalam kamp-kamp tahanan itulah para penghuni kamp mulai merasakan penderitaan-penderitaan tak terhingga akibat perlakuan Jepang yang diluar perikemanusiaan selama masa pendudukan Jepang hingga akhir perang. Jepang secara terang-terangan telah menunjukkan sikapnya yang anti Barat dan ambisinya untuk menjadi Pemimpin Asia, yang dimanifestasikannya pada perlakuannya terhadap orang-orang Barat yang dapat ditaklukkannya. Pihak Sekutu menamakan para tawanan-perang dan interniran itu APWI. Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 ternyata belum berarti pembebasan dari penderitaan bagi para tawanan-perang dan interniran yang selama ini hidup dalam kamp-kamp tertutup, karena para penghuni kamp kini terpaksa menghadapi situasi baru yang sama sekali tidak terperkirakan sebelumnya. Bangkitnya bangsa Indonesia untuk merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah menggerakkan suatu revolusi yang dahsyat untuk mengusir Jepang dari tanah airnya dan menentang penjajahan kembali oleh Belanda. Sikap anti Belanda dan anti Jepang pada para pemuda pejuang Indonesia telah membawa mereka ke ekses-ekses revolusi, sehingga banyak orang Belanda dan Jepang menjadi sasaran keganasan revolusi. Tentara Sekutu yang datang di Jawa dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan para tawanan-perang dan interniran Sekutu, telah memicu pecahnya bentrokan-bentrokan fisik berdarah antara para pejuang Indonesia dengan tentara Sekutu yang secara kentara melindungi kembalinya kolonialis Belanda di Indonesia. Pada tahun 1946 persengketaan antara Indonesia dengan Sekutu akhirnya dapat diredakan melalui kerjasama Indonesia dan Sekutu dalam penyelesaian bersama atas pemulangan APWI dari pulau Jawa. Dengan menggunakan aparat POPDA dan dengan segala keterbatasan sarana, pada pertengahan tahun 1946 pemerintah Indonesia berhasil dalam menangani suatu tugas kemanusiaan untuk memulangkan sebanyak 36.280 APWI, yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.
Allied Prisoners-Of-War And Internees (A.P.W.I.) In Java and Their Repatriation after The End Of The War The Japanese Empire that had grown to be a modern country since the end of the 19`h century, had shown its imperialistic character. They began their expansive behavior to conquer neighboring countries in the mainland of Asia, beginning consecutively from Manchuria, Korea, and China. It seemed that Japan had viewed itself as the leader of Asia and wanted to unite the entire nations of Asia under its leadership to challenge the hegemony of the Western Nations over the Asian Nations. At the time the World War II was raging in Europe, on the 8`h of December 1941 the Japanese attacked the United States naval base at Pearl Harbor, in order to be able to move swiftly southward to annex a number of countries in the Asian region, among which was the Indonesian archipelago that was then called the Netherlands-Indies. After a decisive battle in the island of Java, the Dutch colonial army surrendered on the 9`h of March 1942. Since then Japan managed to conquer and control the entire territory of the Netherlands-Indies. The entire Dutch armed forces in the island of Java named KNIL, was captured by the Japanese. Members of the KNIL, especially the Dutch nationals, were made as prisoners of war. They were not only confined in several camps located in Java but also moved to other territories outside of Indonesia, where they were employed as forced labor in many defense projects which has a military strategic value. Not only military members, Japan also interned the entire Dutch citizens and exile them into closed camps, heavily guarded by Japanese soldiers. Since the moment being placed in the prisoner's camps, the Dutch camp occupants experienced immense sufferings as the result of the Japanese inhuman conduct during the time of the Japanese occupation until the end of the war. Japan had blatantly demonstrated its anti-western attitude and ambition to become the leader of Asia, which was manifested on their conduct upon the conquered westerners. The Allies named the prisoners of war and internees as APWI. The surrender of Japan on the 15th of August 1945 was not automatically meant freedom from persecutions for the prisoners of war and internees lived in closed camps, because these camp occupants had still to face other new unpredictable situations outside their camps. The rising spirit of independence among Indonesian people since the 17'h of August 1945, had created a massive revolution to expel Japan from their homeland and to denounce the return of Dutch colonialism. The anti Dutch and anti-Japan attitude on the young Indonesian freedom fighters had lead them to the excess of revolution, so much that a great many Dutch people and Japanese became the target of the savage of revolution. The Allied Forces which had landed in Java with the official task of disarming the Japanese Forces and releasing the prisoners of war and internees, triggered the outbreak of bloody physical clashes with the Indonesian freedom fighters who believed that the Allied Forces were clearly protecting the return of Dutch colonialism. On 1946 the dispute between Indonesia and the Allies was finally subdued through cooperation between Indonesia and the Allies in a joint solution on the repatriation of the APWI from Java. By utilizing the POPDA apparatus within the limitation of the means available, in the middle of 1946 the Indonesian government succeeded in achieving the task for humanity to evacuate as many as 36,280 APWI, who mostly were women and children, to their assembly points in Allied controlled areas.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T9037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reawaruw, Hanny Octoviana
Abstrak :
Tesis ini menganalisa tentang keberhasilan UNHCR dalam menangani proses repatriasi sukarela para pengungsi Afghanistan, guna mendukung pelaksanaan post-conflict peacebuilding secara keseluruhan di negara Afghanistan. Konflik yang terjadi di Afghanistan merupakan konflik yang berkepanjangan, yang menimbulkan civil war, dan menyebabkan berbagai akibat buruk bagi negara dan rakyat Afghanistan sendiri. Dengan semakin lama dan tidak adanya penyelesaian yang konkrit selama 21 tahun, masyarakat Afghanistan berusaha untuk mencari cara menyelamatkan dirinya. Salah satunya adalah terjadi arus pengungsian besar - besaran keluar dari Afghanistan, menuju ke negara - negara tetangga terdekat ataupun ke negara lain yang dianggap bisa memberikan perlindungan dan keamanan. Pengungsi Afghanistan mulai bergerak tanpa bantuan dari pihak mana pun. Sedangkan negara - negara yang kedatangan akan para pengungsi tersebut tidak dapat berbuat apa - apa, kecuali menerima dan menampung mereka. Namun kedatangan para pengungsi tersebut, seiring dengan berjalannya konflik yang tidak selesai, tidak terbendungkan dan membuat negara - negara tetangga mulai menyerah dan meminta bantuan dunia internasional untuk turut menangani akan pengungsi tersebut. Akhirnya dengan persetujuan PBB, UNHCR sebagai badan yang mengurusi masalah pengungsi di dunia, mulai menangani masalah pengungsi Afghanistan pada tahun 1979. PBB mulai memfasilitasi kedatangan para pengunsi Afghanistan ke negara - negara tetangga sekitar dan mengurusi keperluan mereka selama mereka berada di sana. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya civil war di Afghanistan dapat dihentikan dengan campur tangan dari pihak asing. Arus pengungsi yang hendak kembali pun meningkat secara tajam , dan membutuhkan pertolongan UNHCR untuk mefasilitasinya. Dengan jatuhnya rezim Taliban, UNHCR mulai mempersiapkan kepulangan pengungsi Afghanistan, pada tahun 2002, yang ternyata merupakan proses repatriasi terbesar yang dilakukan oleh UNHCR. Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk menjelaskan keberhasilan UNHCR dalam post-conflict peacebuilding dengan kasus repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan, pada periode 2002. Konsep yang digunakan sebagai alat bantu analisa dalam tesis ini adalah peacebuilding. Peacebuilding merupakan proses yang memiliki memiliki nuansa kultural yang kental karena bertujuan untuk melakukan perombakan - perombakan struktur sosial budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Post-conflict peace-building mengandung makna tindakan - tindakan yang diambil pada akhir konflik untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan mencegah terjadinya kembali konfrontasi persenjataan. Dalam konsolidasi perdamaian dibutuhkan lebih dari sekedar diplomasi murni dan aksi militer, dan usaha untuk pembangunan perdamaian yang bersama - sama dibutuhkan untuk menunjukkan berbagai faktor yang menyebabkan konflik. Seluruh kegiatan peacebuilding ini dapat dilakukan bila para pengungsi atau internal displaced person pulang kembali (repatriasi) dan bereintegrasi ke daerah asalnya. Apabila orang - orang tersebut tidak kembali ke daerah asal mereka maka proses perdamaian tidak akan berjalan efektif. Dengan berepatriasi dan berintegrasinya para pengungsi ke lingkungan asalnya, mereka dapat membantu berjalannya proses peacebuilding yang sedang berlangsung. UNHCR (United Nations High Comissioner of Refugees) sebagai salah satu organisasi internasional, melakukan tugasnya untuk memastikan repatriasi yang aman, lancar dan cepat dan menempatkan kembali para pengungsi. Ada dua fungsi utama UNHCR, yaitu perlindungan internasional dan pencarian solusi berjangka panjang terhadap masalah pengungsi. Dalam melaksanakan fungsi kedua, solusi perrnanen, UNHCR berupaya memudahkan repatriasi sukarela para pengungsi dan re-integrasi ke dalam negara asal mereka atau, jika hal itu tidak memungkinkan, membantu mempermudah integrasi mereka di negara pemberi suaka atau di negara tempat mereka dimukimkan kembali. Proses repatriasi sukarela pengungsi Afghanistan sendiri berhasil dilakukan oleh UNHCR dan para partner yang bekerjasama mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya. Dari berbagai fakta yang dibahas dalam tesis ini, dapat dikatakan UNHCR berhasil melakukan fasilitasi repatriasi sukarela, dengan indikasi kepulangan pengungsi Afghanistan yang lebih dari perkiraan/perencanaan bahkan yang terbesar yang pernah dilakukan. Keberhasilan dari UNHCR ini tidak terlepas dari terlaksananya faktor - faktor pendukung proses pecebuilding. Namun yang perlu diingat ada beberapa hal yang menjadikan faktor - faktor tersebut berhasil dilaksanakan, yaitu adanya perubahan pemerintahan Afghanistan yang baru, yaitu pemerintahan koalisi dan berbagai partai politik serta etnis dari seluruh negara Afghanistan, serta adanya campur tangan yang besar dari Amerika Serikat. Dengan beralaskan kemanusiaan, pemerintah Amerika berusaha menutupi maksud ekonomisnya, yaitu untuk kepentingan keamanan pipa - pipa minyaknya yang melintas di Afghanistan, dalam membantu Afghanistan, mulai dari saat penghancuran rezim Taliban sampai pada proses post-conflict peacebuilding di Afghanistan. Dengan mengabaikan akan sebab sesungguhnya Amerika Serikat mau menolong Afghanistan, peranan Amerika Serikat ini telah membantu UNHCR dalam menyelenggarakan proses pemulangan pengungsi Afghanistan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Meizura
Abstrak :
Globalisasi finansial telah memungkinkan pergerakan modal lintas batas negara secara bebas (free movement of capital), sehingga fenomena aliran modal masuk dan keluar dari suatu negara baik secara legal maupun ilegal telah menjadi realitas perekonomian dunia. Pasca terungkapnya aset Warga Negara Indonesia di berbagai jurisdiksi tax havens melalui Panama Papers dan Paradise Papers, Pemerintahan Joko Widodo melihat bahwa terdapat potensi pajak dan investasi di luar jurisdiksi Indonesia yang luput dari pantauan pemerintah. Kebutuhan negara akan pendapatan pajak dan investasi demi merealisasikan program prioritas nasional berupa pembangunan infrastruktur mendorong pemerintah untuk membentuk kebijakan Tax Amnesty dengan tujuan utama menghasilkan repatriasi. Repatriasi merupakan penarikan aset milik wajib pajak yang berada di luar jurisdiksi negara tersebut untuk diinvestasikan pada instrumen di dalam negeri yang telah ditentukan oleh pemerintah. Repatriasi dalam kebijakan Tax Amnesty 2016-2017 yang diambil Indonesia di tengah realitas globalisasi finansial mengalami kegagalan pemenuhan target. Meskipun pada tingkat internasional didukung dengan adanya rencana penerapan Automatic Exchange of Information dan pada tingkat domestik terdapat kesiapan administratif yang matang, namun hasil repatriasi hanya memenuhi 14,7% dari target pemerintah. Tulisan ini kemudian berusaha mengidentifikasi sebab-sebab kegagalan kebijakan repatriasi dengan menggunakan kerangka Macro-Framework Analysis of Foreign Economic Policy dan konsep Adaptive Partnership yang dikemukakan oleh Christopher Dent. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegagalan pemenuhan target repatriasi disebabkan oleh ketidakmampuan aktor negara untuk membentuk kerja sama yang baik dengan pemilik modal dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi di era globalisasi. ......Financial globalization has made free movement of capital across the boundaries possible, therefore the phenomenon of capital inflows and capital outflows - both legal and illegal - has become a normal reality of world economy. After the disclosure of Indonesian citizens` assets in various tax havens jurisdictions through the Panama Papers and Paradise Papers, Joko Widodo Government saw the potential of taxes and investments outside of Indonesia`s jurisdiction which escaped government monitoring. The country`s dire need for tax and investment to realize national priority program - infrastructure development - has prompted the government to develop a Tax Amnesty policy with the main objective of generating capital repatriation. Capital repatriation is defined as the withdrawal of capital owned by taxpayers and is located outside the jurisdiction of their country to be invested in domestic instruments previously determined by the government. However, repatriation in Tax Amnesty policy 2016-2017 taken by Indonesia in the midst of financial globalization had failed to fulfill government target. Although at the international level it is supported by the plan to implement the Automatic Exchange of Information and at the domestic level there is is sufficient administrative readiness, the result of repatriation only met 14,7% of the government target. This paper then attempts to identify the causes of the failure of repatriation policy using Macro-Framework Analysis of Foreign Economic Policy and the concept of Adaptive Partnership introduced by Christopher Dent. The result of this study indicates that the failure to fulfill repatriation target is caused by the inability of state actor to form good cooperation with capital actors in implementing economic policies at the era of globalization
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Yohanna Amelia
Abstrak :
Dalam Convention Relating to the Status of Refugees (“Konvensi Pengungsi”) diaturmengenai prinsip non-refoulement juga merupakan hukum kebiasaan internasional dengan karakter jus cogens. Prinsip non-refoulement berlaku dari tahap awal proses suakahingga repatriasi. Repatriasi diupayakan bersifatsukarela, aman, dan bermartabat agar tidakmenimbulkan refoulement. Ketentuan prinsipnon-refoulement kembali dipertegas dalamEuropean Convention on Human Rights(“ECHR”) dan Charter of Fundamental Rights of the European Union (“EU Charter”). Denmark merupakan negara anggota dari Council of Europe (“CoI”) dan European Union (“EU”) yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan EU Charter serta melakukan inkorporasi ECHR ke dalam hukum nasionalnya. Pada tahun 2019, Denmark melakukan pengembalian pengungsiSuriah karena Suriah telah aman berdasarkanpenilaian Denmark dalam Country of Origin Information 2019. Tindakan Denmark tidakdidukung oleh organisasi internasional dan non-governmental organisation (“NGO”) yang menyatakan bahwa repatriasi sukarela, aman, dan bermartabat ke Suriah belum tersedia. Denganmenggunakan metode penelitian hukum normatifyang berbasiskan pada data sekunder, penelitianskripsi ini hendak menganalisis apakahpengembalian pengungsi Suriah di Denmark melanggar prinsip non-refoulement. Adapun hasilpenelitian yang telah dilakukan, ditemukankesimpulan bahwa belum ada tindakan dan indikasi pelanggaran prinsip non-refoulementyang dilakukan oleh Denmark. Meski demikian, Denmark diharapkan untuk tetap menjunjungtinggi ketentuan prinsip non-refoulement dan memenuhi hak-hak dasar pengungsi yang hendakdikembalikan. Denmark juga diharapkan untukmenjaga komitmennya sebagai bagian dari EU dan CoI yang melalui instrumen hukumnya, yakni ECHR dan EU Charter, mempertegaskembali ketentuan prinsip non-refoulement. Denmark dapat melakukan kolaborasi organisasiinternasional, NGO, dan komite nasional Suriahuntuk memastikan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat. ......Convention Relating to the Status of Refugees("Refugee Convention") governs the concept of non-refoulement as well as customary international law with jus cogens character. From the beginning of the asylum procedure till repatriation, the principle of non-refoulement applies. Repatriation is intended to be voluntary, safe, and dignified in order to avoid refoulement. The concept of non-refoulement has been reiterated in the European Convention on Human Rights ("ECHR") and the European Union Charter of Fundamental Rights ("EU Charter"). Denmark is a member of the Council of Europe ("CoI") and the European Union ("EU"), and it has ratified the Refugee Convention and the EU Charter, as well as incorporated the ECHR into national law. In 2019, Denmark carried out the return of Syrian refugees because Syria was safe based on the Danish assessment in the Country of Origin Information 2019. However, Denmark is expected to continue to uphold the provisions of the principle of non-refoulement and fulfill the basic rights of refugees who desire to be repatriated. Denmark is also required to retain its commitment as a member of the EU and CoI, which reaffirms the principle of non-refoulement through its legal instruments, particularly the ECHR and the EU Charter. Denmark can work with international organizations, non-governmental groups, and Syrian national committees to facilitate voluntary, safe, and dignified repatriation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladis Charisma Inshani
Abstrak :
ABSTRACT
Pertumbuhan jumlah perusahaan yang bergerak dalam pasar global saat ini cukup pesat, hal tesebut beriringan dengan kebutuhan keahlian karyawan dengan skala internasional yang diperoleh dengan cara penugasan internasional. Penugasan internasional dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan talenta para karyawan. Menurut penelitian sebelumnya permasalahan yang terjadi di perusahaan dalam penugasan internasional adalah terdapat kesenjangan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan yang mendapat kesempatan untuk bertugas ke luar negeri, dimana jumlah karyawan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal tesebut terjadi karena beberapa faktor yaitu kurangnya role model, sulit menyesuaikan budaya host country, dual-career issues, dan fokus kepada karir setelah repatriasi. Dengan adanya permasalahan tersebut, penelitian ini lebih mengeksplor mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi karyawan perempuan dalam penugasan internasional terutama bagi karyawan perempuan di Indonesia. Data kualitatif penelitian ini diperoleh dari 8 karyawan perempuan pada perusahaan multinasional dengan melakukan in-depth interview. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada work-life issues tantangan yang dihadapi perempuan adalah ststus pernikahan, anak dan time management; pada cross-cultural adjustment tantangan yang dihadapi berupa stereotyping dan tingkat cultural intelegence karyawan yang mempengaruhi penyesuaian diri mereka di host country; dan pada repatriation karyawan perempuan dihadapkan dengan tantangan reverse culture shock, career expectation, dan tingkat turnover.
ABSTRACT
The growth of the number of companies engaged in the global market is now quite rapid, it is in tandem with the expertise needs of employees on an international scale obtained by international assignments. International assignments are carried out in hopes of increasing the talents of employees. According to previous research the problems that occur in companies in international assignments are that there are gaps in the number of male and female employees who have the opportunity to work abroad, where the number of female employees is lower than that of men. This happens because of several factors, namely the lack of role models, it is difficult to adjust the host countrys culture, dual-career issues, and focus on careers after repatriation. With these problems, this study explores more about the challenges faced by female employees in international assignments, especially for female employees in Indonesia. The qualitative data of this study were obtained from 8 female employees in multinational companies by conducting in-depth interviews. The results of this study indicate that in the work-life issues the challenges faced by women are the status of marriage, children and time management; on cross-cultural adjustment the challenges faced are in the form of stereotyping and the cultural level of employee intelligence that influences their adjustment in the host country; and the repatriation of female employees is faced with the challenge of reverse culture shock, career expectation, and turnover rate.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Ramadhan Abdullah
Abstrak :
Tax amnesty adalah kebijakan yang menghapus pokok pajak yang terutang dan sanksinya. Tujuan dari pengampunan pajak adalah untuk memperoleh dana sebagai penerimaan APBN dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang. Terdapat dua hal dalam tax amnesty yaitu deklarasi aset dan repatriasi aset. Deklarasi aset Indonesia menjadi yang tertinggi diantara negara-negara lain. Namun, repatriasi aset Indonesia justru sebaliknya. Repatriasi aset bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia yang menjadi harapan besar bagi Indonesia dalam meningkatkan penerimaan negara. Repatriasi aset Indonesia hanya berhasil mendapatkan dana sebesar 147 Triliun dari 1000 Triliun target yang telah ditetapkan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan tax amnesty di tahun 2016 dalam upaya repatriasi aset dari luar negeri ke dalam negeri. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist untuk menganalisis hubungan sebab akibat bagaimana keefektifan program dan faktor yang mendukung tax amnesty atas repatriasi aset di Indonesia dan diperkaya dengan data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan repatriasi aset ditinjau dari teori Riant Nugroho (2012:107) menggambarkan bahwa kebijakan repatriasi aset di Indonesia kurang efektif. ......Tax amnesty is a policy that eliminates the principal tax payable and the sanctions. The purpose of tax amnesty is to obtain funds as state budget revenues and improve taxpayer compliance in the future. There are two things in tax amnesty, namely asset declaration and asset repatriation. Indonesia's asset declaration is the highest among other countries. However, the repatriation of Indonesian assets is just the opposite. Asset repatriation aims to improve the investment climate in Indonesia, which is a big hope for Indonesia in increasing state revenues. The repatriation of Indonesian assets only managed to get funds of 147 trillion from the 1000 trillion target that had been set. This study aims to determine the effectiveness of the implementation of tax amnesty in 2016 in an effort to repatriate assets from abroad to domestic. This study uses post-positivist approach to analyze the causal relationship between program effectiveness and the factors that support tax amnesty on asset repatriation in Indonesia and enriched with data collected through in- depth interviews and literature studies. The results of this study indicate that the effectiveness of the asset repatriation policy in terms of the theory of Riant Nugroho (2012:107) illustrates that the asset repatriation policy in Indonesia is less effective.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yaslina
Abstrak :
Klien pasca stroke yang tidak melakukan perawatan yang optimal dapat menyebabkan terjadinya stroke berulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga, program pemulangan dan karakteristik klien dengan perawatan di rumah pada aggregate dewasa pasca stroke di Bukittinggi. Penelitian ini mengggunakan desain cross sectional dengan sampel penelitian 144 klien dewasa pasca stroke. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan dukungan keluarga, program pemulangan, usia, jenis kelamin dan pendidikan dengan perawatan pasca stroke di rumah. Dukungan keluarga diperlukan dalam perawatan pasca stroke di rumah serta program pemulangan dari rumah sakit perlu terencana dan sistematis. ......Post-stroke clients who do not do the optimal treatment can lead to recurrent stroke.. This study aims to determine the relationship of family support, repatriation programs and the characteristics of clients with home care in the aggregate post-stroke adult in Bukittinggi. These studies use traditional cross-sectional design of the study sample with clients poststroke. The study found a significant associations of family support, repatriation program, age, gender and education with post-stroke care at home. Family support is needed in post-stroke care at home as well as the repatriation program of the hospital need to be planned and systematic.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library