Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asri Putri Amanda
"Munculnya pandemi COVID-19 telah memberikan dampak amat besar pada aspek perekonomian, khususnya industri penerbangan. Efek dari pandemi ini memberikan kesulitan bagi pihak maskapai penerbangan sebagai lessee dalam memenuhi kewajiban kontrak leasing, dan perusahaan leasing sebagai lessor dihadapkan pada risiko pembayaran sewa yang tertunda atau bahkan tidak terpenuhi. Menanggapi polemik tersebut, klausul force majeure memiliki peran besar dalam memberikan suatu dasar hukum untuk menunda atau melepaskan kewajiban yang sulit atau bahkan tidak mungkin dipenuhi dalam situasi darurat seperti pandemi COVID-19. Namun demikian, penafsiran pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan memaksa dapat berbeda-beda. Terlebih lagi, tidak semua kontrak secara otomatis mencakup klausul force majeure, salah satunya seperti kontrak leasing pesawat udara. Akibatnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak leasing pesawat udara dihadapkan pada kompleksitas dan ketidakpastian hukum dalam menangani konsekuensi pandemi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas mengenai penafsiran force majeure terhadap peristiwa pandemi COVID-19 dalam melaksanakan renegosiasi kontrak dan akibat hukum yang timbul terhadap kontrak leasing pesawat udara atas terjadinya pandemi COVID-19 sebagai force majeure. Adapun, dengan menggunakan metode doktrinal dan bahan data sekunder, kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure relatif. Dengan kata lain, pemenuhan kewajiban debitur dapat ditangguhkan atau ditunda untuk sementara waktu hingga keadaan memaksa (pandemi COVID-19) berhenti. Setelah keadaan memaksa tersebut dinyatakan selesai, maka debitur harus melaksanakan kewajiban perjanjiannya kembali. Kedua, pelaksanaan renegosiasi kontrak leasing pesawat udara pada dasarnya tidak dilandasi dengan alasan force majeure, melainkan adanya peran lessor yang proaktif dan terbuka untuk bekerja sama mencari solusi yang memberikan keadilan bagi para pihak.

The emergence of the COVID-19 pandemic had a huge impact on economy aspects, especially the aviation industry. The effects of this pandemic have made it difficult for airlines as lessees need to fulfill their leasing contract obligations and leasing companies as lessors are faced with the risk of delayed or even incomplete rental payments from lessees. Responding to this polemic, the force majeure clause has a big role in providing a legal basis for postponing or releasing obligations that are difficult or even impossible to fulfill in emergency situations such as the COVID-19 pandemic. However, the interpretation of the COVID-19 pandemic as a force majeure event can vary. Moreover, not all contracts automatically include a force majeure clause, such as aircraft leasing contracts. Consequently, parties involved in aircraft leasing contracts grapple with legal complexities and uncertainties in addressing the consequences of the pandemic. The aim of this research is to discuss the interpretation of force majeure regarding the COVID-19 pandemic event in renegotiating contracts and the legal consequences arising on aircraft leasing contracts due to the occurrence of the COVID-19 pandemic as force majeure. Therefore, by using doctrinal method and secondary data, the conclusion drawn from this research is, firstly, that the COVID-19 pandemic can be categorized as a relative force majeure. In other words, the debtor's obligations fulfilment can be temporarily postponed or delayed until the force majeure condition (COVID-19 pandemic) ceases. Once the force majeure condition is declared over, the debtor must resume fulfilling their contractual obligations. Secondly, the renegotiation of aircraft leasing contracts is fundamentally not based on force majeure reasons, but rather on the proactive role of the lessor, who is open to collaborative solutions that ensure fairness for all parties involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Rachel
"Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia seyogyanya digunakan untuk kepentingan rakyat. Pemerintah Indonesia membuka kesempatan bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka di Indonesia dalam rangka mengembangkan kemakmuran bangsa Indonesia dengan memanfaatkan kekayaan alam bumi Indonesia. Akan tetapi agar kemakmuran rakyat Indonesia dapat terjamin, maka perusahaan tambang asing diwajibkan untuk menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Namun di dalam prakteknya kewajiban divestasi perusahaan pertambangan asing ini belum dapat berjalan dengan lancar. Maka dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai masalah mengapa divestasi tersebut masih terhambat sehingga pada akhirnya dapat dijadikan alasan untuk melakukan renegosiasi kontrak karya antara pihak asing yakni PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia.
Indonesia is a country which is rich in natural resources. These natural resources are, in the first place for the benefit of the Indonesian people. In recent years, the Indonesian government has removed certain obstacles to foreign investment in Indonesia so as to exploit these natural resources and in turn, to increase the prosperity of all Indonesians. However, at particular times, foreign mining companies are obliged to sell their shares to the government of Indonesia. In practice, this divestment obligation has not been exercised smoothly. This thesis attempts to answer why divestment has not been exercised smoothly especially in regards to the renegotiation of the Contract of Works between PT. Freeport Indonesia and the Government of Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1549
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erlangga Matin Julianto Putra
"Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009) maka Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dihapuskan dan perlu penyesuaian melalui renegosiasi kontrak. Renegosiasi kontrak tidak mudah dilaksanakan karena banyak perusahaan yang belum sepakat mengenai hal-hal yang harus disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun 2009. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah sebenarnya status hukum KK? Serta bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pemerintah apabila pemegang KK tidak melakukan renegosiasi kontrak? Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif, jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Kesimpulannya adalah bahwa status hukum KK merupakan suatu konsesi, dan bukan perjanjian perdata murni pada umumnya. Perjanjian yang ada pada KK merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban. Karena status hukum KK merupakan konsesi, maka pemerintah dapat menempuh beberapa upaya dalam renegosiasi kontrak apabila kontraktor tidak mau melaksanakan renegosiasi. Pertama, dengan jalan melanjutkan renegosiasi kontrak karya. Kedua, penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi. Ketiga, menasionalisasi secara langsung tanpa adanya renegosiasi kontrak ataupun kompensasi. Keempat, jika renegosiasi tidak dapat berjalan maka Pemerintah Indonesia dapat menggugat ke arbitrase.

Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining removed Contract of Work and Work Agreement for Coal Mining Enterprises, but the conditions specified in the contract should be adapt to Law No. 4 of 2009. Adjustment provisions contained in article Contract of Work with the Law No. 4 of 2009 was conducted through contract renegotiation. Contract renegotiation is not easy to do because many contractors are not agree on provisions that should be adapted to Law No. 4 of 2009. The question is how exactly the legal status of Contract of Work? And how the action which can be done by the Government when the contractors will not perform contract renegotiations to adapt to Law No. 4 of 2009? Design of this study is a normative juridical. Data types used in this study is a secondary data, it can be a primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The conclusion is that the status of the Contract of Work is a concession and not purely civil agreement in general. Agreement in contract work is the implementation of rights and obligations. Because the status of the Contract of Work is a concession, the government could lead some action in contract renegotiations when the contractor did not perform renegotiations in order to adapt Law No. 4 of 2009. First, by way of extending the work contract renegotiations. Second, the unilateral termination of the existing contract and then give compensation. Third, direct nationalize without compensation or contract renegotiations. Fourth, if renegotiation can not run the Government of Indonesia can sue contractor to arbitration."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library