Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susilo Wibisono
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan antara orientasi keberagamaan ekstrinsik dan fundamentalisme agama pada kalangan mahasiswa Muslim. Hal yang membedakan penelitian inidengan berbagai penelitian sebelumnya tentang fundamentalisme terletak pada perbedaan konseptual. Landasan awal dikembangkannya penelitian ini adalah pada lahirnya prasangka atas konsep fundamentalisme, khususnya pada kalangan muslim. Dalam kajian sebelumnya, peneliti telah mengembangkan konsep fundamentalisme dengan membaginya menjadi dua bentuk, yaitu fundamentalisme patologis dan fundamentalisme non-patologis. Fundamentalisme patologis mengacu pada sikap kaku, tertutup dan menolak perbedaan pada domain agama Islam yang sifatnya partial (furuu’). Fundamentalisme bentuk inilah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Orientasi keberagamaan ekstrinsik dikembangkan berdasarkan definisi Allport & Ross (1967), namun dengan indikator-indikator yang disesuaikan pada konteks muslim. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan model Rasch sebagai model pengukuran yang lebih kuat secara metodologis. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara orientasi keberagamaanekstrinsik dan fundamentalisme agama pada kalangan mahasiswa Muslim dengan nilai R = 0,329 dan p = 0,002 (p<0,01)."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI, 2017
150 JPS 15:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Dinda Caesara
"Penelitian ini merupakan studi kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara fundamentalisme agama dan intoleransi politik serta efek moderasi need for closure terhadap hubungan dua variabel tersebut. Fundamentalisme agama diprediksi memiliki hubungan positif dengan intoleransi politik di mana need for closure dapat memperkuat hubungan keduanya. Intoleransi politik diukur dengan Political Tolerance Scale yang dikembangkan oleh Mujani, Liddle, & Pepinsky (2018) sementara itu fundamentalisme agama diukur dengan Intratextual Fundamentalisme Scale yang diadaptasi oleh Muluk, Sumaktoyo dan Ruth (2013). Need for closure diukur dengan  Need for Closure Scale yang dikembangkan oleh Roets dan Van Hiel (2011) untuk mengukur kebutuhan keteraturan, prediktabilitas, ketegasan, menghindar dari ambiguitas, dan close mindedness. Responden penelitian ini adalah 211 orang masyarakat umum di Indonesia yang beragama Islam dan dijaring secara online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berkorelasi positif dan signifikan dengan intoleransi politik. Need for closure memiliki kontribusi sebagai moderator terhadap hubungan fundamentalisme agama dan intoleransi politik, khususnya ketika need for closure tinggi. Namun, tidak ditemukan peranan individual need for closure yang signifikan dalam menjelaskan intoleransi politik. Temuan ini menunjukkan pentingnya peran faktor kognitif dalam memahami agama dan sikap politik.

This research is a quantitative study which aims to determine the relationship between religious fundamentalism and political intolerance with the moderating effect of need for closure on the relationship of these two variables. Religious fundamentalism is predicted to have a positive relationship with political intolerance where need for closure can strengthen the relationship between them. Political intolerance is measured by the Political Tolerance Scale developed by Mujani, Liddle, and Pepinsky (2018) while religious fundamentalism is measured by the Intratextual Scale Fundamentalism adapted by Muluk, Sumaktoyo and Ruth (2013). Need for closure is measured by Need for Closure Scale developed by Roets and Van Hiel (2011) to measure the needs of regularity, predictability, firmness, avoidance of ambiguity, and close mindedness. Respondents of this study were 211 people in the general public in Indonesia who are Muslim and netted online. The results showed that religious fundamentalism was positively and significantly correlated with political intolerance. Need for closure has a contribution as a moderator on the relationship between religious fundamentalism and political intolerance, especially when the need for closure is high. However, in terms of individual effect, there was no significant role for need for closure in explaining political intolerance. This finding shows the importance of the role of cognitive factors in understanding religion and political attitudes."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinaya-Pitaka
"ABSTRAK
Penelitian ini menguji variabel religious fundamentalism, scientific attitude dan
keenam dimensi worldview sebagai prediktor sikap terhadap kebijakan publik yang
berhubungan dengan pembaruan pemikiran Islam. Sebanyak 453 responden dengan
pendidikan minimal SMA dan beragama Islam mengisi kuesioner religious
fundamentalism (Altemeyer & Hunsberger, 2004), scientific attitude inventory II (Moore
& Foy, 1997), worldview assessment instrument (Koltko-Rivera, 2000) serta skala sikap
terhadap kebijakan publik yang terkait dengan pembaruan pemikiran Islam. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa religious fundamentalism, scientific attitude, dan lima
dimensi worldview (iagency\ ‘metafisik’, ‘relasi kelompok’, ‘mutability’ dan ‘lokus
tanggung jawab’) secara signifikan mampu memprediksi sikap terhadap kebijakan publik
yang terkait dengan pembaruan pemikiran Islam sebesar 39,2 %. Tingkat pendidikan
ditemukan berkorelasi positif secara signifikan dengan sikap terhadap kebijakan publik
yang terkait dengan pembaruan pemikiran Islam. Pengembangan teoritis selanjutnya
disarankan meneliti religious fundamentalism dengan penerimaan terhadap hasil
penelitian ilmiah yang mengandung dilema moral dan dipertentangkan antara agama dan
ilmu pengetahuan (seperti teori evolusi dan cloning). Dimensi worldview ‘relasi
kelompok’ dan ‘relasi terhadap kelompok’ diduga juga dapat menjadi moderator
religious fundamentalism dan sikap terhadap kebijakan publik yang terkait dengan
pembaruan pemikiran Islam.

ABSTRACT
This research examined the capability of religious fundamentalism, scientific
attitude and six dimensions of worldview as predictor of attitude on public policies
related to the renewal of Islamic thought. Characteristic of the respondent is Moslem and
minimum have been graduated from high school. Religious fundamentalism scale
(Altemeyer & Hunsberger, 2004), scientific attitude inventory II (Moore & Foy, 1997),
worldview assessment instrument (Koltko-Rivera, 2000) and attitude on public policies
related to the renewal of Islamic thought scale was used on 453 respondents. The result
show that religious fundamentalism, scientific attitude and five dimensions of worldview
(‘agency’, ‘metaphysic’, ‘relation to group’, ‘mutability’, and ‘locus of responsibility’)
significantly 39,2 % as predictor of attitude on public policies related to renewal of
Islamic thought. Educational level is found positive significantly correlate with attitude
on public policies related to the renewal of Islamic thought Topic suggestion for the next
research: religious fundamentalism and acceptance of dilemmatic scientific result (such
as theory of evolution, cloning), ‘relation to group’ and ‘relation to authority’ as
moderator of religious fundamentalism and attitude on public policies related to the
renewal of Islamic thought."
Lengkap +
2009
T37856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al Wasi’ilah Atini Arum
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah religious fundamentalism dapat memprediksi penurunan performa memori rekognisi mengenai kata moral-emosional bervalensi negatif pada Muslim di Indonesia dan sejauh mana right-wing authoritarian memoderasi hubungan negatif antara religious fundamentalism dan memori rekognisi jenis kata moral-emosional negatif. Total 121 warga negara Indonesia Muslim yang berusia 18-25 tahun (M = 20 tahun 9 bulan) berpartisipasi. Penelitian ini menggunakan Islamic Fundamentalism (Putra & Sukabdi, 2014), untuk mengukur religious fundamentalism, dan right-wing authoritarianism scale untuk mengukur right-wing authoritarianism (Passini, 2017), sementara pengukuran akurasi memori menggunakan corrected recognition dari signal detection theory (Baddeley dkk., 2015). Analisis repeated measures menunjukkan bahwa jenis kata moral-emosional negatif memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada jenis kata lainnya. Analisis moderasi dengan PROCESS menunjukkan bahwa efek negatif dari religious fundamentalism pada memori rekognisi jenis kata moral-emosional negatif dimoderasi oleh right-wing authoritarianism. Semua temuan ini mengindikasikan bahwa pandangan politik yang ekstrem dapat menurunkan performa memori mengenai kata moral-emosional sehingga perlu dipertimbangkan untuk memahami mekanisme psikologis dari politik identitas agama serta pengaruhnya pada diseminasi pesan moral-emosional lewat kampanye maupun pidato-pidato politik yang disebarkan melalui media sosial.

The purpose of this study to investigate the role of religious fundamentalism in predicting the decline of memory recognition for negative moral-emotional words in Indonesian Muslims and to investigate the role right-wing authoritarians as a moderator on the negative relationship between religious fundamentalism and the memory recognition for negative moral-emotional words. We recruited 121 Indonesian Muslim citizens aged 18-25 years to participate in the study. This study employed Islamic Fundamentalism (Putra & Sukabdi, 2014), to measure the level of religious fundamentalists, Right-Wing Authoritarianism Scale (Passini, 2017) to measure the level of right-wing authoritarianism, and corrected recognition as a measure for memory accuracy based on the signal detection theory (Baddeley et al., 2015) The repeated measures ANOVA analysis showed that participants remembered negative moral-emotional words with a higher level of accuracy than the accuracy levels of other types wordstype. The moderation analysis with PROCESS showed that the negative effect of religious fundamentalism on the memory recognition for negative moral-emotional words is significantly moderated by right-wing authoritarianism. These findings provide evidence on how extreme political views can impair memory for moral-emotional words, and thus, they should be considered to better understand the psychological mechanisms underlying religion-based politics and its effects on the dissemination of moral-emotional messages through campaigns and political speeches in social media."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library