Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardalena Rahmi
"ABSTRAK
Perkawinan dalam Islam merupakan salah satu sunnah Rasul untuk memelihara manusia dari kesesatan, serta untuk meneruskan keturunan. Tujuan perkawinan menurut Islam adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia bukanlah merupakan hal yang mudah sehingga sering kali terjadi perceraian, salah satu penyebab adanya perceraian adalah salah satu pihak pindah agama, ke agama semula (murtad) atau memasuki agama lain selain Islam. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak diatur mengenai perkawinan yang salah satu pihak tidak beragama Islam lagi (murtad) akan tetapi menurut hukum Islam perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan lagi dan harus diceraikan oleh lembaga yang berwenang yang dalam hal ini adalah pengadilan. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara perceraian bila salah satu pihak murtad menurut hukum Islam? Apakah akibat hukumnya apabila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam? Metode penelitian ini adalah kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, jenis data dan sumber data yang di pergunakan adalah studi kepustakaan (Library Research) dan wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Palembang sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yaitu kewenangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Apabila perkawinannya di lakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang berwenang adalah Pengadilan Agama tetapi apabila perkawinan di .lakukan di Kantor Catatan Sipil yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Akibat hukum bila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam adalah perkawinan tersebut adalah batal sehingga berakibat sebagai berikut yaitu bila melakukan hubungan biologis hukumnya adalah berzinah/haram, suami isteri yang berbeda agama tidak saling mewarisi, nasab (garis keturunan) tidak dapat di sandarkan kepada ayahnya, seseorang yang murtad tidak mempunyai hak untuk menjadi wali dari anaknya."
2007
T 17402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Muflichah
"Menurut hukum Islam tujuan perkawinan adalah menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari'at Islam. Demikian juga dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, undang-undang perkawinan kita telah mengatur prinsipprinsip serta asas-asas perkawinan dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia. Salah satu asas-asas perkawinan tersebut adalah "asas monogami" yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri dan sebaliknya. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat melakukan poligami yaitu perkawinan dengan lebih dari seorang istri. Meskipun dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan, harus ada alasan-alasan serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan ditetapkan oleh Pengadilan. Mengenai alasan-alasan untuk dapat berpoligami diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
  2. Istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang hendak berpoligami ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 yaitu :
  1. Persetujuan dari istri/istri-istri.
  2. Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
  3. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
Apabila diperhatikan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami seperti yang ditentukan oleh Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tersebut di atas, nampaknya alasan-alasan termaksud dirumuskan pembentuk undang-undang secara umum.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus tentang permohonan untuk melakukan poligami di Pengadilan Agama Purwokerto selama kurun waktu 7 tahun, yaitu dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1996, 20 kasus yang dijadikan sampel penelitan. Dari 20 kasus permohonan izin poligami tersebut, ada 17 permohonan dikabulkan dan 3 permohonan ditolak oleh Pengadilan Agama Purwokerto. Dari kasus tentang permohonan izin poligami, ternyata alasan yang paling banyak dijadikan dasar untuk melakukan poligami adalah karena istri tidak dapat melahirkan keturunan, yaitu 10 kasus (50%), sedangkan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri ada 5 kasus (25%), alasan isterinya sakit ada 5 kasus (25%).
Di samping alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk melakukan poligami seperti tersebut di atas, ternyata perkawinan poligami juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi, faktor lingkungan dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dideskripsikan bahwa ada korelasi negatif (hubungan terbalik) antara perkawinan poligami dengan faktor pendidikan, sosial ekonomi, dan lingkungan. Artinya semakin rendah tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, semakin banyak terjadi perkawinan poligami. Sebaliknya semakin tinggi tingkat pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan, justru semakin jarang terjadi perkawinan poligami.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah poligami belum diatur secara tuntas, karena yang diatur baru menyangkut alasan-alasan, syarat-syarat serta tata cara untuk melakukan poligami. Ini berarti baru mengatur masalah-masalah sebelum terjadinya poligami. Sedangkan masalah-masalah setelah terjadinya poligami belum diatur. Seperti hak dan kewajiban para pihak, hak istri pertama (dengan anak-anaknya) terhadap penghasilan suami, hak untuk mendapat perlindungan hukum apabila suami tidak berlaku adil, dan sebagainya.
Sikap masyarakat terhadap poligami ternyata oukup beragam, terbukti dari 20 orang responden yang dijadikan sampel, 10 orang responden (50%) menyatakan tidak setuju sama sekali dengan perkawinan poligami apapun alasannya karena dalam kenyataannya hanya akan membawa kesengsaraan bagi istri dan anak-anaknya, dan sulit diharapkan suami akan berlaku adil. Enam orang responden (30%) menyatakan setuju adanya poligami dengan syarat bahwa poligami tersebut benar-benar didasarkan kepada alasan-alasan yang rasional dan masuk akal sehat. Selebihnya yaitu empat orang responden (20%) menyatakan setuju adanya poligami dengan alasan poligami justru dapat mengatasi masalah keluarga.
Sikap atau pandangan responden yang tidak setuju dengan poligami mendapat pembenaran secara empiris, karena apapun alasannya, sebagian besar kaum wanita tetap tidak dapat menerima poligami dengan perasaan ikhlas. Kenyataan juga menunjukkan betapa pahitnya keluarga yang berpoligami."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Farid
"ABSTRAK
Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas masyarakat Minangkabau dikenal kuat berpegang kepada adat, tetapi dapat menerima perobahan norma yang disebabkan oleh pergantian penguasa yang lebih luas (negara). Aturan hukum yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau ada dua bentuk; aturan yang datang dari Tuhan (Islam) berupa Al-Quran dan Hadits, dan aturan adat yang juga terdiri dari dua unsur. Pertama yang bersifat esensial dan tidak dapat berobah, kedua yang dapat berobah dalam bentuk hasil mufakat rapat nagari. Dengan demikian aturan adat Minangkabau terdiri dari bentuk adat, adat istiadat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat adalah bentuk asli yang tidak dapat berobah seperti sistem garis keturunan nasab ibu, peran penghulu dan mamak, pembagian nagari menjadi suku, dan hukum alam sebagai dasar falsafah adat Minangkabau. Adat istiadat, adalah kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu dalam wilayah Minangkabau, seperti aturan-aturan yang bersifat seremonial. Adat yang diadatkan, adalah sesuatu yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah, seperti peraturan luhak dan rantau yang kemudian dirobah oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi peraturan kelarasan. Adat yang teradat, adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat nagari. Di sini jelas bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau cukup bervariasi; hukum Islam, Aturan adat dengan segala bentuknya, hukum negara yang bekerja secara bersamaan dalam mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok masyarakat.
Setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Keebet V. Benda Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang antara lain adalah sistem kepercayaan dan organisasi sosial. Kedua unsur ini tidak hanya berhubungan dengan unsur-unsur ekonomi, bahasa dan komunikasi, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan masyarakat saja, tetapi juga menghubungkan pengaruh alam terhadap keteraturan, konflik, dan penyelesaian konflik, Hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dapat menjadi sumber norma (hukum agama), dan organisasi sosial dapat membentuk norma pula (hukum adat dan hukum negara), Keduanya dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara dapat menciptakan keteraturan. Tetapi juga dapat menimbulkan konflik, yang juga dapat memberikan penyelesaian.
Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan mentode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibelakang prilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus yang diperluas (Van Velaen, 1967) dan konsep semi-autonomous social fiel ( Moore, 1983).
Wilayah Sumatera Barat sekarang hanya sebagian dari wilayah Minangkabau lama, tetapi daerah utamanya memang Sumatera Barat sekarang, sehingga sering dipahami bahwa Minangkabau itu adalah Sumatera Barat. Padahal wilayah Sumatera Barat ada yang bukan Minangkabau seperti Mentawai. Berdasarkan kondisi alamnya mata pencaharian dan perekonomian masyarakat mangandalkan pertanian yang bergerak menjadi semitradisional. Berdasarkan mata pencaharian dan perekonomian ini muncul kelas sosial petani pemilik tanah yang lebih tinggi derajatnya dan petani penggarap (orang manapek). Walaupun ada profesi lain yang dianggap terhormat oleh masyarakat seperti pedagang atau pengusaha, PNS dan ABRI (pejabat negara) tetapi jumlahnya sedikit, sehingga dalam ceremonial dan perlakuan adat tetap mengacu kepada dua kelas tersebut.
Walaupun agama masyarakat keseluruhan Islam, tetapi kepercayaan mereka dapat dikategorikan menjadi; yang berpendidikan SLTP ke bawah mencampurkan Islam dengan Mitos, SLTP dan SLTA peralihan antara bentuk pertama dengan Islam rasional, SLTA ke atas mempraktekkan Islam secara moderat dan rasional.
Dalam kasus-kasus perkawinan masyarakat Minangkabau memilih norma yang ada dengan mempertimbangkan status sosialnya dalam masyarakat, politik dan ekonomi, agama untuk dapat mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan. Mereka tidak akan memilih lembaga adat kalau status sosial mereka secara adat lemah, seperti kelompok masyarakat manapek mereka lebih memilih hukum agama dan hukum negera. Atau bisa saja mereka menggabung ketiga sistem hukum tersebut, seperti dalam kasus perceraian. Untuk memutus perkara mereka pilih Pengadilan Agama dan hukum Islam, tetapi untuk pembagian harta bersama dan pengasuhan anak menggunakan aturan adat. Ketika terjadi pertentangan antara norma adat dengan lainnya, tetapi masyarakat nekad untuk melanggar norma adat dan memilih norma lain, maka mereka akan mendapat sangsi dari lembaga adat, Seperti melanggar aturan larangan menikah bagi orang satu suku. Semua ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang penulis ungkap dalam bab IV,
Dalam kasus sengketa kewarisan masyarakat Minangkabau menggunakan lembaga adat untuk harta pusaka tinggi. Sementara untuk harta bersama mereka sering menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan melalui pesan mamak, sehingga akhirnya pengaruh norma adat lebih kental dari hukum Islam dan hukum negara. Inilah penyebabnya masyarakat Minangkabau tidak pernah membawa perkara kewarisan mereka ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Pola penyelesaian kasus sengketa waris masih sama seperti sebelum berlakunya undang-undang tentang Pengadilan Agama.
Masalah perwakafan tidak dikenal dalam adat Minangkabau, sehingga mereka murni menggunakan aturan wakaf menurut agama Islam, Cuma saja mereka mensyaratkan kalau harta yang akan diwakafkan adalah harta pusaka tinggi harus melalui persetujuan anggota paruik yang berhak. Kalau itu harta pusaka rendah pemilik babas mewakafkannya sesuai hukum Islam. Cuma saja sering terjadi proses wakaf hanya dengan aturan hukum Islam saja, tanpa mematuhi hukum negara sehingga tanah wakaf sering tidak memiliki sertfikat.
Dari beberapa kasus yang penulis ungkap dapat dibuktikan bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat Minangkabau bersumber dari sistem kepercayaan (Islam), dan organisasi sosial yang menimbulkan hukum adat dan hukum negara. Semua norma ini saling berinteraksi dan dapat menjadi sumber keteraturan, konflik, dan juga sebagai sumber penyelesaian konflik. Dengan demikian kewenangan peradilan agama tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh norma-norma lain. Untuk itu pengadilan agama harus memperhatikan norma-norma lain tersebut dalam memutus perkara, atau pendekatan pluralisme hukum adalah pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam kewenangan peradilan agama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library