Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erlina Purnama Sari
Abstrak :
Sistem peradilan pidana terpadu merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Sistem tersebut dibutuhkan dalam proses peradilan pidana yang merupakan rangkaian kegiatan dari komponen-komponen yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen yang saling bekerja sama itu adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Peran masyarakat pun dibutuhkan dalam rangkaian kegiatan tersebut sebagai pendukung agar tercapainya tujuan bersama yaitu memperbaiki diri pribadi si pelaku tindak pidana, mencegah timbulnya kejahatan yang sama terhadap orang lain, dan mencegah pengulangan tindak pidana. Di dalam sistem pemidanaan pun terjadi perubahaan mendasar yaitu mengganti sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Dalam sistim baru pembinaan narapidana, Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan salah satu sarana bagi narapidana untuk dapat kembali (reintegrasi) ke dalam masyarakat. Tidak semua warga binaan dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ini. Untuk mendapatkan kesempatan tersebut, narapidana harus diproses menurut ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan. Salah satu ketentuan yang mengatur tentang penempatan narapidana adalah Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK-04-10 Tahun 1999 Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, yang pelakaanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.06-Pk.04.10 Tahun 1992 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan Cuti Menjelang Bebas
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22559
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Armein
Abstrak :
Tesis ini merupakan upaya untuk memahami reaksi sosial terhadap bekas narapidana wanita dari Lembaga Pemasyarakatan (disingkat : lapas) Wanita Tangerang yang menyandang label sebagai bekas penjahat. Padahal mereka sebenarnya adalah sosok anak manusia yang telah melakukan perilaku menyimpang terhadap norma sosial yang terdapat di tengah masyarakat. Hal ini meIiputi adat istiadat, taboo, kebiasaan-kebiasaan khusus, tingkah Iaku yang aneh dan menjadi mode, nilai - nilai moral dan sebagainya Sementara ilmuwan berpendapat perilaku yang menyimpang dapat berupa kelakuan-kelakuan yang nonkonform, yang asosial, yang anti sosial maupun kriminal. Namun, pendapat lain mengemukakan bahwa konsep penyimpangan pada dasarnya relatif, tergantung darimana melihat dan dari kacamata siapa. Menganalisa dan mendiagnosa secara tajam kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh wanita antara lain diperlukan pancarian faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya tertentu dan ada saat tertentu. Artinya, Kita harus melihat faktor sosial dan faktor kebudayaan yang mempengaruhi di dalam pandangan masyarakat memberikan label terhadap pelaku menyimpang. Kehidupan masyarakat yang sarat dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dirasakan terganggu oleh perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota masyarakatnya, sehingga label yang diberikan ternyata tidak Serta merta memudahkan mereka kembali kelingkungannya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif serta di dukung oleh data deskriptif berupa kata - kata tertulis atau lisan dari orang - orang dan perilaku yang diamati. Dengan demikian dapat menjelaskan gejala sosial dengan memahami tingkah laku manusia menurut kerangka acuan dari sang pelaku itu sendiri. Lokasi penelitian berawal dari penelitian di Lapas Wanita Tangerang yang dipilih karena Iapas ini merupakan Iapas wanita yang terbesar di seluruh Indonesia dibandingkan dengan tiga Iapas lainnya. Kemudian dilakukan upaya menemui dan mewawancarai tiga bekas narapidana wanita dari lapas tersebut sebagai informan kunci. Berbagai macam bentuk reaksi sosial yang diwujudkan seperti mengamati, menggerebek rumah, menangkap dan menggiring, menjauhi dengan publikasi terhadap bekas narapidana wanita dimana mereka berdomisili. Namun ada juga yang diterima kembali sepenuhnya menjadi warga masyarakat. Kesemua ini tidak terlepas dari perilaku bekas narapidana wanita yang tertampil ketika diwawancarai yang berusaha menghilangkan identitas diri, tidak berterus terang serta mencoba menyangkal dirinya telah berbuat kesalahan. Penulis menggunakan pendekatan interdisipliner dalam melakukan kajian terhadap bekas narapidana wanita. Dari sejumlah teori dalam kriminologi penulis memilih teori paradigma interaksionis atau pendekatan reaksi sosial yang Iebih khusus lagi disebut teori labeling. Berdasarkan pada teori labeling dicoba untuk digambarkan bahwa bekas narapidana wanita adalah berperilaku menyimpang.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Sofia
Abstrak :
Tesis ini membahaspelaksanaan program pemberdayaan ekonomi sebagai strategi reintegrasi pasca konflik dengan mempelajari program pemberdayaan ekonomi BRA (Badan Reintegrasi Aceh) di Kab. Aceh Utara. Program tersebut dilaksanakan sejak tahun 2006 hingga sekarang, dengan kelompok sasaran mantan kombatan, tahanan politik/narapidana politik, dan masyarakat korban konflik. Ditemukan bahwa program pemberdayaan ekonomi berhasil mendukung strategi reintegrasi pasca konflik dalam jangka pendek, namun tidak berhasil mengembangkan tujuan jangka panjang sebagai pemberdayaan masyarakat. Faktor pendukung yang ditemukan adalah: reintegrasi sebagai kesatuan; faktor keamanan; rasa memiliki; penetapan prioritas; dukungan internasional; dan kejujuran. Adapun faktor-faktor penghambat adalah: kurangnya kapasitas; keterbatasan waktu; keterbatasan anggaran; dan kurangnya dukungan pemerintah lokal.
This thesis discusses the implementation of economic empowerment program as a post-conflict reintegration strategy by studying economic empowerment program of BRA (Aceh Reintegration Agency) in North AcehRegency.The program was implemented from 2006 to present, whereas the target group are former combatants, political prisoners, and conflict-affected communities. It was found that the economic empowerment program is successful for supporting postconflict reintegration strategy in the short term, but failed to develop a long-term goal as empowerment. Supporting factors found are: reintegration as a whole concept; security; ownership, the hierarchy of priorities; international support, and accountability. The limiting factors are: capacity building; limitations of time, funding scarcity, and unresponsive local government.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Neva Mayendi
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan tingginya angka kasus kekerasan seksual pada anak di Kota Batam. Upaya lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam perlindungan anak korban kekerasan seksual adalah dengan menyediakan layanan rehabilitasi sosial. Rumah Faye salah satu lembaga independen di Indonesia berfokus isu perlindungan anak menyelenggarakan rehabilitasi sosial sebagai upaya pemenuhan hak anak korban kekerasan seksual. Rumah Faye mendirikan Rumah Aman (Shelter) dijadikan sebagai rumah perlindungan dan tempat tinggal sementara bagi anak korban kekerasan seksual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan rehabilitasi sosial pada anak penyintas kekerasan seksual di Rumah Faye serta hambatan-hambatan yang dihadapi selama pelaksanaan rehabilitasi sosial di Rumah Faye. Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Desember 2023. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Terdapat 6 informan yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari 1 Manajer Program Pusat, 1 General Supervisor, 2 staf pendamping, dan 2 penerima manfaat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan rehabilitasi sosial di Rumah Faye dimulai dari penerimaan pengaduan, identifikasi awal, rencana intervensi dan pelaksanaan intervensi yang berlangsung di Rumah Aman (Shelter). Adapun pada tahap reintegrasi sosial terdiri dari reunifikasi/pemulangan, monitoring dan terminasi. Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan terdiri dari (1) hambatan internal: kondisi penerima manfaat, anggaran lembaga, sarana dan fasilitas lembaga; (2) hambatan eksternal: keluarga, aparat hukum, stakeholder dan jaringan. ......This research was motivated by the high number of cases of sexual violence against children in Batam City. The efforts of government and non-government institutions to protect child victims of sexual violence are by providing social rehabilitation services. Rumah Faye, one of the independent institutions in Indonesia, focuses on child protection issues and organizes social rehabilitation as an effort to fulfill the rights of children who are victims of sexual violence. Rumah Faye established a safe house or shelter to serve as a safe house and temporary residence for child victims of sexual violence. The aim of this research is to describe the implementation of social rehabilitation for child survivors of sexual violence at Rumah Faye and the obstacles faced during the implementation of social rehabilitation at Rumah Faye. The research was conducted from March to December 2023. This research used a qualitative approach with descriptive research type. Data collection techniques through in-depth interviews and literature studies. There were 6 informants involved in this research consisting of 1 Central Program Manager, 1 General Supervisor, 2 accompanying staff, and 2 beneficiaries. The research results show that the implementation of social rehabilitation at Rumah Faye starts from receiving complaints, initial identification, intervention planning and implementation of interventions that take place in the Safe House (Shelter). The social reintegration stage consists of reunification/repatriation, monitoring and termination. Obstacles faced in implementation consist of (1) internal obstacles: condition of beneficiaries, institutional budget, institutional facilities and equipment; (2) external barriers: family, legal apparatus, stakeholders and networks.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thourow Matthew Nissiel
Abstrak :
Penelitian ini berfokus pada permasalahan kelebihan penghuni pada Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia serta pemenjaraan penyalah guna narkotika yang menghambat tercapainya tujuan pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu reintegrasi sosial. Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk memjelaskan proses hukum yang harus dihadapi seorang penyalah guna narkotika, menjelajahi pemberian pidana penjara (pemenjaraan) bagi penyalah guna narkotika sebagai faktor penghambat tercapainya reintegrasi sosial dan menganalisa penanganan penyalah guna narkotika dalam lembaga pemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian socio legal yang melaksanakan studi dokumen dan studi lapangan untuk mencari jawaban atas permasalahan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat celah hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan perbedaan perlakuan bagi penyalah guna narkotika. Lebih lanjut, kondisi sebuah lapas yang kelebihan penghuni dapat menghambat tercapainya reintegrasi sosial serta menghasilkan pola interaksi tidak sehat ketika seorang penyalah guna bertemu dengan pelaku tindak pidana peredaran gelap narkotika ......This research focuses on prison overcrowding issues in correctional institutions in Indonesia and imprisonment for drug abusers which tends to obstruct the aims and purposes of correctional institutions, which is social reintegration. The purposes of this research is to describe the legal process a drug abuser must proceed, explore the imprisonment of drug abusers as hindering factors to achieve social reintegration and to analyze the treatment of drug abusers in correctional institutions. The method used in this research is socio legal research method, which exercises document studies and field studies in order to answer the problem statement or this research. This research discovered that there are loopholes in Law No 35 of 2009 concerning Narcotics which leads to different treatments for drug abusers. Moreover, the overcrowding situation in correctional institutions hinders the pursuit of social reintegration and creates inhealthy interactions among inmates, especailly when drug abusers were put together with narcotics trafficker.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Erika Royani
Abstrak :
Data Badan Narkotika Nasional menunjukkan kelompok usia pecandu tertinggi pada usia 21-35 tahun berikutnya usia 16-20 tahun bahwa sebagian besar pecandu berusia muda dan produktif. Penyalah gunaan narkoba menjadi ancaman bagi Sumber Daya Manusia juga berpotensi mengancam Ketahanan Nasional. Keluarga sebagai sumber dukungan sosial diperlukan untuk mengatasinya, sebagaimana pecandu pulih dan berfungsi sosial pertama sekali akan dikembalikan ke keluarga. Upaya pengendalian juga dilakukan oleh Yayasan Sahabat Rekan Sebaya (SRS) dengan basis layanan after care untuk menata kehidupan pecandu agar pulih, berfungsi sosial dan produktif. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan layanan rehabilitasi di Yayasan SRS dalam mendukung penyiapan mantan pecandu dan keluarga untuk reintegrasi sosial, mendeskripsikan pandangan mantan pecandu dalam perspektif rehabilitasi dan kontrol sosial yang mengacu pada ikatan sosial keluarga serta mengkaji penerimaan keluarga setelah pecandu selesai menjalani rehabilitasi. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan penelitian adalah mantan pecandu yang menetap di Yayasan SRS, keluarga, program manajer re-entry dan pasca rehabilitasi SRS. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Triangulasi sumber dan teori digunakan untuk meningkatkan kualitas data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan layanan rehabilitasi di Yayasan SRS belum berdasarkan individual need treatment, khususnya penanganan isu keluarga dengan permasalahan traumatik, pandangan mantan pecandu dalam perspektif rehabilitasi dan ikatan sosial keluarga menggambarkan ketidaksiapan mantan pecandu kembali ke lingkungan tempat tinggal sementara ketidaksiapan penerimaan keluarga disebabkan lemahnya keempat ikatan sosial mantan pecandu dengan orang tua, adanya stigma yang dihadapi oleh keluarga maupun mantan pecandu serta animali sistem akibat pergeseran struktur dan fungsi sistem keluarga.
Data from National Narcotics Board show the highest age group of addicts at the age of 21-35 the next 16-20 years that most addicts are young and productive. Drug abuse is a threat to human resources and also National Resilience. Families as a source of social support are needed to overcome them, as addicts recover and social functioning first will be returned to family. Control efforts are also carried out by the Sahabat Rekan Sebaya Foundation (SRS) with a base of after care to organize the lives of addicts to recover, function socially and productively. This research objective was to describe the implementation of rehabilitation at the SRS Foundation in supporting the preparation of drugs addicts and families for social reintegration, describing the views of drugs addicts in the perspective of family rehabilitation and social control and reviewing family acceptance after addicts had finished rehabilitation. Type of qualitative research with descriptive approach. Research informants were ex-addicts who were still living in the SRS Foundation, family, re-entry and after care SRS manager programs. Data collection is done by literature study and in-depth interviews using interview guidelines. Source and theory triangulation is used to improve data quality. The results showed that the implementation of rehabilitation services in the SRS Foundation had not been based on individual need treatment, especially the handling of family issues with traumatic problems, the view of ex-addicts in the perspective of family rehabilitation and social bonding residence due to relapse prevention strategies that have not been optimal to deal with risky environments and unpreparedness of family acceptance is due to a weak fourth social ties of drugs addicts with parents, the stigma faced by families and drugs addicts and animaly systems due to differentiation in system structure and function family.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Haryono
Abstrak :
Tahap akhir dari deradikalisasi yaitu reintegrasi sosial. Rentegrasi sosial bertujuan untuk membantu mantan narapidana terorisme untuk kembali ke masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi masyarakat Bekasi dalam menerima mantan narapidana terorisme serta untuk memberikan rekomendasi bagi instansi terkait terorisme serta masyarakat terkait pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung program reintegrasi sosial bagi mantan narapidana terorisme. Kota Bekasi dipilih karena banyak mantan narapidana terorisme yang bebas dari lapas khusus kelas IIB Sentul pulang ke Bekasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah mixed methods. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama yang berada di tiga kelurahan di Kota/Kabupaten Bekasi. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada 100 responden yang berada di Kota Bekasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat terhambat dikarenakan masih adanya pelabelan dan penolakan dari masyarakat terhadap mantan narapidana terorisme. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna mendukung program reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat dilakukan dengan membuat pelabelan lanjutan yang positif berdasarkan teori pelabelan, meningkatkan pertahanan diri dari dalam dan pertahanan diri dari luar mantan narapidana terorisme berdasarkan teori pertahanan dan melakukan penguatan terhadap ikatan sosial antara mantan narapidana terorisme baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat berdasarkan teori ikatan sosial atau kontrol sosial. .....The final stage of deradicalization is social reintegration. Social reintegrasion aims to helps former terrorism convicts to return to society. The purpose of this research is to analyze the perception of Bekasi society in accepting former terrorism convicts and to provide recommendations for terrorism-related agencies and the community regarding the importance of increasing public awareness in supporting social reintegration programs for former terrorism convicts. Bekasi was chosen because many former terrorism convicts who were released from Sentul Class IIB Special Prison returned there. This study is used by mixed methods. The qualitative method was carried out through interviews with community leaders and religious leaders in 3 sub-districts in Bekasi City/Regency. The quantitative method was carried out by distributing questionnaires to 100 respondents in Bekasi City. The results of this study show that the social reintegration of former terrorism convicts can be hampered because there is still labeling and rejection from society of former terrorism convicts. Therefore, to increase public awareness to support the social reintegration program of former terrorism convicts can be done by creating new positive labeling based on labeling theory, strengthening inner containment and outer containment of former terrorism convicts based on containment theory and strengthening social bond between former terrorism convicts both with their families and the society based on the theory of social bond.

 

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidia Masithoh
Abstrak :
Reintegrasi mantan narapidana terorisme harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari intervensi pembinaan dan pemberdayaan dalam Lapas dengan inisiatif program paska-rilis. Keterlibatan inisiatif mantan narapidana teror dalam reintegrasi luar Lapas mendapat atensi cukup besar beberapa tahun terakhir. Pelibatan yayasan mantan narapidana teror dalam skema asistensi dan supervisi dilakukan untuk membangun ruang dukungan sosial sebagai upaya pencegahan residivisme. Umumnya mantan narapidana teror mengalami risiko dan tantangan paska-rilis yang melekat seperti stigmatisasi, ketidakpercayaan dan ekslusi terhadap akses sosioekonomi. Mengingat hal ini, periode transisi menjadi masa krusial dalam menentukan keberhasilan program pencegahan. Yayasan mantan narapidana teror menginisiasi program pendampingan dan pengawasan berbasis komunitas dengan mendorong kemandirian finansial, mengubah cara pandang ke arah moderat melalui kajian dan dialog serta memastikan penerimaan komunitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan intervensi yayasan mantan narapidana teror dalam skema reintegrasi lanjutan dengan menekankan pada risiko krusial periode transisi sebagai urgensi keterlibatan inisiatif yayasan. Teori Ikatan Sosial digunakan untuk mengetahui unsur pencegah kembalinya binaan melakukan kejahatan teror. Penelitian ini menemukan bahwa Yayasan Lingkar Perdamaian memberikan bantuan moril dan materil sebagai bentuk dukungan sosial bagi mantan narapidana teror yang menjalani masa Cuti Menjelang Bebas. Yayasan Lingkar Perdamaian juga memastikan penerimaan komunitas terhadap reintegrasi mantan narapidan teror di wilayahnya. ......Ex-terrorist reintegration must be carried out in an integrated way from in-prison empowerments with post-release program initiatives. The involvement of formers in reintegration has received considerable attention in recent years. The involvement of formers foundations in the assistance and supervision is to build a social support to prevent recidivism. Usually, ex-terrorist experience inherent post-release risks and challenges such as stigmatization, mistrust and socioeconomic exclusions. Transition period is a crucial in determining the success of prevention program. Formers foundation initiates community-based assistance and supervision by encouraging financial independence, changing perspectives towards moderation through discussion and dialogue and ensuring community acceptance in the first place. This study uses a descriptive qualitative method to describe the intervention of formers foundation in reintegration scheme by emphasizing the crucial risks of the transition period. Social Bond Theory is used to find out the elements of preventing ex-terrorist from re-committing terrorism. This research found that Yayasan Lingkar Perdamaian as formers foundation provides assistance on moral and material for ex-terrorist on their conditional release. Yayasan Lingkar Perdamaian also ensures acceptance of community for ex-terrorist reintegration in their area.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiha Amalia Firdausya
Abstrak :
Penelitian ini membahas peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam melaksanakan Reintegrasi Sosial bagi Klien Pemasyarakatan Dewasa (Studi deskriptif pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan). Adapun penelitian ini berlokasi di Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Penelitian ini berfokus untuk menggambarkan mengenai peran Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan dalam melaksanakan reintegrasi sosial bagi Klien Permasyarakatan dewasa, serta melihat hambatan dalam proses reintegrasi sosial yang diberikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan bagi Klien Permasyarakatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Metode yang digunakan yaitu wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan berperan sebagai enabler, empowerer, case management, educator, researcher, counseler, koordinator, broker, inisiator. Namun reintegrasi sosial yang diselenggarakan tidak lepas dari beberapa hal yang menghambat yang berasal dari faktor internal seperti ketidaksiapan klien ketika kembali ke masyarakat serta pemikiran dari klien maupun keluarga yang kurang sesuai dengan tujuan reintegrasi sosial dan juga berasal dari faktor eksternal seperti adanya aturan yang kurang mendukung dalam proses reintegrasi sosial serta adanya stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada klien. Dalam temuan juga ditemukan beberapa upaya yang dilakukan dalam menangani hambatan reintegrasi sosial yakni mengadakan koordinasi lintas sektoral antara Pembimbing Kemasyarakatan dengan berbagai lembaga terkait, adanya diklat yang disediakan oleh Balai Pemasyarakatan sebagai penunjang bentuk pemenuhan kebutuhan dari Pembimbing Kemasyarakatan dalam pemberian pelayanan bagi Klien Pemasyarakatan.
This study discusses the role of Correctional Advisor in Implementing Social Reintegration for Correctional Adult Clients (Descriptive Study at Correctional Centers Class I South Jakarta). The research is located in Correctional Centers Class I South Jakarta. This study focuses on providing an overview the role of Correctional Advisor in Implementing Social Reintegration for Correctional Clients, as well as to see the obstacles in the process of social reintegration provided by the Correctional Advisor of Correctional Centers Class I South Jakarta for Correctional Adults Clients. This research is descriptive research with qualitative method. The method used is in-depth interview, observation, and literature study. The results of this study indicate that Correctional Advisor act as Enabler, empowerer, case management, educator, researcher, counseler, koordinator, broker, inisiator. However, the social reintegration held cannot be separated from several things that hinder that come from internal factors such as the unpreparedness of the client when returning to the community as well as the thoughts of the client and family that are not in accordance with the objectives of social reintegration and also comes from external factors such as the existence of rules that are less supportive in the process of social reintegration and the existence of negative stigma given by the community to clients. In the findings also found several efforts made in addressing the obstacles of social reintegration, namely cross-sectoral coordination between Correctional Advisor and various related institutions, the training provided by the Correctional Center as a form of fulfilling the needs of Correctional Advisor in providing services for Correctional Clients.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>