Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Prasojo
Abstrak :
Regional proliferation is a policy to improve governance of local governments upon decentralization taken into effect since 2001 in Indonesia in order to get public services in touch to the locals as well as further increases of prosperity level, but it is not necessarily proven as the matter of fact. This article gives a try to critically rethinking problematic situation of governing new municipalities upon proliferation, taking cases from Singkawang City and Bandung Barat Regency, to confirm previous theories. The study uses positivism approach by employing combining qualitative and quantitative method of inquiries through in-depth interviews to various actors, statistical analysis of conditions in comparison between those at the time of proliferation and recent progress, as well as content analysis of important documents. It suggests that regional proliferation in two municipalities implies double-edged impacts; they are opportunities to grasp local development on one side but counterproductive results of much dependency and stagnancy in local service delivery on the other side.
Pemekaran daerah sebagai sebuah kebijakan dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan sejak 2001 untuk mendekatkan pelayanan publik sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, ditemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaannya. Tulisan ini berupaya secara kritis memetakan kembali situasi problematis penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru hasil pemekaran yaitu Kota Singkawang dan Kabupaten Bandung Barat. Penelitian dilakukan dengan pendekatan positivis dan metode kuantitatif-kualitatif melalui wawancara mendalam kepada sejumlah pihak, penelusuran data statistik mengenai indikator kelayakan daerah saat pemekaran dilakukan dan penelusuran data yang sama pada saat penelitian dilakukan untuk dijadikan pembanding, serta content analysis terhadap dokumen-dokumen pendukung. Hasi penelitian menunjukkan bahwa pemekaran daerah memiliki dampak ganda, di satu sisi merupakan kesempatan untuk meningkatkan pembangunan daerah, di sisi lain membawa hasil yang bersifat kontraproduktif, yaitu ketergantungan dan stagnasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Depok: Departement of Administration Sciences, Faculty of Social and Political Sciences,Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hilal Ramdhani
Abstrak :
Proses pemekeran Provinsi Cirebon dimulai sejak tahun 2009, ketika Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) dideklarasikan. Sampai tahun 2019, P3C belum mampu membentuk koalisi elite politik lokal untuk mengusulkan pemekaran Provinsi Cirebon, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah menyebutkan bahwa cakupan wilayah pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus yang berada di wilayah Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon (ciyaumajakuning). Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi, teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terbentuknya koalisi elite politik lokal di ciayumajakuning dikarenakan adanya perbedaan isu di antara kelompok elite politik lokal yang menyetujui (elite politik di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon) dengan elite politik lokal yang menolak (elite politik di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan) mengenai isu pemanfaatan sumber daya ekonomi, pembangunan daerah, kepentingan politik, etnisitas dan sejarah politik eks-karesidenan Cirebon. Selain itu, lemahnya koalisi elite politik lokal yang hanya didukung oleh tiga wilayah dan perilaku koruptif para elite yang menyetujui usulan pemekaran Provinsi Cirebon baik di tingkat bawah maupun tingkat atas, berakibat pada tidak terbentuknya pemekaran Provinsi Cirebon selama tahun 2009-2019. ......The proliferation process of the Cirebon Province began in 2009, when the Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) was declared. Until 2019, the P3C had not been able to form a coalition of local political elites to propose the proliferation of the Cirebon Province, as stated in Article 8 of Government Regulation No. 78 of 2007 concerning the procedures for forming, abolishing and merging regions, stating that the area of the formation of provinces was at least 5 (five) district / city. This study uses a qualitative approach with case study research methods in the areas of Cirebon Regency, Majalengka Regency, Indramayu Regency, Kuningan Regency and Cirebon City (ciyaumajakuning). Data collection techniques carried out by interviews, observation and documentation, data analysis techniques using data reduction, data presentation and drawing conclusions. The results show that there was no coalition of local political elites in the Ciayumajakuning area due to differences in issues between local political elite groups that agreed (political elites in Cirebon Regency, Indramayu Regency and Cirebon City) with local political elite groups that refused (political elites in Majalengka Regency and Regency Kuningan) concerning the issue of utilizing economic resources, regional development, political interests, ethnicity and the political history of the ex-residency of Cirebon. In addition, the weak coalition of the local political elite which was only supported by three regions and the corrupt behavior of the elite who agreed to the proposed proliferation of the Cirebon Province both at the lower and upper levels, resulted in the absence of the proliferation of Cirebon Province during 2009-2019.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Telaumbanua, Harlitus Berniawan
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada analisa terhadap usulan pembentukan Provinsi Tapanuli Protap tahun 2002-2009. Pertanyaan utama yang diangkat adalah mengapa usulan pembentukan Protap dari tahun 2002-2009 tidak dapat terwujud. Pertanyaan tersebut dielaborasi melalui metode penelitian kualitatif dan disajikan dalam ekplanasi analitis. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis koalisi vertikal dengan melihat aktor yang hadir dalam relasi institusional, sosial, dan personal. Dalam studi Kimura, koalisi vertikal menjadi penentu keberhasilan usulan pembentukan DOB. Namun, dalam penelitian ini usulan pembentukan Protap tidak terwujud walaupun koalisi vertikal berhasil terbentuk. Hal ini disebabkan oleh munculnya kompetisi elit sebagai intervening variable. Munculnya kompetisi elit tersebut dipicu oleh beberapa faktor, seperti kompetisi lokasi ibukota, kompetisi teritorial antara Pemerintah Provinsi Sumut dan Panitia Pembentukan Provinsi Tapanuli, kompetisi partai politik, kompetisi untuk kursi gubernur, dan kompetisi media massa. Kompetisi elit ini yang kemudian menyebabkan koalisi vertikal tidak dapat bekerja dalam mendukung terwujudnya Protap dan sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan utama dalam penelitian ini.
ABSTRACT This study focuses on the analysis of the proliferation proposal of Tapanuli Province in 2002 2009. The main question is why the proliferation proposal of the Tapanuli Province in 2002 2009 cannot be realized. The question is elaborated through qualitative research methods and presented in an analytical explanation. This study uses the analytical framework of vertical coalition to see the actors present in the institutional, social, and personal relations. In Kimura rsquo s study, vertical coalitions determines the success of a new autonomous region proliferation proposal. This study shows that the proliferation proposal of Tapanuli Province fails to materialize despite the formation of a vertical coalition. This is due to the emergence of elite competition as an intervening variable. The emergence of the elite competition was triggered by several factors, such as the competition about the location of the capital city, territorial competition between North Sumatera Government and the Tapanuli Province Proliferation Committee, political party competition, the competition for the governorship seat, and the competition between mass media. The existence of elite competition hampers vertical coalition to support the realization Tapanuli Province, and such is also the answer to the main question of this study.
Depok: 2016
S66187
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library