Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwin Hermawan
"Hubungan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Singapura dibina bukan hanya karena faktor geografis yang berdekatan tapi juga faktor sejarah. Berbagai ranah kerjasama dibangun atas nama kepentingan negara baik dalam bidang ekonomi maupun bidang politik. Hubungan itu bisa berlangsung harmonis dan produktif bila kedua negara bisa memaksimalkan dan mempertahankan hubungan yang sudah baik, dan meminimalkan atau menghilangkan ganjalan yang masih ada.
Setelah melalui proses negosiasi yang cukup panjang penuh dinamika lebih dari 30 tahun, pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali, Indonesia dan Singapura telah menyepakati perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement). Perjanjian tersebut ditandatangani satu paket dengan perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty).
Kerjasama pertahanan Indonesia dan Singapura merupakan salah satu bentuk dari posisi tawar atau bargaining power diplomasi Indonesia dalam menjalin hubungan kerjasama bilateral dengan negara Singapura. Bargaining power yang digunakan Indonesia dalam menyetujui kerjasama perjanjian pertahanan dan ekstradisi adalah adanya pemikiran bahwa DCA akan mampu menjadi alat yang efektif guna menekan Singapura agar melaksanakan perjanjian ekstradisi, dimana Singapura wajib mengejar dan mengekstradisi para tersangka tindak pidana korupsi yang lari dari Indonesia dan pergi ke Singapura. Sebagai konsekuensinya, Indonesia akan memberikan izin kepada Singapura untuk menggunakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) guna latihan militer tentara Singapura, dikarenakan Singapura merupakan negara yang tidak memiliki wilayah yang cukup luas untuk dijadikan sebagai tempat latihan militer.
Walaupun Indonesia dan Singapura telah menyepakati perjanjian DCA yang ditanda tangani satu paket dengan perjanjian ekstradisi, namun sejak ditandangani hingga saat ini muncul sikap pro dan kontra. Dalam pembuatan perjanjian pertahanan dengan Negara lain harus seijin dan diratifikasi oleh DPR RI, bila belum ada ijin maka perjanjian tersebut belum bisa dilaksanakan.
Kritik pun diarahkan pada aspek jangka waktu perjanjian yang berjangka waktu 25 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut dikhhawatirkan akan lebih merugikan Indonesia. Dikhawatirkan pula dalam kerjasama pertahanan tersebut adanya ketentuan dibolehkannya mengikut sertakan pihak ketiga dalam latihan militer yang dilakukan di dalam wilayah Indonesia akan memperbesar potensi tekanan-tekanan politik negara superpower untuk menempatkan basis kekuatan militernya di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia sebagai perimbangan posisi strategis baru dalam tatanan pertahanan dunia.

Bilateral relationship between Indonesia and Singapore is not only made bacause of close geografy but also becasue of history. Much relationship build instead of country needs in Economy and politics. Harmonics and productive relationship could happen if both countries maximise and preserve good relationship, also minimise or eliminate something that stands in between.
After exceed long negotiation proces in full dynamics for almost 30 years, in Tampak Siring, Bali on April 27, 2007 Defence Cooperation Agreement was signed. This agreement sign in one package with Extradition Treaty.
Indonesia and Singapore defence cooperation agreement is one of Indonesia bargaining power diplomacy in order to compose bilateral relationship with Singapore. Bargaining power which use by Indonesia in defence cooperation agreement and extradition is have opinion that DCA could become effective way to push hard Singapore carrier out extradition treaty, which Singapore have to chase and extradition corruption suspect disappear from Indonesia and went to Singapore. As consequence, Indonesia will give using Republik Indonesia teritory for Singapore militery force for training because Singapore do not have a wide land become militery training area.
Eventhough Indonesia and Singapore agreed and signed Defence Cooperation Agreement in one package with extradition treaty, but until now many pro and contra appear. In order to defence agreement with other countries has to approve and ratify by Indonesia parliamentary, and lack of implementation of the agreement if not ratified.
The factor of critic is 25 years of agreement length are too long. It will be anxious more not getting any profit for Indonesia in the length of agreement. The other anxious of defence agreement is permitted third parties in militery training thorough Indonesia teritory will enlarge potential pressure politic superpower country to occupy militery basis in South East Asia especially Indonesia as world defence system thorough new strategic position stability."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yudha Akbar
"Perjalanan Uni Eropa menjadi suatu entitas regional yang lebih terpadu solid dan responsif terhadap tantangan zaman, saat ini sedang menemui masa yang cukup kritis. Penolakan masyarakat Perancis dan Belanda yang mereka simbulkan dengan hasil negatif pada referendum bagi kostitusi Eropa telah menjelaskan secara nyata bahwa perlunya menelaah lebih dalam lagi urgensi sebuah konstitusi bagi Uni Eropa. Meskipun masa depan konstitusi ini belum fina, akan tetapi ketiadaan rencana cadangan (Plan B) atas kemungkinan kegagalan referendum tersebut menjadi kan model regionalisme ini (seharusnya) berkonsentrasi pada pengambilan langkah-langkah analities strategis untuk memuluskan pembuatan konstitusi yang sebagian kalangan dianggap merupakan suatu keharusan."
2007
JKWE-III-1-2007-44
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Metty Kusmayantie
"Tesis ini membahas mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui pengaruh undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku sejak tahun 1992 terhadap pembagian urusan pemerintahan dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan yang dilengkapi dengan wawancara. Hasil penelitian berupa analisis kualitatif dengan menekankan pada aspek rekomendasi terhadap pembagian urusan pemerintahan dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Pengesahan badan hukum merupakan urusan pemerintahan di bidang yustisi dan merupakan kewenangan absolut Pemerintah. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa pemberian status badan hukum Koperasi, pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan Koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Menteri yang membidangi Koperasi.
Berdasarkan hasil analisis, pelimpahan wewenang melakukan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar koperasi, dan pembubaran koperasi dari Menteri Koperasi kepada pemerintah daerah mengikuti undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku. Meskipun pelimpahan tersebut telah disertai dengan petunjuk teknis akan tetapi dalam pelaksanaannya di daerah ditemukan berbagai penyimpangan. Oleh karena itu Pemerintah menarik kembali pelimpahan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam melakukan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi dan akan melaksanakannya sendiri secara daring (online). Akan tetapi Pemerintah belum siap dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan untuk menyelenggarakan administrasi badan hukum koperasi secara daring (online).

This thesis discusses distribution of government affairs between Central Government and Local Government in the ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. This study is directed to investigate the influence of law of local governments in force since 1992 on the division of government affairs in the ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. The method used in this study is a normative legal research method through the study of literature that comes with the interview. Results of the research is a qualitative analysis with emphasis on the recommendations on the distribution of government affairs in the ratification cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. Ratification of a legal entity is one of government affairs in the field of judicial as absolute authority of the Government. General Explanation of Law No. 25 of 1992 concerning Cooperatives states that granting legal status Cooperative, ratification an amendment, and coaching Cooperative is the authority and responsibility of the Government but in the implementation delegated to the Minister in charge of Cooperatives.
Based on the analysis, the delegation of authority to approve the deed of establishment, changes in the articles of association of cooperatives, and the dissolution of the cooperative from the Minister of Cooperatives to local governments will follow the laws on local government. Although the delegation has been accompanied by technical instructions but in its implementation in the region found various irregularities. Therefore, the Government withdraw the delegation of authority given to the Governor/Regent/ Mayor in conducting ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives and will implement by itself using online system. But the Government is not ready with the infrastructure and guidance that will be used to administer the cooperative legal entity using online system."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Agung Hernowo
"Skripsi ini membahas tanggung jawab nakhoda dalam pengangkutan barang; clean B/L yang tidak sesuai dengan resi mualim karena adanya letter of indemnity yang diterbitkan oleh pengirim barang (shipper) untuk pengangkut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan data primer dan data sekunder yang diolah secara kualitatif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa guna menghindari pengingkaran dari shipper, maka Letter of Indemnity yang dibuat oleh shipper seharusnya dijamin oleh pihak Bank; Pemerintah Indonesia seharusnya segera meratifikasi Hague Rules 1978, mengingat perangkat hukum tersebut sangat diperlukan dalam angkutan laut.

This mini thesis is to study the master's liability in carrying cargo under clean B/L which is not comply with the mate?s receipt due to presence of the letter of indemnity issued by the shipper. The research use a normative method with descriptive characteristic with primer and seconder data.
The result suggest that to avoid disavow of the shipper, the letter of indemnity should be guarantee by the bank. Indonesian government should ratify Hague Rules 1978 since said law instrument is required in sea transportation. "
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S25062
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dicky Yunus
"Upaya pelarangan senjata kimia telah dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu. Tahun 1874 negara-negara Eropa sepakat mengeluarkan Deklarasi Brussel yang melarang penggunaan racun dan peluru beracun dalam perang. Tahap berikutnya telah ditandatangani deklarasi dalam Konferensi Den Haag tahun 1899 yang mengutuk penggunaan proyektil tunggal yang merupakan difusi dari gas-gas asphyxiating (pencekik pernafasan) atau deleterious (merusak).
Meskipun telah ada deklarasi-deklarasi tersebut, namun senjata kimia tetap dipakai dalam Perang Dunia I yang telah mengakibatkan korban jiwa lebih dari 100.000 jiwa dan satu juta orang cedera. Pada tahun 1925, Protokol Jenewa telah ditandatangani guna melarang penggunaan gas-gas yang bersifat asphyxiating dan beracun. Namun protokol ini tidak melarang pengembangan, produksi, penimbunan atau penyebarannya serta mekanisme penanganan apabila terjadi pelanggaran. Pada tanggal 3 September 1992, Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa berhasil merampungkan negosiasi dan mengesahkan teks Konvensi Senjata Kimia (the Conventionon the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction).
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut dan meratifikasi dengan Undang-Undang No.6 tahun 1998. Saat ini Indonesia memang bukan termasuk negara yang memiliki dan mampu membuat senjata kimia. Keputusan Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi telah menimbulkan spekulasi yang perlu dijelaskan dan didiseminasikan secara nasional. Ada yang beranggapan keputusan Pemerintah merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan belum perlu, karena Indonesia belum memiliki teknologi persenjataan yang diklasifikasikan dalam Konvensi. Adapula yang beranggapan keputusan ratifikasi merupakan keinginan negara-negara besar yang memiliki kepentingan tertentu dengan Indonesia. Kesimpangsiuran keputusan ratifikasi Pemerintah membuat Penulis tertarik untuk membahasnya lebih jauh.
Dalam Tesis ini Penulis berusaha untuk menjelaskan permasalahan Senjata Kimia dalam kerangka kepentingan Indonesia yang menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Apabila dikaitkan dengan sifat politik luar negeri seperti itu, maka akan terlihat beberapa alternatif yang muncul berkenaan dengan keputusan ratifikasi, seperti adanya tekanan untuk menaati rejim Konvensi dan Verifikasi atau suatu usaha untuk melindungi perekonomian Indonesia yang memang banyak mengkonsumsi bahan kimia.
Dalam proses penulisan tesis ini, penulis mengambil data dan referensi yang berasal dari buku, jurnal, buletin, surat kabar, dokumen tertulis lain dan sedikit wawancara."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Idawati
"ABSTRAK
Equal Rights Amendment (ERA) diajukan pada tahun 1970 oleh dan untuk kepentingan kaum wanita, sebagai suatu upaya untuk memperoleh jaminan persamaan hak di bawah hukum bagi pria dan wanita, tanpa perbedaan secara seksual. Tetapi ERA pada akhirnya digagalkan oleh kaum wanita itu sendiri. Berangkat dari kenyataan penelitian ini mengupas adanya konflik kepentingan di kalangan wanita, terutama dari kelas menengahnya. Perbedaan kepentingan itu bermula dan adanya ambivalensi mereka terhadap peran-peran mereka dalam masyarakat.
Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku. Ambivalensi itu muncul lebih dikarenakan adanya ambivalensi struktural dalam masyarakat dan dualisme perubahan-perubahan sosial. Masyarakat kini menghargai peran-peran wanita dalam wilayah publik (nondomestik) dan perubahan-perubahan sosial itu sendiri memberi tekanan sekaligus peluang yang luas bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah. Namun di sisi lain, perubahan-perubahan itu tidak memberi jalan keluar bagi kaum wanita dari beban yang dihadapi di wilayah domestik. Sementara itu masyarakat cenderung masih menekankan bahwa wanita adalah penanggung jawab utama pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak.
Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan dilema dan ambivalensi psikologis dalam individu-individu dan dalam beberapa derajat, konflik sosial antara kelompok-kelompok sosial yang berlawanan. Dalam upaya penyesuaian diri dalam struktur sosial yang ambivalen itu, ada kelompok wanita di satu sisi, menentang pemikiran-pemikiran dan pola-pola lama tentang peran-peran wanita. Dengan kata lain, mereka menuntut suatu perubahan sosial yang menyangkut status wanita. Kelompok wanita yang lain merespon dengan menegaskan kembali susunan tradisional dari hubungan gender. posisi-posisi yang saling bertentangan dengan tajam ini membentuk dua garis politik yang berlawanan. Dalamkonteks ERA, kelompok yang menghendaki perubahan sosial mendukung ERA, sebaliknya kelompok yang menginginkan status quo menentang ERA.
Melalui metode penelitian berupa kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif interpretatif, penelitian ini hendak menjawab tesis bahwa ambivalensi wanita kelas menengah Amerika memiliki dampak terhadap ratifikasi ERA pada tahun 1972-1952.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi wanita adalah mata rantai awal dari serangkaian mata rantai-mata ranlai berikutnya --yang merupakan implikasi dari mata rantai awal--di antarnnya polarisasi ideologi dan dikotomi kepentingan, yang menjadi penyebab kegagalan ratifikasi ERA. Dengan kata lain, ambivalensi wanita kelas menengah memiliki dampak dan pengaruh, melalui berbagai manifestasinya, terhadap kegagalan ratifikasi ERA.

ABSTRACT
Equal Rights Amendment (ERA) was proposed in 1970 by women and for women's concerns, as an effort to gain the equal rights under the law between the sexes. However, the ERA was eventually defeated by the women. Seeing that. fact, the research was carried out to study the conflict of interests especially among the middle class women. The different interests here emerged from their ambivalence toward their appropriate roles in the society.
Ambivalence was defined as a social state in which a person faced contradictory normative expectations of attitudes, beliefs, and behavior. This ambivalence was mostly caused by the structural ambivalence in the society and the dualism of social changes, The society now approved women's roles in public spheres, and the social changes themselves gave pressures and, at the same time, wide opportunities to the women to work out of the homes. But, on the other side, those changes did not provide any solutions for them from the burdens they faced in the domestic sphere. Meanwhile, the society kept thinking that women were primarily responsible for the cares of children and households.
These contradictions caused a dilemma and psychological ambivalence to the women, and to some extent, a social conflict between social groups, In order to adjust themselves in the ambivalent social structure, a group of women, on the one side, challenged old ideas and patterns of women's roles. In other words, they fought for a social change concerning women's status. The other group of women responded by reaffirming traditional arrangement of gender relationship. These sharply contrasting positions thus farmed two opposite lines along political constituencies. In the context of EFTA, the group who favored a social change, was likely to support the ERA, while the other group who wanted a status quo, tended to oppose it.
By using a method of book research with qualitative approach and descriptive-interpretative technique, this research was to answer the thesis that. the middle class women's ambivalence had the impact to the ERA's ratification in 1972-1982.
The result of the research showed that the women's ambivalence was a primary chain of linked chains - which were of the impacts of the primary chain - such as the ideological polarization and the dichotomy of interests, that made the ERA fail. In other words, the middle class women's ambivalence had the impact and influence, through its various manifestations, to the failure of the ERA's ratification.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Hanggono
"Perseroan Terbatas (PT) salah satu badan usaha yang paling diminati, wajiblah memberikan kepastian hukum, hal ini penting baik secara internal antara para organ yaitu Direksi, Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan eksternal sebagai subyek hukum yang mandiri dalam hubungan dengan pihak ketiga. Kepastian hukum haruslah dijamin sejak pendirian PT, karena merupakan pintu utama kelangsungan PT. Ketentuan, syarat dan prosedur pendirian suatu PT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No 4 tahun 2014. Prakteknya proses pendirian sering menemui kendala, salah satu sebagaimana dikaji dalam tesis karena keadaan memaksa, sehingga kepastian hukum atas proses pendirian dipertanyakan tatkala pengesahan tetap diberikan Kementerian padahal akta pendirian telah lewat masa berlakunya karena keadaan memaksa yang timbul dari Kementerian, pengesahan mana melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengesahan yang diberikan setelah lewat waktu permohonan karena keadaan memaksa dapat dipandang dari dua sisi, yaitu pertama dari sisi jangka waktu yang diperbolehkan karena keadaan memaksa sebagai alasan pembenar dan pembebasan otomatis, kedua dari sisi isi akta perubahan angaran dasar yang merupakan jalan keluar dari Kementerian yang dibuat saat akta pendirian telah batal adalah menjadi tanggung jawab Kementerian atas jalan keluarnya. Metode penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Sebagai alat pengumpulan data serta pengolahannya digunakan metode kualitatif.

Limited Liability Company ("Ltd") as one of the most favourite form of business entities, should give a Legal Certainty for both internally and externally. Legal certainty is very important either in relationship internally between the part of the "Ltd" itself, such as Board of Directors, Board Of Commissioners and General Meeting (RUPS), as well as for externally in order "Ltd" as a subject of law. In relationship with other third parties, Legal Certainty must be guaranteed since the date of establishment, because it is the main basis for the sustainability of the "Ltd" in the future. In common practice, there are so many problems regarding the process of establishment, one of the example is the force majeure which is discussed on this thesis, where the ratification is still given by the Ministry even after the application had been expired. In this case, how is the legal certainty for the "Ltd", because this ratification broke the Limited Liability Company Law Number 40 year 2007 but however the force majeur factor forces the Ministry to ratificate the establishment. However, due to the force majeur factor, this ratification after the application had been expired can be reviewed from two sides: First, from the period of time allowed because of the force majeur as an excuse and automatic exemption because of it. Second, from the content's amendment of the Article of Association as the wayout given by the Ministry itself, it becomes the Ministry's full responsibilities. The method of research is juridical normative by the use of secondary data consisting of primary, secondary and tertier law. The qualitative method is used as the mean of collecting data and its processing."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Siti Afina
"ABSTRAK
Ratifikasi adalah merupakan tindakan pengukuhan, pengambilalihan, penerimaan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang telah dilakukan sehingga tindakan atau perbuatan hukum tersebut menjadi sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kasus-kasus yang dibahas di dalam tesis ini adalah mengenai perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direksi untuk mengalihkan kekayaan Perseroan lebih dari 50 lima puluh persen dari jumlah kekayaan bersih yang dimiliki oleh Perseroan, yang harus memperoleh persetujuan dari RUPS hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 102 ayat 1 huruf a UUPT, namun di dalam Perkara No.282/Pdt.G/2013/PN.Bks., anggota Direksi yang melakukan tindakan hukum telah lewat masa jabatannya dan di dalam Permohonan Penetapan No.20/Pdt.P/2016/PN.Btm, terdapat ketidak sepahaman di antara para pemegang saham Perseroan sehingga tidak tercapai ketentuan kuorum kehadiran dan kuorum keputusan sebagaimana yang ditetapkan di dalam Pasal 89 UUPT. Tesis ini menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan analisa preskriptif. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu Notaris ketika membuat suatu Berita Acara Rapat dapat mengerti mengenai penulisan yang tepat suatu agenda dan keputusan RUPS dan membantu Notaris untuk lebih mengerti syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu PT yang diwakili oleh Direksi ketika akan melakukan pengalihan aset yang lebih dari 50 lima puluh persen jumlah kekayaan bersih yang dimiliki oleh Perseroan Terbatas.

ABSTRACT
Ratification is an act of confirmation, takeover, acceptance of legal act or legal conduct that has been done so that the legal actions or legal conduct of such law is becoming legitimate according to the provisions of applicable law. The cases discussed in this thesis are about the legal action which performed by the member of board of Directors on diverting more than 50 fifty percent of the amount of total net assets owned by the Company, which must obtain approval from the GMS, this is stated in the provisions of Article 102 paragraph 1 letter a of the Company Laws, but in the Case No. 282 Pdt.G 2013 PN.Bks., members of the board of Directors completed a legal action that has been through his tenure and in the Application for Determination No. 20 Pdt.P 2016 PN.Btm, there is disagreements amongst the shareholders of the Company therefore it is not reached the provisions of quorum of attendance and the quorum of the decision as set out in Article 89 of the Company Laws. This thesis uses the form of juridical normative research with prescriptive analysis. The results of this research are expected to help the Notary when making deeds of Shareholders Meeting especially on legal writting of the agenda and the decision of shareholders meeting and also to help the Notary to have better understanding regarding the requirements that must be met by a limited liability company which represented by the member of Directors diverting the company rsquo s assets which more than 50 fifty percent of the amount of total net assets owned by the Limited Liability Company."
Lengkap +
2018
T49527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketty Astari
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan perkumpulan sebagai badan hukum dengan menganalisa Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) yang merupakan sistem online. Perkumpulan untuk menjadi badan hukum harus membuat akta pendirian yang dilanjutkan dengan permohonan pengesahan Badan Hukum Perkumpulan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui SABH. Prosedur pengesahan perkumpulan sebagai badan hukum melalui SABH tentunya diharapkan sinkron dengan pengaturan Akta pendirian dan pengesahan perkumpulan sebagai badan hukum. Prosedur pengesahan perkumpulan merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 3 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan (Permenkumham No. 3/2016). Sedangkan Format isian SABH tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Ormas maupun Permenkumham no. 3 Tahun 2016, namun diambil dari draft Rancangan Undang-Undang Perkumpulan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pengaturan perkumpulan tidak sinkron dalam hal pendirian, pengesahan badan hukum dan perubahan anggaran dasar. Sampai saat ini RUU Perkumpulan belum disahkan, tetapi dalam aplikasi SABH menggunakan aturan yang terdapat dalam RUU Perkumpulan, sementara RUU belum menjadi hukum positif.

This thesis discusses about the settings of associations as a legal entity by analyzing the Legal Entity Administration System (SABH) which is an online
system. The association to become a legal entity shall establish a deed of incorporation followed by the application for ratification of the Legal Entity to the
Minister of Law and Human Rights through SABH. The procedure of legitimating the association as a legal entity through SABH is certainly expected to be in sync
with the establishment of the Deed of establishment and ratification of the association as a legal entity. The procedure for ratification of the association refers
to Law Number 17 Year 2013 on Community Organizations (Community Law) and Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. 3 of 2016 on Procedures for Applying of Legal Entitlement and Approval of Amendment of Articles Association (Permenkumham No. 3/2016). While the SABH fielding format is not found in the Community Law and Permenkumham no. 3 of 2016, but taken from the draft bill of association, thus causing legal uncertainty. The arrangement of associations is out of sync in the establishment, legalization and amendment of the articles of association. Up until now the Associations Law has not yet been ratified, but in SABH applications use the rules contained in the Draft
Bill, while the bill has not become a positive law yet.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>