Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lely Listianingrum
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riesna Prassanti
"Telah dilakukan penelitian Rekayasa dan Formulasi Komposit Magnetik- Fluoresensi Kitosan Lantanida-Ranitidin Untuk Sistem Penghantaran Obat Gastritis. Sintesis matrik kitosan diawali dengan sintesis nanopartikel magnetik Fe3O4 dengan metode kopresipitasi. Dari hasil sintesis diperoleh Fe3O4 dengan ukuran kristal 13,24 nm dan magnetisasi maksimum 28,9 emu/gram. Sintesis matrik kitosan dengan metode gelasi ionik dan menggunakan sodium tripolyphosphate (STPP) sebagai agen penaut silang (crosslinking agent).
Dari hasil penelitian diperoleh formulasi matrik kitosan-Fe-ranitidin Sm yang paling optimum untuk penghantar obat gastritis adalah Kit : TPP : Sm : Fe : Ran = 40000 : 50000 : 5000 : 100 : 2000 dengan efisiensi penjerapan obat 91,999 %. Profil pelepasan ranitidin pada kondisi buffer pH 1,2; pH 6,8 dan pH 7,4 menunjukkan pelepasan terkendali dalam bentuk pelepasan tertahan (sustained release) dengan mekanisme difusi dengan pelepasan mencapai 40 % pada jam ke-8 dan terlepas secara sempurna pada jam ke-24. Matrik kitosan-Fe-ranitidin-Sm dengan formulasi optimum mempunyai ukuran kristal 80,59 nm, ukuran mikrosfer 20-30 μm dan magnetisasi maksimum 2,6 emu/gram.
Intensitas fotoluminesensi matrik kitosan-Fe-ranitidin Sm meningkat seiring dengan jumlah kumulatif ranitidin yang dilepaskan sehingga profil pelepasan ranitidin dari matrik kitosan-Fe-ranitidin Sm dapat dimonitor dengan perubahan intensitas fotoluminesensi yang terjadi. Dengan sifat-sifat tersebut di atas, Matrik Kitosan-Fe-Ranitidin-Sm dapat diaplikasikan sebagai matrik penghantar obat gastritis yang bersifat magnetik dan fluoresens.

The research of Engineering and Formulation of Chitosan Lanthanide Ranitidine Magnetic Fluorescence Composite For Gastritis drug delivery systems has been done. Synthesis of Chitosan matrix was begun with the synthesis of magnetic nanoparticles Fe3O4 by coprecipitation method. From the synthesis obtained 13.24 nm of Fe3O4 crystal size and 28.9 emu / g of maximum magnetization. Synthesis of chitosan matrix by ionic gelation method using sodium tripolyphosphate (STPP) as crosslinking agent.
The optimum formulation of chitosan matrix for gastritis drug delivery system was Kit: TPP: Sm: Fe: Ran = 40000: 50000: 5000: 100: 2000 with 91.999 % of drug adsorption efficiency. The release profile of ranitidine on the condition of pH 1.2; pH 6.8 and pH 7.4 showed controlled release in the form of sustained release with a diffusion mechanism with the release of up to 40% at 8th hour and perfectly release at the 24th hour. Matrix of chitosan-Fe-Sm-ranitidine with optimum formulation has 80.59 nm of crystal size , 20-30 μm of microspheres size and 2.6 emu / g of maximum magnetization.
Fotoluminescence intensity of chitosan-Sm-Fe-ranitidine matrix increases with cumulative amount released of ranitidine so that the release profile of ranitidine from chitosan-Sm-Fe-ranitidine matrix can be monitored by the change of fotoluminescence intensity happened. With the properties mentioned above, Chitosan-Fe-Sm-Ranitidine Matrix can be applied as magnetic and fluorescent. gastritis drug delivery matrix.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T41816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irya Yohannes
"Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat tersedia sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Obat merupakan bagian penting dalam pelayanan dokter kepada pasien di Rumah sakit. Ksrena itu perlu memehami cost effectivenees analysis dari berbagai produk sejenis. Untuk menentukan jenis obat eensial pada daftar obat esensial nasional (DOEN) ditetapkan melaluianalisis biaya manfaat pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan. Ranitidin merupakan obat pilihan pertama pada pengobatan gastritis akut sedangkan di RSU Mayjen H.A. Thalib Kerinci masih digunakan simetidin dengan jumlah yang hampir sama dengan ranitidin. Simetidin adalah obat anti gastritis akut yang memiliki harga yang berbeda dengan ranltidin maka perlu diadakau Cost Effectiveness Analysis untuk mengetahui mana yang lebih pantas digunakan.
Teori yang dlgunakan pada penelitian ini adalah teknik evaluasi ekonomi Cost Effictiveness Analysis (CEA) dengan naalisis biaya menggunakn metode perhitungan oppertunity cost. Out put yang dlgunakan dari kedua altematif obat adalah cakupan, rata-rata waktu hilangnya gejala klinis dan hari yang hilang karena gastritis akut. Pada penelitian ini didapatkao bahwa basil perhitungan Cost Electiveness Ratio (CBR) dldapatkao bahwa CBR ranitidln lebih kecil dibaudlngken CBR Simetidin, dhnana (CBR) ranitidln = 67.986 sedangken CBR shnetidln 97.414 Proporsi kejadian efek sarnping ranltidln lebih kecil dlbandingkan dengan simetidin dlmana dari 58 pasien yang diobati dengan ranltidin thnbul efek samping pada 4 pasien berupa saki!kepala dan atau prutitus ( ruam kulit }, sedangkan dari 33 pasien yang diobati dengan simetidin timbul efek samping berupa sakit kepala dan atau prutitus {ruam kulit) 4 orang pasien. Waktu yang dibutuhkan ranitidin untuk menghilangkan gejala klinis juga lebih kecil dibandingkan dengan simetidin, dimana rata-rata yang dibutuhkan ranitidine untuk menghilangkan gejala klinis adalah 13,6 jam sedangkan simetidin membutuhkan waktu 16,6 jam. Rata-rata hari yang hilang kelompok ranitidine lebih kecil dari kelompok simetidin. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa ranitidin lebih cost effectiveness dibandingkan dengan simetidin dalam mengobati gastriris akut. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan kepada pihak Manajemen Rumah Sakit agar memilih ranitidin sebagai obat gastritis akut untuk dimasukkan dalam formularium, selain itu disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang memadai."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T11540
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Qinthara Alifya Pramatiara
"Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan atas. Terjadinya dispepsia pada pasien rawat inap dapat menambah beban ekonomi pasien yang sudah mengeluarkan biaya untuk pengobatan diagnosis lainnya. Omeprazol injeksi memiliki harga satuan per vial yang lebih mahal dibandingkan ranitidin injeksi per ampulnya. Namun, efektivitas omeprazol dinyatakan lebih baik dalam mengurangi gejala dispepsia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya terapi omeprazol injeksi dan ranitidin injeksi pada pasien dispepsia rawat inap di RSUD Pasar Rebo pada tahun 2021. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan teknik pengambilan data rekam medis dan biaya langsung medis secara retrospektif. Subjek penelitian adalah 158 pasien dispepsia rawat inap yang berumur 18–55 tahun di RSUD Pasar Rebo dengan persebaran 80 yang menggunakan terapi omeprazol injeksi dan 78 yang menggunakan terapi ranitidin injeksi. Berdasarkan hasil penelitian, terapi omeprazol injeksi lebih efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia dibandingkan dengan ranitidin injeksi dengan persentase efektivitas berturut-turut sebesar 57,7% dan 39,7% (p=0,038). Total biaya terapi omeprazol injeksi sebesar Rp4.543.490 dan ranitidin injeksi sebesar Rp4.580.180 (p=0,174). Perbedaan efektivitas terapi omeprazol injeksi dibandingkan ranitidin injeksi dalam menghilangkan gejala dispepsia sebesar 17,8%, sedangkan perbedaan total biaya terapi berdasarkan perspektif rumah sakit sebesar Rp36.690. Hasil penelitian menunjukkan omeprazol injeksi memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan ranitidin injeksi dengan total biaya yang tidak berbeda bermakna.

Dyspepsia is a collection of symptoms in the form of discomfort in the upper digestive tract. The occurrence of dyspepsia in hospitalized patients can add to the economic burden of patients who already pay for other diagnostic treatments. Omeprazole injection has a unit price which is more expensive than ranitidine injection. However, the effectiveness of omeprazole was stated to be better in relieving symptoms of dyspepsia. This study aims to analyze the cost-effectiveness of omeprazole injection and ranitidine injection therapy in dyspepsia hospitalized patients at Pasar Rebo Hospital in 2021. This study used a cross-sectional design with medical record and direct medical costs data collection techniques retrospectively. The research subjects were 158 hospitalized dyspepsia patients aged 18–55 years at Pasar Rebo Hospital with a distribution of 80 who used omeprazole injection and 78 who used ranitidine injection. Based on the results of the study, omeprazole injection therapy was more effective in relieving symptoms of dyspepsia than ranitidine injection with effectiveness percentages of 57.7% and 39.7%, respectively (p=0.038). The total cost of omeprazole injection therapy was Rp. 4,543,490 and ranitidine injection was Rp. 4,580,180 (p=0.174). The difference in the effectiveness of omeprazole injection therapy compared to ranitidine injection in relieving symptoms of dyspepsia was 17.8%, while the difference in the total cost of therapy based on a hospital perspective was Rp.36,690. The results showed that omeprazole injection had a higher effectiveness than ranitidine injection with a total cost that was not significantly different."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library