Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Ridwan
"Pasca pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), segala permasalahan berkaitan aset kredit yang tersisa untuk sementara penanganannya diserahkan ke Kementerian Keuangan RI melalui Tim Pemberesan BPPN atau TP BPPN yang diketuai langsung oleh Menteri Keuangan. Pada tahun 2006, Tim Pemberesan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden dinyatakan berakhir tugasnya dan dinyatakan bubar melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Tim Pemberesan BPPN. Selanjutnya penanganan Tim Pemberesan BPPN yang belum diselesaikan dilaksanakan oleh Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan RI, sedangkan kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi hak tanggungan dan sita eksekusi lainnya, penanganannya dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Salah satu sisa aset kredit yang belum tertangani pasca pembubaran BPPN adalah aset kredit Non Asset Transfer Kit (Non ATK). Aset kredit Non ATK terdeteksi setelah adanya audit BPK pasca pembubaran BPPN. Sampai dengan berakhirnya masa tugas BPPN tahun 2004 dan terbentuknya PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) serta pembentukan tim pemberesan BPPN, aset kredit Non ATK belum tertangani dan masih dikelola oleh Bank asal. Kebijakan penanganan sisa aset tersebut kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.213/KMK.01/2008 dan selanjutnya terkait dengan penyelesaian dan pengelolaan aset kredit Non ATK sebelum diserahkan pengurusannya kepada PUPN, Menteri Keuangan menetapkan Petunjuk Pelaksanaan Tugas yang diperlukan dalam rangka pengembalian keuangan negara dan mengingat masih adanya aset eks BPPN/TP BPPN/Tim Koordinasi berupa aset kredit ATK dan Non ATK yang tidak dapat diserahkelokan baik ke PT PPA dan tidak berperkara hukum, disusunlah Keputusan Menteri Keuangan No.280/KMK.06/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas/Prosedur Operasi Standar DJKN dalam Penanganan Sisa Tugas Tim Koordinasi Penyelesaian Tugas-Tugas Tim Pemberesan BPPN, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah, dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Keputusan Menteri Keuangan tersebut merupakan payung hukum penanganan Aset Kredit Non ATK eks BPPN.

After the liquidation of the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), all issues related to the remaining loan assets temporarily has been submitted to the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia to be handled through the Team of IBRA, which is chaired by the Minister of Finance. In 2006, the Team of which was established by Presidential Decree has to be terminated and declared to be dissolved by Presidential Decree No. 8 Year 2006 regarding the termination of the Team of IBRA. Furthermore, the handling of the remaining loan assets, continued by the Ministry of Finance through the Directorate General of State Assets Management (DJKN) under The Ministry of Finance of Indonesia, while the state assets related to the mortgage foreclosure and other foreclosure, handled by the Committe of State Claims Management (PUPN). One of the remaining loan assets that have not been handled after the liquidation of IBRA is credit assets in the term of Non Asset Transfer Kit (Non-ATK). Credit assets Non ATK detected by the Supreme Auditor/BPK after the post-dissolution audit of IBRA. Until the end of work of IBRA in 2004 and the establishment of the Asset Management Company (PT PPA) and also the establishment of IBRA clearance team, credit assets Non ATK has not been handled and it is still managed by the origin Bank from which the assets exist. The handling policy of the remaining assets are then arranged in the Minister of Finance Decree No.213/KMK.01/2008 and subsequently related with the completion and management of the credit assets Non ATK before being handled over to the PUPN, Minister of Finance announces the Implementation Guidelines required for returning the state finance and considering that there are still amount of ex-IBRA assets / TP IBRA / Coordination Team in the form of credit assets and Non ATK that can not be well-managed by PT PPA and has no legal issues, then the government formulating the Minister of Finance Decree No.280/KMK.06/2009 about the Implementation Guidelines regarding the Directorate General of State Asset Management?s Standard Operating Procedures in Handling the remaining tasks of the Coordination Team of IBRA?s Settlement Team, Government Insurance Unit, and Government Guarantee on Bank Obligations. This Minister of Finance Decree is the legal consideration on the handling of the Credit Assets of Non ATK that previously handled by IBRA."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27457
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widyaningsih
"Jaminan Perorangan yang diberikan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung/penjamin debitur dalam pelunasan utang debitur merupakan salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada Bank Badan Usaha Milik Negara, manakala debitur ingkar janji (wanprestasi). Perjanjian perorangan/penanggungan tersebut bersifat asesor, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok, sehingga dapat diartikan bahwa tak akan ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah. Pada Bank Badan Usaha Milik Negara sebelum dikeluarkannya PP Nomor 14 tahun 2005 tentang Cara Pengapusan Piutang Negara / Daerah, yang kemudian diubah dengan PP Nomor 33 tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 tahun 2005, yang berwenang untuk menyelesaikan kredit macet adalah Panitia Urusan Piutang Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Undang-undang PUPN). Tindakan eksekusi terhadap jaminan perorangan oleh PUPN merupakan upaya terakhir untuk dilakukan, setelah dilakukan terlebih dahulu upaya penyitaan terhadap barang jaminan dan harta kekayaan debitur yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan pelelangan. Apabila dalam pelaksanaan eksekusi jaminan perorangan, ternyata penanggung utang tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya secara sukarela atau menyerahkan harta kekayaannya, maka PUPN akan melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Pencarian dan pemeriksaan (investigasi) terhadap kekayaan penanggung utang yang dapat digunakan untuk membayar utang, baik berupa barang tetap seperti tanah dan bangunan dan atau barang bergerak seperti kendaraan bermotor, tagihan/tabungan dan lain-lai; b. Pencarian data/dokumen (bukti kepemilikan) atas harta kekayaan penanggung utang melalui instansi/lembaga yang terkait, untuk digunakan sebagai pendukung dalam pelaksanaan eksekusi.

An individual guarantee provided by a third party acting as a debt guarantor/avalist in settling debtor?s debt constitute an alternative settlement for bad debts with State Owned Corporations, in case of defalt by debtor. Said individual guarantee is of the assessor type, meaning it is continually linked to a principal agreement, with the consequence that it can be defined as having no guarantee without an existing legal principal debt. The previously issued Government Regulation Number 14 years 2005 at the State Owned Corporation regarding the Writing Off Process of State/Regional Claims, which was further amended by Government Regulation Number 33 year 2006 regarding the Amendment of Government Regulation Number 14 year 2005, appointing the State Claims Affairs Committee (PUPN) as the authorized party to settle bad credits based on Law Number 49 Prp year 1960 regarding State Claims Affairs Committee (PUPN Law). Execution measure against individual guarantee by the PUPN will be effected as the last resort by the PUPN, after prior confiscation of the debtor?s collateral and assets which is further followed by its auctioning off. If during the execution of the individual guarantee, there is an indication that guarantor has no intention of a voluntary settlement of the liability or to surrender his/her assets, the PUPN shall resort to the following actions : a. investigation and examination of the guarantor?s assets that can be employed as debt payment, either consisting of fixed goods such as land and buildings or movable goods such as motorized vehicles, collections/savings and others; b. Finding data/documents (proof of ownership of guarantor/s assets through related instances/institutions to support the execution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T 02301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti Vita
"Tesis ini membahas permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh para Advokad/Pengacara kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Atas Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Terhadap Pasal 28 Huruf I Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para Advokad/Pengacara menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang menyebutkan bahwa pengurusan piutang negara dilarang diserahkan kepada pengacara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PUPN melakukan pengurusan penyelesaian piutang negara terhadap penanggung hutang (debitor) yang tidak kooperatif atau nakal, agar dapat dilakukan secara cepat, efektif dan efisien. Karena itu PUPN diberikan kewenangan untuk menerbitkan surat paksa, penyitaan bahkan dapat melakukan paksa badan (gijzeling) kepada penanggung hutang (debitor) jika tidak melunasi kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam Pernyataan Bersama yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata dan pelaksanaannya dijalankan dengan surat paksa yang mempunyai kekuatan hukum sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengacara tidak dapat mengurus, menagih Piutang Negara seperti yang dilakukan oleh PUPN karena pengurusan Piutang Negara oleh PUPN dilakukan berdasarkan kewenangan khusus yang diberikan oleh undang-undang. Pemohon berpendapat negara atau pemerintah dianggap telah membuat suatu peraturan yang bersifat diskriminatif, merendahkan dan meremehkan harkat atau martabat profesi pengacara yang berakibat pengurangan atau penghapusan pengakuan hak asasi manusia. Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat menjadi pemohon atau yang memiliki legal standing adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktik dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan hal tersebut, para Pemohon menganggap memenuhi kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan ini karena para Pemohon adalah Advokat. Terhadap permohonan pengujian tersebut Pemerintah berpendapat apa yang dikemukakan oleh Pemohon merupakan bentuk kekhawatiran yang berlebihan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, mulai tanggal 6 Oktober 2006 Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang Perseroan.
Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini, apakah BUMN hendak melakukan kerja sama dengan pengacara atau bukan dalam menyelesaikan kredit macet sepenuhnya merupakan wewenang dari BUMN. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang dalam hal ini adalah permohonan para Advokad/Pengacara. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26052
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library