Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dini Dwiyana
"Tesis ini membahas dampak sanksi teguran lisan atau tertulis bagi Notaris, dan manfaat adanya sanksi tersebut bagi masyarakat yang melaporkan, serta perlindungan hukum yang diberikan oleh pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris kepada Notaris dan pelapor. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian normatif dan pengolahan data secara kualitatif, serta pengambilan kesimpulan secara induktif. Sanksi teguran lisan atau tertulis tidak mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada Notaris yang bersangkutan, tapi sebagai sanksi moral berdampak pada diri Notaris itu sendiri untuk memperbaiki kesalahannya, dan manfaatnya bagi pelapor adalah sebagai bukti tambahan dalam mengajukan gugatan di Peradilan Umum. Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris tidak sesuai dengan azas negara hukum dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, sehingga dapat dinilai memihak kepada Notaris.

This thesis discusses the impact of oral or written reprimand sanction for the Notary, and the benefits of these penalties for people who reported, as well as the legal protection provided by Article 73 paragraph (2) of Act Title Notary to the Notary and the reporters. To answer these problems, we conducted research, normative and qualitative data processing, and making conclusions inductively. Oral or written reprimand sanctions do not affect people's confidence to the Notary in question, but as a moral sanction an impact on the Notary itself to make amends, and benefits for the reporter is as additional evidence in a lawsuit filed in the Court of General Jurisdiction. Article 73 paragraph (2) Notary Public Office Act is not in accordance with the principles of state law and the Constitution of the Republic of Indonesia, so it could be assessed in favor of the
Notary."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27435
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Dinoroy Marganda
"The problem of corruption in Indonesia is related to the opportunities of public officials to abuse the authority in their own scope of position. In Indonesia, this condition exists at every level of public administration and public position. In order to reduce abusive and corruptive behavior, Parliament (DPR) and President through legislation have made some standard procedures to temporarily remove public officials accused of having committed corruption. But in many cases, practically, this problem amounts some legal difficulties. One of which is related to the constitutionality of the dismissal norm. In legal culture perspective, resigning temporarily when being accused for doing a shameful behavior is not a popular option; this is because of the presumption of innocent principles? requirement of the legal basis in criminal law. This article tried to analyse some parts of these problems.

Masalah korupsi di Indonesia berkaitan dengan peluang pejabat publik dalam menyalahgunakan kewenangan didalam lingkup posisi mereka sendiri. Di Indonesia, kondisi ini ada pada setiap tingkat administrasi publik dan jabatan publik. Dalam rangka untuk mengurangi perilaku koruptif, Parlemen (DPR) dan Presiden melalui undang-undang telah membuat beberapa prosedur standar untuk sementara memberhentikan pejabat publik yang dituduh melakukan korupsi. Namun dalam banyak kasus, praktik, masalah ini dalam jumlahnya mengalami beberapa kesulitan hukum. Salah satunya berkaitan dengan undang-undang norma pemecatan. Dalam perspektif budaya hukum, mengundurkan diri sementara ketika dituduh untuk melakukan perilaku memalukan bukanlah pilihan yang populer, karena kebutuhan dari prinsip praduga tak bersalah sebagai dasar hukum dalam hukum pidana. Artikel ini mencoba untuk menganalisis beberapa bagian dari masalah ini."
Lengkap +
School of Public Administration, National Institute of Public Administration, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Dayinta Harumanti
"Skripsi ini membahas mengenai perkembangan teori restrictive sovereign immunity di dalam hukum internasional dan penerapannya terhadap imunitas pejabat publik. Penulis akan menganalisis tujuh putusan pengadilan dari beberapa negara dan pengadilan internasional yang menggunakan pendekatan imunitas yang terbatas di dalam dalil gugatan melawan negara di hadapan pengadilan asing. Analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan teori imunitas yang terbatas dan pengaturannya dengan meninjau perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum kebiasaan internasional. Simpulan yang didapatkan menunjukkan bahwa adanya perubahan penerimaan pendekatan imunitas absolut menjadi pendekatan imunitas negara secara terbatas oleh berbagai putusan pengadilan nasional. Pembatasan imunitas negara didasarkan kepada dua tes, yaitu rationae personae dan rationae materiae. Praktik ini diterapkan secara konsisten di dalam praktik-praktik negara.

This thesis discusses the development of restrictive sovereign immunity under international law and its application to public official immunity. The author of this thesis analyses seven judgments of national courts and international tribunals regarding the use of restrictive sovereign immunity as the claimants motions to raise a civil actions against State before foreign courts. The analysis is based on literature studies concerning the development of restrictive sovereign immunity theory and how it is governed in customary international law, treaties and national laws. In conclusion, there has been a change of practice of national courts to accept the restrictive approach to immunity in numerous decisions. There are two limitations to this approach, namely rationae personae and rationae materiae. These limitations are consistently referred in the State practices."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54994
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhry Amin
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang mekanisme pemberhentian Kepala Daerah sebagai pejabat publik oleh DPRD di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan dalam proses pemberhentian Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD sejak berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serta memperbandingkan dengan proses impeachment untuk mendapatkan titik temu dalam persepsi yang selama ini berkembang bahwa pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD merupakan mekanisme impeachment, sebuah mekanisme pendakwaan untuk memberhentikan pejabat publik dari jabatannya yang berkembang di negara federal. Penelitian ini dikaji dengan melalui pendekatan yuridis-normatif. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris sekaligus tetapi, dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai informasi pendukung. Pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dianalisis menggunakan silogisme dan interpretasi. Sementara itu, penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang mendalam di bidang hukum tata negara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pemberhentian Kepala Daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya, saat ini mekanisme yang hadir dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bukanlah mekanisme “impeachment” karena desentralisasi yang tercipta di Indonesia bersifat “desentralisasi eksekutif”, sehingga dalam proses pemberhentian tersebut tidak melibatkan lembaga legislatif, tetapi lembaga pembuat kebijakan yang dikenal dengan istilah “council” di Inggris yang mirip dengan peran DPRD di Indonesia saat ini. Selain itu, mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” belum secara rinci diatur di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dewasa ini, termasuk dalam hal beracara di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk menjamin asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, sekiranya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-undang Pemerintahan Daerah mekanisme “Pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD” harus diatur lebih rinci lagi di dalam Undang-Undang.

ABSTRACT
This thesis examines the mechanisms "Dismissal of Head of region as public officials by (DPRD/council) in Indonesian" in legislation ever prevailing in Indonesia and the problems in the dismissal process conducted by the Regional Council since enactment the "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" as well as to compare with the "impeachment" process to get a common ground in which during the growing perception that the dismissal of the Head of the Regional Council is the mechanism by "impeachment", a mechanism to suspend the prosecution of public officials from office that developed in the federal state. This study examined the juridical-normative approach. In addition, this study also uses juridical-historical and juridical-comparative. The method used in the study are normative legal research methods and empirical legal research methods as well but, in this study is more focused on normative legal research, while empirical legal research serves as supporting information. Approach juridical-normative will be done by means of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary and legal materials were analyzed using "syllogisms" and "interpretation". Meanwhile, empirical research in this study was done by collecting data through various discussions with the parties who have the competence and in-depth knowledge in the field of constitutional law.
The results showed that the developmental mechanism dismissal Regional Head amended from time to time. During its development, the current mechanism is present in the provisions of "Act Number 32 of 2004 on Regional Government" is not a mechanism of "impeachment" because decentralization created in Indonesia is "decentralized executive", resulting in the dismissal process does not involve the legislature, but the policy-making body, known by the term "council" in the English country which is similar to the role "DPRD" in Indonesia today. In addition, the mechanism of "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" has not been regulated in detail in the Local Government Act today, including in the case of proceedings in the Supreme Court. Therefore, to ensure fairness, expediency and legal certainty, in case if the revision of the Local Government Act mechanism "Dismissal Regional Head by (DPRD/Council)" shall be regulated in more detail in the Act."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sultan Falah Basyah
"Kewajiban negara untuk mengatur ketentuan mengenai suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik merupakan salah satu isi dari United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003. Namun demikian, sebagai salah satu negara yang meratifikasi UNCAC, Indonesia belum mengatur mengenai ketentuan tersebut. Sementara Singapura melalui peraturan perundang-undanganya telah mengatur ketentuan tersebut sejak setengah abad yang lalu. Kebijakan hukum pidana Indonesia saat ini sedang berada dalam proses pembaharuan hukum pidana melalui pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Salah satu pembahasan dalam proses pembentukan RUU KUHP adalah ketentuan mengenai suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketentuan mengenai suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik di Indonesia dan Singapura. Hasil perbandingan tersebut penting untuk memformulasikan pengaturan mengenai suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif dengan menitikberatkan pada pendekatan perbandingan dan pendekatan sosio-legal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat dua opsi dalam memformulasikan pengaturan mengenai hal tersebut di Indonesia. Opsi pertama adalah dengan mengikuti pembahasan tentang isu ini yang pernah dilakukan dalam RUU KUHP. Opsi kedua adalah dengan mengikuti struktur dan model Prevention of Corruption Act (PCA) 1960 di Singapura. Namun, sebaiknya kedua opsi ini sama-sama dikaji terutama opsi kedua, karena Singapura sudah terbukti unggul dan menjadikannya salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia.

The state's obligation to regulate bribery of foreign public officials and officials of public international organizations is one of the elements of the 2003 United Nations Convention against Corruption (UNCAC). Although Indonesia is a State Party to the UNCAC, it has not regulated it. Meanwhile, Singapore, through its laws and regulations, has regulated it since half a century ago. Indonesia's penal policy is currently in the process of reforming criminal law through the formation of the new Criminal Code Bill (RUU KUHP). One of the discussions in the process of drafting the new Criminal Code Bill is the provision regarding bribery of foreign public officials and officials of public international organizations. Hence, this study aims to compare the provisions regarding bribery of foreign public officials and officials of public international organizations in Indonesia and Singapore. The findings of the comparison will be crucial in order to formulate regulations regarding bribery of foreign public officials and officials of public international organizations in accordance with the conditions in Indonesia. This research applies juridical-normative approach highlighting several approaches namely comparative and socio-legal approaches. The findings of the study conclude that there are two options in formulating regulations regarding this matter in Indonesia. The first option is to follow the discussions on this subject that have been carried out in the Criminal Code Bill. The second option is to adopt the structure and the model of the 1960 Prevention of Corruption Act (PCA) in Singapore. Both options will be scrutinised especially the second option, because Singapore  has proven successfully to eradicate corruption and has made it one of the countries with the lowest levels of corruption in the world."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library