Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ranita Astikya Carolina
Abstrak :
Obesitas ditandai dengan akumulasi lemak berlebih dan menyebabkan stres oksidatif. Apabila tidak ditangani, stres oksidatif dapat menurunkan kualitas hidup, memicu berbagai penyakit, dan meningkatkan mortalitas. Salah satu cara untuk mengurangi stres oksidatif adalah dengan puasa intermiten. Puasa intermiten dapat meningkatkan pertahanan antioksidan, termasuk glutation tereduksi (GSH) sebagai antioksidan endogen sehingga mengurangi radikal bebas dan mencegah stres oksidatif. Penelitian dilakukan dengan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian adalah karyawan pria dewasa berusia 19-59 tahun dengan IMT ≥ 25 kg/m2. Subjek terbagi menjadi kelompok kontrol dan puasa melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan setiap hari Senin dan Kamis selama 8 minggu serta tidak diperkenankan makan dan minum selama 14 jam berpuasa. Kadar GSH diukur menggunakan metode Ellman sebelum dan sesudah perlakuan pada sampel leukosit yang tersimpan dari penelitian sebelumnya oleh Yudhistina K, et al. Pengaruh puasa intermiten 5:2 terhadap kadar GSH dianalisis dengan uji perbandingan rerata Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Kadar GSH sesudah perlakuan menurun signifikan pada kelompok kontrol (p = 0,01) dengan kadar GSH 0,433 (0,041-2,372) µmol/mL menjadi 1,247 (0,415-2,631) µmol/mL dan kelompok puasa (p < 0,001) dengan kadar GSH 0,604 (0,080-2,976) µmol/mL menjadi 1,874 (0,052-6,937) µmol/mL. Kadar GSH sesudah perlakuan pada kelompok puasa lebih rendah signifikan (p = 0,045) dibandingkan kelompok kontrol. Selisih perubahan kadar GSH pada kelompok puasa lebih tinggi signifikan (p = 0,041) dibandingkan kelompok kontrol. Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat meningkatkan kadar GSH pada pria dewasa dengan obesitas. ......Obesity is characterized by excessive fat accumulation and correlates with oxidative stress, which can reduce quality of life, lead to various diseases, and increase mortality. An alternative way to reduce oxidative stress is intermittent fasting which can increase antioxidant defences, including reduced glutathione (GSH) as an endogenous antioxidant, thereby reducing free radicals and preventing oxidative stress. This study used a randomized controlled clinical trial. The subjects were male employees aged 19-59 years with BMI > 25 kg/m2 divided into control and fasting groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was done every Monday and Thursday for 8 weeks and subjects were not allowed to eat or drink during fasting. GSH levels were measured using the Ellman method in leukocytes stored from previous study by Yudhistina K, et al. The effect of intermittent fasting 5:2 on GSH levels was analyzed by the Wilcoxon and Mann-Whitney tests with a significance limit of 5%. GSH levels post-intervention decreased significantly both in the control group (p = 0.01) with GSH levels of 0.433 (0.041-2.372) µmol/mL to 1.247 (0.415-2.631) µmol/mL and the fasting group (p < 0.001) with GSH levels of 0.604 (0.080-2.976) µmol/mL to 1.874 (0.052-6.937) µmol/mL. GSH levels post-intervention in the fasting group were significantly lower (p = 0.045) than in the control group. The changes in GSH levels in the fasting group was significantly higher (p = 0.041) than in the control group. Intermittent fasting 5:2 for 8 weeks can increase GSH levels in adult males with obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anni Rahmawati
Abstrak :
Latar belakang: Prevalensi penduduk dewasa di Indonesia yang obesitas mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, demikian juga dengan angka obesitas pada karyawan. Puasa intermiten dapat menjadi alternatif solusi dalam tatalaksana obesitas, terutama terhadap ukuran lingkar pinggang dan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten 5:2 terhadap lingkar pinggang dan resistensi insulin pada karyawan obesitas di Jakarta. Metode: Penelitian uji klinis acak terkontrol ini dilakukan pada 50 karyawan obesitas berusia 19-59 tahun, dan memiliki lingkar pinggang ≥ 90 cm. Sampel dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diminta untuk berpuasa pada hari senin dan kamis selama 8 minggu, sementara kelompok kontrol melanjutkan pola makan seperti biasa. Tidak terdapat pembatasan kalori pada kedua kelompok. Data dikumpulkan melalui kuesioner, food recall 2x24 jam, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan resistensi insulin yang diketahui melalui nilai HOMA-IR. Analisis menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney, dan uji t berpasangan atau Wilcoxon. Hasil: Setelah 8 minggu intervensi, perubahan lingkar pinggang pada kelompok intervensi ialah 0,00 (-5,0-8,0) cm dan pada kelompok kontrol 1 (-4,0 – 4) cm. Sementara perubahan kadar HOMA-IR pada kelompok intervensi ialah 0,29 (-17,78 – 6,84) dan kelompok kontrol -0,46 (-18,94 – 10,55). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna perubahan lingkar pinggang dan resistensi insulin pada kelompok yang berpuasa dibandingkan kelompok yang tidak melakukan puasa (p>0,05). ......Introduction: The prevalence of the obese adult population in Indonesia has increased from year to year. So is the obesity rate in employees. Intermittent fasting could be an alternative solution in managing of obesity, especially for waist circumference and insulin resistance levels. Objective: This study aims to determine the effects of intermittent fasting 5:2 on waist circumference and insulin resistance in obese employees in Jakarta. Method: This randomized controlled clinical trial was conducted on 50 obese employees aged 19-59 years, and had a waist circumference ≥ 90 cm. The subjects were divided into intervention groups and control groups. The intervention group was asked to fast on Mondays and Thursdays for eight weeks, while the control group continued their usual diet. There were no calorie restrictions in either group. Data is collected through the interview, food recall 2x24 hours, anthropometry asssessment and measurement of insulin resistance by HOMA-IR index. The data were analyzed using t-test or a Mann-Whitney test, and a paired t-test or Wilcoxon. Results: After 8 weeks of intervention, the change in waist circumference in the intervention group was 0.00 (-5.0-8.0) cm and in the control group 1 (-4.0 - 4) cm. While the change in HOMA-IR levels in the intervention group was 0.29 (-17.78 - 6.84) and the control group was -0.46 (-18.94 - 10.55). Conclusion: There was no significant difference in waist circumference and insulin resistance in the fasting group compared to the control group (p>0.05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gittanaya Anindyanari
Abstrak :
Latar belakang: Ketidak seimbangan dalam kadar antioksidan dan level radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa sudah terbukti dapat meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan produksi radikal bebas, yang akan menghasilkan penurunan stres oksidatif. Selain itu, durasi waktu puasa juga mempengaruhi dampak puasa dalam menurunkan stres oksidatif. Banyak penelitian yang sudah membahas efek puasa tersebut, namun, belum diteliti pada jaringan jantung. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan efek durasi puasa terhadap kadar katalase pada jaringan jantung kelinci New Zealand White. Metode: Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang dilakukan selama satu minggu. Kelompok pertama, kelompok kelinci dengan pemberian pakan yang normal. Kelompok kedua, kelompok puasa intermiten dengan 16 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Kelompok terakhir, kelompok puasa berkepanjangan dengan 40 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Selanjutnya, absorbansi aktivitas katalase dan kadar protein diukur dengan spectrofotometer. Pembagian aktivitas katalase dengan kadar protein dilakukan untuk mendapatkan aktivitas spesifik katalase. Hasil: Rata-rata dari aktivitas spesifik katalase pada kelompok kontrol adalah 1,104 ± 0,244 UI/mg protein, rata-rata pada kelompok puasa intermiten adalah 0,892 ± 0,093 UI/mg protein, dan rata-rata pada kelompok puasa berkepanjangan adalah 1,126 ± 0,098 UI/mg protein dengan perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05). Kesimpulan: Perlakuan puasa intermiten dan puasa berkepanjangan selama satu minggu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas spesifik enzim katalase pada jantung kelinci New Zealand White. ......Introduction: An imbalance in the antioxidant and free radical levels will develop oxidative stress. Fasting has increased antioxidant levels and decreased free radical production, ultimately reducing oxidative stress. Furthermore, the duration of fasting is also known to have a role in decreasing oxidative stress. Previous studies have been done on the effect of fasting on oxidative stress, however, none has been done on the heart. Hence, this study is aimed to discover the difference of fasting duration on its effect towards catalase level in New Zealand White rabbits. Method: Samples are divided into three groups based on their treatment for a week. First, the control group with a regular feeding schedule. Second, intermittent fasting group with 16 hours of the fasting period and 8 hours of the feeding period. Lastly, prolonged fasting with 40 hours of fasting and 8 hours of feeding periods. Then, a spectrophotometer is used to calculate the catalase activity and protein level. A division of catalase activity by protein level is done to obtain specific catalase enzyme activity. Result: The mean of specific catalase activity in the heart of the control group sample are 1.104 ± 0.244 UI/mg protein, the mean in the intermittent fasting group are 0.892 ± 0.093 UI/mg protein, and the mean in the prolonged fasting group is 1.126 ± 0.098 UI/mg protein with an insignificant difference (p > 0.05). Conclusion: Neither intermittent nor prolonged fasting conducted in a period of one week will have significant effect on the specific catalase activity level in the heart of New Zealand White rabbit.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Retasya Novira
Abstrak :
Pendahuluan: Stres oksidatif terjadi ketika kadar antioksidan dan pembentukan oksidan dalam tubuh tidak seimbang. Puasa telah terbukti meningkatkan ketahanan sel terhadap stres oksidatif dengan meningkatkan kadar antioksidan atau menurunkan produk akhir dari kerusakan oksidatif. Namun, dari penelitian yang sebelumnya dilakukan pada tikus, jenis puasa terbaik untuk meningkatkan kadar glutathione masih menjadi perdebatan. Selain itu, belum ada penelitian tentang pengaruh jenis puasa terhadap tingkat antioksidan pada jantung kelinci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh puasa dan durasinya terhadap kadar glutathione (GSH) pada jantung kelinci New Zealand White Rabbit's Metode: Subyek dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, (1) kelompok kontrol yang mengonsumsi makanan secara normal, (2) kelompok puasa intermittent yang menjalani puasa selama 16 jam, dan (3) kelompok puasa berkepanjangan yang menjalani puasa selama 40 jam, selama 7 hari. Kemudian spektrofotometer digunakan untuk menghitung kadar glutathione. Uji Saphiro-Wilk kemudian uji Kruskal-Wallis sebagai uji lanjutan digunakan untuk menganalisis data. Hasil: Median untuk kelompok kontrol, berkepanjangan dan intermittent adalah 0,004 ± 0,003 ‡g/mg, 0,004± 0,001 g/mg, dan 0,004± 0,002 g/mg. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kadar GSH yang signifikan antara kelompok kontrol, puasa intermittent dan puasa berkepanjangan (P>0,05). Kesimpulan: Puasa intermiten dan berkepanjangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glutathione pada jantung kelinci New Zealand putih dibandingkan dengan kontrol. ......Introduction: Oxidative stress occurs when the balance between antioxidant and the generation of body's oxidant is unfavorable. Fasting has been showed to increase cell resistance toward oxidative stress by increasing the level of antioxidant or decreasing the end product of oxidative damage. However, from previous studies done on rats, the best fasting types to boost glutathione, one of the antioxidants, is still debatable.Moreover, there are no study about the effect of different types of fasting done on rabbit's antioxidant level. This research aims to the effect of fasting and its duration on glutathione (GSH) level in New Zealand White Rabbit's Heart. Methods: The subjects were divided into 3 groups of treatment, (1) control group consumed food normally, (2) intermittent fasting group who underwent 16 hours fasting with 8 hours eating period, and (3) prolonged fasting group who underwent 40 hours fasting with 8 hours eating period, for 7 days. Then a spectrophotometer was used to calculate the glutathione level. Saphiro-Wilk test and then Kruskal-Wallis test as the followed-up test were used to analyzed the data. Results: The median for the control, prolonged and intermittent groups were 0.004 ± 0,003 g/mg, 0.004± 0.001 g/mg, dan 0.004± 0.002 g/mg respectively. The Kruskal- Wallis test revealed that there was no significant difference in GSH levels among control, intermittent fasting and prolonged fasting group (P>0.05). Conclusion: Intermittent and prolonged fasting is not significantly affecting glutathione level in New Zealand White Rabbit's Heart compared to control.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library