Sebagai Negara kepulauan, pemerintah Indonesia memberikan subsidi dan public service obligation (PSO) kepada kapal Tol Laut, Pelni dan Perintis untuk mendistribusikan barang ke pulau-pulau kecil. Ketiga jenis kapal tersebut secara independen mengelola waktu dan jaringan masing-masing. Akibatnya jaringan distribusi menjadi tidak efisien dan belum dapat secara maksimal menekan biaya angkut serta biaya subsidi-PSO. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan model bi-level dalam integrasi jaringan transportasi laut pada sistem distribusi barang di wilayah yang berciri kepulauan. Model upper level bertujuan meminimalkan jumlah kapal yang dioperasikan, sedangkan model lower level bertujuan menentukan rute yang memaksimalkan profit dalam distribusi barang yang melibatkan kapal Tol Laut, Pelni dan Perintis. Penggunaan genetik algoritma (GA) dalam pemecahan masalah dengan bentuk jaringan milk run time windows (MRTW) mampu mengakomodir variabel uncertainty berupa fluktuasi muatan dan tinggi gelombang yang belum dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Hasil validasi model dengan tes empiris pada kasus di Indonesia menunjukkan bahwa model dapat memberikan nilai optimal dalam menyelesaikan masalah integrasi jaringan. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jumlah kapal yang beroperasi, penerapan sistem cluster dan intervensi variabel uncertainty dalam penentuan rute kapal berpengaruh terhadap profit kotor. Penerapan sistem cluster mampu meningkatkan profit sebesar 36,5% dibandingkan tanpa clustering. Pengaturan rute kapal yang diintegrasikan secara real time dengan mempertimbangkan variabel fluktuasi muatan dan tinggi gelombang, memiliki konsekuensi bahwa profit kotor yang diterima mengalami penurunan sekitar 11,8% dibandingkan tanpa mempertimbangkan tinggi gelombang. Namun ada jaminan bahwa semua muatan akan terdistribusi sehingga masalah kelangkaan barang di wilayah terpencil, terluar dan perbatasan Indonesia mampu diatasi.
As an archipelagic country, Indonesian government gives subsidy and public service obligation (PSO) to Sea Tollway, Pelni and Pioneer vessels to distribute freights to small islands. These three types of vessel are independently managing their own time and network. As the result, the distribution network becomes inefficient and not optimal in suppressing transport cost and subsidy-PSO cost. The aim of this research is to develop and implement bi-level model in sea transport network integration on freight distribution system on archipelagic territory. Upper level model is intended to minimalize the number of operated vessels, while lower level model is intended to determine the route that maximize the profit in freight distribution that involves Sea Tollway, Pelni and Pioneer vessels. The application of genetic algorithm (GA) in problem solving on milk run time windows (MRTW) network can accommodate the uncertainty variable, namely cargo fluctuation and wave height that has not been done by previous research. The result of model validation with empirical test on the case in Indonesia shows that the model can gives optimal value in solving the network integration problem. The sensitivity analysis shows that the number of operating vessels, implementation of cluster system and the uncertainty variable intervention on the determination of vessel route affect the gross profit. The application of the cluster system can increasing profits by 36.5% compared without clustering. The management of vessel route should be integrated in real time by factoring the cargo fluctuation and wave height variable, with consequence that the received gross profit is decreasing by 11,8% when compared to the condition without the wave height consideration. However there is a guarantee that all cargo will be distributed so that the problem of scarcity of goods in remote area, outermost and Indonesian borders can be solved.
Salah satu bentuk Public Service Obligation (PSO) di bidang komunikasi adalah penyediaan Layanan Pos Universal (LPU) yang mana pemerintah menyediakan layanan pos jenis tertentu sehingga masyarakat dapat mengirim dan atau menerima kiriman pos di seluruh wilayah di dunia dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pelaksanaan Layanan Pos Universal atau Layanan Pos Dasar telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui BUMN sejak era kemerdekaan sampai dengan saat ini. Di dalam perjalanannya, terdapat perubahan-perubahan yang prinsipil terkait penyelenggaraan Layanan Pos Universal, namun belum terimplementasi secara penuh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Permasalahan yang dihadapi adalah adanya perubahan prinsip pelaksanaan Layanan Pos Universal sebagai Public Service Obligation (PSO) berdasarkan ketentuan perundangan bidang pos dan implementasi pelaksanaan Layanan Pos Universal oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan preskriptif-deskriptif analitis sehingga dapat menggambarkan perbedaan penyelenggaraan Layanan Pos Universal di masa sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos dan setelahnya. Penulis menemukan terdapat perubahan-perubahan prinsipil penyelenggaraan Layanan Pos Universal setelah Undang-Undang Pos diberlakukan yaitu perubahan terkait penyelenggaraan layanan pos universal, mekanisme penunjukan penyelenggara Layanan Pos Universal, prinsip kerahasiaan surat, dan sumber pembiayaan Layanan Pos Universal. Namun, pemerintah belum mengimplementasikan beberapa amanat dari Undang-Undang Pos seperti pelaksanaan seleksi penyelenggara Layanan Pos Universal, prinsip kerahasiaan surat tidak lagi menjadi prioritas perlindungan, dan pembiayaan Layanan Pos Universal kini bersumber dari kontribusi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penulis menyarankan kepada pemerintah agar segera mengesahkan ketentuan mengenai mekanisme seleksi penyelenggara Layanan Pos Universal dan mempertimbangkan mekanisme pembiayaan Layanan Pos Universal yang lebih baik
One form of Public Service Obligation (PSO) in communication sector is the provision of Universal Postal Services (UPS) in which the government provides certain types of postal services so that people could send and / or receive postal items in all region around world at affordable prices. The implementation of Universal Postal Services has been carried out by the government through State-Own Enterprise since independence era up until now. Through time, there have been fundamental changes related to the implementation of Universal Postal Services (UPS). However, those changes haven`t been fully implemented in accordance with the Law Number 38 of 2009 concerning Posts. The primary issues are the changes in principles of implementing Universal Postal Services as Public Service Obligation based on the provisions of postal legislation and the implementation of Universal Postal Services itself by the government in accordance with the Law Number 38 of 2009 concerning Posts. This research is a juridical-normative research with prescriptive-analytical approach, so author can describe the differences in the implementation of Universal Postal Service in the period before and after the enactment of Law Number 38 of 2009 concerning Posts. The author finds that there are fundamental changes related to the implementation of Universal Postal Service, the mechanism for appointing Universal Postal Service provider, the principles of letter confidentiality, and funding sources of Universal Postal Services. However, the government has not implemented several mandates from the postal law such as selection of the Universal Postal Service provider, the principles of letter confidentiality are no longer priorities, and financing of Universal Postal Services is now sourced from both contributions and National Budget. The author suggests to the government to immediately ratify the provision regarding the selection mechanism for Universal Postal Services and consider a better Universal Postal Services financing mechanism.