Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarlito Wirawan Sarwono
Jakarta: Grasindo, 1992
155.9 SAR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Heimstra, Norman W.
California: Brooks/Cole, 1978
155.9 HEI e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah Wibowo
"ABSTRAK
Pendekatan psikologi lingkungan muncul sebagai protes terhadap pendekatan yang hanya memperhatikan faktor-faktor individual sebagai penyebab dari munculnya masalah-masalah sosiat Selama tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di beberapa area penelitian psikoIogi. Para psikolog di semua bidang pemusatan utama psikologi melihat adanya kelemahan dan penelitian-penelitian yang tidak memperhatikan konteks, dan menyemkan perlunya penelitian penlaku yang tebih menggunakan pendekatan yang holistik dan memakai dasar ekologis (Stokols, 1987 dalam Stokols & Altman 1987).
Studi tentang penanggulangan sampah di perkotaan ini dilakukan untuk mencari solusi pelsoalan masyarakat dalam menghadapi masalah sampah yang dihasilkan mereka. Psikologi Iingkungan menyediakan peluang untuk meninjau masalah tersebut Iebih mendalam, karena dalam psikologi Iingkungan hubungan perilaku dan Iingkungan dibahas sebagai suatu unit yang saling terkait bukan berdiri sendiri-sendiri.
Asumsi dasar mengenai studi setting perilaku adalah bahwa perilaku manusia tak dapat dipahami secara memadai tanpa mempelajari konteks di mana perilaku tersebut berlangsung. Konsep sering perilaku memberi jawaban terhadap kelemahan-kelemahan dari studi-studi perilaku yang tidak memperhatikan konteks. Studi setting perilaku mengubah analisis yang tadinya bersifat satu arah dan mekanistik menjadi model yang transaksional dan berorientasi konteks.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menemukan pola perilaku masyarakat yang menentukan tingkat kebersihan Iingkungan perkotaan di mana mereka hidup. Untuk itu dilakukan penelitian dalam kehidupan keseharian penghuni di wilayah dengan kondisi kotor dan bersih.
Peneliti bertindak sebagai primary instrument, mengamati dan mengawasi langsung peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi secara alamiah di perkotaan dengan hidup dan melibatkan diri di antara mereka (Participatory Approach). Melalui pembandingan konstan dan analisis data-data yang muncul pada kondisi lingkungan bersih dan kotor di perkotaan ditemukan bahwa terdapat perbedaan dan persamaan yang relevan sehubungan dengan komponen yang membentuk kondisi kebersihan di Iingkungan perkotaan tersebut. Kejelasan mengenai dinamika perilaku kebersihan diperoleh melalui analisis yang mengarah pada 2 proses yang berlangsung secara simultan. Analisis pertama dilakukan pada kejadian-kejadian yang berlangsung sehari-hari yaitu proses interaksi antarorang-orang serta benda-benda di dalam setting (dinamika internal). dan analisis ke-2 mengarah pada proses interaksi antarsistem sosiai yang terkait dengan setting (jaringan kerja).
Melalui Studi ini disimpulkan bahwa pola perilaku kebersihan adalah tindakan kolektif terhadap sampah yang ditampilkan terus-menems oleh orang-orang penghuni yang berada di suatu wilayah. Ada dua bentuk pola perilaku kebersihan (PPK), yaitu PPK X dan PPK Y. PPK X adalah pola perilaku kebersaman yang berdampak lingkungan kotor, sedangkan PPK Y mempakan pola perilaku kebersihan yang berdampak Iingkungan bersih.
Pola perilaku Y mampu bertahan dan berkelanjutan karena di wilayah tersebut terdapat orang-orang yang mampu memimpin dan menggerakkan atau mempengaruhi penghuni lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan tujuan bersama yaitu menciptakan dan memelihara kebersihan lingkungan. Di Iingkungan bersih terdapat kerja sama yang sinergi antara masyarakat dan institusi-institusi yang menangani kebersihan Kota. Lain halnya di lingkungan kotor, hampir tidak ada orang yang memimpin dan mengkoordinir penghuni untuk aktif terlibat dalam memelihara kebersihan lingkungan.
Saran yang dapat disumbangkan dari studi ini sebagai berikut: (1)
Pendidikan yang berorientasi pada lingkungan (proenvironmental behavior) perlu diajarkan dilatih sejak dini. (2) Untuk mengembangkan program kebersihan di suatu wilayah diperlukan kepemimpinan. Perlu ada orang-orang yang mau melaksanakan, mengaiak, menggiatkan warga untuk bersama-sama berperilaku bersih. (3) Sampah sebagai limbah perlu dikelola secara bijak untuk menjaga keseimbangan dan kelangsungan ekosistem (4) Pengelolaan sampah perkotaan harus menggunakan teknologi tepat guna (5) Kebersihan Lingkungan publik menuntut keterlibatan dan partisipasi aktif dari masyarakat penghuni di sekitarnya. (6) Mendukung organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berorientasi pada penyelamatan lingkungan. (7) Dalam rangka menciptakan dan memelihara kebersihan kota, tugas dan kewajiban masyarakat dan berbagai institusi di bidang kebersihan kota, perlu dikoordinir dan dikontrol agar dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan."
2004
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Lase
"ABSTRACT
Vandalisme merupakan respons negatif terhadap lingkungan fisik dan lingkungan buatan. Karena manusia pada hakekatnya dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan.Vandalisme dapat timbul pada diri seseorang karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi masalah psikologis, biotis dan genetik, sedang faktor eksternal meliputi lingkungan baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam penelitian ini variabel internal disumsikan konstan pengaruhnya bagi siswa. Variabel eksternal yang diteliti dibatasi pada lingkungan keluarga sebagai lingkungan primer dan lingkungan sekolah sebagai lingkungan sekunder, mengingat luasnya cakupan lingkungan masyarakat sebagai lingkungan tersier. Meskipun lingkungan masyarakat diakui berpengaruh sebagai variabel pengganggu (intervening variable) tetapi tidak dilakukan pengontrolan karena itu dianggap konstan.
Vandalisme dapat dilatarbelakangi baik oleh muatan psikologis, sosiologis maupun muatan lingkungan pada setiap orang. Obyek penelitian ini diarahkan kepada remaja karena diasumsikan memiliki andil dalam perbuatan vandalisme. Lingkungan keluarga sebagai lingkungan primer dalam kehidupan remaja mengandung muatan psikologis, sosiologis maupun lingkungan. Demikian juga halnya sekolah sebagai lingkungan sekunder. Vandalisme merupakan perbuatan yang bersifat mengganggu bahkan merusak lingkungan fisik dan buatan di sekitarnya baik yang merupakan milik orang lain (private property) maupun milik umum (public ameneties). Vandalisme yang umumnya ditemui adalah mencorat-coret dinding, jembatan, halte bis, merusak fasilitas milik umum seperti telpon umum, bis, WC umum, taman dan sebagainya.
Setiap orang diasumsikan secara potensial memiliki sifat vandalis, karena perbuatan tersebut merupakan respons negatif terhadap lingkungan. Karena itu ada pendapat yang menyatakan bahwa vandalisme merupakan perbuatan yang tidak dapat dihindarkan (inevitable). Tetapi intensitas dan obyek vandalisme dapat dijadikan indikator seberapa jauh perbuatan tersebut mengganggu norma dan aturan dalam masyarakat. Vandalisme yang merupikan orang lain dan kepentingan umum dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang negatif.
Dari sudut pandang ekologi, masalah lingkungan sebagian besar ditimbulkan atau merupakan akibat perbuatan manusia termasuk remaja di dalamnya. Karena itu perbuatan negatif sekecil apapun terhadap lingkungan terakumulasi dan berkorelasi dengan perbuatan negatif lainnya. Terutama di lingkungan perkotaan, pengamatan sementara menunjukkan kecenderungan vandalisme di kalangan remaja cukup mengkhawatirkan.
Remaja merupakan aset strategis, karena jumlahnya sangat dominan dalam struktur penduduk Indonesia saat ini. Karena itu penelitian terhadap remaja dalam hubungan dengan vandalisme perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komponen-komponen apa saja dalam lingkungan keluarga dan sekolah yang berpengaruh serta melatarbelakangi perbuatan tersebut.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu sejauh mana perbedaan vandalisme siswa, jika dibedakan mengenai (1) kelas, (2) waktu sekolah, (3) kebersamaan tinggal di rumah, (4) jenis pekerjaan ayah dan ibu, (5) tingkat pendidikan ayah dan ibu, (6) pernah tidaknya pindah sekolah, (7) peminatan dalam pelajaran, (8) jenis buku yang disenangi,(9) pilihan kegiatan ekstra kurikuler,(10) pemilikan, kamar tidur, kamar belajar, dan taman/halaman(11) kebersamaan makan dengan orang tua, (12) frekuensi panggilan guru BP, (13) hukuman guru, (14) berurusan dengan polisi, (15) persepsi keharmonisan orang tua, (16) pola asuh orang tua, (17) pola kepemimpinan guru, dan (18) intensitas pembinaan agama di rumah.
Tipe penelitian ini adalah "deskripnif analitis" dalam bentuk disain survai. Agregat unit penelitian adalah seluruh SMU Negeri di DKI Jaya dan pengambilan sampel sekolah dilakukan dengan Cara purposive sampling. Kriteria pemilihan sample sekolah berdasarkan Identifikasi sekolah unggulan dan sekolah non-unggulan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa pria yang duduk di kelas II dan III sebanyak 4.425 orang siswa terdiri dari 1920 siswa kelas II dan 2505 siswa kelas III. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara proportion stratified random sampling sebanyak 5% dari jumlah populasi berdasarkan tabel dari Krejcie Morgan (1985: 193), sehingga didapatkan 354 orang siswa, yang ditentukan lebih lanjut dengan undian sistematis (systematic random sampling). Pengumpulan data dilakukan melalui angket dengan memakai skala model Likert, rentangan skor 1 sampai dengan 4 serta dilakukan wawancara terstruktur dan observasi di lapangan.
Daftar Kepustakaan (1959-1995)
ABSTRACT
(Study at Some Public High Schools in the Special Region of Capital City of Jakarta)Vandalism is a negative response to the physical and man made environment. Principally, human being influenced by and influence on the environment. Vandalism could emerge on somebody caused by internal and external factors. In one hand, internal factors such as psychology, biology and genetic and on the other hand, external factors such as family, school and social environment. This research focused in the external factors which limited to family as a primary environment and school as a secondary environment to the student, so that internal factors assumed has constant influences for the students. Furthermore, social environment as a tertiary environment for the students which play a role as an intervening variable is abandoned.
Vandalism is might has a background in psychology, sociology and environmental dimensions to everyone. The object of this research focused to teenagers which estimated have a share' in vandalism. Family environment as a primary environment to the students has a psychological, social and environmental dimensions.
Vandalism is the behavior which disturbing or breaking downs various objects including physic and man made environment both private properties and public amenities. Generally, vandalism in the large cities could be found such as graffiti?s on walls, bridges, bus shelters, and breaking down the public amenities such as public telephones, buses, public toilets/lavatories, public parks and so forth.
Everybody, potentially has a nature vandalism, because the behavior could be assumed as a response to the environment. Therefore, there is such an opinion which stated that vandalism is an inevitable. But the intensity and object of vandalism can indicated such behavior in the contrary of the norm and regulation in society. Vandalism that making damages or harm to others and reduce the interest of public can categorized as a negative behavior.
In the ecology point of view, environment problems mostly caused by the human actions including teenagers. Therefore, although the less negative actions to the environment, it would be accumulated and correlated to another negative deeds. Especially, in the urban area, in the temporary observation results indicate that vandalism trends of students increasingly worry.
Youth generation is a strategic asset, since its number is very dominant in the Indonesian population. Therefore, research to the youth in relations with vandalism should be carried out in order to investigating those factors in the family and school environment which influencing and stands as a background. From the results of this research could submit a various recommendations to be put in consideration by parents and teachers.
The problems presented in this research are how far are the differences of student vandalism, if it is differentiated based on (1) grades, (2) school time, (3) togetherness staying in the house, (4) type of father or mother occupation_ (5) education level of father and mother, (6) have ever or never moved from other school, (7) interest into the lesson, (8) type of book preferred,(9) choice of extra-curricular activities,(10) possession of private study room, bedroom and possession garden/park in their house, (11) togetherness in having meal with parents, (12) frequency of guidance and counseling teachers calling, (13) teacher punishment, (14) police investigation, (15) parents harmonious perception, (16) parrent bringing up pattern, (17) teacher leadership pattern, and (18) intensity of religious guidance at home.
The research type is "descriptive analytic" in survey design. Research unit aggregation is the whole public high schools in the special region of capital of Jakarta. Criteria to select school samples is based on purposively by selecting favorite schools, and non-favorite schools. The population of this research are male students from the second and third grade, numbering 4.425 students, consisting of 1920 students of second grade and 2.505 students of third grade. Number of sample is determined based on KKrejcie and Morgan (1985:193) tables numbering 354 students which selected with proportional random sampling. Method of collecting data is using questioners. Its scale is using Lickert Model, with the score 1 up to 4. Along with questioners its also use an stuctural interview, and the field observation
is executed. Construct validity is using factor analysis, its result is valid instrument, and instrument reability is calculated based on Omega Formula (W) its result is 0,99. Statistical analysis used Cross-tab, Khi Kuadrat (X2), t-test and anova, on the test level of 0,05.
References (1959 - 1995)
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uguy, Mediana Johanna Hendriette
"ABSTRAK
Pada akhir milenium ke dua ini, dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan empat sampai lima persen per tahun, diperkirakan empat puluh persen penduduk Indonesia atau sekitar tujuh puluh delapan juta jiwa akan tinggal di wilayah perkotaan. Untuk DKI Jakarta, jumlah penduduknya diduga akan menjadi tujuh belas setengah juta jiwa. Sedangkan kawasan Jabotabek yang perkembangannya tidak bisa dipisahkan dari DKI Jakarta, jumlah penduduknya akan mencapai tiga puluh satu setengah juta jiwa.
Jumlah penduduk yang tinggi dan langkanya lahan perkotaan mengharuskan dilakukannya berbagai upaya untuk meningkatkan daya dukung lahan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun secara vertikal. Untuk bangunan hunian, pembangunan rumah massal seperti rumah susun bagi kota-kota besar seperti Jakarta merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan lagi.
Dalam proses desain rumah susun kendala utama yang dihadapi adalah biaya yang harus ditekan serendah mungkin namun tetap memberikan akomodasi yang memadai. Dengan kata lain, bagaimana menciptakan ukuran-ukuran ruang yang minimum, bagaimana mengoptimalkan penggunaan ruang, dan bagaimana membuat denah-denah perencanaan yang sederhana dan mudah dibangun.
Pendekatan ini menghasilkan lingkungan hunian yang mempunyai karakteristik khas yaitu kepadatan tinggi, ruangan-ruangan terbatas, dan kedekatan fisik antar rumah yang sangat ketat secara horisontal maupun vertikal.
Rumah bagi suatu keluarga, dalam berbagai bentuknya termasuk unit hunian atau satuan rumah susun, pada hakekatnya mempunyai tiga makna yaitu: menyediakan perlindungan fisik bagi keluarga, wadah bagi kegiatan-kegiatan keluarga, dan perlindungan psikologis terhadap tekanan-tekanan dari dunia luar.
Dengan kondisi lingkungan fisik demikian dan perhatian khusus pada aspek psikologis tersebut, studi ini menelaah secara khusus tentang perilaku spasial penghuni di lingkungan rumah susun.
Perilaku spasial merupakan kegiatan penggunaan ruang di sekitar individu untuk mengatur interaksi social. Perilaku spasial yang penting bagi desain perumahan adalah privasi, ruang pribadi (personal space), teritorialitas, dan kesesakan.
Penelitian yang dilakukan diarahkan untuk menjawab pertanyaan -pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor perbedaan individu dan desain fisik apa saja yang berpengaruh pada privasi?
2. Bagaimana pengaruh privasi terhadap kesesakan?
3. Bagaimana perilaku ruang pribadi, teritorialitas, dan perilaku lainnya dari penghuni rumah susun untuk mencapai privasi harapan?
4. Alternatif desain apa saja yang dapat diusulkan untuk pengembangan rumah susun?
Penelitian dilakukan di Rumah Susun Tanah Abang dan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak distratifikasi (stratified random sampling) dan ditetapkan 100 responden terpilih yang selanjutnya dianalisis secara statistik dengan bantuan program Microstat. Pengujian hipotesis dilakukan melalui uji chi-square.
Rangkuman hasil Penelitian adalah sebagai berikut:
1. Tuntutan privasi penghuni rumah susun dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lingkungan fisik. Terbukti adanya hubungan yang signifikan antara privasi dengan penghasilan, jenis pekerjaan, dan lama huni. Faktor lingkungan fisik yang terbukti ada hubungannya secara signifikan adalah luas unit hunian, kepadatan unit hunian, dan tipe rencana lantai.
2. Tipe rencana lantai berpengaruh pada jenis privasi berupa keinginan untuk menjauh dari gangguan kebisingan dan keinginan untuk membatasi keakraban dengan orang tertentu saja. Pada tipe cluster tingkat keinginan untuk menjauh dari gangguan kebisingan adalah tinggi, sedangkan pada tipe linier rendah. Pada aspek keinginan untuk membatasi keakraban dengan orang tertentu, kedua tipe menunjukkan tingkat yang sama-sama tinggi.
3. Ada hubungan yang sangat signifikan antara privasi dan kesesakan; makin tinggi tuntutan privasi, makin tinggi persepsi kesesakannya.
4. Untuk mencapai tingkat privasi yang diharapkan, penghuni rumah susun melakukan mekanisme kontrol berupa perilaku ruang pribadi, teritorialitas, dan perilaku lainnya. Beberapa indikasi dari adanya mekanisme kontrol tersebut adalah: tidak terpenuhinya ruang yang cukup untuk menjaga jarak dengan orang lain pada koridor dan tangga, pemberian identitas tertentu pada unit hunian atau blok bangunan, danadanya peraturan-peraturan tertentu yang dibuat oleh penghuni.
Dari segi desain arsitektur, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:
1. Di samping ukuran ruangan-ruangan yang dirasakan sempit oleh penghuni, denah-denah yang ada kurang memberikan fleksibilitas penggunaan ruang pada penghuninya. Dimensi ruangan yang kecil pada rumah susun merupakan konsekuensi logis dari biaya yang harus ditekan serendah mungkin sesuai kemampuan kelompok sasaran yang dituju, namun demikian harus tetap disediakan wadah yang memadai bagi keluarga yang menghuninya. Untuk itu rancangan ruang dan furniturnya harus mempunyai fleksibilitas tinggi dan berfungsi ganda. Fleksibilitas penggunaan ruang dan penggunaan furnitur memungkinkan penghuni menata ruang tinggalnya menjadi bermacam-macam pola, misalnya pola slang dan pola malam.Dalam menyediakan ruangan berfungsi ganda, ruang makan seharusnya digabung dengan ruang dapur, tidak dengan ruang tamu seperti diterapkan di rumah susun yang ada. Untuk tipe sangat kecil yang dihuni keluarga (T-21 ternyata dihuni oleh rata-rata 5 orang), harus disediakan ruang tinggal berfungsi ganda yang dapat dibagi menjadi minimal dua ruang untuk orang tua dan anak-anak. Ruang tinggal tidak dibagi menjadi ruang tidur dan ruang duduk, tetapi ruang I dan ruang II yang masing-masing berfungsi ganda.
2. Dalam desain unit hunian di RSKK maupun RSTA, tidak ada ruang peralihan antara selasar dan ruang tinggal. Untuk menyediakan privasi yang cukup, harus dibuat ruang peralihan dari yang bersifat publik (selasar) ke yang privat (ruang tinggal). Diusulkan untuk menempatkan ruang kerja yang berfungsi ganda: mempersiapkan bahan masakan, setrika, "ngobrol" dengan tetangga, dan lain-lain sebagai ruang peralihan tersebut, yang menjadi bantalan penyangga (buffer) antara selasar dengan ruang tinggal tempat berbagai aktivitas keluarga.
3. Ukuran lebar selasar dan tangga dirasakan tidak memadai oleh penghuni RSTA, sedangkan bagi penghuni RSKK hanya selasar yang dirasakan sempit. Ukuran lebar selasar dan tangga harus mempertimbangkan jarak sosial atau jarak untuk hubungan yang bersifat formal dan tidak akrab yaitu 1,3 m sampai 4 m. Namun dengan ukuran 1,5 m seperti lebar tangga di RSKK sudah dirasakan memadai oleh penghuni.
4. Diusulkan tipe rencana lantai linier ganda dengan rumah-rumah yang berhadapan untuk memperkembangkan rangsangan sosial atau interaksi ketetanggaan yang menyenangkan, di samping menyediakan ruang bersama pada tiap lantai bangunan. Namun agar memberikan privasi bagi tiap keluarga atau unit hunian, harus disediakan bantalan penyangga antara selasar dan ruang tinggal, dan letak pintu harus diatur berselang-seling sehingga tidak berhadapan langsung.
5. Konsep teritorialitas yang berfungsi personalisasi dan pertahanan dapat digunakan untuk mempermudah pengelolaan kenyamanan, keamanan dan keasrian lingkungan rumah susun. Sedapat mungkin semua ruang yang terbentuk di lingkungan rumah susun 'dimiliki" oleh individu atau kelompok. Namun juga harus diberikan batas yang jelas antara kepemilikan perorangan dan kolektif.
6. Guna minimasi biaya dan menyediakan fleksibilitas yang tinggi pada penghuni untuk menata huniannya, konstruksi bangunan rumah susun dapat dibatasi pada bagian-bagian yang kepemilikan dan kontrolnya kolektif, sedangkan bagian yang dimiliki dan penataannya diputuskan oleh individu, dibiarkan dibangun sendiri oleh penghuni sesuai potensinya.
Penelitian lebih jauh perlu dilakukan untuk mengungkap efek lanjutan dari penanggulangan (coping) akan tegangan-tegangan yang mungkin ada pada penghuni rumah susun; misalnya kemungkinan timbulnya sindrom 'ketidakberdayaan yang dipelajari? (learned helplessness) pada hunian sempit dan padat atau gejala-gejala fisiologis dan psikologis lainnya.
Juga perlu digali lebih jauh berbagai dampak positif jangka panjang berupa perubahan perilaku yang disebabkan oleh lingkungan fisik berupa desain yang spesifik.
Kesalahan atau kekurangan yang bersifat teknis bangunan pada desain rumah dalam perumahan massal akan dikalikan berlipatganda sehingga mengakibatkan kerugian atau pemborosan besar.
Tetapi kegagalan memahami interaksi perilaku dan lingkungan fisik tersebut dapat mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar bahkan malapetaka berupa hancurnya lingkungan rumah susun secara keseluruhan, lingkungan fisik maupun sosialnya.

ABSTRACT
At the end of this second millennium, it is estimated that forty percents of Indonesian citizen, or about seventy eight million people, will live in urban area. In Jakarta, the number will reach seventeen and a half million.
The fact that the high density people is faced to the scarcity of land in urban area needs many efforts to improve the carrying capacity of the land. One of the efforts is to build the city vertically. For residential buildings, the choice of mass housing such as flats or 'rumah susun' is a necessity.
Extra attention must be paid to give the best acommodations within limited funds: how to set minimum room sizes and dimensions, how to optimize the use of space, and how to make simple plans which are easy to construct. The meaning of a house for a family in general is also valid for a dwelling unit in a flat_ At least there are three meanings of a house: providing physical shelter for the family, places for family activities, and psychological shelter from pressures of the outside world.
Giving special focus on the psychological aspect, this thesis studies especially the spatial behavior. Spatial behavior is to activities of using the space surrounding an individu to organize the social interaction. In housing design, the most important kinds of spatial behavior are privacy, personal space, territoriality, and crowding; which are the scope of this study.
The research itself is directed to answer these questions:
1. What factors of individual differences and physical design which relate to the privacy of the residents?
2. How does privacy relate to crowding?
3. How do the residents behave in personal space, territoriality, and other behavior to get the expected privacy?
4. What design alternatives can be proposed for better flat development?
The field research was taken place at the flats of Tanah Abang and Kebon Kacang, Central Jakarta. Stratified random sampling was applied and a hundred selected respondents were fixed. Then the data was analyzed statistically with the aid of microstate program. Testing of hypothesis was done by using chi-square test.
The findings of this research are:
1. The privacy of flat residents is related to individual and physical environment factors. There are significant relations between privacy and the salary, the type of the earn of living, and how much time the residents have been living in the flats. The physical environment factors which relate significantly to privacy are the area of the dwelling unit, the inner density, and the type of floor plan.
2. The floor plan type is related to the need of avoiding noise and the need of limiting the intimacy to certain people. The need of avoiding noise on the cluster type is high but on the linear type is low. For the need of limiting the intimacy, both type are high.
3. There is a very significant relation between privacy and crowding; the higher the privacy the higher the crowding.
4. In order to get the expected privacy, the residents do control mechanisms such as personal space, territoriality, and other behaviors
From the architectural design aspect, it can be pointed out several findings and alternatives:
1. For the very small dwelling unit (T-21 or smaller) the need of flexibility is a necessity. The flexibility of using rooms and furniture gives the residents the availabilities to create various room patterns, such as day pattern or night pattern. In a small unit for a family, it should be provided a multifunction room that can be separated into two rooms; room I for the children and room II for the parents.
2. There should be a transitional space between public and private zone in a house. The alternative design is to place multifunctional worked room between the corridor and the living room.
3. The width dimensions of corridors and stairs in flat building should fit the social distance or the distance to keep formal and not intimate communication between two people or more.
4. In order to propose social interaction among the residents and also provide privacy, the floor plan type should be the twin corridor and the doors face each other are arranged alternately.
5. The concept of territoriality which has the functions of personalization and defense can be used to make the environmental management of the flat more easier. But there should be a straight boundary that differs the individual and collective property.
6. For minimizing cost and providing high flexibility, the design and construction of a flat should allow the residents to build the individual parts, which are notcollective properties, of the building by themselves.
More researches need to be done to find probable aftereffects of coping with the stresses which probably exist in the environment. Besides that, the positive impacts that may become of, should also be learned.
Technical mistakes made in mass housing design could result in multiple loss or wastefulness, but the failure of understanding the interaction between behavior and certain physical environment we built, may plunge the environment in disaster.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library