Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desti Ernaningsih
"PenangguIangan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya merupakan usaha yang telah lama dilakukan. Tindak pidana korupsi perlu dicegah dan ditanggulangi bukan saja karena sifat ketercelaanya, tetapi juga karena secara ekonomis menimbulkan kerugian terhadap keuangan Negara dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Penyelesaian perkara tidak pidana korupsi sampai saat ini masih terdapat berbagai kendala dan kesulitan baik untuk penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun peradilan pelaku tindak pidana korupsi, Sampai saat ini eksistensi dan kinerja lembaga kejaksaan masih dirasakan belum optimal dalam melaksanakan fungsinya, sehingga peran kejaksaan sebagai pengacara Negara belum dirasakan oleh masyarakat dalam hal mendukung penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun upaya yang dilakukan oleh kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah maksimal, namun hasilnya belum memuaskan hal ini disebabkan karena adanya kendala dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukan bahwa sesungguhnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang cukup jelas mengatur penanggulangan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah direvisi dengan UU No. 20 Tahun 2001. Masih meningkatnya jurnlah tindak pidana korupsi disebabkan oleh faktor-faktor kurangnya pemahaman dad aparat penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya atas penanggulangan tindak pidana korupsi, rendahnya faktor moral aparat serta kurang berfungsinya lembaga pengawasan. Dalam penyelesaian suatu perkara korupsi hendaknya dilaksanakan secara sungguh-sungguh, hati-hati teliti dalam membuat konsep dakwaan dan mencocokan dengan rumusan delik dan asas-asas pidana, sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Perlunya meningkatkan kualitas dan memperbaiki sikap mental aparat penegak hukum, karena faktor integritas sangat menentukan dalam penegakan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nikolas Manu
"Gagasan Fungsionalisasi Lembaga Ganti Kerugian melalui peradilan pidana untuk perlindungan korban penganiayaan berat, telah memiliki satu argumentasi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis, filosofis/ ideologis, dan humanis atau hak asasi manusia. Rasionalitas penerapan ganti kerugian dari aspek yuridis, bertolak dari pemahaman bahwa anti kerugian merupakan salah satu sarana yang tepat untuk melindungi dan melayani hak-hak pihak korban secara proporsional, demi tegaknya hukum dan keadilan. Rasionalitas penerapan ganti kerugian dari aspek sosiologis, bertolak dari pemahaman bahwa ganti kerugian merupakan salah satu instrument sosial yang handal untuk melindungi masyarakat, membangun solidaritas sosial, memperkuat sistem kontrol sosial, mengembangkan tanggung jawab sosial, mencapai prevensi sosial, membina sikap toleransi dan kepedulian scsial terhadap sesamanya dalam masyarakat. Rasionalitas penerapan ganti kerugian dari aspek filesofis/ideologis, berlandaskan pada pemahaman bahwa ganti kerugian merupakan salah satu bentuk aplikasi konkrit nilai-nilai luhur kehidupan, yang berakar pada nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan/Demokrasi, dan nilai Keadilan Sosial. Rasionalitas penerapan ganti kerugian dari aspek humanis atau hak asasi manusia, berlandaskan pada pemahaman bahwa ganti kerugian merupakan wujud dari suatu tuntutan moral (moral claimed) atas perlunya suatu pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia untuk memiliki hidup dan hak menjalani kehidupan secara bebas dan bertanggung jawab dalam batas-batas kebebasan orang lain.
Pemberdayaan lembaga ganti kerugian melalui peradilan pidana dapat dilakukan melalui tiga model/cara kerja, yaitu : Pertama, penerapan "denda damai" oleh polisi kepada pelaku penganiayaan berat untuk mengganti kerugian korbannya lewat penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan, dalam rangka pelaksanaan fungsi "police disceretion" sebagai pejabat fungsional penegak hukum dan keadilan, serta sekaligus pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, penerapan suatu "restitusi" oleh hakim kepada terpidana melalui suatu prosedur penggabungan perkara atas permohonan korban kepada hakim ketua sidang untuk menggabungkan tuntutan ganti-kerugian pada perkara pidana yang bersangkutan, yang diputus bersama secara kumulatip dengan sanksi pidana penjara, sebagai upaya untuk menghematkan waktu dan biaya. Ketiga, penerapan perintah hakim kepada terpidana bersyarat untuk dalam waktu yang lebih pendek/singkat dari masa percobaan membayar ganti kerugian kepada pihak korban, sebagai pelaksanaan "syarat khusus" pidana bersyarat, dalam hal dijatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun.
Terdapat hubungan yang asimetris antara ganti kerugian sebagai salah suatu "alat/sarana" yang efektif di satu pihak dan perlindungan serta pemulihan hak-hak dan kesejahteraan pihak korban di pihak lain, sebagai "tujuan" yang ingin dicapai dengan upaya fungsionalisasi lembaga ganti kerugian melalui peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dari segenap manfaat yang diperoleh melalui penerapan ganti kerugian dimaksud, baik bagi kepentingan korban, kepentingan masyarakat, kepentingan terpidana, dan kepentingan negara atau praktek peradilan pidana itu sendiri.
Untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan terhadap korban maka, selain diperlukan pengkajian ilmiah secara mendalam mengenai masalah korban kejaratan, juga diperlukan kebijakan legislasi nasional perlindungan korban dalam satu undang-undang supaya segenap tindakan yang diambil memiliki unsur kepastian hukum, dan kegunaan hukum demi mencapai kebenaran dan keadilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdi Amin
"Sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Peradilan pidana digerakkan oleh rangkaian sub-sub sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, termasuk advokat dan dalam prosesnya dibagi menjadi : tahap sebelum sidang pengadilan (pra-ajudikasi), tahap sidang pengadilan (ajudikasi) dan tahap setelah pengadilan (puma ajudikasi). Layaknya suatu sistem, seharusnya dalam sistem peradilan pidana telah terjalin koordinasi dan integrasi/keterpaduan pada keseluruhan sub-sub sistem, sehingga dapat mencapai efisiensi dan efektifitas. Tahap pra-ajudikasi sebagai tahap awal dari sistem peradilan pidana melaksanakan penanganan proses pidana melalui fungsi penyidikan dan penuntutan. Antara fungsi penyidikan dan penuntutan saling berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan saling mendukung satu sama lain. Keberhasilan penyidikan menjadi keberhasilan penuntutan. Berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, dilakukan penegasan/pembagian antara fungsi penyidikan dan penuntutan dengan tetap memberikan sarana penghubung untuk menyelaraskan kedua fungsi tersebut melalui lembaga prapenuntutan. Lembaga prapenuntutan dapat dimanfaatkan untuk menyusun suatu kebijakan pidana (criminal policy) dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang terpadu dengan mendasarkan pada tujuan hukum acara pidana, yaitu proses hukum yang adil {due process of law). Dari data sekunder yang telah diperoleh, berupa bahan hukum (primer dan sekunder) yang dikumpulkan melalui studi dokumen / literatur, dikonfirmasikan dengan data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan nara sumber terkait, yaitu polisi, jaksa, dan advokat, kemudian dilakukan analisis secara yuridis kualitatif melalui dua (dari lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu faktor hukum (dalam hal ini undang-undang) dan faktor penegak hukum (pada tahap pra-ajudikasi terdiri dari : polisi, jaksa, dan advokat). Dalam praktiknya tidak jarang prapenuntutan memunculkan permasalahan, kebijakan penyidikan dan kebijakan penuntutan belum mengarah pada satu kebijakan (operasional) pidana yang memungkinkan peluang terjadinya proses hukum yang sewenang-wenang (arbitrary process). Pada konteks ini advokat didorongkan untuk memberikan bantuan hukum dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan menghidarkan dari proses hukum yang sewenang-wenang sehingga tetjadi keseimbangan dalam proses pra-ajudikasi menuju pada tujuan hukum acara pidana, yaitu proses hukum yang adil (due process of law).

Criminal justice system is a system in a society to tackling crime problem. Criminal justice system moved by component series of system consisting which police departement, district attomey, court and correctional institution, including advocate and on its procedure divided as : before court phase (pre-adjudication), court phase (adjudication) and resocialization phase (post ajudication). As a system, properly in criminal justice system was interlaced coordination and integration on the whole system, so gets to reach efficiency and effectiveness. Pre- adjudication phase is startup phase of criminal justice system on that criminal process perform through investigation and prosecution function. Among investigation and prosecution function each other had a close relationship, where is the one phase basics for another and backs up mutually. Investigation success becomes prosecution success. Base on functional differentiation principle that followed by the code of criminal procedure (KUHAP), bring about affirmation / fragmentation among investigation and prosecution function with regulary given infrastructure link to harmonise both through preprosecution. The preprosecution can be utilized to arrange a criminal policy (operational policy) in investigation and prosecution area that coherent by goes upon criminal procedure goals, which is due process of law. Through secondary data already been gotten, as law material (primary and secondary) one that is gathered thru document / literature, confirmed by acquired primary data through interview with resource person conceming, which is police, attomey, and advocate, then by qualitative analysis pass through two (of five) factor that law enforcement influence, which is law factor (statute) and law enforcement agencies factor (on pre-adjudication phase consisting of: police, attomey, and advocate). In a fact preprosecution not sparse arises a problem, investigation policy and prosecution policy haven't aimed on one policy criminal which enable its opportunity opened arbitrary process. In this case, its importance to impulse advocate to give legal aid in order to protection the basic right of suspect and avoid of arbitrary process so arice checks and balances in pre-adjucation process goes in the direction of criminal procedure, which is due process of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26045
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Tulistania
"Tesis ini membahas mengenai batas waktu pertanggung jawaban Notaris terhadap akta yang dibuatnya. Hal ini perlu untuk memperoleh kepastian hukum bagi purnabakti Notaris. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris UUJN menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Oleh karena ini, Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Problematika yang terjadi adalah mengenai batasan tanggung jawab Notaris terhadap akta yang telah dibuatnya, perlindungan hukum terhadap purnabakti Notaris serta bagaimana kedudukan hukum pemegang protokol Notaris setelah berakhirnya jabatan Notaris. Hal ini dapat diperjelas dengan daluarsa penuntutan. Salah satu nya untuk kepastian hukum bagi Notaris yang telah menjalankan jabatannya sesuai UUJN dan Kode Etik namun kerap menjadi turut tergugat di Pengadilan. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang bersifat penelitian deskriptif analitis. Hasil yang didapat penulis adalah menentukan sampai kapan Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya. Tanggung jawab Notaris adalah melekat pada dirinya hingga seumur hidup. Berakhirnya masa jabatan Notaris tidak mengakhiri tanggung jawab purnabakti Notaris atas perbuatan hukum yang dilakukan semasa jabatannya.

This thesis discusses the time limit of Notary 39 s responsibility to the deed he made. It is necessary to obtain legal certainty for the retired Notary. Article 1 Sub Article 1 of Law Number 30 Year 2004 Concerning Position of Notary UUJN states that the so called Notary is a public official authorized to make authentic deed and other authority as referred to in this Law. Therefore, a Notary may be held liable for his actions in connection with his work in making the deed. The problems that occur are regarding the limitation of the responsibility of Notary to the deed which has been made, the legal protection to the retirement Notary and how the legal status of the Notary protocol holder after the termination of Notary. This can be clarified by the expiration of prosecution. One of them is for legal certainty for Notary who has carried out his her position according to UUJN and Code of Ethics but often becomes a member of the defendant in the Court. This research method is normative juridical with qualitative approach with analytic descriptive characteristic. The results obtained by the author is to determine to the extent that Notary, Notary Substitute, Notary of Special Replacement, and Official Notary Official shall be responsible for the deed he made. The responsibility of a Notary is to stick to him for life. The termination of the Notary does not terminate the responsibility of the notary public from legal acts committed during his her term of office.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50927
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abni Nur Aini
"Penelitian ini menyoroti bagaimana konsep mekanisme Deferred Prosecution Agreement (Perjanjian Penangguhan Penuntutan) dapat menjadi suatu ius constituendum dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal untuk menjawab tiga permasalahan yakni pertama, bagaimana pengaturan dan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia saat ini, bagaimana keterkaitan mekanisme Deferred Prosecution Agreement terhadap kasus korupsi yang terjadi di PT Garuda Indonesia, serta menganalisis prospek pengaturan Deferred Prosecution Agreement dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagai suatu ius constituendum di Indonesia. Penelitian ini menganalisis bagaimana kelemahan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi di Indonesia dengan melihat praktik penanganan tindak pidana oleh korporasi yang dijalankan oleh negara Inggris, Amerika, dan Brazil melalui konsep Deferred Prosecution Agreement dalam konteks kasus korupsi di PT Garuda Indonesia yang memiliki relevansi nyata untuk menggambarkan urgensi dan tantangan mekanisme Deferred Prosecution Agreement di Indonesia. Berdasarkan analisa terhadap studi kasus korupsi di PT Garuda Indonesia, penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme Deferred Prosecution Agreement sejatinya adalah mekanisme yang berfokus pada permasalahan utama dari suatu tindak pidana oleh korporasi yakni adanya indikator ekonomis berupa kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi dan menjadi mekanisme yang efektif dari sudut pandang Teori Economic Analysis of Law dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi oleh korporasi yang saat ini dilaksanakan di Indonesia.

This study highlights how the concept of the Deferred Prosecution Agreement (DPA) mechanism can become an ius constituendum in handling corporate corruption cases in Indonesia. This study is compiled using a doctrinal research method to answer three problems, first, how the current regulation and handling of corporate corruption cases in Indonesia, second, how the Deferred Prosecution Agreement mechanism relates to corruption cases that occurred at PT Garuda Indonesia, and analyzing the prospects for regulating the Deferred Prosecution Agreement in handling corporate corruption cases as an ius constituendum in Indonesia. This study analyzes the weaknesses in handling corporate corruption cases in Indonesia by looking at the practice of handling corporate criminal offenses carried out by the UK, the US, and Brazil through the Deferred Prosecution Agreement concept in the context of the corruption case at PT Garuda Indonesia, which has real relevance to illustrate the urgency and challenges of the Deferred Prosecution Agreement mechanism in Indonesia. Based on an analysis of the corruption case study at PT Garuda Indonesia, this study concludes that the Deferred Prosecution Agreement mechanism is a mechanism that focuses on the main problem of a corporate crime, namely the existence of economic indicators in the form of state financial losses caused by corruption and becomes an effective mechanism from the perspective of the Economic Analysis of Law Theory compared to the handling of corporate corruption cases that are currently being implemented in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zuhal Qolbu Lathof
"Tulisan ini menganalisis bagaimana upaya mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab pada tindak pidana tertentu dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap praktik pembentukan pedoman pemidanaan terhadap tindak pidana tertentu yang diberikan wewenangnya kepada Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam penelitian ini dihasilkan praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut dinilai tidak tepat dengan tiga argumentasi yaitu ketidakidealan Mahkamah Agung dalam membuat Pedoman Pemidanaan yang diatur secara rigid apabila merujuk pada praktik baik di negara civil law maupun common law, proses perumusan serta pembentukan PERMA Pedoman Pemidanaan, dan hubungan hakim dengan PERMA Pedoman Pemidanaan. Untuk mengatasi ketidakidealan tersebut, sebenarnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah lama mengenal Pedoman Tuntutan yang dimiliki oleh Kejaksaan akan tetapi pedoman tersebut berbentuk Surat Edaran dan Pedoman yang ditujukan untuk internal Kejaksaan saja. Praktik Pedoman Tuntutan tersebut dinilai lebih tepat sebagai upaya untuk mengantisipasi disparitas yang tidak bertanggungjawab dengan empat argumentasi yaitu budaya kerja yang ada di Kejaksaan, sistem perumusan dan pembentukan pedoman tuntutan, hubungan Jaksa dengan pedoman tuntutan, dan hubungan Hakim dengan surat tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Untuk mengatasi kekurangan dari praktik tersebut, maka sebaiknya pedoman tuntutan dibentuk ke dalam Peraturan Kejaksaan karena sifat peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar agar hakim dapat menggunakan rujukan tersebut sebagai sumber hukum dalam menjatuhkan suatu putusan pidana.

This paper analyzes how efforts to anticipate unwarranted disparity of certain crime in the criminal justice system of Indonesia, especially regarding the practice of forming guideline for sentencing certain crime which are given authority to the Supreme Court in the form of Supreme Court Regulations (PERMA). This article was prepared using doctrinal research methods. In this research, it was found that the practice carried out by the Supreme Court is considered inappropriate with three arguments, namely the Supreme Court's lack of idealism in making Sentencing Guideline which are regulated rigidly when referring to on practice in both civil law and common law countries, the process of formulating and establishing PERMA Sentencing Guideline, and the relationship between judges and PERMA Sentencing Guideline. To overcome this lack of ideality, in fact the criminal justice system in Indonesia has long been familiar with the Prosecution Guideline which are owned by the Prosecutor's Office, but these guidelines are in the form of Circulars and Guidelines which are intended for internal Prosecutors only. The practice of the Claims Guidelines is considered more appropriate as an effort to anticipate unwarranted disparity with four arguments, namely the work culture in the Prosecutor's Office, the system for formulating and forming prosecution guideline, the relationship between the Prosecutor and the prosecution guideline, and the Judge's relationship with the demand letter submitted by the General Prosecutors. To overcome the shortcomings of this practice, it would be better if the prosecution guidelines were formed into the Prosecutor's Regulations because the nature of the regulations is generally binding and has the potential to be enforceable so that judges can use these references as a source of law in handing down criminal sentencing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Wijanarko
"Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Azas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang- undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Azas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan azas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Azas tersebut sesuai dengan tujuan pidana, dalam hal ini azas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman azas legalitas. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi pewujudan azas oportunitas.

The principle of discretionary prosecution the opportunity is owned institutions in the Attorney General that this implementation is only in the General Prosecutor. Opportunity principle is implemented through legislation, namely Law No. 15 of 1961, Act No. 5 of 1991 and Law No.16 of 2004 on RI Attorney, clearly authorizes the Attorney General to waive the case in the public interest. The principle of opportunity until now remained a presence in Indonesia. The use of this principle should provide benefits to the public interest as the basis for the attorney general considerations in using it. The principle is consistent with the purpose of criminal, in this case the principle of opportunity aims to offset the sharpness of the principle of legality. Based on the explanation of Article 77 Criminal Code, the implementation guidebook Criminal Procedure Code, Criminal Procedure Code recognizes the existence of realizing the principle of opportunity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Imaduddin
"Dalam perjalannya, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia kerap kali menghasilkan suatu hasil yang menimbulkan respon beragaram di kalangan masyarakat. seperti contohnya kasus nenek minah dan kasus kakek samirin yang dilimpahkan ke tahapan persidangan dan menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sangat bersifat punitif atau mengedepankan pembalasan. Apabila kita melihat ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) diketahui bahwa Kejaksaan selaku dominus litis memiliki suatu wewenang untuk melakukan penyaringan atau menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak untuk dilimpahkan ke tahapan persidangan. Proses ini kemudian dilakukan melalui suatu mekanisme penghentian penuntutan yang diatur di dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Meskipun begitu, belum terdapat standar dari layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilimpahkan ke tahapan persidangan. Saat ini, telah diterbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 (“PERJA 15 Tahun 2020”) yang mengatur mengenai pelaksanaan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Penelitian ini akan membahas dua permasalahan. Pertama, membahas bagaimana pengaturan Peran dari Penuntut Umum dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif selaku dominus litis dan kedua membahas mengenai bagaimana penerapan keadilan restoratif dalam PERJA 15 Tahun 2020 dan kepastian hukum yang diberikannya terhadap aparat penegak hukum dan para pihak terkait. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif dengan melakukan Analisa terhadap peraturan yang ada dan juga wawancara terhadap beberapa narasumber. Hasil penelitian yang didapatkan adalah bahwa Kejaksaan selaku dominus litis belum diatur lebih jelas mengenai pelaksanaan kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan KUHAP, namun melalui PERJA 15 Tahun 2020 pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif telah diatur secara rinci bagaimana pelaksanaan dan persyaratan dalam melakukan kewenangan tersebut. Selain itu juga, diketahui bahwa terhadap aparat penegak hukum PERJA 15 Tahun 2020 telah memberikan kepastian hukum terhadap pelaksaan dari kewenangan tersebut dan terhadap para pihak yang menginginkan perdamaian PERJA 15 Tahun 2020 telah memberikan kepastian hukum tersebut. Meskipun begitu, didapatkan hasil bahwa penerapan konsep dari Keadilan Restoratif dalam PERJA 15 Tahun 2020 masih belum sempurna karena seakan-akan masih mengesampingkan pemulihan terhadap Pelaku dan Pihak lainnya yang terkait dan hanya memfokuskan pemulihan terhadap Korban saja.

In its journey, the criminal justice system in Indonesia often produces a result that raises mixed responses among the public. Such as the case of Minah and the case of Samirin which were transferred to the trial stage and caused negative reactions from the community. This incident raises the question of whether the criminal justice system in Indonesia is very punitive or prioritizes retaliation. If we look into the Indonesian criminal procedure code (KUHAP), it is known that the State Prosecutors as the dominus litis have the authority to filter or determine whether a case is appropriate or not to be transferred to the trial stage. This process is then carried out through a mechanism for stopping prosecution by the state prosecutors as regulated in article 140 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. Even so, there is no standard yet on whether or not a case is appropriate to be transferred to the trial stage. Currently, the Prosecutors Regulation Number 15 of 2020 (PERJA 15 of 2020) has been issued which regulates the implementation of the authority to terminate prosecution based on restorative justice. This research will discuss two problems. First, it discusses how the regulation on the role of the public prosecutor in implementing the termination of prosecution based on restorative justice as dominus litis and secondly discusses how the implementation of the restorative justice concept in PERJA 15 2020 and the legal certainty it provides to law enforcement officers and related parties. The form of research used is normative juridical with descriptive research by analyzing existing regulations and also interviewing several sources. The results of the research obtained are that the State Prosecutors as dominus litis has not been regulated more clearly regarding the implementation of the authority to terminate prosecution under the criminal procedure code, but through the implementation of PERJA 15 2020, the execution of termination of prosecution based on restorative justice has been regulated in details on how the implementation and requirements in exercising this authority. In addition, it is known that PERJA 15 2020 has provided legal certainty for the implementation of this authority by state prosecutors and for those who want to solve their problems with a restorative approach. Even so, It was found that the application of the restorative justice concept was still not perfect because it seemed as if it still ruled out the recovery or the restorative of the perpetrators and other parties involved and only focused on the restorative for the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>