Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rika Sari Sjafri
"Pajak merupakan fungsi dari PDB, oleh karenanya dalam kondisi cateris paribus, penerimaan pajak akan selalu mempunyai korelasi positif terhadap perkembangan PDB. Lebih dari itu, sesuai dengan sifat-sifatnya, pada saat PDB meningkat maka penerimaan pajak akan mengalami peningkatan yang lebih besar. Sebagai contoh, Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung lainnya (PPN & PTLL). PPh mempunyai dua ciri utama, yaitu adanya minimum pendapatan bagi seseorang agar bisa dikenakan pajak dan struktur tarif yang bersifat progresif. Jika terjadi peningkatan PDB maka akan makin banyak penduduk yang penghasilannya melebihi pendapatan minimum, sehingga jumlah penduduk yang membayar pajak bertambah. Selain itu, peningkatan PDB juga akan menyebabkan semakin banyaknya wajib pajak yang membayar pajak dengan tarif tertinggi. Kedua hal ini akan menyebabkan prosentase peningkatan penerimaan pajak menjadi lebih besar dibandingkan prosentase peningkatan PDB. Contoh berikutnya adalah PPN & PTLL. Peningkatan PDB akan mempengaruhi pola konsumsi penduduk. Peningkatan PDB akan menyebabkan peningkatan penerimaan PPN & PTLL. Lebih dari itu, penerimaan PPN & PTLL akan mengalami prosentase peningkatan yang Iebih besar daripada peningkatan PDB. Hal ini sesuai dengan sifat PPN & PTLL antara lain: pertama, semakin tinggi PDB maka semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi barang-barang yang menjadi objek PPN, kedua, semakin tinggi PDB semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi barang-barang mewah (luks/tersier) yang menjadi objek PPnBM.
Elastisitas pajak adalah ukuran yang menggambarkan derajat kepekaan penerimaan pajak terhadap perubahan pendapatan nasional. Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk mengukur derajat sensitivitas penerimaan pajak terhadap kenaikan PDB yaitu tax buoyancy dan elastisitas pajak, kedua-duanya mengukur seberapa besar sensitivitas penerimaan pajak bila terjadi perubahan PDB. Perbedaan kedua ukuran tersebut terletak pada data yang digunakan. Tax buoyancy tidak memperhatikan perubahan penerimaan pajak yang disebabkan karena terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur pajak. Sedangkan elastisitas pajak adalah ukuran yang memperhitungkan perubahan penerimaan pajak yang disebabkan karena terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur perpajakan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tax buoyancy dan elastisitas pajak di Indonesia, mengetahui hubungan antara tax ratio dengan PDB di Indonesia serta menganalisis pengaruh perubahan tax base dan tax rate struktur terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Sedangkan melode penelitian yang digunakan adalah metode analisis regresi linier dengan menggunakan data sekunder, berupa data PDB dan penerimaan pajak tahun 1969 sampai dengan tahun 2006 yang diolah dari dari Nota Keuangan 2006, dan data Direktorat Jenderal Pajak.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh PUB terhadap penerimaan pajak, tax buoyancy, elastisitas pajak dan tax ratio di Indonesia cukup signifikan. Berdasarkan hasil regresi diketahui tax buoyancy tertinggi dimiliki oleh PBB dengan nilai sebesar 1.44, sedangkan tax buoyancy terendah dimiliki oleh Pajak Ekspor yaitu sebesar 0.37, Elastisitas pajak tertinggi dimiliki oleh PBB dengan nilai sebesar 1.85, dan elastisitas pajak terendah dimiliki oleh Pajak Ekspor dengan nilai sebesar 0.56. Adapun tax buoyancy total pajak adalah sebesar 1.13. dan elastisitas total pajak adalah sebesar 1.00. Hasil penelitian menunjukkan fenomena yang menarik, dimana PPh memiliki tax buoyancy 1.23 dan elastisitas sebesar 1.18, demikian juga dengan PPN yang memiliki tax buoyancy sebesar 1.24 dan elastisitas sebesar 0.97. Hal ini bertolak belakang dengan PBB yang memiliki tax buoyancy sebesar 1.44 dan elastisitas sebesar 1.85. Hal ini menunjukkan perubahan-perubahan struktur pajak yang dilakukan pemerintah (Departemen Keuangan c.q. Ditjen Pajak) memberikan hasil yang positif terhadap penerimaan PPh dan PPN. Sedangkan hasil PBB lebih disebabkan oleh sifat-sifat alami dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri seperti peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah modal, dan peningkatan teknologi sehingga semakin tinggi PDB semakin banyak penduduk yang menjadi wajib pajak dan membayar PBB. Adapun tax buoyancy total pajak sebesar 1.13 dan elastisitas total pajak sebesar 1.00. Penulis berpendapat hal ini selain disebabkan oleh perubahan-perubahan struktur pajak yang dilakukan pemerintah (Departemen Keuangan c.q. Ditjen Pajak) telah memberikan hasil yang positif terhadap penerimaan PPh dan PPN, juga karena kontribusi PPh dan PPN jauh lebih besar dari pada kontribusi PBB terhadap total pajak.
Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat korelasi yang cukup signifikan antara PDB dan tax ratio, dengan koefisien korelasi sebesar 70.32%. Sementara itu simulasi yang digunakan untuk menguji pengaruh tax base dan tax rate terhadap tax buoyancy menunjukkan hasil terjadinya peningkatan tar buoyancy dari 0.99 menjadi 1.202 jika beberapa beberapa pajak penghasilan final yang dapat diketahui dasar pengenaan pajaknya dikeluarkan dari regresi. Tax buoyancy dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, antara lain dengan menerapkan satu tarif tunggal yang bersifat proporsional untuk pajak penghasilan, termasuk menghilangkan komponen pajak final, memperjelas dan melakukan kontrol yang ketat pada proses restitusi PPN, serta pelaksanaan program modernisasi administrasi perpajakan yang terprogram dan terkontrol yang akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, produktivitas petugas, penyederhanaan administrasi perpajakan dan pada akhirnya akan menaikkan penerimaan perpajakan.

Tax revenue as a function of Gross Domestic Product (GDP), catteries paribus, will always have positive correlation to GDP. Base on its nature, increasing in GDP will cause greater increasing in tax revenue. For instance, the nature of Income Tax required minimum income to tax and progressive tax rate. Increasing in GDP will enhance number of people that has income above required minimum income, thus enhance number of people that has to pay income tax. Furthermore, increasing in GDP will improve number of people that has to pay in higher tax bracket. These will trigger greater percentage of escalation in tax revenue than GDP. Another illustration is Value Added Tax (VAT). Increasing in GDP will lead a bigger increasing in VAT because more people will consume goods and services that have VAT levied on it and more people will consume luxury goods and services that have Luxury Tax levied on it.
Tax elasticity is defined as measurements which describe degree of sensitivity of tax revenue to GDP's change. Moreover, there are two measurements that can be used to determine degree of sensitivity of tax revenue to GDP's change which are tax buoyancy and tax elasticity. Both of them appraise the degree of sensitivity of tax revenue. The difference is while tax buoyancy, defined as the percentage change in tax revenues divided by the percentage change in GDP when discretionary changes are not accounted for, tax elasticity defined as the percentage change in tax revenues divided by the percentage change in GDP when discretionary changes are accounted for.
The objectives of this research are to find out Indonesia's tax buoyancy and tax elasticity, discover correlation between tax ratio and Indonesia's GDP and to examine the impact of tax base and tax rate structure's change to Indonesia's tax revenue. This research use linear regression method and use secondary data from Ministry of Finance and Directorate General of Taxation. The findings of this research expose an overall significant correlation between tax revenue, tax buoyancy, tax elasticity and tax ratio to GDP. Land and Building Tax (LBT) has the highest tax buoyancy which is 1.44 and Export Tax has the lowest which is 0.37. LBT also has the highest tax elasticity which is 1.85 and Export Tax also has the lowest tax elasticity which in 0.56. Overall tax buoyancy is 1.13 and tax elasticity is 1.00.
The result of this research shows an interesting phenomenon, which is Income Tax has 1.23 tax buoyancy and 1.18 tax elasticity, while VAT has 1.24 tax buoyancy and 0.97 tax elasticity. On contrary, LBT has 1.44 tax buoyancy and 1.85 tax elasticity. In my opinion the result for Income Tax an VAT can be explained as an outcome which is derived by government's fiscal policy. While the result for LBT should be came from natural cause, for instance, the growth of population, capital and technology. Overall tax buoyancy and tax elasticity results can be explained as an outcome which is derived by government?s fiscal policy, furthermore tax revenue derived from Income Tax and VAT is greater than LBT's.
The results of this research also determine a significance correlation between the growth of GDP and Tax Ratio, it reflects in 70.32% of coefficient correlation. Moreover, it also shows the simulation that excludes several final income taxes from regression will boost income tax buoyancy from 0.99 to 1.202. In my opinion, there are several ways to amplify Indonesia's tax buoyancy. They are implementation a flat proportional income tax rate, including elimination of final income tax; construction a well structured and impose a tight control to VAT refund processes; and applying a progress in modernizing tax administration which improve tax compliance, enhance productivity, simplify the tax system, thus increase overall tax revenue."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Nanda Apriani
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana alternatif kebijakan tarif pajak progresif atas tanah terlantar di DKI Jakarta dan mengidentifikasi apa saja keunggulan dan kelemahan pengenaan Pajak Progressif Atas Tanah Terlantar Di DKI Jakarta. Masalah ini di fokuskan pada tanah terlantar yang berada di daerah DKI Jakarta, dan dalam mendekati masalah ini dipergunakan acuan dari beberapa teori yang mana ada teori pajak progresif dan konsep dari tanah terlantar. Data-data di kumpulkan melalui Studi lapangan dalam kajian ini dilakukan melalui wawancara mendalam dan juga  melakukan studi pustaka dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok permasalahan kajian,dan juga mengumpulkan informasi data kepustakaan dari buku-buku yang berkaitan, peraturan perundangan-undangan, makalah atau karya ilmiah, jurnal, surat kabar, dan tulisan-tulisan yang relevan dan dianalisis secara kualitatif.
Kajian ini menyimpulkan bahwa alternatif kebijakan tarif pajak progresif atas tanah terlantar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dimana undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut belum memadai untuk dapat diterapkan pada tanah-tanah non-pertanian atau tanah-tanah hak milik, hak pakai, maupun hak guna usaha. Hal ini karena keduanya belum mengatur pembatasan luasan tanah non-pertanian, maupun luasan tanah hak milik, hak guna bangunan, serta hak pakai baik bagi perorangan maupun badan hukum. Meski begitu, alternatif kebijakan ini diyakini dapat secara efektif menekan pola konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah serta perilaku spekulatif terhadap tanah dan badan hukum yang menimbun tanah. Pengenaan tarif pajak progresif dengan melihat lamanya kepemilikan yang di adopsi dari negara Korea Selatan juga dirasa mampu menjadi cara yang cukup bagus dalam menangani masalah tanah terlantar ini. Hasil penelitian terkait pengenaan tarif pajak progresif atas tanah terlantar (idle land) dengan menggunakan skema excess atau pemungutan tambahan diatas Pajak Bumi Bangunan yang sudah dikenakan sebelumnya.

This paper aims to analyze how alternative policies on progressive tax rates on idle  land in DKI Jakarta and identify what are the advantages and disadvantages of the imposition of Progressive Taxes on Idle  Land in DKI Jakarta. This problem is focused on wastelands in the DKI Jakarta area, and in approaching this problem the reference to several theories is used in which there are progressive tax theories and concepts of wastelands. The data collected through field studies in this study were conducted through in-depth interviews and also conducted a literature study by reading the literature relating to the subject matter of the study, and also collecting library data information from related books, legislation and regulations, papers or scientific papers, journals, newspapers, and writings that are relevant and analyzed qualitatively.
This study concludes that alternative policies for progressive tax rates on idle land in the Jakarta Special Capital Region. Where the laws and government regulations are not sufficient to be applied to non-agricultural lands or land rights. This is because both of them have not yet set limits on the extent of non-agricultural land, as well as the area of ownership rights, building rights, and usage rights for both individuals and legal entities. Even so, this alternative policy is believed to be able to effectively suppress the pattern of concentration of ownership and control of land as well as speculative behavior towards land and legal entities that hoard land. The imposition of progressive tax rates by seeing ownership in adoption from the South Korean state is also deemed to provide a fairly good way of dealing with this Idle Land problem. The results of the study related to the imposition of a progressive tax on abandoned land by using excess or additional collection of Building Land Tax that had been imposed previously.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
T55391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mona Sindytia
"Tesis ini membahas mengenai pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) progresif berdasarkan prinsip keadilan terhadap peningkatan pendapatan daerah Lampung. Penelitian ini merupakan penelitan hukum yuridis normatif, yang mengolah data dengan pendekatan deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian, tujuan PKB progresif adalah menciptakan tertib adminstrasi kendaraan, meningkatkan PAD, menekan volume kendaraan. Pemungutan PKB progresif ternyata belum memenuhi prinsip keadilan, dikarenakan syarat pemungutan kendaraan pribadi kedua dengan nama, alamat, dan jenis kendaraan sama masih menjadi pengelakan dalam pembayaran PKB progresif.
Hasil penelitan menyarankan adanya peningkatan integritas aparatur pajak; sosialisasi penerapan PKB Progresif yang berkelanjutan; adanya peningkatan sistem pembayaran PKB yang sederhana, cepat dan memanfaatkan teknologi informasi.

The thesis discusses about collecting Vehicle?s Progressive Tax (VPT), based on principle of justice to increase the local revenue in Lampung. This research is a normative law research, which uses descriptive approach in its data processing.
According to the result of research, the goals of VPT are to create the orderly administration of vehicle, increase the local revenue, and limit the number of vehicles. The VPT evidently is not according to the principle of justice, because the requirement who said that the vehicle owned by a personal person with the basis of the name, the address and the same vehicle is still become evasion of VPT payment.
The research suggested to increase the integrity of tax officers; needs a continously socialization about the implementation of Vehicle's Progressive Tax; and using a simple and a quick payment system, also using a information technology to increase tax recieved.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library