Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Munawar
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari variabel prognostik terhadap kematian penderita yang dilakukan beda katup mitral. Penelitian bersifat retrospektif terhadap semua penderita yang dilakukan bedah katup mitral dengan atau tanpa bedah ikutan trikuspid di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta amtara bulan September 1985 sampai tanggal 31 Desember 1988 (n=162). Sembilan puluh orang dengan stenosis mitral (MS) dominan, 72 orang dengan insufisiensi mitral (MI), terdiri dari 56 orang laki-laki dan 106 orang wanita, berumur antara 7-64 (rata-rata 30,1 + 12,9) tahun. Bedah perbaikan katup dilakukan pada 87 orang, sedang oenggantian katup pada 75 orang. Seratus empat puluh sembilan orang dapat diamati (92%) dengan mengirim surat, telepon, pengamatan 16 bulan (antara 0-40 bulan), dengan jumlah pengamatan kumulatif 2607,4 bulan. Enam belas variabel prabedah dan 4 variabel intrabedah telah diuji untuk mendapatkan variabel prognostik terhadap kematian (bedah serta tertunda). Angka ketahanan hidup dihitung menurut Kaplan-Meier. Analisis univariat dengan uji logrank. Angka kematian bedah dan angka kematian tertunda seluruh penderita masing-masing 6,8% dan 2,8 per 100 oang-tahun, untuk penderita MS masing-masing 8,9% dan 1,5 per 100 orang-tahun, sedang untuk penderita MI 4,2% dan 4,6 per 100 rang-tahun. Satu-satunya variabel prognostik independen penderita MS adalah jenis operasi (perbaikan atau penggantian katup). Angka ketahanan hidup 3 tahun penderita MS dengan bedah perbaikan katup adalah 94,8 +- 2,9%, sedang untuk penderita MS dengan bedah penggantian katup 78,0 +- 5,7% (p=0,0174). Tetapi penderita MS dengan bedah penggantian katup mempunyai umur lebih tua, kelas fungsional lebih buruk, lebih banyak yang dalam irama fibrilasi atrium, rasio kardiotoraks lebih besar dan indeks curah jantung lebih rendah dan bermakna bila dibandingkan dengan bedah perbaikan katup. Untuk penderita MI, hanya variabel fraksi ejeksi (EF) yang merupakan variabel prognostik independen. Angka ketahanan hidup 3 tahun penderita MI dengan EF < 50% adalah 74,2 +- 7,2% sedang untuk penderita MI dengan EF > 50% adalah 97,5 +- 2,4% (p=0,0229). sebagai kesimpulan operasi katup mitral mungkin akan lebih bermanfaat bila dilakukan dalam keadaan yang dini. Suatu penelitian jangka panjang mengenai variabel prognostik terhadap kematian dan/atau kualitas hidup penderita bedah katup mitral masih sangat relevan dimasa yang akan datang untuk mendapatkan masukan yang lebih akurat. ...... The purpose of this study was to find prognostic variables for mortality in patients undergoing mitral valve surgery. This was a retrospective study of all patients undergoing mitral valve surgery with or without tricuspid concomitant surgery at Harapan Kita Heart Hospital, Jakarta between September 1985 and December 31, 1988 (n=162). Ninety patients with dominant mitral stenosis (MS), 72 patients with mitral insufficiency (MI), consisting of 56 men and 106 women, aged between 7-64 (mean 30.1 + 12.9) years. Valve repair surgery was performed on 87 patients, while valve replacement was performed on 75 patients. One hundred and forty-nine patients could be observed (92%) by sending letters, telephone, 16-month observation (between 0-40 months), with a cumulative observation of 2607.4 months. Sixteen preoperative variables and 4 intraoperative variables were tested to obtain prognostic variables for death (surgical and delayed). Survival rates were calculated according to Kaplan-Meier. Univariate analysis with logrank test. Surgical mortality and delayed mortality rates for all patients were 6.8% and 2.8 per 100 person-years, respectively, for MS patients 8.9% and 1.5 per 100 person-years, while for MI patients 4.2% and 4.6 per 100 person-years. The only independent prognostic variable for MS patients was the type of surgery (valve repair or replacement). The 3-year survival rate for MS patients with valve repair surgery was 94.8 +- 2.9%, while for MS patients with valve replacement surgery it was 78.0 +- 5.7% (p = 0.0174). However, MS patients with valve replacement surgery were older, had worse functional class, more were in atrial fibrillation rhythm, had a higher cardiothoracic ratio and a lower cardiac output index and was significant when compared with valve repair surgery. For MI patients, only the ejection fraction (EF) variable is an independent prognostic variable. The 3-year survival rate for MI patients with EF < 50% is 74.2 +- 7.2% while for MI patients with EF > 50% is 97.5 +- 2.4% (p = 0.0229). In conclusion, mitral valve surgery may be more beneficial if performed in an early state. A long-term study of prognostic variables on mortality and/or quality of life in mitral valve surgery patients is still very relevant in the future to obtain more accurate input.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Karlie
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Luka bakar merupakan suatu trauma yang sampai saat ini masih mempunyai angka kematian yang cukup tinggi di negara berkembang. Sampai saat ini unit luka bakar RSCM belum mempunyai sistem skoring baku yang digunakan sebagai alat bantu prognostik dalam memprediksi kematian secara objektif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu validasi eksterna dari skor BOBI yang merupakan salah satu sistem skoring terbaik berdasarkan dari hasil systematic review yang dipublikasikan pada tahun 2013. Metode: Penelitian dilakukan secara kohort retrospektif dengan menganalisa semua pasien yang dirawat di unit luka bakar RSCM pada periode 2012-2013. Skor prediksi yang digunakan yaitu skor BOBI, dimana skor ini dinilai dari tiga kriteria yaitu usia, luas luka bakar, dan trauma inhalasi. Hasil: Rata-rata usia pasien yaitu 28 tahun, rata-rata luas luka bakar sebesar 29 , trauma inhalasi didapatkan sebanyak 15,7 , dan total kematian sebanyak 17,7 . Pasien laki-laki didapatkan sebanyak 67,3 dan perempuan sebanyak 32,7 . Skor prognostik ini memberikan hasil prediksi yang cukup akurat dengan nilai analisis receiver operating characteristic ROC menunjukkan area under curve AUC sebesar 0,96 95 confidence interval : 0,94-0,99 . Konklusi: Angka kematian pasien luka bakar di RSCM masih cukup tinggi. Skor BOBI menunjukkan tingkat prediksi yang cukup akurat. Oleh karena itu, diharapkan skor ini dapat berguna sebagai alat bantu prognostik di unit luka bakar RSCM sehingga standar kualitas pelayanan dapat terus ditingkatkan.
ABSTRACT
Background Burns are an injury that has a high rate of death to nowadays especially in developing countries. Until now Cipto Mangunkusumo Hospital rsquo s Burn Unit does not have a scoring system that is used as a standard prognostic tool in predicting death objectively. This study aims to conduct an external validation of the BOBI score which is one of the best scoring system based on the results of a systematic review published in 2013. Method In a retrospective cohort we analysed all burn patients admitted between 2012 and 2013 to burn unit at Cipto Mangunkusumo Hospital. The prediction model using BOBI score, based on three criteria age, total burned surface area TBSA , and inhalation injury . Results Mean age was 28 years, mean TBSA was 29 , inhalation injury was 15,7 , and overal mortality was 17,7 . The men were 67,3 and the women were 32,7 . The model gave an accurate prediction of mortality. The receiver operating characteristic analysis demonstrated an area under the curve of 0,96 95 confidence interval 0,94 0,99 . Conclusion Overall burn mortality in RSCM was high enough. The mortality prediction model BOBI score demonstrated a good accuracy. This model is a helpful tool for outcome prediction in order to give a better quality of service.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Mikhael Dito
Abstrak :
Walaupun masih kontroversial, jenis kelamin dan umur diduga sebagai faktor prognostik yang mempengaruhi angka kesintasan osteosarkoma (suatu keganasan tulang yang umum terjadi pada anak-anak dan dewasa muda). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kesintasan pasien osteosarkoma di RSCM selama periode waktu enam tahun (2006-2011) dan mengaitkannya dengan umur dan jenis kelamin. Studi potong-lintang ini menggunakan rekam medis 167 pasien osteosarkoma di Departemen Ortopedi dan Traumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Studi ini menunjukkan bahwa usia lebih muda saat didiagnosis berkaitan dengan respon yang lebih baik terhadap kemoterapi (p=0,028). Jenis kelamin perempuan berkaitan secara signifikan dengan stadium penyakit yang lebih rendah (p=0,04), respon yang lebih baik terhadap kemoterapi (p=0,016), dan berkurangnya risiko metastasis (p=0,008). Median waktu kesintasan pada studi ini adalah 12 bulan, yang disebabkan oleh pendeknya masa pemantauan pasien. Walaupun terdapat keterbatasan, angka kesintasan pasien perempuan lebih baik secara signifikan daripada pasien laki-laki. Angka kesintasan pada golongan usia yang lebih muda menunjukkan kecenderungan lebih baik, walau tidak signifikan secara statistik. Hasil uji multivariate tidak menunjukkan bukti tentang adanya keterkaitan stadium penyakit, respon kemoterapi, dan metastasis terhadap kesintasan. Sebagai kesimpulan, jenis kelamin perempuan berkaitan dengan tumor yang lebih favourable dan angka kesintasan yang lebih tinggi. ...... In order to improve the plateaued average 70% survival of osteosarcoma patients, prognostic factors has to be identified to improve adjustment according to patient's characteristics. Female gender and younger age at diagnosis have been suggested as good prognostic factors though inconclusive. Therefore, this study aims to determine the survival rate of osteosarcoma patients admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital from 2006 to 2011 and correlate it with age and gender. This cross-sectional study used the medical records of osteosarcoma patients admitted in the department of Orthopedics and Traumatology Cipto Mangunkusumo Hospital. Records of 167 patients were retrieved for this study. This study shown that younger age was associated with better chemotherapeutic response (p=0,028). Meanwhile, female gender was associated with less advanced disease at presentation (p=0,04), better chemotherapeutic response (p=0,016), and less risk for metastasis (p=0,008). The median survival in this study was 12 months, an underestimation due to short followup duration. Still, female patients survived longer than males. We showed a trend of better survival for younger patients, however the result was not significant. Multivariate analysis failed to show any correlation between various tumor-related variables with survival.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alphadenti Harlyjoy
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Medulloblastoma memiliki prognosis baik jika pasien menjalani tatalaksana multimodalitas lengkap, terdiri dari operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Radioterapi dan kemoterapi memiliki banyak efek samping, namun dosisnya dapat dikurangi pada kelompok pasien dengan faktor prognosis tertentu. Saat ini belum diketahui faktor prognosis medulloblastoma di Indonesia. Penulis bertujuan mengetahui karakteristik medulloblastoma di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan menganalisis hubungannya dengan luaran mortalitas. METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada rekam medis dan register pasien medulloblastoma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011 - 2018. Cox regression analysis dipakai untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), karakteristik tumor (ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak), serta tatalaksana (luas reseksi dan waktu pelaksanaan diversi liquor serebrospinal (LCS)) dengan luaran mortalitas. HASIL: Dari 44 pasien medulloblastoma yang dioperasi pada tahun 2011 – 2018, mortalitas didapatkan pada 84,1% pasien, dengan median survival time 13 (8,67 – 17,32) bulan. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan luaran mortalitas. Didapatkan HR (95% CI) untuk usia sebesar 0,44 (0,22 – 0,88; p = 0,022), untuk jenis kelamin 0,001 (0,000 – 0,27; REF: perempuan; p = 0,015), dan untuk luas reseksi berupa biopsi 31,52 (1,09 – 910,56; REF: Gross Total Resection (GTR); p = 0,044). SIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan mortalitas. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak, dan waktu pelaksanaan diversi LCS. ......BACKGROUND: The current prognosis of medulloblastoma is better in patients who underwent complete treatment consisting of surgery, radiotherapy, and chemotherapy. Radiotherapy and chemotherapy is widely associated with multiple side effects, but reduction of dosage is advisable in patients with certain prognostic factors. No study of prognostic factors of medulloblastoma had been conducted in Indonesia. The author aimed to study the characteristics of medulloblastoma patients in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, and to analyze its association with mortality. METHOD: This retrospective study was based on medical record and patient registry of medulloblastoma patients who underwent removal tumor in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital between 2011 – 2018. Cox regression analysis was used to determine statistical significance of patients’ demography (age and gender), tumor characteristics (preoperative size, location, cystic component, brainstem involvement), and treatment (extend of resection and timing of cerebrospinal fluid (CSF) diversion) with mortality as the outcome. RESULT: 44 medulloblastoma patients were analyzed. The incidence of mortality is 84.1% and median survival time is 13 (8.67 – 17.32) months. Significant statistical association between age, gender, and extend of resection with mortality was identified, with HR (95% CI) for age was 0.44 (0.22 – 0.88; p = 0.022), gender was 0.001 (0.000 – 0.27; REF: female; p = 0.015), and biopsy was 31.52 (1.09 – 910.56; REF: gross total resection (GTR); p = 0.044). CONCLUSION: There was significant statistical association identified between age, gender, and extend of resection with mortality. No significant statistical association was found between tumor size, location, cystic component, brainstem involvement, and timing of CSF diversion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prasetyo
Abstrak :
Latar belakang: Kanker ovarium khususnya jenis epitelial merupakan salah satu kanker tersering yang diderita oleh perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah meneliti berbagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khususnya trombosit yang secara patofisiologi memiliki hubungan dengan berbagai marker inflamasi pada kanker. Tujuan: (1) Membuktikan bahwa trombositosis sebagai faktor prognosis pada pasien kanker ovarium jenis epitelial (2) Membuktikan angka OS selama 3 tahun pada pasien kanker ovarium jenis epitelial dengan trombositosis lebih buruk dibandingkan tanpa trombositosis. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang terdaftar pada cancer registry Departemen Obstetri dan Ginekologi Divisi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun Januari 2014- Juli 2016. Pengamatan dilakukan saat subjek pertama kali didiagnosis kanker ovarium hingga terjadi peristiwa hidup, meninggal, atau hilang dari pengamatan dalam waktu 3 tahun. Hasil: Didapatkan 220 subjek penelitian yang merupakan populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 220 subjek penelitian, 132 (60%) dari 220 subjek penelitian merupakan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (Stadium II/III/IV). Trombositosis didapatkan pada 94 orang subjek penelitian (42,7%). Pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki risiko trombositosis yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada stadium awal (p=0,005;OR=2,329). Meski begitu, ada atau tidaknya trombositosis secara statistik tidak bermakna pada OS selama 3 tahun (p=0,555). Terdapat mean time survival yang lebih rendah pada pasien dengan trombositosis tetapi tidak ada perbedaan hazard ratio yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa trombositosis (p=0,399). Pada penelitian ini, didapatkan faktor prognostik yang bermakna pada OS selama 3 tahun antara lain adalah ada tidaknya asites (HR=3,425; p=0,025), stadium (HR=9,523; p=0,029) dan residu tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) dengan stadium kanker ovarium merupakan faktor independen (HR=9,162; p=0,033). Sensitivitas dan spesifisitas trombositosis terhadap kanker ovarium stadium lanjut didapatkan sebesar 50,75% dan 69,32%. Kesimpulan: Trombositosis sebagai faktor prognostik pada pasien kanker ovarium jenis epitelial tidak dapat dibuktikan dan angka OS selama 3 tahun pada pasien dengan trombositosis dibandingkan dengan pasien tanpa trombositosis tidak bermakna secara statistik. ......Background: Ovarian cancer, especially, epithelial ovarian cancer is one of the most common cancer in women with high rate of mortality and morbidity. Some studies have found that some biological factors that can be used as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer, particularly, thrombocytes which pathophysiologically correlates with inflammation markers in cancer. Aim: (1) To determine thrombocytosis as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer. (2) To determine that 3-year overall survival in epithelial ovarian cancer with thrombocytosis is significantly shorter than patients without thrombocytosis. Method: This study is a retrospective cohort study using medical record of patients with epithelial ovarian cancer which are registed in the cancer registry of Oncology Division in Obstetric and Gynecology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until July 2016. Datas were collected when subjects were first diagnosed with epithelial ovarian cancer until diseases outcomes (survive, death, or loss to follow up) were identified in 3 years. Result: Out of 220 subjects, 132 (60%) were patients with advanced stage epithelial ovarian cancer (stage II/III/IV). 94 (42,7%) subjects had thrombocytosis. Patients with advanced stage of disease had higher risk of having thrombocytosis than the ones with earlier stage (p=0,005;OR=2,329). Correlation between thrombocytosis and 3-year overall survival was known to be insignificant (p=0,555). There was shorter mean time survival between patients with thrombocytosis and the ones without but the there was no significant difference in hazard ratio between the two groups. In this study, several prognostic factors of epithelial ovarian cancer were identifed such as ascites (HR=3,425; p=0,025), stage of disease (HR=9,523; p=0,029), and post-operative residual tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) with stage of disease being the independent prognostic factor (HR=9,162; p=0,033). Sensitivity and specificity of thrombocytosis to advance stage of epithelial ovarian cancer were found to be 50,75% and 69,32%, respectively. Conclusion: Thrombocytosis as a prognostic factor in patients with epithelial ovarian cancer cannot be proven statistically. There is also no significant difference of 3-year overall survival between patients with or without thrombocytosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fiqih
Abstrak :
Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrome, MDS) adalah sejumlah gangguan yang terjadi akibat sumsum tulang tidak mampu menghasilkan sel-sel darah yang sehat.1 Diferensiasi sel prekursor darahterganggu, 2 dan apoptosis meningkat dengan signifikan sehingga sel-sel darah menjadi abnormal yang tidak sepenuhnya berkembang. 3 Gen PI-PLCß1 terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi. Mutasi gen PI-PLCß1 dapat memengaruhi peningkatan proliferasi sel blast pada MDS dan cenderung bertransformasi menjadi Leukemia Mieloblastik Akut (Acute Myeloblastic Leukemia, AML). Diketahui PI-PLCβ1 berperan dalam kontrol siklus sel pada transisi G1/S dan perkembangan G2/M. Disregulasi ekspresi gen PI-PLCß1 menyebabkan gangguan pada jalur pensinyalan yang melibatkan proses diferensiasi sel, sehingga terjadi perubahan diferensiasi sel prekursor darah yang menyimpang. Banyak faktor yang menyulitkan pengamatan dalam pemeriksaan sitogenetika pada pasien MDS. Sehingga pemeriksaan ekspresi gen PI-PLCß1 diharapkan akan menjadi pengkajian awal dalam menilai prognostik MDS. Desain penelitian deskriptif dan analitik pada 4 subjek penelitian (3 pasien MDS-MLD, 1 pasien MDS yang telah menjadi AML), dan kontrol pasien dengan kelainan hematologi lain (Multiple Mieloma) sebanyak 1 pasien, serta 1 kontrol sehat. Sebanyak 3/5 (80%) memiliki kelainan kariotip kompleks, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip ganda, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip tunggal. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada 4 pasien (MDS dan AML). Sedangkan pada 1 kontrol pasien dengan kelainan hematologi lainnya memiliki ekspresi gen PI-PLCß1 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada pasien MDS dengan prognosis yang lebih buruk menurut skoring IPSS-R. ......Myelodysplastic syndrome (MDS) is a number of disorders that occur due to the bone marrow is not able to produce healthy blood cells. 1 The differentiation of blood precursor cells is impaired, 2 and apoptosis increases significantly that the blood cells become abnormal and do not fully develop. 3 The PI-PLCß1 gene is involved in proliferation and differentiation. PI-PLCß1 gene mutations can affect the increase in blast cell proliferation in MDS and tend to transform into Acute Myeloid Leukemia (AML). It is known that PI-PLCβ1 plays a role in cell cycle control in the G1/S transition and G2/M development. Dysregulation of PI-PLCß1 gene expression causes disruption of signaling pathways that involve the process of cell differentiation, resulting in aberrant changes in blood precursor cell differentiation. Many factors complicate observations in the cytogenetic studies of MDS patients. Therefore, it is hoped that the examination of PI-PLCß1 gene expression will be an initial assessment in assessing the prognostic value of MDS. The study design was descriptive and analytic in 5 study subjects (3 MDS-MLD patients, 1 AML patient, and 1 MM patient). Most of the patients had complex karyotype abnormalities, the rest had multiple karyotype abnormalities and single karyotype abnormalities. PI-PLCß1 gene expression was decreased in all MDS and AML patients. Meanwhile, MM patients had normal PI-PLCß1 gene expression. However, the increase in IPSS-R scores in patients was not significantly associated with a decrease in the expression of the PI-PLCß1 gene.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Hermansyah
Abstrak :
Latar Belakang: Pada tahun 2012, lebih dari 50% pasien kanker payudara di RSCM berada pada stadium lanjut. Five years survival pasien kanker payudara stadium 3 sebesar 72% sedangkan pada stadium 4 hanya 22% meski telah mendapat terapi adekuat. Neoangiogenesis merupakan faktor biologimolekuler yang paling berperan dalam survival rate pasien kanker. Terdapat banyak marker terjadinya neoangiogensis di manusia, namun hanya CD105 yang spesifik menandakan angiogenesis intratumoral. Metode penelitian: Dilakukan studi kohort retrospektif analitik menggunakan 32 data rekam medis pasien RS Kanker Dharmais dari tahun 2011 – 2014 yang telah dipilih secara random. Sediaan sel kanker dari pasien dibuat blok parafin dan dibaca lalu dilakukan analisis univariate dan multivariat memakai SPSS versi 17.0 dan MedCalc. Hasil: Hasil analisis bivariat antara ekspresi CD105 dengan survival rate adalah: crude HR 1,724 (IK 95% 0,693-4,288) dengan nilai p= 0,241. Median survival kelompok ekspresi CD105 positif 1113 hari dan kelompok CD105 negatif 794 hari. Dilihat dari klinikopatologi, didapatkan hubungan bermakna antara usia dan ekspresi CD105 (p= 0,034). Terdapat lebih banyak subjek dengan CD105 negatif dibanding yang positif baik pada grade 3B maupun 4 (69% dan 63,3%). Terdapat hubungan terbalik antara ekspresi CD105 dengan reseptor hormonal dan hubungan antara ekspresi PR dengan ekspresi CD105 (p = 0,042) serta terdapat hubungan positif antara ekspresi HER2 dengan CD105. Kesimpulan: Pada penelitian ini, CD105 belum dapat digunakan sebagai faktor prognostik pada pasien kanker payudara stadium lanjut, namun CD105 yang tinggi memiliki survival yang lebih rendah dibanding dengan CD105 rendah, serta ditemukan hubungan antara ekspresi CD105 dengan usia dan PR. ...... Background: In 2012, more than 50% of breast cancer patients in Cipto Mangunkusumo Hospital were advanced breast cancer patients. Stage 3 breast cancer patients have five years survival rate by 72%, while whose in stage 4 only by 22% even after receiving adequate treatment. Neoangiogenesis is the most important biomolecular factor which affect the survival rate of cancer patients. There are many angiogensis maker which has proven can describe neoangiogenesis occurrence ini human body, but only CD105, which is specifically describe the intratumoral angiogenesis occurence. Methods: We studied a retrospective cohort analytic uses 32 randomized datas from patient medical records Dharmais Cancer Hospital from year 2011 - 2014 for the survival analysis and prognostic factors. The preparate of the patient's cancer cells were made into paraffin blocks and and the results analized using univariate and multivariate analysis taking SPSS version 17.0 and medcalc. Results: The results of the bivariate analysis between the expression of CD105 with the survival rate is: crude HR 1.724 (95% CI 0.693 to 4.288), with p = 0.241. Median survival of CD105 positive group is 1113 when the negative group was 794 days. From the clinicopathologic side, there was a significant relationship between age and CD105 expression (p = 0.034). There is far more subject to the negative than positive CD105 either on grade 3B and 4 (69% and 63.3%). There is an inverse relationship between the expression of CD105 with hormonal receptors and the relationship between the expression of CD105 with PR expression was statistically significant (p = 0.042), meanwhile there’s positive relation between HER2 and CD105 expression. Conclusion: In this experiment, CD105 cannot be used as prognostic factor in late stage breast cancer patients, but patients with high CD105 has lower survival rate than the low CD105 ones. There are significant relationship between CD105 expression with age and PR.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Rusdi
Abstrak :
Latar Belakang: Penanda prognostik dapat menunjang tata laksana stroke iskemik (SI) akut. Protein neuroglobin (Ngb), yang berperan dalam transpor oksigen intrasel neuron dan mengurangi dampak hipoksia, adalah salah satu penanda potensial memenuhi fungsi tersebut. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada pasien SI akut yang dirawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Maret-April 2023. Sampel serum untuk pemeriksaan Ngb diambil pada tiga hari pasca awitan stroke, sedangkan modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), indeks Barthel (BI) dan Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) diperiksa pada hari ketujuh. Analisis kemaknaan dan kurva receiver operating characteristic (ROC) digunakan untuk mengetahui hubungan Ngb dengan luaran stroke iskemik akut. Hasil: Sebanyak 42 subjek menjalani analisis. Kadar Ngb serum lebih tinggi pada kelompok dengan skor mRS 3-6 dibandingkan 0-2 (12,42 ng/mL [3,57-50,43] vs 4,79ng/mL [2,25-37,32], p=0,005), dengan skor area di bawah kurva ROC sebesar 0,75. Kadar Ngb juga lebih tinggi pada kelompok dengan NIHSS pulang lebih tinggi (p=0,03), serta BI dan MoCA-Ina yang lebih rendah (p=0,01 dan p=0,002). Kesimpulan: Kadar Ngb serum pada SI akut yang lebih tinggi berkaitan dengan luaran fungsional jangka pendek yang lebih buruk. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan sebelum terapan klinis. ......Background: Prognostic markers can optimize the management of acute ischemic stroke (AIS). The neuroglobin (Ngb), which plays a role in intraneuronal oxygen transport and reduces the effects of hypoxia, is a marker that may perform this function. Methods: A cross-sectional study was conducted on AIS patients who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in March-April 2023. Serum samples for Ngb examination were taken three days after the onset of stroke, while modified Rankin scale (mRS), National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS), Barthel index (BI) and Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) were examined on the seventh day. Significance analysis and receiver operating characteristic (ROC) curve were used to determine the relationship between Ngb and AIS outcomes. Results: A total of 42 subjects underwent analysis. Serum Ngb levels were higher in subjects with mRS score of 3-6 than 0-2 (12.42 ng/mL [3.57-50.43] vs 4.79 ng/mL [2.25-37.32], p=0.005). The area under the ROC curve score was 0.75. Ngb levels were also higher in the group with higher NIHSS at discharge (p=0.03), lower BI (p=0.01) and lower MoCA-Ina score (p=0.002). Conclusion: Higher serum Ngb levels in AIS are associated with poorer short-term functional outcomes. Further research is needed before clinical application.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Angkoso
Abstrak :
Pendahuluan. Kematian akibat luka bakar di Indonesia mencapai 195.000 kasus setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, insidensi luka bakar didominasi usia 1—4 tahun. Mortalitas luka bakar pediatrik di rumah sakit tersier mencapai 37,26%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor prognostik mortalitas pada kasus luka bakar pediatrik di karakteristik populasi Indonesia. Metode. Desain penelitian ini adalah analitik retrospektif meliputi seluruh pasien luka bakar pediatrik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1998 hingga 2010. Fokus penelitian ini adalah mengatami variabel pemeriksaan dalam 72 jam pertama pascaadmisi dan diekstraksi dari rekam medis. Hasil. Dari 609 luka bakar pediatrik, insidensi mortalitas adalah 37,8%. Variabel yang berhubungan bermakna dengan mortalitas adalah TBSA, cedera inhalasi, lama rawat inap, kadar hemoglobin 0-jam, hematokrit 24-jam dan 48-jam, INR 0-jam, dan 48-jam, keseimbangan cairan 24-jam, defisit basa, serum laktat, edema pulmonal, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) + multiorgan failure(MOF), dan acute coronary syndrome (ACS) (p <0,05). Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang bermakna adalah lama rawat inap <14 hari, SIRS+MOF, kadar hematokrit 0-jam, dan kadar laktat serum abnormal. Kesimpulan. Semakin banyak faktor prognostik yang teridentifikasi pada pasien akan meningkatkan risiko mortalitas. Selain itu, resusitasi cairan yang berlebih dapat meningkatkan risiko edema pulmonal, SIRS+MOF, dan komplikasi ACS, yang berujung dengan peningkatan risiko mortalitas. ......Introduction. In Indonesia, burn injuries cause about 195,000 deaths annually. According to data from the Ministry of the Health Republic of Indonesia, the incidence of burns predominated at 1-4 years old. The mortality of pediatric burn patients in a tertiary hospital was 37.26%. This study aimed to find an association between known and unknown prognostic factors of mortality in Indonesian-specific characteristics. Method. A retrospective analytical study included all pediatric burns admitted to Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (CMGH) from 1998 to 2010. Variables within a period of the first 72 hours of admission were the focus of interest and were extracted from the medical record. Results. Of 609 pediatric burns, the mortality rate is 37.8%. Some contributing variables significantly associated with the mortality were TBSA, inhalation injury, length of hospitalization, hemoglobin 0-h level, hematocrit 24-h and 48-h level, INR 0-h, and 48-h, fluid balance 24-h, base deficit, serum lactate, pulmonary edema, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) + multiorgan failure (MOF), and acute coronary syndrome (ACS) (p <0.05). On multivariate analysis, the significant variable was length of hospitalization <14 days, SIRS+MOF, abnormal hematocrit 0-h level, and abnormal serum lactate level. Conclusion. The more identified prognostic factors a patient finds, the more the mortality risk. In addition, excessive fluid resuscitation leads to a high likelihood of pulmonary edema, SIRS+MOF, and ACS complications, followed by increased mortality risk.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kuswandhani Tedjojuwono
Abstrak :
ABSTRAK
"Lupus nephritis" (LN) ialah istilah keterlibatan ginjal pada penyakit otoimum "systemic lupus erythematosus" (SLE) yang gambaran histopatologinya bervariasi. Gambaran histopatologik tersebut menurut klasifikasi WHO dibagi menjadi 6 kelas yang ternyata memiliki prognosis berbeda pula. Penderita LN dengan gambaran histopatologik termasuk kelas IV dan VI memiliki prognosis buruk. Prediksi prognosis LN yang dibuat dengan mengaitkannya kepada klasifikasi gambaran histopatologik menurut WHO tidak selalu tepat, mungkin karena hanya menilai perubahan glomerulus semata. Perubahan gambaran histopatologik LN ditemukan sepanjang perjalanan penyakit. Oleh karena itu variabel patologik lain, yaitu indeks tubulo-intersisial, oleh beberapa peneliti dianggap merupakan parameter lainnya yang dapat dipakai menentukan prognosis LN. Penelitian retrospektif dilaksanakan untuk menilai kaftan indeks tubulo-intersisial dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO. Nilai indeks tubulointersisial diperoleh dari perhitungan skor untuk menilai indeks aktivitas dan kronisitas. Bahan penelitian yaitu sediaan patologi biopsi ginjal yang telah diperiksa di Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sejak tahun 1982 - 1992, dengan diagnosa klinik atau gambaran histopatologik LN.

Selama kurun waktu 10 tahun dijumpai 67 kasus LN, 63 perempuan dan 4 lelaki dengan perbandingan P:L = 16:1. Umur penderita termuda 10 tahun dan tertua 44 tahun (mean:25.24 tahun, s: 9.19). Pengelompokkan gambaran histopatologik 67 penderita LN menurut klasifikasi WHO sebagai berikut: 6(8.96%) penderita kelas I, 6(8.96%) penderita kelas II, 8(11.93%) penderita kelas III, 35(52.23%) penderita kelas IV, 6(8.96%) penderita kelas V, dan 6(8.96%) penderita kelas VL Penderita kelas IV dan VI merupakan kelompok terbesar 41(61.2%) yang menurut klasifikasi WHO berprognosis buruk dan sisanya penderita berprognosis baik 26(38.8%). Nilai skor indeks aktivitas kelompok penderita LN yang berprognosis buruk dan baik sesuai klasifikasi WHO berturut-turut ialah 9.8 dan 4.3. Nilai skor indeks kronisitas dikaitkan dengan hal yang sama ialah 2.8 dan 2.0, sedangkan nilainya indeks tubulo- intersisial ialah 1.6 dan 1.3. Nilai indeks aktivitas dan indeks kronisitas tersebut dengan uji statistik menunjukkan berkaitan bermakna dengan prognosis penderita LN menurut klasifikasi WHO, berturut-turut hasilnya ialah Z = 5.29 dan Z = 3.23. Berbeda dengan nilai dua indeks terdahulu, uji statistik nilai indeks tubulo-intersisial hasilnya tidak bermakna Z = 1.117. Dengan kata lain indeks tubulo-intersisial tidak dapat dipakai sebagai parameter untuk menilai prognosis LN sesuai klasifikasi WHO.

Penelitian ini memperlihatkan jumlah penderita LN lelaki yang jauh lebih sedikit (P:L = 16:1) dibanding hasil peneliti lain(P:L = 13:1). Umur rata-rata penderita LN pada penelitian ini (25 tahun) juga lebih rendah dari hasil peneliti lain (30 tahun). Disarankan untuk melaksanakan penelitian yang lebih luas dalam arti jumlah penderita dan lokasi penelitian guna menerangkan perbedaan umur dan kelamin penderita LN. Keterkaitan indeks aktivitas dan kronisitas dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO dapat dimengerti karena perhitungan skornya berpegang pada perubahan glomerulus. Hal tersebut berbeda dengan perhitungan skor indeks tubulo-intersisial. Penelitian untuk menilai indeks tubulo-intersisial sebagai parameter prediksi prognosis LN perlu dilanjutkan dengan mengkaitkan kepada perubahan gambaran histopatologik sepanjang perjalanan penyakitnya.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>