Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heri Hariyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Perusahaan X merupakan kontraktor asing yang menggalang kerjasama dengan Pertamina dalam bentuk Production Sharing Contract (PSC) untuk mengetola aktivitas kegiatan minyak dan gas bumi pada suatu witayah kerja (contract area) di Indonesia. perusahaan X mengelola beberapa wilayah kerja dl Indonesia. diantaranya adalah Pantai Utara Jawa Barat. Pantai utara Pulau Bali, Wirriagar. Bomberai, Berau. Kalosi, Madura East, dan Seram. Dalam mengelola beberapa wilayah kerja ini. Perusahaan minyak Iainnya yang disebut Partner juga ikut membiayaì semua pengeluaran serta menanggung resiko keseluruhan pelaksanaan aktivitas perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X. Masing-masing wiiayah kerja ini dikelola oleh Perusahaan X dalam bentuk ketentuan PSC yang berbeda. serta keikutsertaan dar para Partner yang berbeda pula.

Setiap periode akuntansi tertentu, Perusahaan X diwajibkan menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban atas aktivitas kegiatan perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X. Untuk menghasilkan laporan keuangan tersebut. Perusahaan X menggunakan Sistem Informasi Akuntansi yang terintegrasi. sehingga dapat melakukan pengolahan data untuk beberapa PSC.

Pengolahan data yang dliakukan oleh Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan X Untuk menghasilkan laporan keuangan dilakukan melalul Oracle General Ledger. Oracle General Ledger melakukan pemrosesan transaksi setiap harinya, serta pemrosesan General Monthly Closing setap bulannya. Dan pemrosesan transaksi setiap harinya, serta pemrosesan General Monthly Closing setiap bulannya pada Oracle General Ledger akan dilihat bagaimana laporan keuangan dihasilkan untuk selanjutniya dikirim ke Pertamina, Perusahaan Induk, serta para Partner.

Dan penelitian yang ditakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat mernpengaruhi keakuratan laporan keuangan adalab dasar pengalokasian semua pengeluaran ke Perusahaan X, serta para Partners. Dasar pengalokasian yang digunakan oleh Perusahaan X adalah Time Allocation Table dan Allocation Factor. Analisa yang akan dilakukan adaIah apakah dasar pengalokasian yang digunakan tersebut dapat mengikuti perkembangan kegiatan usaha perminyakan pada masing-masing wiLayah kerja yang dilakukan oleh Perusahaan X dalam tahap kegiatan eksplorasi pengembangan serta produksi yang senantiasa dirtamik. Selain pengalokasian semua pengeluaran ke Perusahaan X serta para Partners yang senantiasa akurat ini merupakan kewajiban bagi Perusahaan X. juga akan dapat menjaga atau meningkatkan kerjasama dan kepercayaan dan Pertamina, para PartnerS serta Perusahaan Induk atas semua aktivitas perminyakan yang dilakukan oleh Perusahaan X pada masing-masing wilayah kerja di Indonesia.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martunus Haris
Abstrak :
ABSTRAK
Pada dasarnya persediaan atau inventory dimaksudkan untuk menghindari kemacetan operasi baik produksi ataupun penjualan, Pentingnya persedjaan bila ditinjau dan Segi operasional. merupakan hal yang mutlak bagi hampir semua jenis industri terutama dalam operasi yang mementingkan kontinunitas.

Operasi perminyakan di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan bentuk Kontrak Production Sharing (KPS) yang sesuai dengan Undang?undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) Pasal 12 yaitu mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pencarian, pengeboran dan produksi minyak dan gas bumi.

Manajemen persediaan untuk KPS Pertamina ini tidak dapat lepas dari karakteristik barang untuk keperluan operasional yaitu :

- Barang-barang untuk operasi pengeboran (drilling).

- Barang-barang untuk operasi produksi.

Barang-barang untuk keperluan operasi produksi umumnya berupa suku cadang mesin-mesin serta barang-barang penunjang kelancaran operasi seperti bahan kimia. Barang?barang ini tidak secara langsung mempunyai korelasi dengan output (crude oil) tapi dapat mempengaruhi jalannya operasi.

Pola penyediaan barang dapat dianggap ?independent demand? sehingga dapat dianalisa dan dapat dilaksanakan dengan menggunakan model-model persediaan yang ada.

Model model untuk Dynamic-Certain merupakan model dasar untuk pengelolaan persediaan yang dibuat berdasarkan keadaan untuk mengatasi masalah-masalah :

- Kapan kita harus membuat atau membelj suatu barang ?

- Berapa banyak yang harus kita beli atau dlbuat ?

liga model dasar yang dapat digunakan adalah : - Economic lot size model

- Fixed time replenishment model

- Optional replenishment model

Model?model serta formula pengelolaan persediaan yang digunakan oleh beberapa KPS Pertamina hampir semua KPS Pertamina tidak menggunakan model EOQ (Economic Lot Size) karena berbagai alasan Paling tidak ada tiga alasan mengapa model EOQ tidak digunakan oleh kebanyakan KPS Pertamina yaitu alasan teoritis, finansil dan operasionil.

Penerapan model Fixed Time Replenishment? merupakan alternatif optimal untuk KPS-KPS Pertamina. Dengan periode pemeriksaan satu bulan sekali. model ini mempunyai keuntungan yang sarna dengan model optional replenishment yaìtu tidak diperlukan parameter biaya-biaya.

Untuk dapat mendukung terlaksananya manajemen persediaan yang effektif diperlukan perangkat lunak yang mempunyai karakteristik :

1. Mampu melayani seketika keperluan barang untuk operasi produksi pada tingkat pelayanan yang ditetapkan oleh manejemen.

2 Mampu menekan biaya Operasional pengelolaan persediaan dengan cara menekan biaya-biaya :

- pembelian barang untuk persediaan.

- Biaya pergudangan baik untuk barang-barang aktif maupun barang?barang yang tak hergerak (slow moving & dead stock).

3. Mampu memberikan informasi yang akurat baik pada tingkat operasjional maupun tingkat manajemen mengenai keadaan barang yang ada dalam persediaan.

Alternatif pilihan model & formula dipengaruhi oleh kondisi operasional perusahaan dan kebijaksanaan yang digariskan oleh perusahaan mengenai manajemen persediaan.

Aspek finansil operasi perminyakan rnenyebabkan manajemen KPS melihat biaya pembelian barang-barang persediaan sebagai bagian dan biaya operasional yang akan segera dimintakan kembali (cost?recovery), karena itu diusahakan agar biaya tersebut tidak mempengaruhi biaya produksi minyak (per barrel) dengan cara biaya tersebut harus dibebankan secara merata.

Dalam proses pemllihan formula dan model untuk KPS Pertamina (khususnya ARII) perhatian lebib diarahkan kepada pemenuhan persyaratan-persyaratan diatas, yaitu dengan menghindari biaya pembelian yang fluktuatif. memperbaiki tingkat pelayanan (service level), memperpendek lead time serta menekan biaya?biaya operasional.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Efrizal
Abstrak :
Karya akhir ini menganalisis tentang kinerja KPS "X" dari tahun 1999 sampai tahun 2002, dan membandingkannya dengan dua KPS onshore lain, dengan menganalisis Financial Quaterly Report tiap KPS. Menganalisis kondisi keuangan KPS "X" dilihat dari Financial Statement-nya. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang bagaimana KPS dan BP-Migas bekerja sama mengelola minyak yang ada di Indonesia, mengukur kinerja operasi KPS "X" berdasarkan Financial Status Report dan mengidentifikasi kekuatan dan kekurangan dari perusahaan. Study karya akhir ini dilakukan dengan melihat analisis common size dengan gross revenue sebagai angka dasar dan growth dari Financial Status Report dari tahun 1999 sampai tahun 2000. Penulis juga membandingkan Financial Status Report KPS "X" dengan dua KPS sejenis untuk mengetahui sampai dimana kinerja KPS "X" terhadap dua KPS lain. Dari hasil dari penelitian ini dapat diliihat bahwa KPS "X" adalah perusahaan yang paling effisien karena persentase cost recovery-nya dari tahun 1999 ke tahun 2001 adalah yang paling kecil dibandingkan dengan KPS yang lain. Karena cost recovery yang kecil dapat meningkatkan equity to be split yang akan menguntungkan BP-Migas dan Contractor. KPS "X" lebih effisien dari KPS lain. Ini dikarenakan sumur produksi masih baru, sehingga lifting oil-nya berlangsung secara natural flow (1999), dan gas lift (2000 dan 2001) yang rendah dalam biaya produksi. Kalau dilihat dari kontribusinya kepada negara, KPS "X" menempati peringkat kedua setelah KPS "A", ini dilihat dari share minyak yang diterima BP-Migas. Setelah menganalisa Financial Status Report, penulis menyimpulkan bahwa, prinsip akuntansi yang diterapkan PSC berbeda dengan Prinsip Akuntansi seperti yang diterapkan pada perusahaan-perusahaan pada umumnya. Share yang diterima KPS sangat dipengaruhi oleh price, lifting oil (production) dan cost recoverables. Dari hasil analisa Laporan keuangan yang dilaporkan pada BP-Migas dengan membandingkan dengan perusahaan sejenis, KPS 'X' temyata beroperasi paling efisien. Terjadi penurunan persentase (Cost Recovery), sementara untuk perusahaan sejenis tetjadi kenaikkan. Kekuatan KPS "X" adalah mampu meningkatkan produksi minyak dengan tetap menjaga persentase cost recovery stabil, sehingga menguntungkan kedua belah pihak, BP-Migas dan KPS "X" itu sendiri. KPS "X" lebih effisien dari dua KPS lain karena equity to be split nya menunjukkan persentase yang tertinggi. Kekurangan KPS "X" produksi minyaknya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan KPS "A" sehingga share minyak yang diterima tidak mampu mengimbangi KPS "A". Ada beberapa saran dari penulis, bahwa KPS "X" harus dapat mempertahan persentase cost recovery-nya untuk tahun-tahun kedepan, karena ditahun-tahun kedepan KPS "X' juga akan menggunakan artificial lift karena tekanan pada tiap sumur akan mengalami penurunan, sehingga pengangkatan minyak akan lebih sulit. Harus lebih teliti dalam melakukan eksplorasi, karena eksplorasi yang gagal, biayanya tidak diganti oleh BPMigas. Kebijaksanaan Cost Recovery jangan dijadikan alat untuk meningkatkan total share dengan merekayasa cost recovery.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S25903
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Slamet Irianto
Abstrak :
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional, bahwa Pertamina sebagai pemegang kuasa atas penambangan minyak dan gas bumi dari pemerintah Rl dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam pelaksanaannya sepanjang dilakukan dengan cara Kontrak Production Sharing (KPS). Salah satu aspek yang menonjol daiam sistem KPS adalah adanya kewajiban bagi kontraktor untuk mengeluarkan biaya terlebih dahulu dan pemerintah Rl akan mengakui keberadaan biaya tersebut apabila kontraktor telah berhasil menemukan cadangan minyak. Cost recovery yang merupakan biaya yang telah diakui pemerintah dan sekaligus merupakan biaya pemulihan dari pemerintah Rl kepada Kontraktor, dalam pelaksanaannya akan diperhitungkan sebagai pengurang crude oil yang berarti akan menentukan terhadap bagian masing-masing pihak. Metodelogi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan data dokumenter serta studi kepustakaan. Dalam peIaksanaannya ternyata cost recovery telah ditetapkan dengan tidak memperhatikan pertimbangan ekonomis, terbukti dengan tidak adanya pembatasan terhadap besarnya pengembalian cost oil oleh pemerintah. Begitu pula secara akuntansi, terjadi penyimpangan dalam melakukan penghitungan penyusutan aktiva tetap. Dan dilihat dari aspek perpajakan ternyata tidak diperhitungkan baik dari aspek pertambahan penghasilan Kontraktor rnaupun sebagai penambah deductible expense. Penetapan cost recovery pada KPS Indonesia dibandingkan dengan yang berlaku di beberapa negara, ternyata jauh Iebih murah dari negara Iainnya yang melaksanakan pengusahaan migas melalui kerja sama KPS. Dengan berpokok pangkal pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa cost recovery telah ditetapkan menyimpang dari ketentuan normatif namun sesuai dengan ketentuan hukum positif yang daiam hal ini kontrak dan peraturan pendukungnya. Akibatnya, pengaruh cost recovery tidak nampak jelas terhadap penerimaan pajak. Padahal secara normatif cost recovery mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Muljana
Abstrak :
ABSTRAK
Industri minyak dan gas bumi yang merupakan tulang punggung pembangunan Indonesia, dikelola oleh Pertamina bersama dengan Kontraktor Asing dalam bentuk Kontrak Production Sharing, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, ?Undang Undang No.44/PRP/1960 dan No.8/1971. Dalam kontrak tersebut Kontraktor Asing membiayai semua operasi perminyakan yang akan diganti dan hasil minyak/gas yang dihasilkan, sedang sisanya akan dibagi antara Pertamina dan Kontraktor Asing dengan rasio yang ditentukan dalam kontrak.

Dalam melaksanakan bisnisnya, Kontraktor Asing dan Pertamina melaksanakan pengendalian biaya melalui prosedur program kerja dan anggaran, pelaporan keuangan dan statistik, serta pengadaan barang dan jasa. Sistem pengendalian biaya yang digariskan oleh Pertamina bertujuan mengendalikan biaya seefisien mungkin bagi kepentingan Pertamina sesual dengan misi yang ditetapkan dalam Undang Undang No.8/1971. Sedangkan ?X? Petroleum Company (sebagai salah satu kontraktor yang menjadi tempat penelitian) melaksanakan sistem pengendalian biayanya sesuai ketentuan dan kantor pusatnya, yang kemudian dijabarkan dan disesuaikan dengan sistem yang ditentukan Pertamina.

Dengan adanya perbedaan misi antara Pertamina dan Kontraktornya, maka pelaksanaan sistem pengendalian biaya tidak dapat berjalan secara optimal dan tujuan agar biaya dapat dikeluarkan secara efisien tidak sepenuhnya dapat dicapai.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan pada ?X? Petroleum Company, ada beberapa hal dalam sistem pengendalian biaya yang dapat diperbaiki agar sistem ini bekerja secara optimal baik bagi kepentingan Pertamina maupun Kontraktornya. Kesimpulan dan saran bagi perbaikan sistem pengendalian pada Kontrak Production Sharing adalah sebagai berikut:

1. Secara umum sistem pengendalian biaya pada Kontrak Production Sharing tidak disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang kadang bergejolak (misalnya perkembangan harga minyak). Untuk itu sebaiknya dibuat sistem yang dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan tidak kaku.

2. Perlakuan akuntansi yang digabung dengan negosiasi bisnis dapat mengakibatkan rancunya sistem pengendalian biaya, sebaiknya perlakuan akuntansi tetap mengacu kepada Standard Akuntansi Keuangan sedangkan insentif bisnis dapat diberikan dalam bentuk lain. Dengan demikian pengendalian biaya tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

3. Saat ini Pertamina hanya menerima laporan keuangan dan Kontraktor, sehingga Pertamina tidak mengetahui sistem alokasi biaya yang dilaksanakan Kontraktornya dan mengakibatkan salah interpretasi. Hal ini dapat diatasi bila Pertamina menerapkan Accounting Procedure yang terdapat dalam kontrak, yaitu menentukan daftar perkiraan (Chart of Accounts) serta sistem alokasi biayanya bagi seluruh Kontraktor di Indonesia.

4. Perbedaan kepentingan antara Pertamina dan Kontraktornya dalam hal-hal tertentu dapat menghambat lancarnya operasi. Hal ini hanya dapat ditanggulangi dengan keterbukaan antara Pertamina dan Kontraktor dalam merumuskan tujuan perusahaan balk jangka panjang, menengah maupun pendek dalam bentuk program kerja dan anggaran.

5. Pengukuran kinerja dengan cara benchmarking melalui laporan operasional statistik kurang dapat dipergunakan karena kniteria maupun kiasiflkasi biayanya belum seragam. Untuk ¡tu sebaiknya semua Kontraktor Production Sharing dipertemukan dan bersama-sama membuat bench marking, agar dapat dihasilkan suatu tolok ukur yang benar dan perbaikan yang menuju kearah efisiensi biaya dapat dllaksanakan dengan Iebih akurat.

6. Persetujuan pengeluaran biaya melalui anggaran, AFE (Authorization For Expenditure) dan penetapan lelang yang sering memerlukan waktu yang lama membuat anggaran sebagai salah satu sistem pengendalian biaya tidak dapat melaksanakan fungsinya dan . perencanaan sering tertunda dan mengakibatkan membesarnya pengeluaran biaya. Hal ini hams segera ditunggulangi dengan mengurangi waktu dan jenjang tingkat persetujuan.

7. Keppres No.16 tahun 1994 beserta semua petunjuk teknis pelaksanaan yang bertujuan untuk mengetatkan pengeluaran biaya, ternyata dapat juga mengakibatkan bertambah besarnya biaya yang disebabkan oleh adanya syarat kandungan lokal yang memberikan toleransi harga yang lebih mahal dan prosedur penunjukan pemenang lelang yang berjenjang dan makan waktu. Hal ¡ni hams segera ditanggulangi dengan tidak sepenuhnya menerapkan Keppres no.16 tahun 1994 terhadap Kontraktor Production Sharing, atau segera menetapkan peraturan yang bersifat debirokratisasi dan deregulasi untuk menyederhanakan rantai persetujuan pengadaan barang dan jasa, agar biaya clapat ditekan serendah mungkin.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Novizas Shebubakar
Abstrak :
Industri migas merupakan industri yang beresiko, mahal dan rumit. Industri migas yang mempunyai karakteristik high cost dan high risk technology, harus dikelola oleh tenaga-tenaga ahli dibidang minyak dan gas bumi. Sesuai dengan Undang-undang no. 44 Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, pengusahaan minyak dan gas bumi dapat dikerjasamakan dengan kontraktor dalam bentuk kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Masalah utama dalam kontrak bagi hasil ditinjau dari kepentingan Nasional adalah bagaimana mengoptimalkan sumbangan pengusahaan sumber daya minyak dan gas bumi bagi perekonomian Negara, pemerataan kesempatan kerja, menciptakan peluang bagi perusahaan Swasta Nasional untuk berpartisipasi serta terjaminnya suplai BBM dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, kepentingan Investor Asing dan pengusaha Swasta Nasional untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Berkenaan dengan pengelolaan migas dalam Production Sharing Contract, terdapat masalah tentang pengaturan perpajakan pada sektor migas khususnya kebijakan uplift berkaitan dengan pengenaan pajak penghasilan dalam sumber penerimaan Negara. Permasalahan ini menjadi kontroversi berkaitan dengan pengembalian biaya operasional yang diakui oleh kontraktor (cost recovery claim). Pajak uplift yang berbuntut kontroversi ini hanya dipungut atas mitra BUMN migas yang berkontrak dalam skema Joint Operation Body (JOB) terutama yang mengelola lapangan tua dengan teknologi lanjutan (Enhanced Oil Recovery/EOR). Kontroversi yang berkembang sejalan dengan menurunnya jumlah produksi dan meningkatnya biaya produksi yang diakui oleh kontraktor sehubungan dengan kewajaran dari biaya-biaya operasional yang dibebankan oleh kontraktor, baik dari segi jumlah maupun klasifikasi biaya. ...... Oil and gas industry is an industry that is risky, expensive and complicated. Oil and gas industry which has the characteristics of high cost and high risk technology should be managed by experts in the field of oil and gas. In accordance with Law No.44 Year 1960 regarding oil and gas mining and Law No.8 year 1971 regarding Pertamina, exploitation of oil and gas can be cooperated with the contractor in the form of a Production Sharing Contract. The main problem in terms of the production sharing contracts viewed from national interest is how to optimize resource utilization contribution of oil and gas for the State's economy, employment opportunities, creating opportunities for national private companies to participate and ensuring the supply of fuel and gas for domestic needs. Meanwhile, the interest of foreign investors and national private entrepreneurs are to gain the profit as much as possible. With regard to the management of oil and gas in the Production Sharing Contract, there is problem of setting the tax on oil and gas sector particularly uplift policy relating to the taxation of income in the state revenue sources. This issue is related to the return of controversy of operational costs recognized by the contractor (cost recovery claim). Uplift tax culminated by this controversy is only levied at state-owned enterprises as partners in the oil and gas with contracting scheme of Joint Operation Body (JOB), especially the old fields with advanced technology (Enhanced Oil Recovery/EOR). The controversy that developed in line with the declining number of production and increased production costs are recognized by the contractor with respect to the reasonableness of operational expenses charged by contractors, both in terms of quantity and cost classification.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
D2215
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alice P. Isyugiyanti
Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>