Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Dzulvan Amir
Abstrak :
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari dua seri tulisan yang mengulas ideologi Guanxi pada masyarakat keturunan Cina dan Priyayi pada masyarakat Jawa bertolak dari kajian mengenai teori 'kepercayaan' (trust theory). Dalam seri kedua ini, penulis membahas bagaimana ideologi Priyayi mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat Jawa, serta implikasinya pada hubungan ekonomi berdasarkan kepercayaan di dalam kelompok dan antarkelompok. Sebagai acuan komparatif, akan diulas perbedaan kedua macam ideologi-Guanxi dan Priyayi-dalam kaitannya dengan perilaku ekonomi dari masyarakat keturunan Cina dan Jawa, serta bagaimana keduanya bersaing dalam ekonomi global.
2000
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andalia Nuriani Febrita
Abstrak :
ABSTRAK
Kesulitan hidup yang melanda sebagian besar penduduk Pulau Jawa pada paruh kedua abad ke-19 telah mendorong tercetusnya ide dan pendirian Bank Priyayi Poerwokerto. Pada tahun 1895 bank ini didirikan oleh kalangan priyayi di Purwokerto dan menghadirkan R. Bei Patih Aria Wiriaatmadja sebagai bapak perkreditan rakyat di Indonesia. Dalam pengelolaan bank selanjutnya, ada kerja sama yang baik dengan pemerintah setempat dalam hal ini Asisten Residen Purwokerto yaitu W.P.D de Wolff van Westerrode.

Bank Priyayi Poerwokerto terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan semangatnya telah mampu menjadikannya megah seperti Bank Rakyat Indonesia sekarang ini.
1990
S12104
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carey, P.B.R.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017
305.4 CAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Shinta Sekarwigati
Abstrak :
Penelitian ini menjelaskan makna simbolis upacara Paningset dalam tiga golongan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa, upacara Paningset merupakan simbolisasi ikatan kedua mempelai sebelum mereka melaksanakan ijab kabul pernikahan. Pada masyarakat di Yogyakarta hingga saat ini ketiga golongan masyarakat Jawa (priyayi, abangan, dan santri) masih melakukan upacara tersebut. Tentu bahwa di antara ketiganya terdapat perbedaan dalam aspek-aspek barang Paningset yang disampaikannya, termasuk urut-urutan penyerahannya. Namun bahwa dalam masing-masing golongan memiliki makna simbolis sesuai dengan orientasi budaya yang mereka anggap sebagai identitas budayanya. Untuk menjelaskan makna simbolis tersebut diperlukan satu teori yang berkaitan dengan nilai orientasi budaya. Menurut teori Kluckhohn ada lima hakikat nilai orientasi budaya yaitu hakikat hidup manusia, hakikat karya manusia, hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hakikat alam dan manusia, dan hakikat manusia dengan sesamanya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pentingnya orientasi nilai budaya dalam srah-srahan di golongan priyayi, abangan, dan santri. Metode yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbol-simbol makna pada srah-srahan mempunyai makna bahwa masyarakat Jawa menganggap sangat penting melakukan ikatan-ikatan kekeluargaan yang disimbolisasikan melalui rangkaian upacara Paningset.
ABSTRACT
This study explains the symbolic meaning of the Paningset ceremony in the three classes of Javanese people in Yogyakarta. In a series of traditional Javanese wedding ceremonies, the Paningset ceremony is a symbol of the bond of the bride and groom before they carry out the marriage permit. To the people in Yogyakarta to date the three Javanese groups (priyayi, abangan, and santri) still carry out the ceremony. Of couse, that among three there are differences in the aspects of the pandandle goods that it presents. Including the order of submission. But that in each group has symbolic meaning in accordance with the cultural orientation that they consider to be a cultural identity. To explain the symbolic meaning needed a theory to the value of cultural orientation, according to Kluckhons theory there are five basic values of cultural orientation, namely the nature of human life, the nature of human work, the nature of human position in space and time, the nature of nature and humans, and humans, and the nature of humans with each other. This study aims to see the importance of cultural value orientation in srah-srahan in priyayi, abangan, and santri groups. The method used is field research with observation and interviews. The resultsof the study indicate that the meaning symbols in srah-srahan have the meaning that the Javanese people consider it very important to do family ties symbolized through a series of Paningset ceremony.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
David Setiadi
Abstrak :
Research on the novel para priyayi by Umar kayam and Gadis Pantai by Pramoedya Ananta Toer is an analysis of social phenomena are created when the second novel. By using the sociological approach and the concept of literary aristocracy in the historical review this study reveal social mirror that appears in the second novel . Based on the results of the study which appears aristocracy concept include aristocracy status type of aristocracy, the pattern of beliefs criticism of aristocracy a second attempt to give the concept the author aristocracy value as part of the socio cultural casting ideas in literary discourse.
Yogyakarta: Balai Bahasa Propinsi daerah istimewa Yogyakarta, 2013
407 WID 41:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Nur Alam
Abstrak :
Sarekat Islam mulai tumbuh di Priangan pada tahun 1913 Kehadiran Sarekat Islam di tanah Priangan disambut gembira oleh kalangan kelas menengah, selain itu berkembangnya Sarekat Islam di Priangan menjadi begitu fenomenal dikarenakan Sarekat Islam pada awalnya merupakan suatu gerakan reaktif terhadap situasi kolonial, namun gerakan itu tetap bersumber pada ideologi Islam yang mampu memobilisasi massa secara besar-besaran serta meningkatkan intensitas tindakan-tindakannya. Tesis ini membahas tentang Dinamika Politik Sarekat Islam di Karesidenan Priangan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, menurut Louis Gottschalk tahapan metode sejarah yakni; (1) Heuristik; (2) Kritik; (3) Interpretasi; dan (4) Historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peranan Priyayi dalam Sarekat Islam lokal di Karesidenan Priangan, bertindak membela hak rakyat pribumi, dikarenakan kondisi sosial ekonomi rakyat Priangan pada waktu itu sangat mengkhawatirkan jika penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda terus terjadi, dan kesengsaraan rakyat pribumi tidak akan pernah hilang. Maka dari itu mereka terus berinisiatif dalam pergerakannya mencari berbagai cara, dan memanfaatkan berbagai celah untuk membuat rakyat pribumi merdeka secara total dari cengkraman penjajahan Belanda. Studi tentang Sarekat Islam di daerah Priangan kebanyakan hanya membahas tentang peranan salah satu tokohnya, dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di daerah Priangan, Penelitian Tesis ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika politik dalam Sarekat Islam lokal di Priangan, dengan melihat pola kepemimpinan para Priyayi dan relasi kuasa yang dibangun untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Berangkat dari tujuan tersebut akan ditemukan sebuah fakta tentang kontribusi dari golongan Priyayi dalam Sarekat Islam lokal di Priangan, Kontribusi kaum Priyayi dalam Sarekat Islam lokal di Priangan sangat berperan sebagai tokoh sentral dan mempunyai daya tarik tersendiri dalam kepemimpinannya. Langkah yang ditempuh para priyayi dalam Sarekat Islam di Karesidenan Priangan ini bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk penindasan dan memerdekakan rakyat pribumi, selain itu tujuan dari Sarekat Islam ini untuk mewujudkan Zelfbestuur atau mendirikan pemerintahan sendiri dimana rakyat pribumi bertindak sebagai pemerintahnya dan dikelola untuk mensejahterakan rakyat pribumi ......Sarekat Islam began to grow in Priangan in 1913, the presence of Sarekat Islam in Priangan land is welcomed by the middle class, in addition to the development of Sarekat Islam in Priangan become so phenomenal because Sarekat Islam was originally a reactive movement of the colonial situation, but the movement is still sourced to Islamic ideology that able to mobilize mass massively and increase the intensity of his actions. This thesis discusses the political dynamics of Sarekat Islam in the Priangan. The study used the historical method, according to Louis Gottschalk stages of historical method is; (1) Heuristics; (2) criticism; (3) Interpretation; and (4) historiography. The results of this study showed that the role of Priyayi in the local Islamic Sarekat in Priangan, acts defending the rights of indigenous peoples because the social-economic conditions of the Priangan people at the time were very worrying if the suppression committed by the Dutch East Indies colonial government continued to occur, and the misery of the indigenous people will never disappear. Thus they continued to take the initiative in the movement looking for various ways and took advantage of various gaps to make the indigenous people free in total from the Dutch colonization. The study of Sarekat Islam in Priangan area mostly only discusses the role of one of its characters, and the major events that occur in the area of Priangan, this research aims to explain the dynamics of the political in the local Islamic Sarekat in Priangan, by looking at the pattern of the leadership of the Priyayi and power relationships built to gain the trust of the community. Departing from this objective will be found a fact about contributions from the Priyayi group in the Sarekat Islam local in Priangan, the contribution of the Priyayi in the Sarekat Islam local in Priangan is very central to the role and has its attraction in its leadership. The steps taken by the Priyayi in the Sarekat Islam local in Priangan are aimed to eliminate all forms of oppression and liberalize the indigenous peoples, in addition to the purpose of this Sarekat Islam to realize Zelfbestuur or establish self-government where the Indigenous Peoples act like Governments and managed to enrich the indigenous peoples.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Najid
Abstrak :
ABSTRAK Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Paparan tersebut menunjukkan bahwa sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Sastra adalah hasil budaya yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya. Pada tahun 1990-an terbit beberapa novel. Beberapa ciri yang dapat dicermati dalam novel periode ini ialah dominasi pengarang "mapan", kecenderungan novel bersifat dokurnentatif, memuat persoalan sosial, dan menonjolkan warna daerah. Novel yang menonjolkan warna daerah memiliki ciri: ditulis oleh budayawan, ditulis oleh pengarang yang hidup dan akrab dengan budaya daerah, serta novel tersebut mengangkat kehidupan masyarakat suatu daerah. Ada tiga kecenderungan tema pada karya sastra tahun 1990-an. Kecenderungan tersebut ialah sastra modern mengungkap realisme sosial, sastra modern sebagai media protes sosial, dan sastra modern sebagai sarana pengungkap nilai-nilai budaya. Pada tahun ini, Umar Kayam lah yang taat asas dengan budaya Jawa dalam karya-karyanya. Berdasar atas kenyataan tersebut novel Para Priyayi dipilih sebagai objek penelitian. Topik penelitian yang akan dikemukakan adalah perubahan kebudayaan Jawa. Pengaitan antara perubahan kebudayaan Jawa dalam novel didasarkan atas wawancara dengan Matra, Kayam mengatakan, "Says ingin menulis roman, sekaligus saya ingin mengembangkan pemikiran saya tentang kebudayaan kita. Saya dalam tahun-tahun mendatang ini, ingin menggeluti masalah-masalah ini. Dalam pikiran akademis, misalnya, says ingin menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang bisa dijangkau sosiolog, dalam memahami kecenderungan kebudayaan kita. Memperhatikan apa yang diutarakan Umar Kayam tersebut dapat diduga bahwa novel Para Priyayi adalah hasil pengembangan pemikiran pengarang tentang kebudayaan Jawa. Sedangkan pengembangan pemikiran diperkirakan menunjukkan perubahan yang dilakukan pengarang dalam mengusulkan hal Baru tentang kebudayaan Jawa. Masalah yang dapat dirumuskan ialah bagaimanakah kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi? dan bagaimana kah mobilitas dan pembatasan kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi? Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka teori new historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenblatt yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Seni dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam transformasi budaya Seni (baca: sastra) adalah bentuk yang memungkinkan sebuah improvisasi, pengalaman, dan pertukaran tetap bertahan dan berkelanjutan. Tindakan pemobilisasian dan pembatasan suatu kebudayaan seperti ini tidak terjadi secara acak dan arbitrer tetapi lebih sebagai tindakan pertukaran yang akhirnya menjadi sebuah "jaringan negosiasi" yang kompleks dan utuh. Seorang pengarang sangat mungkin melakukan tindakan evaluatif atau kritis atas objek budaya yang ditulisnya. Tindakan tersebut dapat berupa pemasukan ide-ide pembaharuan dalam budaya tersebut. Upaya seperti ini oleh Greenblatt dipandang sebagai mobilitas suatu kebudayaan. Karena pengarang terikat oleh norma kebudayaan tersebut, maka pastilah ia juga melakukan pembatasan atas upaya mobilitas tersebut. Keberhasilan seorang pengarang dalam menuangkan ide pembaharuan atas kebudayaan dalam karyanya amat bergantung pada keberhasilan negosiasi tersebut. Kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi masih tetap menunjukkan bahwa kehidupan rohani tetap sebagai sesuatu yang penting. Permasalahan wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa tidak ditemukan adanya perubahan. Wayang tetap dianggap sebagai cerita yang mengiaskan perilaku dan watak manusia, cermin identitas manusia Jawa, simbol yang menerangkan keberadaan manusia, ajaran batin dan ajaran lahir, sarana berintrospeksi, melakukan Iangkah evaluatif atas kejadian yang dialami, dan sebagai pendewasaan berpikir manusia. Pujangga keraton dan karyanya yang banyak dijadikan panutan dan banyak dipelajari oleh masyarakat Jawa adalah serat Wulangreh dari Pakubuwana IV serta serat Wedhatama dan Tripama karya Mangku Negara IV. Hal lain yang juga ditunjukkan oleh unsur kebudayaan Jawa selain wayang dan ajaran pujangga keraton ialah pepatah. Dalam persoalan religi, perubahan yang ditunjukkan adalah adanya gesekan yang kuat antara agama islam dan kristen yang ditunjukkan dengan keinginan salah satu tokoh untuk menikahi tokoh lain yang berbeda agama. Sedangkan laku rohani masyarakat Jawa, seperti upacara selamatan maupun bertapa tetap disebutkan sebagai aktivitas masyarakat Jawa yang merangkum hampir seluruh sendi kehidupan. Mobilitas dan pembatasan kebudayaan Jawa dalam novel ditunjukkan pada unsur fisik; struktur sosial terutama pergaulan dalam keluarga priyayi, pergaulan dengan masyarakat biasa, dan kedudukan wanita; dan pengertian priyayi. Sedangkan keberadaan dua strata sosial, yaitu priyayi dan masyarakat biasa, tidak berubah. Mobilitas yang ditunjukkan dalam hal ini adalah adanya perkembangan pemikiran dalam persoalan pergaulan masyarakat priyayi, hubungan priyayi dengan masyarakat biasa, dan kedudukan wanita. Dalam pergaulan masyarakat priyayi ditunjukkan adanya pemikiran baru tentang pemilihan pasangan hidup secara pribadi yang dipertentangkan dengan budaya perjodohan serta suasana dialogis dalam keluarga priyayi. Hubungan dengan masyarakat biasa digambarkan dengan diperbolehkannya anak priyayi bergaul dengan anak masyarakat biasa. la diperbolehkan bermain bebas walaupun masih berada di dalam lingkungan rumah sendiri. Sedangkan persoalan kedudukan wanita ditunjukkan dengan keinginan kesederajatan antara suami dan istri dalam keluarga priyayi. Kebaruan pemikiran yang ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran pemaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Apabila mobilitas dan pembatasan alas kebudayaan tersebut dipandang sebagai sebuah sistem negosiasi maka dapat disebutkan bahwa ada hal panting dan utama yang berhasil dinegosiasikan pada kebudayaan Jawa dalam novel Para Priyayi. Keberhasilan tersebut tampak pada upaya pendefinisian kembali kata priyayi serta relevansi kata tersebut dalam perkembangan selanjutnya. Gila semua ini dikaitkan dengan kedudukan Umar Kayam sebagai seseorang yang ahli dalam negosiasi maka dapat dikatakan bahwa Umar Kayam adalah seorang negosiator yang berhasil dalam menawarkan konsep priyayi pada kebudayaan Jawa.
ABSTRACT Literary work is the mirror of social living. It is the crystallization of both living values as well as experiences. Literature depicts life, and life is cultural reality. This tells us that work of literature leaves not from the cultural nugatory. Instead, it has become the cultural manifestation where cultural values clearly represented. Several novels has published during the 1990's with some distinctive features, i.e. the domination of certain 'established' writers; tendency towards clocumentative works; and illustration of social issues which illustrative of nation or nationality. The novels intensify regional or traditional tones left within these characteristics: mostly been or being written by cultural experts, or by writers who live or get accustomed to the given tradition of that given region, and works portray the life of the given community within that region. Darma in Huda says that three thematic preferences found in 90's works, i.e. modern literature is used to expose social realism, utter social criticism, disclose cultural values. Judged by the work and its author, Umar Kayam is one who keeps practicing the rules and profundities of Javanese culture within his works, Among them - Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Musim Gugur Kembafi di Connecticut, Sri Sumarah, Bawuk, and Para Priyayi-or others, to mention a few: Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, and Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih - may show how obediently he adheres himself to reveal Javanese traditional customs. Based on this, and by keeping in mind that it is only Para Priyayi that becomes his latest work-the first novel published in 1992 by Pustaka Utama Graffiti-the novel is used as the thesis' object. Thus, the research topic is Javanese culture in which its spiritual living and social structure brought into the main focus. Spiritual living is an idea, the most basic mental attitude possessed by anyone or society along with the belief of 'supra-natural force' above all human. As social structure is then, social order within Javanese society, specifically between nobles and commoners, together with the configuring foundation that governs individual relationship within society which becomes the basic principles for individual manner. The idea of connecting Javanese culture and Kayam's work based on his very saying as interviewed with Matra magazine, in which says he, "I want to write a roman, and at the same time, expand my thinking on our culture. By these coming years, I want to deal with these matters. Academically thinking for instance, I look forward to fore-checking any possibilities sociologists can carry through in comprehending our cultural tendency. It is assumed then, judging from what Kayam has said, that the novel 'Para Priyayi is the author's achievement in expanding his own thinking on Javanese culture. Hence, such expansion may also be assumed later as able to exhibit any transformation the author's been being done in proposing different concerns towards Javanese culture. Based on that research's background as well as considering that the depiction of Javanese culture in Para Priyayi novel is a direct representation of Javanese culture within society, problems of the research can be proposed as follows: How Javanese culture represented within Para Priyayi novel? And how mobility and constraint formed within that given novel? Theory used is Stephen Greenblatt' new historicism, which sees culture not as material products of given society, but as a system which, for once, mobilizing and constraining behavior as well as creative idea of its member. By this, Greenblatt shifts the meaning of culture once from `material product' towards 'ideological system' as it means more as both internalization and manifestation of praxis of values or norms in the society. Art is an important agent in cultural transformation. As culture functions as a structure that governs, warrants, and limits in the same time, so art (literary work) becomes the only form of manifestation that makes possible any kind of improvisation, experience, and exchange-as basic requirements for cultural norms or values of certain society to continue existing and perpetuating, Such act of mobilizing and constraining happens not randomly or arbitrarily, in fact, more as exchanging act that leads to a complex whole of 'network of negotiation'. This means that a writer is highly possible to commit any evaluative or critical acts towards cultural object which he's written. Those acts may then be a insertion of reformative ideas within the given culture. Greenblatt sees such labors as cultural mobilization. Yet, as writers are bound up with that very norms of that given culture, he must have been doing constraints towards mobilization he performs. This all, in turn, creates 'negotiation network'. Writers are experts in mastering negotiation of cultural norms as well as manipulating language as culture's biggest creative and collective product. This shows that the success of a writer in putting reformative ideas within the culture in his work depends entirely on the success of that negotiation. This makes works of writers become structural model of accumulation; transformation; representation, and communication praxis of societal life. Such theory is combined with Eagleton's sociologic methods, i.e, realist approach which considers literature is highly conditioned by social reality, And Grebstein's that states literature as unique force of material factor that becomes collective cultural tendencies. Literary forms and contents then, evince sociological development as well as changing in cultural attitudes or patterns. The revealing of Javanese culture in the novel uses sociological method by incorporating Wellek's sociology of literary work, Swingewood's accenting documentative aspect of literature, and Damono's proposing text as material study. Javanese culture in Para Priyayi novel still argues the importance of spiritual living. Wayang (puppet show) as reflection of Javanese spiritual living shifts not from its heretofore context. It still fables human attitudes and behaviors, mirrors Javanese identities, symbolizes human existence, teaches spiritual and physical dogmas, and used as introspective device in performing evaluative steps towards what has been by gone and maturing human way of thinking as well. Pakubuwana IV's Wulangreh verses (serat) and Mangku Negara IV's Wedhatarna and Tripama verses are both Keraton's (Javanese (=palace) poets and verses whose teachings used as exemplary model and contemplated by many Javanese people. Other element has also been exhibited in Javanese culture, besides wayang and keraton poets teachings, is wise-word. In religious plane, the changing shown is intense friction between Islam and Christianity in which depicted by one of the characters' will to marry another comes from different religion. While Javanese spiritual act, such as selamatan (thanksgiving) ceremony or hermitage (tapa) conduct still being defined as activities that sum up almost whole of Javanese complex living structures. Mobility and constraint of Javanese culture in the novel are shown in the element of social structure especially within the relationship between the two strata, i.e. interconnection of nobility and common people and among the nobility themselves. Whilst, the existence of the two strata, nobility and common, is maintained. In detail, the mobility and constraint in the novel shown as follows: In social structure, nobility and commoners (wont a/1 k) continue being the characteristic of Javanese social structure. The mobility shown is the expanding thinking on the relationship between the two. Nobility's kindred allowed to hang around with commoners'. He can play freely though still within his own foreground. Other fashionable thinking mobilizes changing is a trial to modify system of match-making. Although changing in relationship between Javanese social structure does exist and get manifested as ideas towards alternative and fashionable thinking, in fact, restriction also shown as constraint. Nobility's kindred may not play outside houses. Home foreground, by the very fact, is the outermost he can be. In contrast, peasant's kindred can play wherever with friends outside houses. Besides, commoners are still subject to nobility's rules as calling names and using language strata (krama). Hanging with peasant's or other subclasses still considered precarious towards evil or ruthless attitude. Not before finally though, that it no more becomes perilous. Traditional culture in match-making opposed with fashionable one. It seems that the new idea seeks another alternative to open. Here, the tradition of match-making gets mobilized. Regretfully, the idea is being constrained as well. At last, old tradition wins and revives, i.e. match-making is determined though unsatisfactorily. Newness on idea proposed in Para Priyayi novel concentrates more on shifting the meaning of nobility. Nobility within Para Priyayi novel highlights the roles of nobility towards commoners and towards his own life and family welfare. If cultural mobility and constraint seen as a negotiating system, so remark can be made that there is important matter successfully negotiated with Javanese culture in Para Priyayi novel. This is apparent in redefining the word `nobility' along with its relevance towards any further development. Reconnect this with Umar Kayam's position as expert in cultural negotiation, be that as it may that Kayam is a successful negotiator in proposing new concept of nobility within the Javanese social structure.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T4941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Panca Prasetya
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi sosiolinguistik ini berjudul `Alih Kode dalam Novel Para Priyayi.' Alih kode atau secara umum dapat diharfiahkan sebagai pemakaian dua bahasa (dalam tulisan ini yang dikaji adalah bahasa Indonesia dan Jawa) oleh penutur memang merupakan salah satu dari sekian banyaknya penelitian alih kode yang lebih banyak melakukan penelitian lapangan.

Penelitian alih kode dalam wacana tulisan ini merupakan sedikit penelitian yang coba mencari maksud dan fungsi alih kode yang terkandung di dalamnya (novel). Untuk memudahkan pencarian tujuan yang hendak dicapai, penulis membagi analisis alih kode menjadi tiga zaman yang merupakan rentetan generasi suatu keluarga besar yang berperan di dalam novel.

Maksud dan fungsi alih kode tidak pernah terlepas dari latar atau isi cerita yang menaunginya. Hal ini dapat terlihat melalui hubungan antarkalimat dalam novel. Maksud dan fungsi alih kode yang sering terdapat dalam novel Para Priyayi dipakai untuk rnenunjukkan rasa solidaritas, istilah kekerabatan, membedakan status antar penutur, sebagai kata sapaan, dan menghormati lawan bicara.
2001
S10782
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Budiharyo
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Padmasusastra
Yogyakarta: Pura Pustaka, 2013
899.222 PAD r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>