Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nayla Karima
"Latar Belakang:. Sepsis neonatorum awitan dini masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang utama pada neonatus, dengan angka lebih tinggi terjadi pada bayi kurang bulan. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan dini, namun penelitian yang dilakukan pada bayi prematur masih terbatas. Tujuan:. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan ini pada bayi kurang bulan di RSCM.
Metode:. Penelitian desain case-control dengan mengambil data dari rekam medis bayi lahir kurang bulan di RSCM pada rentang waktu Januari 2016-Desember 2017 sebanyak 186 sampel (93 untuk masing-masing kelompok). Data dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari karakteristik bayi kurang bulan antara kelompok kasus dan kontrol yaitu usia gestasi, jenis kelamin laki-laki, dan berat lahir. Gejala klinis tersering ditemukan adalah sesak napas. Dari 7 faktor yang dianalisis, infeksi intrauterin, nilai APGAR 1 menit pertama, dan nilai APGAR 5 menit pertama pada analisis bivariat dimasukkan ke analisis multivariat (p<0,25) sementara pada faktor lainnya tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama memiliki hasil yang bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama merupakan faktor risiko independen sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan.

Background: Early onset neonatal sepsis is still considered as a common cause of morbidity and mortality in neonates, with a higher prevalence found in preterm infants. Many factors are known to be correlating to the cases of early onset neonatal sepsis, but research done specifically in preterm infants is limited.
Objective: To determine the factors associated with early onset neonatal sepsis in preterm infants.
Method: This research was done using a case-control design, where the data is taken from the medical record of preterm patients born in RSCM within January 2016-December 2017. The total sample is 186 (93 for each group). Data was then analyzed using bivariate and multivariate analysis.
Result: A significant result was found in characteristic such as gestational age, gender, and birth weight. Out of 7 factors that were analysed, the factors that were analysed using multivariate analysis were intrauterine infection, low APGAR score in the first minute, and low APGAR score in the fifth minute. From multivariate analysis, gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute were stastically significant.
Conclusion: gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute are independent risk factors for early onset neonatal sepsis. Further study is needed to understand the correlation between those factors and early onset neonatal sepsis in preterm infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Adriani Puspitasari
"Latar belakang : Jumlah kelahiran hidup bayi prematur di RSCM adalah 507 dan 112 diantaranya lahir pada usia gestasi 28-32 minggu atau disebut bayi baru lahir sangat prematur (BBLSP). Data RSCM menunjukkan bahwa BBLSP memiliki angka kesintasan 58,9%. Pemberian nutrisi yang agresif dengan diet tinggi protein pada BBLSP diperlukan untuk mempercepat kejar tumbuh. Diet tinggi protein memberikan beban metabolisme pada ginjal BBLSP yang sedang berkembang. Ginjal BBLSP memiliki jumlah nefron fungsional yang lebih sedikit dan imaturitas yang ditandai dengan rendahnya laju filtrasi glomerulus serta kemampuan pemekatan urin yang rendah. Diet tinggi protein menginduksi hipertrofi ginjal, proteinuria, dan sklerosis glomerular melalui single nephron glomerular hyperfiltration (SNGHF) sehingga menyebabkan cedera glomerulotubular yang dapat dideteksi dengan biomarka Neutrophil gelatinase-associated lipocalin urin (uNGAL).
Tujuan : Mengetahui pengaruh asupan protein terhadap cedera glomerulotubular pada BBLSP.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian pada BBLSP yang dilakukan dengan desain kohort prospektif yang dilakukan di ruang rawat perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo dan RS Bunda Menteng pada periode 1 Juni 2019 hingga Mei 2020. Pengambilan sampel urin dilakukan sebanyak 3 kali yaitu usia 0-48 jam (T1), 72 jam (T2), dan usia 21 hari (T3). Dilakukan pemeriksaan rasio NGAL dan kreatinin urin (uNGAL/Cr). Cedera glomerulotubular didefinisikan sebagai uNGAL/Cr  1 SB. Data karakteristik subyek dan asupan protein diambil dari rekam medik. Rerata asupan protein enteral dicatat sejak usia 14-21 hari sesuai asupan di rekam medik. Kadar protein di ASI diukur dengan human milk analyzer. Asupan tinggi protein adalah kadar asupan protein 3 g/kg/hari.
Hasil : Total subyek penelitian adalah 59 BBLSP pada saat rekruitmen dan terdapat 39 subyek menyelesaikan penelitian hingga usia 21 hari. Proporsi BBLSP yang mengalami cedera glomerulotubular pada pemberian kadar asupan tinggi protein 5/29 subyek, sedangkan pada pemberian kadar asupan rendah protein adalah 4/10 subyek. Kadar uNGAL/Cr pada BBLSP yang mendapatkan kadar asupan tinggi protein dibandingkan rendah protein adalah 3,54 (0,69-89,16) ng/mg dan 6,88 (0,32-66,64) ng/mg. Kadar uNGAL/Cr pada usia 48 jam, 72 jam, dan 21 hari tidak menunjukkan korelasi yang bermakna dengan kadar asupan protein (p=0,80; 0,58; 0,07).
Simpulan : Sebanyak 5/29 subyek yang mendapatkan kadar asupan tinggi protein mengalami cedera glomerulotubular. Kadar uNGAL/Cr pada BBLSP yang mendapat asupan tinggi protein maupun rendah protein cenderung meningkat pada usia 72 jam dan menurun pada usia 21 hari. Pemberian asupan tinggi protein pada BBLSP tidak menyebabkan cedera glomerulotubular pada bayi sangat prematur.

Background: Absolute preterm birth rate in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) was 507 in 2018, 112 amongst were born very preterm (28-32 weeks of gestational age). The survival rate was approximately 58.9%. Early aggressive nutrition by administration of high protein intake is needed for catch up growth. High protein produces high metabolic load to the kidney. Kidney in the very preterm neonates have fewer amount of functional nephron. Furthermore, the immaturity of the kidney was shown in lower glomerular filtration rate and ability to dilute urine. High protein intake induces nephron hypertrophy,
proteinuria, and glomerular sclerosis through single nephron glomerular hyperfiltration (SNGHF) which lead to glomerulotubular injury. Urine neutrophil gelatinase-associated lipocalin to creatinine ratio (uNGAL/Cr) is a biomarker used to detect glomerulotubular injury.
Aim : To analyze the correlation of high protein intake and glomerulotubular injury in very preterm neonates.
Method: A prospective cohort study was conducted in very preterm infants admitted to neonatology ward of CMH and Bunda Hospital Menteng during 1 June 2019 to May 2020. Urine sample were taken in 3 points of time: age 0-48 hours, 72 hours, and 21 days postnatal. Urine NGAL and creatinine (uNGAL/Cr) were examined. Glomerulotubular injury was defined as uNGAL/Cr level 1 SD. Subject characteristic data and protein intake were obtained from medical record. Enteral protein intake was recorded daily from medical record since age 14-21 days postnatal. Protein level in the breastmilk was measured by using human milk analyzer. High protein intake is recorded if the average intake was  3/kg/day.
Results: This study recruited 59 very preterm neonates and 39 of them survived until the end of the study. Proportion of very preterm neonates who had glomerulotubular injury after high protein intake vs low protein intake was 5/29 vs 4/10 subjects. Median of uNGAL/Cr level in high protein intake group compare to low protein intake group were 3,54 (0,69-89,16) ng/mg and 6,88 (0,32-66,64) ng/mg. Protein intake is not correlated to uNGAL/Cr level at 0-48 hours, 72 hours, and 21 days postnatal age (p=0,80; 0,58; 0,07).
Conclusion: There were 5/29 subjects experienced glomerulotubular injury in high protein intake administration. In very preterm neonates, uNGAL/Cr level was increased at the age of 72 hours and decreased in 21 days on both high and low protein intake group. High protein intake had no correlation to glomerulotubular injury in the very preterm neonates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lala Budi Fitriana, authr
"Penulisan karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk mengaplikasikan Model Konservasi Myra E Levine dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada bayi prematur Nutrisi pada bayi prematur penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang yang optimal Tantangan dalam pemberian nutrisi pada bayi prematur adalah adanya imaturitas organ Cara pemberian nutrisi pada bayi prematur tergantung pada keadaan klinis dan usia gestasi Nutrisi pada bayi prematur dapat diberikan secara enteral maupun parenteral Selama menjalani perawatan tiga dari lima bayi prematur dalam uraian karya ilmiah akhir ini menunjukkan status kardiopulmonal yang stabil tidak terdapat instabilitas suhu dan peningkatan berat badan masih dalam rentang normal yaitu 10 15 gram hari

The aim of this final scientifict report was to apply Myra E Levine Conservation Model rsquo s in feeding intervention preterm infants Nutrition is important for survival optimal growth and development of preterm infants The challenge in feeding preterm infants is the organ immaturity Feeding in preterm infants depends on clinical status and gestasional age Nutrition in preterm infants can be provides by enteral and total parenteral nutrition During treatments three of five preterm infants in this final scientifict report showed cardiopulmonal stability status stability of body temperature and increase of body weights was in the normal range of 10 15 gram day
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deisy Sri Hardini
"Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk menggambarkan penerapan teori Transcultural Nursing dalam memenuhi kebutuhan perilaku tidur-terjaga bayi prematur. Perilaku tidur-terjaga merupakan hal penting karena menggambarkan kematangan sistem neurobehavior yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Pendekatan transkultural yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perilaku tidur-terjaga bayi prematur yaitu melalui pemberian stimulasi biological maternal sound (BMS). Pemberian stimulasi BMS melalui pendekatan keperawatan transkultural menggambarkan kemampuan Ners Spesialis Keperawatan Anak dalam perannya sebagai praktisi, pengelola, pendidik kesehatan, dan peneliti.

The aim of this paper was to describe the application of Transcultural Nursing Theory to fulfill sleep-awake behaviour of preterm infants. Sleep-awake behaviour was the important thing because it was a reflection of the maturity of neurobehaviour system that supports growth and development. Transcultural approach that can be done to fulfill the sleep-awake behaviour of preterm infants by giving biological maternal sound stimulation (BMS). BMS through transcultural nursing approach described the competency of pediatric Nurse Specialist as care giver, manager, health educator, and researcher.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Sulistiawati
"Masalah pemberian nutrisi merupakan salah satu yang sering terjadi pada bayi prematur disebabkan imaturitas sistem gastrontestinal dan menimbulkan peningkatan volume residual lambung. Memposisikan bayi pada posisi prone diketahui mempercepat penyerapan lambung, namun posisi prone mempunyai dampak negative meningkatkan abnormalitas postur, dan risiko sindrom kematian bayi mendadak. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah posisi quarter prone karena memiliki efektifitas yang sama dengan posisi prone tanpa efek samping yang merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh posisi quarter prone terhadap volume residual lambung bayi prematur. Penelitian ini menggunakan Randomized Control Trial RCT crossover design dengan 18 responden. Pemilihan sampel dengan simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh posisi quarter prone terhadap volume residual lambung bayi prematur dibandingkan dengan posisi supinasi p value 0,0001 . Pemberian posisi quarter prone efektif menurunkan volume residual lambung pada bayi prematur. Pemberian posisi ini dapat diterapkan sebagai salah satu tindakan keperawatan mandiri dalam mengoptimalkan pemberian nutrisi pada bayi prematur.

The problem of nutritional management often occurs in preterm infants due to gastrointestinal immaturity lead increased residual volume. Positioning preterm infants on prone position considered to influence gastric emptying but prone position has a negative effect of increasing postural abnormalities, and risk of sudden infant death syndrome. An alternative can be done is quarter prone position because it has the same effectiveness with prone without adverse side effects. This study aims to identify the effect of quarter prone position on gastric residual. This research used Randomized Control Trial RCT crossover design simple random sampling with 18 respondents. The results showed the effect of quarter prone position on the gastric residual compared with supine position p 0.0001 . Positioned in quarter prone effective decreases gastric residual in preterm infants. It is suggested positioned in the quarter prone can be applied as one of independent nursing intervention in optimizing Nutritional management of the preterm infant."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T47661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Wiratama Lokeswara
"Latar belakang: Menurut data WHO, sebanyak 15 juta bayi di dunia dilahirkan kurang bulan setiap tahunnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia. Salah satu komplikasi pada bayi kurang bulan yang sering terjadi adalah sepsis. Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) merupakan infeksi sistemik pada bayi pada usia kurang dari 72 jam yang seringkali disebabkan oleh transmisi patogen secara vertikal sebelum atau saat proses kelahiran. Strategi utama dalam penanggulangan kejadian SNAD bergantung pada identifikasi faktor risiko, termasuk ketuban pecah berkepanjangan. Namun, sampai saat ini masih belum ada kesepakatan terkait ambang batas waktu ketuban pecah yang meningkatkan risiko kejadian SNAD secara signifikan pada populasi bayi kurang bulan.
Tujuan: (1) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia gestasi, usia ibu, berat lahir dan metode persalinan. (2) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan kultur. (3) Mengetahui hubungan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada ambang batas waktu 24 jam, 18 jam dan 12 jam di RSCM.
Metode penelitian: Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada populasi bayi kurang bulan yang lahir di RSCM dari tahun 2016-2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok: (1) kelompok kasus yang mengalami SNAD; dan (2) kelompok kontrol yang tidak mengalami SNAD; dipilih secara simple random sampling. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 154 bayi kurang bulan (77 kasus dan 77 kontrol). Pengambilan data dilakukan pada Januari-Agustus 2018 dengan melihat rekam medis subjek penelitian, dilanjutkan dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Squared dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian: Semua karakteristik tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kecuali usia gestasi (p=0,012) dan berat lahir (p=0,02). Gejala klinis yang paling sering ditemukan dan memiliki hubungan yang bermakna adalah sesak napas (63,0%; p<0,001) dan instabilitas suhu (40,9%; p<0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada bayi kurang bulan di RSCM pada ambang batas waktu 12 jam, 18 jam dan 24 jam. Ketuban pecah lebih dari 12, 18 dan 24 jam meningkatkan risiko SNAD pada bayi kurang bulan 2,3 kali lipat, dan ketuban pecah lebih dari  12 jam meningkatkan risiko 2,9 kali lipat setelah adjustment.

Introduction: According to WHO, 15 million babies are born premature annually, and  Indonesia ranks 5th worldwide. One of the most frequent complications in preterm infants is sepsis. Early onset neonatal sepsis (EONS) is defined as the systemic infection in infants less than 72 hours old which is often caused by vertical transmission of pathogens before or during labour. With the current lack of consensus in the definition of neonatal sepsis, identification risk factors, including prolonged premature preterm rupture of membranes (ROM), becomes the main strategy. Unfortunately, there is also currently lack of worldwide agreement in the threshold of duration of ROM which significantly increases the risk of EONS in preterm infants.
Objectives: (1) To determine the distribution of subjects based on selected characteristics: gender, gestational age, maternal age, birth weight and mode of delivery. (2) To determine the distribution of subjects based on clinical symptoms and bacterial culture examination. (3) To determine the association between the duration of ROM and the incidence of EONS in preterm infants, at the thresholds of 24 hours, 18 hours and 12 hours, in RSCM.
Methods: A case-control study was done on preterm infants born in RSCM in 2016-2017. The subjects were divided into 2 groups: (1) the case group for preterm infants who had EONS; and (2) the control group for preterm infants who did not have EONS; each selected by simple random sampling. The total number of subjects in the study was 154 preterm infants (77 in the case group and 77 in the control group). Data collection from the medical records of the subjects was performed in January-August 2018, followed by bivariate analysis using Chi Square Test and  multivariate analysis using logistic regression.
Result: Characteristics had insignificant differences, except gestational age (p=0,012) and birth weight (p=0,02). The clinical symptoms which were most frequent and had significant associations with EONS were respiratory instability (63,0%, p<0,001) and temperature instability (40,9%, p<0,001).
Conclusion. There is a significant association between the duration of ROM at 12, 18 and 24 hours, and the incidence of EONS in preterm infants, especially at duration of more than 12 hours. Prolonged PPROM for 12, 18, and 24 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.3 times (unadjusted) and PPROM for 12 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.9 times after adjustment for other factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library