Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Supena
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang dapat dijadikan rujukan untuk meramalkan terjadinya putus sekolah secara dini di Sekolah Dasar. Sebuah model teoritik tentang prediktor putus sekolah telah diajukan sebagai hipotesis penelitian dan diuji untuk melihat kesesuaiannya dengan data di Iapangan. Ada 7 variabel Iaten yang ditelili untuk dilihat pengaruhnya terhadap putus sekolah dini yaitu (1) rendahnya prestasi belajar, (2) rendahnya keterikatan siswa terhadap sekolah, (3) kedekatan anak dengan teman yang putus sekolah, (4) rendahnya kemampuan menangguhkan kesenangan jangka pendek, (5) rendahnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak, (6) rendahnya aspirasi orang tua mengenai pendidikan anak dan (7) rendahnya tingkat pendidikan orang tua.
Ada 184 anak yang terlibat sebagai sampel penelitian. Mereka adalah anak-anak usia Sekolah Dasar yang menjalani kegiatan mencari uang di sejumlah tempat keramaian di kota Bekasi, yaitu pasar, mal, slasiun kereta api, temrinal, dan lampu merah. Sejumlah angket, wawancara dan studi dokumen telah digunakan untuk mengumpulkan data dalam studi ini. Program LISREL versi 8.30 digunakan untuk menguji model teoritik yang dihipotesiskan. Penelitian juga dilengkapi dengan kajian kualitatif melaIui wawancara mendalam kepada 4 subjek yang telah putus sekolah.
Analisis kuantilatif menemukan bahwa rendahnya prestasi belajar dan rendahnya keterikatan siswa terhadap sekolah berpengaruh Iangsung terhadap terjadinya putus sekolah dini di Sekolah Dasar. Rendahnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berhubungan tidak Iangsung dengan rendahnya prestasi belajar dan dengan terjadinya putus sekolah. Keterlibatan orang tua berhubungan dengan prestasi belajar dan putus sekolah melalui pengaruhnya terhadap keterikatan siswa terhadap sekolah. Kedekatan dengan teman putus sekolah, rendahnya kemampuan menangguhkan kesenangan jangka pendek dan rendahnya aspirasi orang tua berhubungan tidak langsung dengan rendahnya prestasi belajar dan terjadinya putus sekolah. Ketiga variabel tersebut berhubungan dengan prestasi belajar dan putus sekolah melalui pengaruhnya terhadap keterikatan siswa terhadap sekolah. Tingkat pendidikan orang tua ditemukan tidak signifikan pengaruhnya terhadap putus sekolah dan terhadap variabel lainnya.
Kajian kualitatif memberi dukungan terhadap hasil analisis kuantitatif. Putus sekolah merupakan sebuah peristiwa yang kejadiannya dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari berbagai pihak di antaranya adalah anak itu sendiri, kondisi keluarga, teman bermain dan situasi sekolah. Kamalasan dan komitmen siswa yang rendah terhadap sekolah telah menjadi pemicu anak keluar dari sekolah. Rendahnya komitmen terhadap sekolah di antaranya disebabkan karena pengaruh teman yang telah putus sekolah, godaan mencari uang dan bermain, rendahnya aspirasi dan partisipasi orang tua dalam pendidikan anak, serta pengalaman yang buruk di sekolah. Ditemukan keoenderungan bahwa pada awalnya anak menjalani aktivitas sekolah secara baik dan wajar. Berbagai kondisi telah menyebabkan anak mulai menjalani aktivitas mencari uang sebagai kegiatan tambahan di Iuar jam sekolah. Berbagai pengalaman yang terjadi selama menjalani sekolah sambil mencari uang, akhirnya mendorong mereka keluar dari sekolah.
Hasil-hasil penelitian memberi implikasi terhadap beberapa hal di antaranya adalah (1) putus sekolah bukan semata-mata persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan sosial-psikologis yang ada pada anak, keluarga, dan masyarakat, (2) penanggulangan putus sekolah harus didekati secara komprehensif dengan menyoroti berbagai permasahan yang menjadi faktor penyebabnya dan melibatkan berbagai pihak yang terkait, (3) pemerintah, sekolah dan masyarakat perlu memberi perhatian yang Iebih serius di dalam menyikapi persoalan anak-anak yang putus sekolah, dengan cara mengembangkan langkah-Iangkah atau program yang sistimatik untuk menoegah dan menanggulanginya.

Abstract
The purpose of this research is to identify the variables that can be used as references in predicting the early school-dropout in the Elementary School (Sekolah Dasar). A theoretical model about the predictor of the school-dropout has been proposed as a research hypothesis and tested to see the relevance with the data. There are seven laten variables that have been studied to see the effect on the early school-dropout. These seven variables are (1) low academic achievement (2) low school bonding (3) students' closeness with the drop-outs (4) low ability to delay gratification (5) low involvement of the parents in children's education (6) low parents' aspiration in the children's education (7) low parents' level of education.
There are 184 students involved as the samples of the research. They are at the Elementary School age who work for money in several public places ln Bekasi, such as markets, malls, train station, bus stations, and the traflic lights. Questionnaires and intenriews have been used to collect data in this research. LISREL program 8.30 version is used to test the hypolhized theoretical model. This research is also completed with the qualitative data through deep interview on four students drop-out.
The quantitative analysis found that the low academic achievement and the low school bonding directly affect on the early school-dropout. Low involvement of the parents in chidren's education is indirectly related with students? low academic achievement and the accurances of school-dropout. The parents' involvement relate with academic achievement and the school-dropout through the effect on school bonding. Students? closeness with the drop-outs, low ability to delay gratification and low parents aspiration are indirectly related with low academic achievement and school-droout. These three variables relate with academic achievement and school-dropout thmugh the effect of school bonding. Parents level of education does not have a significant effect on the school-dropout and other variables.
Qualitative data supports the result of the quantitative data. The school-dropout is a phenomenon that is influenced by many factors. These are the students themselves, the conditions of the family, playmates, and the school conditions. Laziness and low students commitment to school have been triggers for the students to dropout from School. Low commitment to school is caused by the influence of school-dropouts. temptation to eam money and playing, low aspiration and participation of the parents in students education, and bad experience happens in school. At the beginning, the students do their school activity well. Many conditions caused them to start working for money as an additional activity out of the school hour. Many experiences happen during the school and working for money. lt finally force them to dropout.
The results of the research give an implication to some factors. They are: (1) school-dropout is not only a matter of finance but also it is a matter of social-psychology of the students, family and society. (2) the solution of school dropout have to be approached comprehensively by conceming some problems as the factors caused involving many related parties (3) The govemment, school and society need to give more serious attention in dealing with this problem by developing systematic program to prevent and to solve it.
"
2004
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
"Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif.
Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan.
Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75.
Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM.

Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality.
Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality.
Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84).
Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augustine Purnomowati
"Beberapa peneliti telah berusaha menentukan penderita mitrai stenosis yang “ideal” untuk
BMV tetapi belum ada keseragaman pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan
dini BMV; sedangkan kepustakaan di Indonesia mengenai hal ini masih sedikit.
Untuk mengetahui variabel-variabel prediktor keberhasilan dini BMV, diteliti ulang hasil
dini BMV pada 228 penderita stenosis mitrai yang menjalani BMV selama periode tahun
1993 dan 1994.
Mereka terdiri dari 74.6% perempuan dan 25.4% laki-laki, berusia rata-rata 36.8 tahun
dengan lama gejala rata-rata 23.7 bulan ( median 12 bulan ).
Hipertensi pulmonal terdapat pada 95% kasus, 51,3% diantaranya menunjukkan
hipertensi pulmonal berat.
Fungsi jantung NYHA kias 1,11,III dan IV berturut-turut ditemukan pada 4.4%, 58,3%,
32,9% dan 2.2%.
Gambaran EKG menunjukkan irama sinus normal pada 54.8% dan 45.2% fibrilasi atrium.
Skor mitrai 8 terdapat pada 67.8% (97 dari 143 penderita) dan > 8 pada 32.2 % ( 46
dari 143 penderita ).
Sesuai dengan kriteria penelitian, sebanyak 52.6% kasus menunjukkan hasil dini BMV
optimal, sub-optimal pada 46% dan gagal pada 1.3% kasus.
Pencapaian hasil dini BMV optimal adalah sebanding dengan peneliti lain bila memakai
kriteria sesuai peneliti yang bersangkutan.
Segera pasca-BMV terjadi perubahan hemodinamik yang sangat bermakna ( p < 0.001).
Melalui analisa logistik regresi ganda terdapat 4 variabel yang bermakna yaitu : EKG,
penebalan katup mitrai, tekanan rata-rata atrium kiri pra-BMV dan regurgitasi mitrai pra-BMV sebagai variabel prediksi keberhasilan dini BMV.
Dibandingkan peneliti-peneliti lain, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat mengenai variabel prediktor keberhasilan dini BMV.
Segera pasca-BMV terjadi penurunan tekanan rata-rata arteri pulmonalis yang sangat
bermakna (p < 0.001 ). Analisa logistik regresi ganda menunjukkan tekanan rata-rata
arteri pulmonalis pra-BMV sebagai variabel prediktor penurunan tekanan rata-rata arteri
pulmonalis pasca-BMV. Mengenai variabel prediktor penurunan tekanan arteri
pulmonalis ini, sayang sekali belum ditemukan kepustakaan yang dapat dijadikan
pembanding.
Komplikasi yaitu regurgitasi mitrai teijadi pada 24.5% kasus, angka ini lebih rendah
dibandingkan peneliti-peneliti lain yang mendapatkan angka MR pasca-BMV sebesar 35-
46%.
Seperti halnya peneliti lain, melalui analisa logistik regresi ganda tidak ditemukan variabel
prediktor regurgitasi mitrai pasca-BMV.
Komplikasi lain yaitu udem paru akut pada 1.7% dan 1.3% tamponade jantung yang
teijadi segera setelah pungsi transeptal.
Melihat perubahan hemodinamik yang sangat bermakna pasca-BMV dan frekwensi
komplikasi yang relatif kecil, maka BMV merupakan terapi alternatif yang cukup efektif dan aman bagi penderita mitrai stenosis simtomatis tertentu.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kejadian restenosis, mengevaluasi peijalanan klinik penderita dengan regurgitasi mitrai pasca BMV dan hipertensi pulmonal
yang menetap."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Aziza Nursyirwan
"ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi virus influenza menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada lansia. Vaksin influenza sebagai satu-satunya modalitas pencegahan yang ada saat ini memiliki efikasi yang lebih rendah pada lansia dibanding dewasa muda 17-53 vs 70-90 . Hal ini dimungkinkan karena pada lansia terjadi perubahan respons imun akibat penuaan serta faktor-faktor risiko lain. Beberapa studi telah dilakukan untuk menilai status kesehatan lansia sebagai faktor risiko terhadap respons antibodi terhadap vaksinasi influenza. Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada populasi lansia di posyandu lansia Jakarta Timur yang mendapatkan vaksin influenza. Sebanyak 277 subjek diperiksa titer antibodi pra dan satu bulan pasca-vaksinasi influenza. Faktor-faktor risiko berupa usia, jenis kelamin, status olahraga, status merokok, penyakit DM tipe 2, paru, kardiovaskular, status nutrisi MNA Mini Nutritional Assessment , status GDS Geriatric Depression Scale , dan titer antibodi pra-vaksinasi dinilai pada masing-masing subjek. Hasil Penelitian : Proporsi lansia yang mengalami serokonversi kenaikan titer pasca-vaksinasi sebanyak 4 kali lipat titer awal adalah 50,9 141/277 . Pada analisis multivariat, faktor-faktor prediktor serokonversi satu bulan pasca-vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah keadaan tidak depresi p=0,048, OR=2,1, IK=1,01-4,30 , status olahraga ge; 5 kali seminggu minimal 30 menit p=0,013, OR 4,0, IK 1,34-11,76 , dan titer antibodi pra-vaksinasi yang tidak seroprotektif p=0,000, OR 6,4, IK 3,40-11,99 . Kesimpulan : Faktor-faktor prediktor serokonversi pasca-vaksinasi influenza pada lansia di komunitas adalah status depresi, status olahraga, dan titer antibodi pra-vaksinasi influenza. Kata Kunci : influenza, vaksinasi, serokonversi, faktor prediktor.

ABSTRACT
Background Influenza virus infection causes significant morbidity and mortality in the elderly. The influenza vaccine as the only existing prevention modalities currently has lower efficacy in the elderly than younger adults 17 53 vs. 70 90 . This is possible because the elderly changes due to aging of the immune response as well as other risk factors. Several studies have been conducted to assess the health status of the elderly as a risk factor for antibody responses to influenza vaccination. Methods This study is a retrospective cohort study in the elderly population in East Jakarta Posyandu who got the influenza vaccine. A total of 277 subjects with antibody titre pre and one month post vaccination influenza were examined. Risk factors such as age, gender, exercise status, smoking status, type 2 diabetes, pulmonary, and cardiovascular disease, nutritional status of MNA Mini Nutritional Assessment , GDS Geriatric Depression Scale , and pre vaccination antibodi titre were assessed in each subject. Results The proportion of elderly people who seroconverted fourfold rise or more in antibody titer post vaccination was 50.9 141 277 . On multivariate analysis, the predictor factors that affect seroconversion of one month post influenza vaccination in the elderly on the community is a no depression state p 0.048, OR 2.1, CI 1.01 to 4.30 , exercise status ge 5 times per week minimal 30 minutes p 0.013, OR 4.0, CI 1.34 to 11.76 , and not seroprotective pre vaccination p 0.000, OR 6.4, CI 3.40 to 11.99 . Conclusion Predictor factors affecting seroconversion post influenza vaccination in the elderly on the community is depression status, exercise status and pre vaccination antibody titre. Keywords influenza, vaccination, seroconversion, predictor factor. "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Rio Adi Nugraha
"Latar Belakang. Hipoglikemia berat di pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) saat ini sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas, kejadian kardiovaskular, dan penurunan fungsi kognitif.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat model prediksi untuk hipoglikemia berat pada pasien DMT2 rawat jalan di pusat kesehatan nasional tersier.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilaksanakan di Poliklinik Metabolik-Endokrin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Semua pasien DMT2 dewasa (berusia ≥18 tahun) yang sudah mejalani kontrol selama setidaknya 1 tahun diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Data mengenai kejadian hipoglikemia berat dalam 1 tahun terakhir dikumpulkan dari anamnesis dengan subjek penelitian, sedangkan variabel bebas (meliputi usia, tingkat pendidikan, pemahaman mengenai gejala hipoglikemia, HbA1C, lama DMT2, penyakit ginjal kronik, penyakit hati kronik, riwayat hipoglikemia, penerapan pemantauan gula darah mandiri, penggunaan sulfonilurea, dan penggunaan insulin) diambil dari data rekam medis pasien 1 tahun sebelum pengumpulan data.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 291 subjek, dengan insidensi kejadian hipoglikemia berat 25,4%. PGK std. V (adjusted-OR 9,84 [IK95% 1,68-57,62]; p=0,011); riwayat hipoglikemia berat (adjusted-OR 5,60 [IK95% 2,94-10,69]; p<0,001); dan penggunaan insulin (adjusted-OR OR 2,60 [IK95% 1,31-5,15]; p=0,006) memiliki asosiasi yang bermakna secara statistik terhadap peningkatan risiko hipoglikemia berat. Model prediksi yang dibuat berdasar variabel tersebut mampu menunjukkan validasi yang baik dengan AUROC sebesar 0,742 (IK95% 0,67-0,81); p<0,001.
Kesimpulan. Sebagian besar subjek DMT2 mengalami setidaknya 1 episode hipoglikemia berat. Riwayat hipoglikemia berat, penggunaan insulin, dan PGK std. V memiliki asosiasi yang bermakna terhadap risiko hipoglikemia berat.

Background. Severe hypoglycemia in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients is often associated with inreased mortality and cardiovascular events, as well as decreased cognitive function.
Aim. The objective of this study is to develop a prediction model for severe hypoglycemia in T2DM patients in a tertiary care hospital in Indonesia.
Method. This study is a retrospective cohort study in endocrinology out-patient clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. All subjects ≥18 years of age who had been visiting the clinic for at least a year were included. Subjects were interviewed whether they had any events of severe hypoglycemia within the last 1 year; while independent variables (including age, education level, patients’ understanding of hypoglycemia symptoms, HbA1C level, duration of T2DM, chronic kidney disease, chronic liver disease, history of severe hypoglycemia, self-monitoring blood glucose application, sulfonylurea use, and insulin use) were taken from medical records 1 year prior from data collection.
Result. We collected 291 subjects, among whom incidence of severe hypoglycemia was 25.4%. Stg. V CKD (adjusted-OR 9.84 [95%CI 1.68 to 57.62]; p=0.011); history of severe hypoglycemia (adjusted-OR 5.60 [95%CI 2.94 to 10.69]; p<0.001); and insulin use (adjusted-OR 2.60 [95%CI 1.31 to 5.15]; p=0.006) were associated with increased risk of severe hypoglycemia. Using those variables, our model yielded an AUROC of 0.742 (95%CI 0.67 to 0.81); p<0.001.
Conclusion. High proportion of T2DM subjects suffered at least one episode of severe hypoglycemia. History of severe hypoglycemia, insulin use, and stg. V CKD were associated with the risk of severe hypoglycemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Lestari Pramesti
"Renjatan sepsis pada anak diasosiasikan dengan angka mortalitas yang sangat tinggi dengan rentang 5% pada negara maju dan 35% pada negara berkembang. Skor PELOD-2 merupakan penilaian yang telah divalidasi dalam memprediksi mortalitas anak dengan renjatan sepsis tetapi membutuhkan banyak pemeriksaan penunjang tambahan yang tidak selalu tersedia diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, serta membutuhkan biaya yang cukup besar. Skor vasoaktif-inotropik (VIS) merupakan metode sederhana yang awal nya digunakan sebagai prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung bawaan pascaoperasi. Namun hingga saat ini telah banyak studi yang menunjukkan kemampuan VISdalam memprediksi mortalitas pada anak dengan berbagai penyakit kritis, termasuk renjatan sepsis,tetapi belum ada penelitian di dunia yang membandingkan kemampuan VIS dan PELOD-2 dalam memprediksi mortalitas anak dengan renjatan sepsis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan VIS serta membandingkan kemampuan VIS dan PELOD-2dalam memprediksi mortalitas anak dengan renjatan sepsis. Penelitian ini merupakan sebuah studi kohort retrospektif dengan subyek anak berusia 1 bulan hingga 18 tahun dengan renjatan sepsis yang dirawat di PICU RSCM. Sebanyak 89 subyek memenuhi kriteria inklusi dengan prevalensrenjatan sepsis di PICU RSCM 17,6% dan angka kematian 78,6%. Skor vasoaktif - inotropik ≥ 11 memiliki sensitivitas 78,87%, spesifisitas 72,22%, positive predictive value(PPV)91,80%, dan negative predictive value (NPV) 46,43%. Diperoleh area under curve(AUC) berturut-turut untuk VIS dan PELOD-20,779 dan 0,757. Hasil tersebut menunjukkan bahwa VIS memiliki kemampuan yang cukup baik sebagai prediktor mortalitas anak dengan renjatan sepsis dengan titik potong ≥11, serta memiliki kemampuan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan PELOD-2(p=0,747). Oleh karena itu, VIS dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas anak dengan renjatan sepsis.

Septic shock in children is associated with a very high mortality rate in the range of 5% in developed countries and 35% in developing countries. The PELOD-2 score is amvalidated toolin predicting the mortality of patients with septic shockyet requires many additional evaluations which are costly and not always available in every health service facilities in Indonesia. Vasoactive - inotropic score (VIS) is a simple method that was initially used as a predictor of morbidity and mortality in postoperative patients with congenital heart disease.Nevertheless, many studies have shown the ability of VIS in predicting mortality in pediatric patients with various critical illnesses,including septic shock. However,until this study, there had been no research in the world that compares the ability of VIS and PELOD-2 in predicting mortality in pediatric patients with septic shock. Therefore, this study aims toevaluate the ability of VIS, and to compare VIS with PELOD-2 in predicting mortality in pediatric patients with septic shock. This study is a retrospective cohort study with subjects of children aged 1 month to 18 years withseptic shock treated inthe Pediatric Intensive Care Unit, Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia. A total of 89 subjects met the inclusion criteria with the prevalence of septic shock 17.6% and mortality rate78.6%. Vasoactive-inotropic score ≥11 has a sensitivity of 78.87%, specificity 72.22%, positive predictive value(PPV)91.80%, and negative predictive value (NPV) 46.43%. Obtained area under curves (AUC)respectively for VIS andPELOD-2 are0.779 and 0.757. Therefore,it can be concluded that VIS has agood ability to predict mortality in children with septic shock with ≥11 as the optimum cut-off,and has no significant difference compared to PELOD-2(p=0.747). Hence, VIS can be used as a predictor of mortality inpediatric patients with septicshock."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrianto Reksodiputro
"ABSTRAK
Penelitian ini meninjau kembali dikotomi terhadap aktivis mahasiswa radikal dan moderat
yang dibuat ahli-ahli politik makro. Pengelompokan yang mereka buat dilakukan
berdasarkan isu-isu, format gerakan, serta sikap dan tindakan aktivis-aktivis mahasiswa
yang bisa diamati. Berbeda dengan ilmu politik konvensional, ilmu psikologi politik melihat
perilaku politik dari sudut pandang dorongan-dorongan non-politis yang mendasari
perilaku tersebut. Karena itu, penelitian ini berusaha mencari prediktor-prediktor baru
untuk membedakan aktivis mahasiswa radikal dan moderat berdasarkan sejumlah faktor
psikologis yang dianggap penting dalam demokrasi. Faktor-faktor tersebut adalah
orientasi politik (terdiri dari toleransi politik, komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi,
kemanjuran politik, dan kepercayaan politik) serta partisipasi politik. Hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivis mahasiswa
radikal dan moderat dalam hal orientasi politik dan partisipasi politik (P = 41,870, pada
tingkat signifikansi 0,001). Aktivis mahasiswa radikal ternyata mempunyai tingkat
komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, kemanjuran politik internal, dan partisipasi politik
ekstra konvensional lebih tinggi di banding aktivis mahasiswa moderat. Sedangkan
kemanjuran politik eksternal dan kepercayaan politik lebih tinggi pada aktivis mahasiswa
moderat. Dari semua variabel yang diukur, prediktor-prediktor terbaik untuk membedakan
dua kelompok tersebut adalah kepercayaan politik, partisipasi politik ekstra-konvensional,
dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Selain itu, ditemukan bahwa aktivis
mahasiswa secara umum (baik radikal maupun moderat) sudah memiiliki orientasi politik
yang tepat untuk mendukung demokrasi di Indonesia. Hanya saja, kepercayaan mereka
terhadap pemerintah sangat rendah. Selain itu, mereka cenderung tidak yakin bahwa
aspirasi mereka akan direspon oleh pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang
mereka lakukan umumnya tidak melibatkan kekerasan dan pengrusakan, serta
cenderung tidak melibatkan hubungan dengan pejabat pemerintah dan partai politik.
Sementara saran yang diberikan sebagai hasil penelitian ini adalah agar kegiatankegiatan
politik di kalangan aktivis mahasiswa diberikan perhatian dan dukungan yang
lebih besar oleh pemerintah."
2003
S3226
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatun
"Latar Belakang: Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV juga sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dalam berbagai manifestasi dan gradasi, mulai dari yang ringan sampai potensial mengancam nyawa. Pemahaman tentang prediktor kejadian reaksi hipersensitivitas dapat membantu klinisi dalam menatalaksana pasien HIV/AIDS sehingga memberikan luaran klinis yang lebih baik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat nevirapin dan efavirenz pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV/AIDS rawat jalan di UPT HIV RSCM selama Januari 2004 sampai Desember 2013. Status demografik, data klinis dan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada prediktor dengan data nominal dan Uji Mann Whitney pada prediktor dengan data numerik. Adanya data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Semua variabel yang memenuhi syarat akan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Total subjek yang mendapat terapi ARV baik sebagai terapi pertama kali (naïve patient) atau substitusi pada kelompok nevirapin berjumlah 2.071 subjek dan efavirenz 1.212 subjek. Insiden terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin dan efavirenz adalah sebesar 14%, dan 4,5%. Insiden kejadian reaksi hipersensitivitas silang adalah 5%. Prediktor reaksi hipersensitivitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah prediktor terkait penggunaan nevirapin, yaitu jenis kelamin perempuan (OR=1,622; IK95% 1,196-2,199; p=0,002), CD4+ awal >200 sel/mm3 (OR=1,387; IK95% 1,041-1,847; p=0,025), koinfeksi dengan hepatitis C (OR=1,507; IK95% 1,138-1,995; p=0,004), dan kadar SGPT awal >1,25 kali batas atas nilai normal (OR=1,508; IK95% 0,998-2,278; p=0,051). Sedangkan prediktor reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan efavirenz tidak ada yang memiliki kemaknaaan secara statistik.
Simpulan: Jenis kelamin perempuan, jumlah CD4+ awal >200 sel/mm3, koinfeksi dengan hepatitis C dan kadar SGPT awal yang abnormal merupakan prediktor independen terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin pada pasien HIV/AIDS.

Background: ARV therapy decreases morbidity and mortality in AIDS/HIV patients. Beside its benefits, ARV therapy induces hypersensitivity reactions manifesting in various level of severity from mild to life threatening symptoms. Understanding the predictors of hypersensitivity reaction will help clinicians to manage HIV/AIDS patients particularly in anticipating the risks that will give better clinical outcomes.
Objectives: To determine the predictors of hypersensitivity reactions in nevirapine and efavirenz administration among HIV/AIDS patients in RSCM .
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with HIV/AIDS in UPT HIV RSCM during January 2004 to December 2013. Demographic status, clinical and laboratory data are obtained from medical records. Bivariate analysis using Chi-Square test performed on nominal data and Mann Whitney test on numeric data. Incomplete data is resolved by multiple imputation techniques. All eligible variables analyzed with multivariate analysis using logistic regression.
Results: There are 2.071 naïve patients or substitution regiment in nevirapine group and 1.212 subjects in efavirenz group. Hypersensitivity reaction incidence in nevirapine and evafirenz group are 14% and 4.5% consecutively. Cross hypersensitivity reaction incidence between these drugs is 5%. Hypersentivity reaction predictors associated with nevirapine administration are female gender (OR=1,622; 95%CI 1,196-2,199; p=0,002), baseline CD4+ absolute count >200 cells/mm3 (OR=1,387; 95%CI 1,041-1,847; p=0,025), hepatitis C coinfection (OR=1,507; 95%CI 1,138-1,995; p=0,004), and baseline ALT level > 1.25 x ULN (OR=1,508; 95%CI 0,998-2,278; p=0,051), but there is no predictors associated statistically significant with efavirenz hypersensitivity reaction.
Conclusion: Female gender, baseline CD4 absolute count >200 cells/mm3, hepatitis C coinfection and baseline ALT level > 1.25 x ULN are independent predictors for hypersensitivity reaction due to nevirapine usage in HIV/AIDS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khadidiatou Amirou
"ABSTRAK
Keberadaan sinisme perubahan organisasi diantisipasi sebagai hambatan yang akan muncul dalam menjalankan proses perubahan organisasi. Untuk itu, perlu diketahui apa saja faktor yang mempengaruhi sikap ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sikap percaya pada organisasi terhadap sinisme perubahan organisasi. Sampel penelitian terdiri atas 276 karyawan yang diambil dari dua lembaga keuangan BUMN dan dua lembaga keuangan perusahaan swasta. Sikap percaya pada organisasi diukur dengan Organizational Trust Index (OTI) dan sinisme perubahan organisasi diukur dengan Cynicism About Organizational Change Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap percaya pada organisasi terhadap sinisme perubahan organisasi, dengan dimensi keandalan sebagai dimensi yang memiliki efek terbesar.

ABSTRACT
The existence of cynicism about organizational change was predicted to be an obstacle during organizational change process. Thus, it was crucial to know what factors affected this attitude. The purpose of the current research was to investigate the effect of organizational trust on cynicism about organizational change. The research sample consisted of 276 employees obtained from two public and two private financial institutions. Organizational trust was measured with Organizational Trust Index (OTI), while cynicism about organizational change was measured with Cynicism About Organizational Change Scale. Results from the research showed that organizational trust predicted cynicism about organizational change, with the reliability dimension showing the biggest effect size.;"
2016
S65066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Christina
"LATAR BELAKANG: Keganasan meningkatkan risiko trombosis vena sekitar 2-7 kali. Insideni trombosis vena pada tumor ganas ovarium dilaporkan berkisar antara 5-29 . Berbagai faktor yang terkait dengan kondisi pasien usia, indeks massa tubuh, komorbid , karakteristik tumor ukuran, stadium, histologi, ascites dan terapi kemoterapi, lama pembedahan, jumlah perdarahan di laporkan dapat menjadi prediktor trombosis vena dalam TVD namun penelitian mengenai model prediksi TVD khususnya untuk populasi Indoensia masih terbatas.
TUJUAN: Mengetahui faktor ndash; faktor prediktor trombosis vena dalam pada tumor ganas ovarium.
DESAIN DAN METODE: Penelitian cohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan merekrut 116 pasien dengan dugaan tumor ganas ovarium yang akan menjalani operasi. Berbagai variable lain yang diduga sebagai prediktor TVD seperti kadar pra-terapi trombosit, D-Dimer, fibrinogen, usia, indeks massa tubuh IMT , komorbid, stadium, diameter, histologi, bilateralitas tumor, adanya ascites, metastasis jauh diukur dan dicatat. Pasien diikuti untuk gejala dan tanda TVD. Pasien yang memiliki gejala dan tanda klinis TVD dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi Duplex vascular.
HASIL: Seratus tiga pasien tumor ganas ovarium diikutkan dalam analisis. Insideni TVD adalah 16.5 dan 88.2 kejadian TVD terjadi sebelum pembedahan. Tidak ditemukan kejadian TVD selama perawatan pasca operasi dengan rata rata lama perawatan 8.8 hari. Kombinasi beberapa variable menghasilkan model prediksi kejadian TVD pada tumor ganas ovarium yang mencakup metastasis jauh OR 28,99; IK 95 3,83-219,52, IMT ge; 22,7 kg/m2 OR 15,52, IK 95 2,24-107,37 , kadar D-Dimer ge; 1700 mg/ml OR 13,30, IK 95 2.40-73,84 , stadium lanjut OR 6,66; IK 95 1,05-42,27 , histologi epithelial OR 6,5; IK 95 0,34-125,75 , diameter tumor ge; 18,25 cm OR 2,36, IK 95 0,48-11,54 , adanya komorbid OR 2,49, IK 95 0,53-11,66. Skor prediksi kejadian TVD adalah skor 3 untuk metastasis jauh, IMT ge; 22,76 kg/m2, D dimer ge; 1700 mg/dl, skor 2 untuk stadium lanjut, skor 1 untuk komorbid, diameter tumor ge; 18,25 cm, histologi epitelial dan skor 0 jika tidak ditemukan factor risiko atau nilai variable dibawah titik potong. Skor ge; 8 dari 14 adalah skor minimum dengan nilai prediksi TVD yang baik dengan AUC 0,92 IK 95 0,86-0,98, probabilitas 86,46, sensitivitas 64.7, spesifisitas 90.7.
KESIMPULAN: Model prediksi kejadian TVD dapat membantu memprediksi pasien tumor ganas ovarium yang berisiko tinggi untuk mengalami TVD sehingga dapat dipertimbangkan pencegahan TVD selektif.

BACKGROUND: Malignancy increase the risk of venous thromboembolism around 2 7 fold. Its incidence in ovarian malignancy ranged within 5 29 . Various characteristics related to patients age, body mass index, comorbid , tumor stage, tumor diameter, histology, ascites, distant metastasis or treatment length of surgery, bleeding, transfusion were found as predictor of venous thromboembolism. Predictor model of DVT occurrence in ovarian malignant tumor especially in Indonesian population is still limited.
OBJECTIVE: To evaluate the prediction model of deep vein thrombosis DVT in ovarian malignant tumor.
METHOD: This prospective cohort study enrolled 116 patients with suspected ovarian malignant tumor. Suspected risk factors of venous thromboembolism such as age, body mass index BMI , comorbid, pretreatment D dimer, fibrinogen, thrombocyte level, tumor diameter, staging, presence of distant metastasis, ascites, tumor histopathology, length of surgery, intraoperative blood loss and blood transfusion were measured and recorded. Patient who had symptoms and signs of DVT was confirmed with Doppler ultrasonography.
RESULT: Incidence of symptomatic DVT was 16.5 and 88.2 cases occurred before surgery. No case of symptomatic DVT was observed during post operative hospitalization with mean length of stay 8.85 days. Predictor factor of DVT were distant metastasis OR 28,99 95 CI 3,83 219,52, BMI ge 22,7 kg m2 OR 15,52, 95 CI 2,24 107,37 , D Dimer ge 1700 mg ml OR 13,30, 95 CI 2.40 73,84, advanced stage OR 6,66 95 CI 1,05 42,27 , epithelial tumor OR 6,5 95 CI 0,34 125,75, tumor diameter ge 18,25 cm OR 2,36, 95 CI 0,48 11,54, comorbid OR 2,49, 95 CI 0,53 11,66. Prediction score of DVT were score 3 for distant metastasis, BMI ge 22,7 kg m2, D Dimer ge 1700 mg ml, score 2 for advanced stage, score 1 for tumor diameter ge 18,25 cm, comorbid, epithelial tumor and score 0 for the absence of variables or value of variable was less than the cut off. Total score ge 8 of 14 is the least score which has a good predictive value for DVT ocurence with AUC 0.92, 95 CI 0.86 0.92, probability 86,46, sensitivity 64.7, specificity 90.7.
CONCLUSION: Prediction model of DVT may help to predict the patient with malignan ovarian tumor who had high risk of DVT therefore can consider selective DVT prevention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>