Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Angga Risky Raharja
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi ureter adalah salah satu komplikasi urologi yang paling sering dari transplantasi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor independen yang berkontribusi terhadap obstruksi ureter setelah transplantasi ginjal dan mengembangkan model prediksi dari faktor-faktor tersebut. Metode: Sebanyak 545 transplantasi ginjal dianalisis. Pasien menjalani transplantasi antara Januari 2014 dan Desember 2018. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengembangkan model prediksi. Kedua karakteristik demografis donor dan resipien serta parameter operasi dianalisis dan disajikan. Hasil: Terdapat 37 (6,8%) subjek yang mengalami obstruksi ureter. Faktor risiko independen untuk obstruksi ureter adalah arteri ginjal allograft multipel, usia donor yang lebih tua (>38 tahun), dan usia resipien yang lebih tua (>60 tahun). Dari analisis kurva receiver operating characteristic (ROC), area di bawah kurva ROC model prediktif adalah 0,843 (P < 0,001). Subyek dengan >2 arteri ginjal allograft, usia resipien >60 tahun, dan usia donor >38 tahun memiliki kemungkinan 83,8% untuk mengalami stenosis ureter setelah transplantasi ginjal. Kesimpulan: Usia donor, usia resipien, dan arteri multipel merupakan faktor risiko independen dari obstruksi ureter graft. Probabilitas berkembangnya obstruksi ureter harus dipertimbangkan sebelum operasi pada populasi kami, menggunakan model prediksi yang diusulkan ......Introduction: Ureteral obstruction is one of the most frequent urologic complications of kidney transplantation. This study aimed to analyze independent factors that contribute to ureteral obstruction following kidney transplantation and develop predictive models form those factors. Methods: As many as 545 kidney transplantations were analyzed. Patients underwent transplantation between January 2014 and December 2018. Logistic regression analysis was used to develop the predictive model. Both donor and recipient demographic characteristics and operative parameters were analyzed and presented. Results: There were 37 (6.8%) subjects who developed ureteral obstruction. The independent risk factors for ureteral obstruction were multiple allograft renal arteries, older donor ages (>38 years), and older recipient age (>60 years). From the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis, the area under the ROC curve of the predictive model was 0.843 (P < .001). Subjects with >2 renal allograft arteries, recipient age >60 years, and donor age >38 years had 83.8% probability of developing ureteral stenosis after kidney transplantation. Conclusion: Donor age, recipient age, and multiple renal arteries were independent risk factors of graft ureteral obstruction. Probability of developing ureteral obstruction should be considered pre-operatively in our population, using the proposed predictive model.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Wulan Nurhasty
Abstrak :
Penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien pasca-bedah jantung yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Prediksi lama penggunaan ventilasi mekanik merupakan hal penting dalam penatalaksanaan pasien operasi jantung. Skor ACEF (Age, Creatinine, Ejection Fraction) merupakan sistem prediksi sederhana dengan menggunakan tiga variabel pra-bedah yang diukur secara objektif, memiliki performa yang baik dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien pasca-bedah jantung. Penggunaan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung belum ada, namun variabel yang dipakai pada sistem skor ini merupakan prediktor terkuat kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang pada pasien pasca-bedah jantung dewasa di PJT RSCM. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan 206 subjek penelitian yang menjalani operasi jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu RSCM. Hasil penelitian ini didapatkan hasil AUC = 0,6336 (95% CI : 0,55-0,71), nilai sensitivitas sebesar 35,8%, spesivisitas 88%, dan akurasi 67,48%. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan Skor ACEF memiliki kemampuan prediksi yang kurang dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pada pasien pasca-bedah jantung. ...... Prolonged mechanical ventilation is one of the main complications in post-cardiac surgery patients that can cause morbidity and mortality. Prediction of the duration mechanical ventilation is important in the management of cardiac surgery patients. The ACEF score (Age, Creatinine, Ejection Fraction) is a simple prediction system using three measured pre-operative variables objectively, which performs well in predicting post-operative morbidity and mortality in cardiac surgery patients. The use of the ACEF score in predicting prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery does not yet exist, but the variables used in this scoring system are the strongest predictors of prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery. This study aims to determine the ability of the ACEF score to predict the incidence of prolonged of mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients at RSCM PJT. This study is a retrospective cohort study involving 206 subjects who underwent open heart surgery at PJT RSCM. The results of this study showed that AUC = 0.6336 (95% CI: 0.55-0.71), the sensitivity is 35,8%; specificity is 88%, and accuracy is 67,48%. From the results obtained, it can be concluded that the ACEF score has poor predictive ability in predicting the incidence of prolonged mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dianing Latifah
Abstrak :
Latar Belakang: Rendahnya ketepatan kultur bakteriologis dan kurangnya fasilitas pencitraan terutama di daerah perifer, mendiagnosis meningitis tuberkulosis (MTB) pada anak menjadi suatu tantangan. Tujuan: untuk membentuk sistem skor yang terdiri dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk membantu diagnosis MTB pada anak. Metode: Studi retrospektif menggunakan model prediktif diagnostik multivariabel dengan anak usia 3 bulan hingga 18 tahun terdiagnosis meningitis, dirawat inap selama periode Juli 2011 hingga November 2021 di rumah sakit tersier. Hasil: Dari 10 variabel yang memiliki signifikansi statistik dengan TBM, diperoleh 8 variabel untuk membangun model prediksi untuk mengidentifikasi TBM. Variabel ini dibagi menjadi dua bagian skoring yang keduanya memiliki diskriminasi dan kalibrasi yang baik, sistem skoring sistemik (4 parameter, batas nilai skor ³3, sensitivitas 78,8%, spesifisitas 86,6% dengan AUC 89,9% (p<0,001) ) dan sistem skoring neurologis (4 parameter, batas nilai skor ³2, sensitivitas 61,2%, spesifisitas 75,2% dengan AUC 73,3% (p<0,001). Sistem skoring ini bila digunakan bersamaan dan memenuhi batas nilai skor masing-masing, dapat memprediksi diagnosis TBM pada anak dengan baik (sensitivitas 47,1%, spesifisitas 95,1%, dan nilai prediksi positif 90,9%). Kesimpulan: Sistem skoring klinis yang terdiri dari dua bagian, skor sistemik dan skor neurologis, memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi diagnosis TBM pada anak. ......Due to the low accuracy of culture techniques in bacteriological confirmation and the lack of brain imaging facilities especially in peripheral areas, diagnosing tuberculous meningitis (TBM) in children become a challenge Objective : to establish scoring systems consisting of clinical manifestations and simple laboratory examination to help diagnosing TBM in children. Method: Retrospective study using a multivariable diagnostic predictive model with children diagnosed as meningitis aged 3 months to 18 years, hospitalized during July 2011 until November 2021 period in a tertiary hospital. Result: From 10 variables that have statistical significance with TBM, 8 variables were obtained for establishing the predictive model to identify TBM. These variables divided into two scoring parts which both had good discrimination and calibration, the systemic scoring system (4 parameters, total cut-off score ³3, sensitivity of 78.8%, specificity of 86.6% with AUC of 89.9% (p<0.001)) and the neurological scoring system (4 parameters, total cut-off score ³2, sensitivity of 61.2%, specificity of 75.2% with AUC of 73.3% (p<0.001)). Furthermore, these scoring systems when used together and met the cut-off score respectively, can predict the diagnosis of TBM in children well (sensitivity 47.1%, specificity 95.1%, and positive predictive value 90.9%). Conclusion: a clinical scoring systems consist of two parts, systemic score and neurological score, have good ability in predicting the diagnosis of TBM in children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library