Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Penelitian tentang peran Persatuan Penyandang Cacat Indonesia cabang Bantul dalam memberikan pelayanan sosial bagi anggotanya bertujuan untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh yayasan....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
Abstrak :
Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita. ......ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)].
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dewi
Abstrak :
Latar Belakang : Rasio netrofil-limfosit (NLR) sudah banyak diteliti memiliki hubungan yang erat dengan luaran penyakit kardiovaskular. Hal ini berhubungan dengan proses inflamasi yang dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsi dari jantung yang dapat dinilai dengan salah satunya fraksi ejeksi (EF). Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP memiliki resiko untuk mengalami perubahan EF yang berhubungan dengan NLR saat admisi. Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR rendah dengan peningkatan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri pada pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP. Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan data dilaporkan dalam bentuk deskriptif dan analitik korelasi. Dilakukan analisa hubungan NLR admisi pasien STEMI yang mendapatkan IKPP dengan EF ≤50% yang di ambil dengan ekokardiografi selama perawatan, akan kemudian dilakukan ekokardiografi kembali pada bulan ke-3. Hasil : Total sampel penelitian adalah 58 subjek dengan 91,4% merupakan laki-laki. Rerata nilai EF I 42% dan EF ke-2 45,9%. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan NLR <7 dan >7. Terdapat perbedaan proporsi antara kedua kelompok yang ditunjukan dengan nilai p sebesar 0,05. Subjek yang mempunyai kadar NLR >7 lebih beresiko sebesar 4,30x untuk tidak mengalami perbaikan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perbaikan EF pada penelitian ini adalah NLR <7 dengan OR sebesar 6,56 (1,31-32,84) setelah dikontrol oleh variable lekosit dan multivesel diseases. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara NLR dengan perbaikan EF ventrikel kiri pada Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP ......Background : The neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) has been widely studied to have a close relationship with cardiovascular disease outcomes. This is related to the inflammatory process that can cause structural and functional changes of the heart which can be assessed by ejection fraction (EF). STEMI patients who receive Primary PCI are at risk for experiencing changes in EF related to NLR at admission. Objective: To determine the relationship between low NLR and increased left ventricular ejection fraction (EF) in STEMI patients who receive primary PCI. Methods: The design of this study was a retrospective cohort and the data were reported in descriptive and analytic form. An analysis of the relationship between NLR admissions for STEMI patients who received primary PCI with an EF 50% or below were carried out by echocardiography during treatment, then echocardiography was performed again in the 3rd month. Results: The total sample of the study ware 58 subjects with 91.4% of males. The mean score for EF I was 42% and EF 2 was 45.9%. Patients were divided into 2 groups with NLR <7 and >7. There is a difference in the proportion between the two groups as indicated by a p-value of 0.05. Subjects who have NLR levels > 7 are 4,30x more at risk for not experiencing improvement. The most dominant factor influencing the improvement of EF in this study was NLR <7 with an OR of 6.56 (1.31-32.84) after being controlled by leukocyte and multivesel diseases variables. Conclusion: There is a relationship between NLR and left ventricular EF improvement in IMA-EST patients who received PCI
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
Abstrak :
Latar belakang: Inflamasi memegang peranan penting dalam IMA-EST, terutama kejadia cedera reperfusi. Kolkisin merupakan sediaan obat anti inflamasi, yang dapat menekan inflamasi saat terjadi cedera reperfusi. Kami menilai keefektivan dari pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dalam menekan cedera reperfusi. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis, tersamar ganda, dengan plasebo, yang dilakukan multisenter di dua rumah sakit di Jakarta dengan fasilitas IKPP dari Desember 2022 hingga April 2023. Pasien IMA-EST yan menjalani IKPP diberikan dosis muat kolkisin 2 mg, kemudian dosis pemeliharaan 2x0,5 mg selama 2 hari, dan amilum pada kelompok plasebo. Pasien diamati kejadian cedera reperfusi berupa TIMI flow, kejadian aritmai, syok dan aritmia akibat reperfusi. Hasil: Sebanyak 77 subyek IMA-EST dengan rerata usia 55.2 ± 9.9 tahun menjalani IKPP. 37 subyek mendapat kolkisin, 40 subyek mendapat placebo. Kebanyakan subjek ialah laki-laki (77.5%), menderita 3 vessel disease (44,1%), oklusi di LAD ( 53,2%). Pemberian kolkisin tidak berhasil menurunkan kejadia cedera iskemia reperfusi (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analisi komorbiditas ( hipertensi, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan obesitas) dan hasil angiografi ( jumlah pembuluh darah coroner yang sakit, diameter pembuluh darah, dan lokasi penyumbatan yang menyebabkan IMA-EST) tidak berhasil menunjukkan kemaknaan secara statistic. Kejadian efek samping sama pada kedua kelompok (21.6% vs. 15%). Kesimpulan: Pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP tidak berhasil menurunkan kejadian cedera reperfusi. ......Background: Inflammation plays a role in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), especially in reperfusion injury (RI). Colchicine, an anti-inflammatory drug, can suppress inflammation during RI. We assessed the effectiveness of administering colchicine to STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in suppressing RI events. Methods: This study was a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial conducted in a multicenter manner at two hospitals in Jakarta with IKPP facilities from December 2022 to April 2023. STEMI patients that underwent PPCI received 2 g of colchicine as a loading dose and a maintenance dose of 0.5 g every 12 hours for two days or amylum at a similar dose. Patients were observed for RI events (low-flow thrombolysis in myocardial infarction (0–2) during angiography procedure, reperfusion arrhythmia, cardiogenic shock, or persistent chest pain). Results: Seventy-seven STEMI patients with a mean age of 55.2 ± 9.9 years underwent PPCI. Of these patients, 37 received colchicine, and 40 received a placebo. Most subjects were male (77.5%), suffered three-vessel disease (44.15%), and occlusion in left anterior descending coronary artery (53.24%). Colchicine was found to fail to reduce the incidence of ischemia-RI (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analysis of comorbidities (hypertension, chronic kidney disease, diabetes mellitus, and obesity) and angiography results (vessel disease, lesion diameter, and culprit artery) failed to demonstrate a statistical difference in RI. Side effects were similar in the colchicine and placebo groups (21.6% vs. 15%). Conclusion: Colchicine administration in STEMI patients undergoing PPCI failed to reduce RI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
Abstrak :
Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. ......Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
Abstrak :
The purpose of this case repots are to evaluate the role of ST elevation in aVR lead and to make analysis between both cases. There are some atypical electrocardiogram (ECG) presentations which need prompt management in patient with ischemic clinical manifestation such as ST elevation in aVR lead. In this case study, we report a 68-year old woman with chief symptoms of shortness of breath and chest discomfort. She was diagnosed with cardiogenic shock, with Killip class IV, and TIMI score of 8. The second case is a 57-year-old man with typical chest pain at rest which could not be relieved with nitrate treatment. He was diagnosed with ST elevation in inferior and aVR lead, and occlusion in left circumflex artery (LCX). Both patients underwent primary percutaneous coronary intervention (PPCI). Subsequently, both cases presented remarkable clinical improvements and improved ST elevation myocardial infarction (STEMI) in aVR lead.
Jakarta: Interna Publishing, 2017
610 IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
J. Kamaludin
Abstrak :
PPCI sebagai organisasi payung yang fungsi utamanya adalah sebagai koordinator bagi organisasi-organisasi kecacatan di bawahnya memiliki peran yang sangat strategis untuk mensinergikan hubungan antara PPCI, organisasi anggota, instansi pemerintah dan masyarakat umum untuk mewujudkan P5 HAM bagi penyandang cacat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui penelusuran catatan-catatan atau dokumen-dokumen yang dimiliki PPCI, observasi dan wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang berada pada lingkungan ekstemal PPCI dan lingkungan internal PPCI. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mewujudkan P5 HAM bagi penyandang carat pada seluruh instansi yang benwenang dan masyarakat yang peduli terhadap penyandang cacat belum efektif, padahal peranan pemerintah untuk mewujudkan P5 HAM bagi penyandang carat memiliki posisi yang cukup sentral sebagai koordinator terhadap masalah-masalah penyandang carat, terutama dalam masalah dana, sosialisasi kebijakan atau Undang-undang yang berhubungan dengan penyandang cacat dan sosialisasi kegiatan-kegiatan organisasi penyandang cacat yang tujuannya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat luas terhadap masalah-masalah penyandang carat. Berdasarkan temuan di atas maka disarankan agar PPCI memaksimalkan kinerja atau performa organisasinya yang berfungsi sebagai koordinator, dan memaksimalkan sinerginya dengan masyarakat dan instansi pemerintah. Dengan efektifnya hasil-hasil kegiatan PPCI pada masyarakat luas akan meningkatkan peran sosial penyandang cacat, yang secara otomatis akan meningkatkan ketahanan sosial penyandang cacat itu sendiri.
PPCI as an umbrella organization has it main function as coordinator to its members. PPCI has a strategic function because in an ideal world, it can effectively coalesce the correlation between PPCI, its members, government institution and society to accomplish the appreciation, improvement, align, fulfillment and protection on human rights for people with disability. The purpose of this research is to study some of management function that PPCI carry out (planning, coordinating and evaluation). Data were collected qualitatively with documents review in PPCI, tangible observation with an in-depth interview with one of PPCI and member organization's staff, and also with three workers to see their perception about people with disability. It is shown in this study that the great effort to accomplish the appreciation, improvement, straighten up, fulfillment and protection on human rights for people with disability on government institution is not effective up till now, fortunately the government's responsibility to accomplish those rights for people with disability has a central position as the coordinator to the people with disability's problems, mainly in funds, in the dissemination of the regulation about people with disability and the spreading of the PPC: and its members' activity to improve society awareness to the problem of people with disability. It is recommended for PPCI to make best use of its organization's performance as coordinator and to maximize its relationship with government institution and society. With the constructive of PPCI's activity result in the society, it will improve the social role of the people with disability, which consequentially will improve the social defense of the people with disability itself.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kabul Priyantoro
Abstrak :
Latar Belakang:Banyak penelitian telah membuktikan pengaruh faktor inflamasi terhadap sindroma koroner akut.Tingginya jumlah leukosit pasca intervensi koroner perkutan primer (IKPP) menggambarkan respon inflamasi pada patofisiologi infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA – EST)dan respon terhadap kerusakan dinding arteri.Hal ini dihubungkan dengan luaran klinis yang buruk.Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh jumlah leukosit pasca IKPP terhadap perbaikan fungsi jantung kiri menggunakan indeks gerakan otot jantung segmental (RWMI) pada area terkait infark. Metode:Sebanyak 62 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP secara konsekutif dipilih dan diikuti selama 30 hari, sejak 1 Januari–30 April 2013. Jumlah hitung leukosit diukur pada saat masuk dan 48 jam pasca IKPP, derajat sebukan miokard (MBG), aliran TIMI dan RWMI diukur segera setelah IKPP. RWMI dievaluasi menggunakan ekokardiografi setelah 30 hari pasca infark, dengan menilai kesepahaman intra dan inter observer. Perhitungan statistik dinilai dengan software stata versi 12. Hasil: Pasien dengan jumlah leukosit 48 jam pasca IKPP > 12,020/uL memiliki OR: 4,4 (95% CI: 0,98 – 19,85; p = 0,05) untuk mengalami irreversibilitas gerakan otot jantung segmental terkait infark pada 30 hari, analisa multivariat menunjukan leukosit pasca IKPP secara konsisten memprediksi irreversibilitas RWMI dengan OR 5,6 (95% CI: 1,08 – 28,6; p = 0,039). Kesimpulan: Jumlah leukosit pasca IKPP diatas quartile ke-3 dengan lebih dari 12,020/uL pada jam ke-48 dapat meningkatkan risiko irreversibilitas gerakan otot jantung segmental ventrikel kiri, pada area terkait infark pasien IMA-EST. ......Background: Many researches has proven inflammation response in the pathophysiology of acute coronary syndrome (ACS) with ST segment elevation (STEMI). High leukocyte count post primary percutaneous intervention (PPCI) describes the magnitude of inflammatory state in ACS and inflammatory respond to arterial injury, and associated with poor prognosis. The aim of this study was to see the correlation between leucocytes post PPCI with improvement of left ventricle function measure by regional wall motion index (RWMI). Method: 62 STEMI subjectswhom underwent PPCI were selected consecutively between 1st Jan – 30th Apr 2013, and followed up for 30 days. Total leukocyte count was measure during admission and 48 hours post PPCI. TIMI flow and myocardial blush grade were measure immediately post procedural. RWMI was measure soon after PPCI and at 30 days, intra and inter observer variability were analyzed. Logistic regression was used to correlate variable independent and dependent, using software Stata version 12. Result: Patients with 48 hours leukocyte count >12,020/uL post PPCI, has OR 4,4 (95% CI: 0,98 – 19,85; p = 0,05), to predict irreversibility in regional systolic wall motion related to infarct teritory,measure at 30 days.Multivariate analysis consistently shown leukocyte post PPCI as strong predictor of RWMI irreversibility, with OR 5,6 (95% CI: 1,08 – 28,6; p = 0,039). Conclusion: High total leukocyte count post PPCI above 3rd quartile, > 12,020/uL taken at 48 hours,increase the risk of regional wall motion irreversibility in infarct related area.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kornadi
Abstrak :
Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) merupakan pilihan utama untuk mengembalikan aliran darah dan perfusi pasien yang mengalami Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST). Tapi tidak selalu mengembalikan aliran yang cukup pada tingkat mikrosirkulasi, hal ini disebabkan oleh obstruksi mikrovaskular (OMV). Banyak penelitian telah membuktikan pengaruh inflamasi terhadap kejadian OMV, tingginya rasio neutrofil limfosit pasca IKPP menggambarkan respon inflamasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan rasio neutrofil limfosit (RNL) terhadap kejadian obstruksi mikrovaskular yang dinilai dengan pemeriksaan myocardial blush kuantitatif (QuBE). Metode: Sebanyak 33 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif sejak 1 September 2013 sampai 30 Oktober 2013. RNL diambil saat masuk UGD, penilaian myocardial blush (MB) diambil segera pasca IKPP, angiografi untuk RCA (RAO 30˚) dan LCA (LAO 60˚-90˚). Kemudian RNL dikirim ke laboratorium untuk diperiksa dengan dengan Sysmex 2000i, blush dinilai dengan program komputer QuBE. Perhitungan statistik dinilai dengan SPSS 17. Hasil: Dari 33 pasien didapatkan proporsi terbanyak berjenis kelamin laki-laki sebesar 75,7%, rerata usia pasien 56±9.8 tahun. Analisa statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara RNL dan QuBE (β=-0,180;p=0,664) namun terdapat kecenderungan setiap kenaikan 1 unit RNL akan menurunkan QuBE sebesar 0,180 unit arbiter. Setelah dilakukan adjusted terhadap faktor perancu didapatkan kecenderungan penurunan yang lebih besar meskipun tetap tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. (koef β=-0,331 ; p=0,527). ......Primary percutaneus coronary intervention (PPCI) is a first of choice to return patient’s blood flow and perfusion with ST elevation myocardial infarction (STEMI). However, it is not always sufficiently reflow of microcirculation due to Microvascular Obstruction (MVO). Many studies had proved that neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) has emerged as a potent composite inflammatory marker. The aim of this study is to evaluate association between NLR and MVO by Quantitative Blush Evaluator (QuBE). Methode: 33 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutivly recruited from September to October 2013. The NLR was withdraw at patient admission. We evaluate the myocardial blush immediately after PCI done. Angiography views were RAO 30˚ for RCA, and LAO 60˚-90˚for LCA. Then the NLR was sent to laboratory for examination. QuBE was done to evaluate myocardial blush. Statistical analysis was done by SPSS 17. Results: From thirty three patients included in the study, there were 75,75% men, with mean age 56±9.8 years old. Statistical analysis showed no correlation between NLR and QuBE (β=-0,180;p=0,664) but there was decrease of 0,180 unit arbiter QuBE for each 1 unit of peripheral NLR. After adjustment of confounding factor, there was more decreasing value although there is no significant correlation. (coef β=-0,331;p=0,527).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jusup Endang
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Pada era sebelum tindakan reperfusi, kadar fibrinogen merupakan faktor independen terhadap mortalitas pada pasien-pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen-ST (IMA-EST) dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang normal. Dan kemudian era reperfusi dikatakan obstruksi mikrovaskular merupakan salah satu faktor menyebabkan kejadian mayor kardiovaskular. Dengan kemajuan teknologi dibidang kardiologi kejadian dan besaran MVO dapat di ketahui secara akurat dan pada fase akut. Dari studi terbaru dikatakan bahwa indeks resistensi mikrovaskular memiliki hubungan positif terhadap MVO dibandingkan dengan magnetic resonance imaging. Dan diduga faktor hemostasis terutama kadar fibrinogen diduga memiliki peran yang penting terhadap kejadian obstruksi mikrovaskuler melalui mekanisme hiperkoagulasi dan embolisasi distal. Metode: Sebanyak 55 subjek IMA–EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sejak 15 Oktober 2013 – 31 Maret 2014. Fibrinogen diambil saat masuk UGD, penilaian indeks resisten mikrosirkulasi (IMR) diambil segera pasca IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17. Hasil: Dari lima puluh lima pasien yang masuk dalam penelitian didapatkan proporsi laki-laki 87,3%, dengan rerata umur pasien adalah 53,1+8,9 tahun. Faktor risiko penyakit jantung koroner yang paling besar adalah merokok yaitu 76,36. Semua pasien menjalani IKPP dengan waktu perfusi 89.04+37.114 menit dan waktu Iskemia 458,69+170,709. Nilai rerata IMR 55,2 + 47,454 dengan nilai rerata fibrinogen 350,80+103,190. Melalui diagram scattered plot didapatkan kadar fibrinogen memilliki kecenderungan yang terbalik terhadap IMR, dengan kekuatan hubungan yang lemah dan secara statistik tidak bermakna. ( r = - 0,137 ; p = 0,319 ). Kesimpulan: Kadar fibrinogen saat admisi tidak memiliki hubungan terhadap IMR pada pasien pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
ABSTRAK
Background: In no coronary reperfusion era, fibrinogen is known as an indepndent risk factor for cardiac mortality in acute myocard infract patient. And in revascularization era, microvascular obstruction (MVO) is associated with adverse ventricular remodelling and patient prognosis. With the advanced technology in cardiology, MVO can be detected accurately in the acute phase. In recent study index microcirculatory resistance (IMR) show a positive correlation with magnetic resonance imaging while detecting and counting severity of MVO. It is suspected that hemostatic factor mainly fibrinogen play an important role in MVO due to hypercoagulable state and distal embolization. Methode: 55 STEMI patients undergoing primary PCI were consecutively recruited from October 15th, 2013 to march 31th, 2014. The fibrinogen was withdraw at admission. We evaluate the IMR immediately after PCI done. Statistical analysis was done by SPSS 17. Results: From fifty-five patients included in the study, there were 87,3% men, with mean age 53,1±8.9 years old, and smoker show the biggest proportion compare with risk factor for coronary artery disease. All the patient undergo primary percutaneus coronary intervention with mean door to ballon time 89.04+37.114 minute and ischemia time 458,69+170,709 minute. Mean IMR was 55,2 + 47,454 and mean fibrinogen level was 350,8+103,19. From the scaterred plot fibrinogen prone to had a weak negatif correlation with IMR and statistically non significant (r = - 0,137 ; p = 0,319) Conclusion: There is no correlation between fibrinogen level and IMR value in STEMI patients that undergoing PPCI
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>