Ditemukan 219 dokumen yang sesuai dengan query
Argo Wahyu Jati K
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagai Pejabat Umum yang bertugas melaksanakan sebagian kegiatan
Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah susun,
PPAT dan PPAT-Sementara dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional,
mandiri serta bertanggungjawab dengan mengedepankan pelayanan kepada Masyarakat.
Namun, pada kenyataannya masih ada kondisi-kondisi dimana kineija PPAT dan PPATSementara
dalam satu daerah kedudukan tidak seperti yang diharapkan yaitu
melaksanakan tugasnya secara profesional, mandiri serta bertanggung jawab. Beberapa
faktor telah mempengaruhi kondisi tersebut, antara lain adanya jabatan PPAT-Sementara
pada daerah-daerah yang sudah terdapat PPAT sehingga terdapat tumpang tindih
pelaksanaan tugas sebagai Pejabat Umum. Hal ini mengakibatkan terciptanya keadaan
catur tertib Pertanahan menjadi terhambat, terutama tertib di Bidang administrasi
pertanahan yang dicita-citakan. Dengan metode penelitian Yuridis-Normatif, penelitian
ini menganalisa pelaksanaan tugas PPAT dan PPAT-Sementara dalam satu wilayah
kedudukan, yaitu di wilayah Kabupaten Blitar. Hingga saat ini dengan adanya PPAT
yang bertugas dalam wilayah Kabupaten Blitar kedudukan PPAT-Sementara tetap dapat
dipertahankan mengingat peran PPAT-Sementara masih banyak dibutuhkan.
2008
T36986
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Abstrak :
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah, ditugasi membuat akta sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah, adalah Pejabat Tata Usaha Negara. PPAT mengambil keputusan TUN, berupa mengabulkan ataupun menolak permintaan orang-orang atau badan-badan hukum yang datang kepadanya untuk dibuatkan akta. Jika diambilnya keputusan menolak, padahal seharusnya dikabulkan atau sebaliknya mengabulkan permintaan para pihak, padahal seharusnya menolaknya, maka ia menghadapi kemungkinan digugat pada pengadilan TUN.
Hukum dan Pembangunan Vol. 25 No. 6 Desember 1995 : 477-483, 1995
HUPE-25-6-Des1995-477
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Evianti Ristia Dewi
Abstrak :
Bahwa dengan terbitnya ketentuan Pasal 185 UUCK menyebabkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan peraturan pemerintah guna melaksanakan amanat dari UUCK salah satunya adalah dengan menerbitkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 yang pada salah satu pengaturannya yakni Pasal 86 memuat ketentuan terkait pembuatan akta PPAT secara elektronik yang mana ketentuan ini merupakan turunan dari ketentuan Pasal 147 UUCK adanya pengaturan mengenai akta peralihan hak atas tanah dapat dibuat dalam bentuk elektronik. Bahwa dengan adanya kedua ketentuan tersebut tentunya menimbulkan tumpang tindih pada Pasal 5 ayat 4 butir (b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) mengenai akta PPAT tidak termasuk alat bukti elektronik sehingga keabsahan atas aktanya menjadi dipertanyakan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan pengaturan maupun pelaksanaan di negara lain yang telah menggunakan akta elektronik dalam peralihan hak atas tanahnya seperti di Italia dan Amerika guna mengetahui dan menganalisa dalam hal pemerintah akan melaksanakan kegiatan pembuatan akta secara elektronik dalam rangka pendaftaran tanah secara elektronik. Penelitian dilakukan secara yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan perbandingan serta menggunakan data primer berupa wawancara dan data sekunder berupa data studi kepustakaan yang bentuk hasil penelitiannya adalah problem solution. Dari penelitian diketahui bahwa di Amerika, Italia telah diterapkan yang menggunakan mekanisme pembacaan dan penandatanganan akta secara elektronik melalui media audio-video conference yang ada di Amerika serta diizinkannya penggunaan pembuatan akta secara elektronik dan tanda tangan digital terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT di Italia. Penggunaan asas hukum lex posteriori derogate legi priori menjadi jawaban atas keberlakuan ketentuan Pasal 147 UUCK terhadap Pasal 5 ayat (4) butir b UU ITE, di mana ketentuan Pasal 147 UUCK tersebut menyebabkan terbitnya ketentuan Pasal 86 PP 18/2021 mengenai pembuatan akta PPAT secara elektronik sehingga dapat digunakan adagium lex specialis derogate legi generalis untuk mengatasi tumpang tindih ketentuan dengan UUITE.
......As a result of the issuance of Article 185 of the UUCK. Thus the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency of the Republic of Indonesia issued government regulations to carry out the mandate of the UUCK, one of which was by issuing the provisions of Government Regulation no. 18 of 2021, one of which is Article 86, which contains provisions relating to the making of PPAT deeds electronically, where this provision is a derivative of the provisions of Article 147 of the UUCK, the regulation regarding the transfer of land rights can be made in electronic form. That the existence of these two provisions certainly causes an overlap in Article 5 paragraph 4 point (b) of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE) regarding the PPAT deed does not include electronic evidence so that the validity of the deed becomes questionable. Therefore, it is necessary to conduct further studies by comparing the regulation and implementation in other countries that have used electronic deeds in the transfer of land rights such as in Italy and America in order to find out and analyze in the event that the government will carry out electronic deed-making activities in the context of electronic land registration. electronic. The research was carried out in a normative juridical manner with a statutory approach and a comparative approach and used primary data in the form of interviews and secondary data in the form of library study data whose research results were in the form of a problem solution. From the research, it is known that in the United States, Italy has been implemented which uses the mechanism for reading and signing the electronic deed through audio-video conference media in the United States and allowing the use of electronic deed-making and digital signatures on deeds made by a Notary/PPAT. The use of the legal principle of lex posteriori derogate legi priori is the answer to the applicability of the provisions of Article 147 UUCK to Article 5 paragraph (4) point b of the ITE Law, where the provisions of Article 147 UUCK led to the issuance of the provisions of Article 86 PP 18/2021 regarding the making of PPAT deeds electronically. so that the adage lex specialis derogate legi generalis can be used to overcome overlapping provisions with UUITE.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Enny Koeswarni
Abstrak :
Dalam kehidupan sehari-hari, dalam lalu lintas hukum Perdata, selain dikenal adanya akta-akta Notaris, dikenal juga adanya akta-akta PPAT yang merupakan alat bukti tertulis dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia. Sejak dahulu akta-akta Notaris dikenal sebagai alat bukti tertulis yang otentik, sedangkan akta-akta PPAT, diantara para praktisi hukum masih meragukan kedudukan akta tersebut sebagai alat bukti tertulis yang otentik,hal itu dikarenakan PPAT sebagai Pejabat yang membuat akta-akta itu masih diragukan kedudukannya apakah sebagai Pejabat Umum atau sebagai Penjabat yang membuat akta-akta dalam rangka membantu Menteri Agraria yang sekarang menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional, sekalipun anggota masyarakat yang menggunakan jasa PPAT tidak mempermasalahkan apakah akta-akta PPAT itu otentik atau tidak, yang penting perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta itu sah, dan mengikat pihak ketiga. Hal inilah yang membuat penulis menganalisa apakah PPAT itu sebagai Pejabat Umum yang dimaksud dalam pasal 1868 KUH Perdata, dan apakah akta-akta PPAT itu merupakan akta otentik,dengan menggunakan metode penelitian normatif dan mengungkapkan kebenaran secara sistematis dan metodelogis terhadap data yang dikumpulkan berdasarkan data kepustakaan yang terbatas yang meliputi bahan hukum primer, sekunder atau pun tertier. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, dapat penulis simpulkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang ditunjuk oleh Pembuat Undangundang untuk membuat akta-akta tanah yang berada dalam daerah kerjanya, dan akta tersebut merupakan akta otentik.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T37731
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Parlindungan, Adi Putera
Bandung: Mandar Maju, 1991
346.04 PAR p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Gabriel Amagadela
Abstrak :
PPAT Sementara merupakan jabatan yang ditunjuk secara otomatis dari seorang Camat untuk melaksanakan tugas seorang PPAT dalam membuat akta di wilayah jabatan Pemerintahannya apabila di daerah tersebut belum cukup terdapat PPAT. Adanya perbedaan kompetensi dengan PPAT Notaris membuat kualitas PPAT Sementara menjadi dipertanyakan. Terpenuhinya formasi PPAT di suatu wilayah pun tidak menjadi suatu pertimbangan dari penunjukan seorang PPAT Sementara, seperti halnya di Kabupaten Tangerang. Hal tersebut yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni mengenai perbandingan kompetensi yang dimiliki oleh PPAT Sementara dengan PPAT Notaris serta urgensi pengangkatan PPAT Sementara di wilayah yang sudah terdapat banyak PPAT Notaris. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan tipologi penelitian preskriptif yang menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Analisis yang digunakan kualitatif dengan hasil penelitian, yakni adanya perbedaan kompetensi yang dimiliki oleh PPAT Sementara dan PPAT Notaris yang ditinjau dari pendidikan dan pelatihan yang diberikan. Mengenai keberadaan PPAT Sementara di wilayah Kabupaten Tangerang pun seharusnya tidak menjadi urgensi karena di beberapa wilayah sudah tersebar banyak PPAT yang membuat PPAT Sementara di sini kurang diperlukan.
......Temporary PPAT is an automatically appointed position of a Sub-District Head to carry out the duties of a PPAT in making deeds in the area of his Government position if there are not enough PPATs in the area. The difference in competence with a Notarial PPAT makes the quality of Temporary PPAT questionable. The fulfillment of the formation of a PPAT in an area is also not a consideration in the appointment of a Temporary PPAT, as is the case in Tangerang Regency. This is the subject matter of this research, namely the comparison of the competencies possessed by Temporary PPAT with Notarial PPAT and the urgency of appointing Temporary PPAT in areas where there are already many Notarial PPAT. The research method used is doctrinal with prescriptive research typology that uses secondary data supported by primary data. The analysis used is qualitative with the result is, namely the differences in competencies possessed by Temporary PPAT and Notary PPAT in terms of education and training provided. Regarding the existence of Temporary PPAT in Tangerang Regency, it should not be an urgency because in some areas there are already many PPAT spread out, which makes Temporary PPAT here less necessary.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Andika Prayoga
Abstrak :
Pelanggaran Kode Etik artinya pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT terhadap etika profesinya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang telah disusun secara tertulis dan mengikat, serta wajib ditaati oleh segenap anggota perkumpulan IPPAT dan dapat dikenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Penyelesaian pelanggaran kode etik dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan dan Majelis Pembina dan Pengawas PPAT berdasarkan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT. Dalam Pasal 4 huruf n Kode Etik IPPAT, ada larangan etis bagi PPAT yang menahan berkas seseorang dengan maksud untuk memaksa orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut. Salah satu contoh kasus PPAT D yang melanggar ketentuan Pasal tersebut dikarenakan adanya kekurangan pembayaran. Berkaitan dengan kasus posisi dalam penelitian, maka penelitian ini membahas mengenai penyelesaian pelanggaran dan penjatuhan sanksi oleh PPAT yang melanggar ketentuan Kode Etik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan penelusuran bahan sekunder. Tipe penelitian yang digunakan bersifat eksplanatoris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara atau interview. Hasil penelitian adalah pelanggaran PPAT terhadap penahanan sertipikat harus jelas kedudukannya dan menjelaskan secara rinci dan tertulis mengenai biaya-biaya jasanya. PPAT sebagai pejabat umum harus menerapkan segala aturan yang melekat dalam jabatannya dan dalam menjalankan jabatannya harus didasari dengan rasa penuh tanggung jawab dan jujur dan tidak melakukan pelanggaran dalam melaksanakan jabatannya.
......Violation of the Code of Ethics means violations committed by PPAT against professional ethics as regulated in laws and regulations and the Code of Ethics for the Association of Land Deed Officials which have been compiled in writing and are binding, and must be obeyed by all members of the IPPAT association and may be subject to sanctions for those who violate these provisions. Settlement of violations of the code of ethics is carried out by the Honorary Council and the PPAT Supervisory and Supervisory Council based on the form of the violation committed by the PPAT. In Article 4 letter n of the IPPAT Code of Ethics, there is an ethical prohibition for PPAT withholding a person's file with the intention of forcing that person to make a deed to the PPAT holding the file. One example is the case of PPAT D which violates the provisions of the article due to a lack of payment. In relation to the case of the position in the research, it will be discussed regarding the settlement of violations and the imposition of sanctions by PPAT who violate the provisions of the Code of Ethics. The research method used is normative juridical which is carried out by tracing secondary materials. The type of research used is explanatory. Data collection techniques are carried out by literature studies, observations or observations, and interviews or interviews. The result of the research is that the PPAT violation against the detention of the certificate must be clearly positioned and explain in detail and in writing about the fees for its services. PPAT as a public official must apply all the rules inherent in his position and in carrying out his position must be based on a full sense of responsibility and honesty and do not commit violations in carrying out his position.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Retno Erni Widyastuti
Abstrak :
Di dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, terkait Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Badan Pertanahan Nasional mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya, yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan hukum serta kebijakan masalah pertanahan meliputi penguasaan, pernilikan, penguunaan dan pemanfaatan tanah, hak-hak atas tanah dan pendaftaran tanah. Lebih lanjut dalam peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan Akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian fungsi dan tanggung jawab PPAT adalah sebagai salah satu unsur pelaksana pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Di dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaan atau status yang sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang mengenai data fisik maupun data yuridis mengenai bidang tanah tersebut. Dalam hubungan dengan pencatatan data yuridis khususnya pencatatan perubahan data yuridis yang sudah tercata sebelumnya peranan PPAT sangatlah penting hingga terciptanya tertib hukum bidang pertanahan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14576
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sandra Dewi
Abstrak :
Tugas notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seringkali menimbulkan persepsi yang sama dikalangan masyarakat. Padahal dilihat dari kewenangannya yang diatur dalam undang-undang, jelas berbeda. Permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan terkadang membuat kewenangan notaris dan PPAT seolah saling tumpang tindih. Ruang lingkup pembuatan akta oleh PPAT memang sudah ditentukan oleh undang-undang, namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui jika akta notaris dalam bidang pertanahan memiliki akibat hukum yang berbeda dengan akta PPAT. Untuk menemukan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif yang didasarkan data sekunder berupa studi dokumen dari perpustakaan juga dengan mewawancarai beberapa narasumber sehingga diperoleh gambaran komprehensif dari permasalahan yaitu bagaimana akibat hukum dari akta peralihan tanah yang dibuat dihadapan notaris serta tanggung jawab notaris terhadap kewenangan dalam membuat akta peralihan tanah tersebut. Akta peralihan tanah yang dibuat oleh notaris biasa disebut surat keterangan ganti rugi. Akibat hukum akta ini memiliki konsekuensi berbeda dengan akta peralihan yang dibuat oleh PPAT. Akta notaris ini tidak menyebabkan tanah beralih kepemilikannya, akta ini hanya sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan hak atas tanah ke kantor pertanahan. Banyak pihak yang karena ketidaktahuan akan hukum menyalahkan posisi notaris. Banyak pula notaris yang tidak menyampaikan penyuluhan hukum kepada penghadap yang datang kepadanya dalam pembuatan akta. Sehingga celah ketidaktahuan akan hukum inilah yang biasa digunakan penghadap untuk mengadukan notaris atas akta yang dibuatnya. Secara hukum akta notaris dibuat berdasarkan kehendak dari para pihak yang menghadapnya dan notaris hanya bertanggung jawab atas kebenaran formil dari aktanya tersebut.
Duties of the notary and Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) often give rise to the same perceptions among the public. Whereas, judging from its regulated in legislation, clearly different. Problems relating to land issues sometimes create a notary and PPAT authority seems to overlap. The scope of the Act of creation by PPAT has indeed determined by law, but not many people know if the notary deed in land areas have different legal consequences by PPAT did. To find answers in this research, the author uses the form of juridical normative research based secondary data in the form of study documents from the library as well as with interviews of some interviewees so obtained a comprehensive overview of how the problems of the legal consequences of the transfer of right made before a notary and notary liability against the authority in making the transfer right of land. Transfer right of land made by notary is referred to Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR). Legal consequences of this land act have differences with made by PPAT. Notary deed is not causing the ground switch ownership, this deed, just as one of the conditions to apply for land rights to the land Office. Many parties that due to ignorance of the law blame the position of notary public. Many notary does not tell legal knowledge to the party that came to him or her in the making of deed. So this gap of ignorance of law is used by the party to sue the notary commonly. Legal notary deed is made based on the will of the parties that come before him or her and the notary responsible for formyl truth of it.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51802
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Noliza
Abstrak :
Perkawinan yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan undang-undang nomor 1 tahun 1974 akan membawa akibat terhadap harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan tersebut. Salah satunya adalah tindakan untuk menjual harta bersama yang berupa tanah dan bangunan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Oleh karena itu bagaimanakah Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pelaksanaan pembuatan akta jual beli harta bersama dalam perkawinan, bentuk persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri dalam pelaksanaan jual beli tersebut dan tanggung jawab PPAT bila terjadi gugatan terhadap akta jual beli yang dalam pembuatannya tidak ada persetujuan suami atau istri.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat yuridis normatif. Peranan PPAT dalam pelaksanaan jual beli harta bersama yaitu memberikan penyuluhan hukum, menganalisa dan meneliti data yang diterima, menyatakan dengan tegas persetujuan yang diberikan oleh suami atau istri dalam komparisi akta atau 'mengisi kolom persetujuan yang disediakan, menentukan bentuk surat persetujuan yang lebih menjamin seperti surat persetujuan dalam bentuk akta notaris dan surat persetujuan dibawah tangan yang dilegalisasi. PPAT tidak bertanggung jawab bila informasi yang diberikan oleh penjual/pembeli tidak benar tetapi PPAT dapat bertanggungjawab bila terjadi kelalaian yang disebabkan oleh PPAT.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36930
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library