Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adlan Adonis
"Perubahan Undang-undang Kepailitan dengan Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 serta ditetapkannya perubahan tersebut dalam Undang-undang Nomor 4 Tabun 1998, selanjutnya perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab II Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu Pasal 212 sampai dengan Pasal 279, diharapkan penyelesaian masalah utang-piutang berfungsi pula sebagai filter untuk menyaring atas dunia usaha dari perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Di samping itu, Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak ditujukan kepada eksekusi barang-barang debitur dan pembagian hasil kepada para kreditur. Melainkan Penundaan kewajiban pembayaran utang berakibat untuk selama jangka waktu tertentu tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya. Karena, kewajiban untuk membayar utang ditangguhkan selama ada penundaan. Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah Kepailitan seorang debitur yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang. Dengan demikian Penundaan kewajiban pembayaran utang memberikan kepada debitur keringanan sementara dalam menghadapi para kreditur yang menekan untuk mereorganisasi dan melanjutkan usaha, dan akhirnya memenuhi kewajiban debitur terhadap tagihan-tagihan para kreditur. Dengan adanya keringanan sementara tersebut banyak debitur yang lebih memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan untuk dipailitkan oleh para krediturnya. Oleh karena itu debitur boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Biasanya, debitur hanya mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan debitur yang diajukan oleh seorang kreditur, Alasannya Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa apabila permohonan permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Sehingga Penundaan kewajiban pembayaran utang hanya boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Yustisio Adhyaksono
"Dalam Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor: 439/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst tertanggal 09 Februari 2021 (Putusan PKPU), melalui dalil Tanggapan dari Termohon PT. Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life) yang menyatakan bahwa terjadi kondisi force majeure akibat penyitaan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung sehingga menimbulkan konflik yang terkesan tidak acuh terhadap kewajibannya sebagai perusahaan asuransi yang menanggung pertanggungan asuransi kepada nasabahnya dengan alasan adanya keadaan memaksa atau force majeure akibat penyitaan SRE milik Wanaartha Life oleh Kejaksaan Republik Indonesia untuk pembuktian dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor: 29/Pid.Sus-TPK/ 2020/PN.Jkt.Pst tertanggal 23 Oktober 2020 dengan Terdakwa Benny Tjokrosaputro (Putusan Tipikor). Diketahui hal tersebut diawali dengan permasalahan hukum antara Wanaartha Life dengan Benny Tjokrosaputro sebagai pemilik PT. Hanson International Tbk (Hanson), yang dimana Wanaartha Life melakukan transaksi jual-beli saham Hanson sebesar Rp45.000.000.000.- (Empat Puluh Lima Miliar Rupiah) sebanyak 2.277.221.900 lembar saham atau sekitar 2 % (dua persen) komposisi kepemilikan saham Hanson. Transaksi jual-beli saham tersebut dilakukan menggunakan dana polis asuransi nasabahnya, hal ini dilakukan untuk mencari return kepada nasabahnya sebagaimana fungsi dan tujuan dari produk asuransi Unit Link. Dalam Putusan Tipikor, sebelum adanya transaksi jual-beli saham telah dilakukan Nominee Arrangement antara Benny Tjokrosaputro dan menunjuk Wanaartha Life sebagai pembeli saham, praktik tersebut dilarang untuk dilakukan dalam hukum positif Indonesia, dikarenakan pembelian saham hanya mengenal praktik jual-beli saham atas nama (aan opname) bukanlah saham atas tunjuk (aan toonder). Sehingga dalam thesis ini, dapat disimpulkan bahwa tindakan Wanaartha Life telah diawali dengan itikad buruk (bad faith) yang mengakibatkan gagal bayarnya Wanaartha Life terhadap nasabahnya.

The court’s decision Number: 439 .Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst dated 09 February 2021 (PKPU Decision) has been used to delay a legal obligation to pay consumers by PT. Adisarana Wanaartha Life Insurance (Wanaartha Life) by arguing that the confiscation of its securities sub-accounts ("SRE") as the subject of the Corruption Crime case Number: 29/Pid.Sus-TPK/ 2020/PN.Jkt.Pst dated October 23, 2020 with the Defendant Benny Tjokrosaputro (Corruption Verdict) creates compelling circumstances namely force majeures. The case began with legal dispute between Wanaartha Life and Benny Tjokrosaputro as the owner of PT. Hanson International Tbk (Hanson), in which Wanaartha Life made transactions for buying and selling Hanson shares of Rp45,000,000,000.- (Forty Five Billion Rupiah) totaling 2,277,221,900 shares or approximately 2% (two percent) of the composition of Hanson's share ownership. The share buying and selling transactions are carried out using the customer's insurance policy funds, this is to seek returns to the customers according to the function and purpose of the Unit Link insurance product. In the Corruption Judgment as concerned, prior to the sale and purchase of shares, there was an agreement on a share upon appointment between a Nominee Arrangement between Benny Tjokrosaputro and appointed Wanaartha Life as the purchaser of shares. This practice is prohibited under the Indonesian positive law, because the purchase of shares only recognizes the practice of buying and selling shares on behalf (aanopname) is not a share upon appointment (aan toonder). Hence, this thesis argued that Wanaartha Life's actions started with bad faith which resulted in Wanaartha Life's failure to pay its customers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rosliawati Rosmalia
"Pranata hukum bertujuan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum pada para pihak. Perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas pelaksanaan eksekusi hak tanggungan diberikan oleh undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan. Timbul permasalahan hukum dalam implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut di Pengadilan Negeri dan Niaga ketika dalam pelaksanaannya bersinggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan).
Dengan metode penulisan yuridis normatif, akan diuraikan ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan apakah implementasi ketentuan dari kepailitan mempengaruhi pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Benturan antara implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan terjadi, saat harta debitur yang dibebankan hak tanggungan tersebut termasuk dalam harta debitur yang dipailitkan atau harta pailit dan hak eksekusi kreditur berdasarkan hak tanggungan akan terpasung dengan adanya penangguhan berdasarkan putusan kepailitan selama 90 (sembilan puluh hari).
Penangguhan eksekusi berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan, ternyata tidak taat asas dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa setiap kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Adanya ketidaktaatan asas dari ketentuan kepailitan tersebut, mempengaruhi pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dan meruntuhkan sendi-sendi dari sistem hukum jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan meletakkan pemahaman bahwa kepailitan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian utang tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum jaminan, dapat dilakukan sosialiasi berupa seminar-seminar, diskusi-diskusi dan lokakarya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Alfredo
"Hubungan bisnis dilakukan oleh pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya dalam dunia usaha dengan tujuan ekonomis, yaitu mendapatkan keuntungan. Dalam prakteknya perikatan yang dilakukan para pelaku bisnis tersebut terkadang menimbulkan masalah di saat perikatan yang disepakati oleh para pihak ternyata tidak dapat dilaksanakan, yang kemudian menimbulkan utang yang harus dipenuhi. Penyelesaian utang piutang itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur kepailitan melalui Pengadilan Niaga, apabila ternyata terdapat dua atau lebih pihak yang mempunyai piutang terhadap debitur yang memiliki utang. Adapun pengertian utang sebagai salah satu syarat penting dalam perkara kepailitan inilah yang kadangkala menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum. Hal ini disebabkan karena meskipun telah diberikan definisi secara jelas melalui Undang-Undang Kepailitan 2004 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tetapi pemahaman Hakim atas batasan-batasan pengertian tersebut seringkali menjadi rancu apalagi apabila dikaitkan dengan persyaratan kepailitan yang lain, yaitu jatuh waktu serta dapat ditagih, dan perlunya pembuktian secara sederhana atas adanya utang tersebut. Pengertian utang secara mendalam yang tidak hanya berasal dari konstruksi perjanjian pinjam meminjam, melainkan juga berasal balk karena perjanjian lainnya atau karena adanya perikatan yang lahir karena undangundang inilah yang harus dipahami oleh Hakim, dimana pelaksanaan Undang-Undang Kepailitan 2004 dengan demikian dapat dilakukan secara maksimal.

Business relations are done between one business practitioners with another with the economic purpose of achieving profit. In practice, contract between business practitioners sometimes causes difficulty when it can not be fulfilled, which then resulted in the form of debt which must be remunerated. The completion of the debt itself can be done through bankruptcy process in Business Court, if there are two or more parties acting as creditors to the debtor. Whereas, although it has been explained thoroughly in Bankruptcy Act 2004 and Civil Code Book, there are still arguments amongst law scholars regarding debt as one of important conditions in bankruptcy cases. It is caused by the lack of understanding from the Judges on the boundaries of debt, especially if it was connected with other bankruptcy conditions of overdue and liable, also the need of simple evidential phase on the debt. Therefore Judges should have profound knowledge on debt, as not only liabilities derived from loan agreement, but also resulting from other agreements or because of contract which were originated from the law, in order to have the Bankruptcy Act 2004 be exercised properly."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desta Rian Hidayat
"Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UURS) telah mengatur mengenai pelaksanaan jual beli secara pre-project selling dimana pengembang rumah susun selaku penjual dapat melakukan pemasaran sebelum rumah susun selesai dibangun dengan memenuhi persyaratan Pasal 42 dan Pasal 43 UURS, namun dalam pelaksanaannya penjual tidak memenuhi persyaratan tersebut. Sebagaimana dalam kasus Ciputat Resort Apartment, rumah susun yang dijual oleh PT. Megakarya Maju Sentosa yang dimohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 282/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst. Para pembeli satuan unit rumah susun tidak memperhatikan ketentuan Pasal 42 dan Pasal 43 UURS, dimana penjual tidak memenuhi persyaratan kemudian pembeli menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Permasalahan muncul ketika penjual dimohonkan PKPU dan para pembeli sebagai kreditur konkuren dalam hal pemenuhan ganti ruginya ditempatkan sebagai pihak yang memperoleh pembagian secara proporsional. Oleh karenanya, dalam tesis ini permasalahan yang akan diangkat oleh penulis mengenai tanggung jawab keabsahan PPJB yang dibuat tanpa memenuhi persyaratan Pasal 43 UURS dan penyelesaian terhadap kewajiban penjual yang dipailitkan kepada para pembeli selaku kreditur konkuren. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian preskriptif, data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier, pengumpulan data dengan studi dokumen dan wawancara, metode analisis kualitatif serta bentuk hasil penelitian preskriptif analitis. Terhadap PPJB yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 43 UURS adalah tidak sah apabila para pihak masih berusaha memenuhinya maka masih dianggap sebagai suatu perjanjian yang mengikat. Sedangkan tanggung jawab penjual yang dipailitkan dalam memenuhi kewajibannya diatur sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

purchase by pre-project selling method, where the condominium developer as the seller
could carry out marketing while the condominium is under construction by fulfilling the requirements of Article 42 and 43 of the Indonesian Condominium Law, in fact the seller not always meet these requirements. Based on The Ciputat Resort Apartment’s case, the condominium sold by PT. Megakarya Maju Sentosa which requested a Postponement of Debt Settlement Obligation toward Commercial Court Verdict Number 282/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN Niaga Jkt.Pst. The purchaser of this
condominium had an absence with due observance of the provisions of Article 42 and 43 of the Indonesian Condominium Law. Where the purchaser were not eligible but sign the Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building. The problem arises when the seller is petitioned by Postponement of Debt Settlement Obligation and the purchaser as the concurrent creditor for their fulfillment of compensation was placed as the party who receives a proportionate share or commonly called by paripassu. Therefore, the main problem of this thesis is about the liability of the validity of the Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building which was made without completing the requirements given by Article 43 of the Indonesian
Condominium Law. Besides, about the settlement of the seller’s bankruptcy which mainly concerning about their responsibility to their concurrent creditor. This research uses normative judicial research, prescriptive research typology, secondary data consisting of primary, secondary and tertiary legal materials, data collection by documents and interview, qualitative analysis method and the result of this research by prescriptive analytical. The Sale and Purchase Binding Agreement on Land and Building that does not meet the requirements of Article 43 of the Indonesian Condominium Law is invalid. In case of the parties insist to fulfill it, it will consider as a binding agreement. Meanwhile, the responsibility of the seller who declared bankruptcy is regulated in the Indonesian Bankruptcy Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Shevania Therina Paenden
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu tindakan hukum yang memberikan hak kepada debitor yang menghadapi kesulitan dalam membayar utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk mengajukan rencana perdamaian. Rencana tersebut memungkinkan debitor untuk melakukan restrukturisasi utangnya. Awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK & PKPU), tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan PKPU. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran dalam aturan terkait upaya hukum terhadap putusan PKPU. Semula tidak diizinkannya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU, namun kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 mengubah hal tersebut. Putusan ini memungkinkan pengajuan upaya hukum kasasi terbatas terhadap putusan PKPU. Adapun perubahan ini berlaku ke depan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif), hal ini bertujuan untuk menghindari ketidakpastian hukum yang dapat timbul jika putusan tersebut diterapkan secara retroaktif. Lebih lanjut, meskipun Putusan MK No. 23/PUU-XIX/2021 memberikan izin untuk kasasi terbatas, namun belum ada regulasi yang secara khusus mengatur prosedur dan proses pengajuan kasasi terhadap permohonan PKPU. Hingga saat ini, pelaksanaan kasasi terhadap putusan PKPU juga belum diatur secara spesifik atau khusus oleh UUK & PKPU. Oleh karena itu, peraturan mengenai kedudukan hukum kreditor di luar perkara dalam mengajukan kasasi terhadap putusan PKPU juga masih berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan pengajuan kasasi atas putusan pailit.

Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU)is alegal action that gives debtors who are facing difficulties in paying debts that are due and collectible the right to submit a peace plan. This plan allows debtors to restructure their debts. Initially, according to Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU (UUK & PKPU), no legal action could be filed against PKPU decisions. However, over time, there has been a shift in the rules regarding legal action against PKPU decisions. Initially no legal action was permitted against the PKPU decision, but then the Constitutional Court Decision Number 23/PUU-XIX/2021 changed this. This decision allows the filing of limited cassation efforts against PKPU decisions. This change applies in the future (prospective) and does not apply retroactively, this aims to avoid legal uncertainty that could arise if the decision is applied retroactively. Furthermore, even though MK Decision no. 23/PUU-XIX/2021 provides permission for limited cassation, but there are no regulations that specifically regulate the procedure and process for submitting cassation against PKPU applications. Until now, the implementation of cassation against PKPU rulings has also not been specifically regulated or specifically by UUK & PKPU. Therefore, the regulation regarding the legal position of creditors outside the case in filing cassation against the PKPU decision also still applies mutatis mutandis to the provisions for filing cassation for bankruptcy decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Jamila Satria
"Skripsi ini membahas hasil penelitian atas penerapan tag-along rights dan drag-along rights kepada para pemegang saham perusahaan ditinjau dari hukum perseroan terbatas di Indonesia dan membandingkannya dengan penerapan di yurisdiksi Inggris dan Amerika Serikat. Analisis yang mendalam pada penerapan di Indonesia dilakukan oleh PT. A yang menempatkan klausul drag-along rights dan tag-along rights mulai dari rencana perdamaian dan kemudian berhasil ditempatkan dalam Anggaran Dasar perusahaan, setelah PT. A dinyatakan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPU). Penelitian pada skripsi ini menunjukkan bahwa para pemegang saham, sebagai pemilik hak atas saham di perusahaan, memiliki hak dan kewajiban yang dapat dan harus diterapkan. Hak pemegang saham yang dibahas secara mendalam pada skripsi ini, yang dimiliki oleh pemegang saham guna melindungi mereka dalam pengalihan saham yaitu merupakan tag-along rights dan drag-along rights. Ditemukan bahwa penerapan drag-along rights di Inggris telah diuji dengan banyak kasus yang telah ditetapkan oleh pengadilan diantaranya pada kasus, yang terkenal yaitu Kasus Arbuthnott v Bonnyman and others. Kasus lain yaitu pada negara bagian Delaware, Amerika Serikat, adalah Kasus Manti v. Authentix. Keputusan pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat pada kedua kasus tersebut, menolak permohonan pemegang saham minoritas untuk membatalkan drag-along rights karena persyaratan-persyaratan untuk sahnya pembuatan perjanjian pemegang saham atau anggaran dasar yang memuat drag-along rights telah terpenuhi menurut hakim. Penerapan drag-along rights dan tag-along rights akan banyak dibutuhkan dan telah dilakukan di Indonesia pada perusahaan-perusahaan rintisan, modal ventura, joint venture, dan lain-lain. Untuk itu, peraturan perundangan dan pedoman dasar di Indonesia menjadi penting diatur, maupun sebab-akibat digunakannya, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.

This thesis discusses the results of research on the implementation of tag-along rights and drag-along rights to shareholders in the company in the context of limited liability company law in Indonesia and, then also, compares them with the implementation in the jurisdictions of the United Kingdom and the United States. An in-depth analysis of the implementation in Indonesia was carried out as to PT A which put drag-along rights and tag-along rights clauses first in the reconciliation plan and, then articles of association after PT. A was declared in Temporary Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU). Research in this thesis show that the shareholders who own rights based on their shares in the company, has a regulatory and proprietary rights to be implemented. The rights deeply discussed in this thesis in relation to transfer of shares or in case of acquisition are tag-along and drag-along rights. It was found that the application of drag-along rights in the UK has been trialed with many cases that have been affirmed by the court, including on the famous case of Arbuthnott v Bonnyman and others. Another case that became a milestone in Delaware, United States, was the Manti v. Authentix case. The court decisions, in the UK and the United States in both cases were the same, rejected the petition of minority shareholders to rectificate drag-along rights of the major shareholders for the reasons that the requirements for the validity of making the shareholders agreement and/or articles of association in which the drag-along rights hold had been fulfilled. The implementation of drag-along and tag-along rights will be much needed and has been carried out in Indonesia for start-up companies, venture capital, joint ventures, etc. For this reason, it is important to regulate the laws and regulations to serve as the basis and guidelines for the rights in Indonesia, as well as the cause and effect of its use so as to provide legal certainty for the parties and foster a conducive business climate.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library