Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lina Virfa
Abstrak :
Pasien yang menjalani prosedur pembedahan secara elektif dilakukan pembiusan umum dan tindakan intubasi serta menggunakan ventalisi mekanik. Ketika pasien dinilai sudah baik dan mampu dalam bernafas secara spontan, pengunaan ETT harus segera  di lepaskan. Menyegerakan ekstubasi pada pasien dengan pasca pembedahan merupakan hal yang penting dilakukan agar tidak terjadi komplikasi yang cukup besar. Durasi intubasi yang lebih lama  insiden komplikasi akan lebih tinggi, termasuk kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP), dan peningkatan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran indikator  keberhasilan ekstubasi bedasarkan karakteristik fisik dan psikologis pada pasien post operasi di ruang perawatan intensif. Penelitain ini menggunakan desain deskriptif murni dengan pendekatan retospektif melalui data sekunder pada 96 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratifed random sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar cheklist penilaian ekstubasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa 100% pasien post operasi dilakukan ekstubasi dengan status kesadaran compos mentis atau nilai GCS > 10, hemodinamik stabil dengan nilai mean teakanan darah sistolik 120,7mmhg, nilai AGD denagn nilai mean PO2 120, PCo2 39.99 dan SaO2 98.36%, memiliki nilai hemtokrit normal denagn nilai mean Hct 38,98%, telah dilakukan spontaneous breathing trial dan kooperatif. 96% pasien memiliki refleks batuk yang kuat sebelum dialakukan ekstubasi.

Kata kunci : Ekstubasi, pasca pembedahan, penilaian ekstubasi ......Patients undergoing elective surgical procedures are subjected to general anesthesia and intubation procedures and use mechanical ventalization. When the patient is judged to be good and able to breathe spontaneously, the use of ETT must be released immediately. Moving extubation in patients with post-surgery is important to do so that there are no major complications.  A longer incidence of intubation will be higher, including the incidence of ventilator-related pneumonia (VAP), and increased mortality.   This study aims to determine the description of indicators of extubation success based on physical and psychological characteristics in postoperative patients in intensive care rooms.  This research used a purely descriptive design with a retospective approach through secondary data on 96 respondents. Sampling was carried out using a stratifed random sampling technique. The instrument used is an extubation assessment cheklist sheet. The results of the study found that 100% of postoperative patients were extubated with compos mentis awareness status or GCS value > 10, stable hemodynamics with a mean value of systolic blood teakanan 120.7mmhg, AGD  value with mean PO2 value 120, PCo2 39.99 and SaO2 98.36%, had a normal hemtokrit value with a mean Hct value of 38.98%, spontaneous breathing trial and cooperative. 96% of patients have a strong cough reflex before  he performed extubation.

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didan Tarmansyah
Abstrak :
ABSTRAK
Nyeri pasca pembedahan masih menjadi masalah utama diseluruh dunia, nyeri ini menimbulkan ketidaknyamanan pasien, memperlambat penyembuhan, memperpanjang waktu perawatan dan menimbulkan komplikasi lainnya. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang nyeri dan penatalaksanaanya terhadap sikap perawat dalam menurunkan nyeri pada pasien pasca pembedahan di ruang perawatan RSUP Perasahabatan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Korelatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil 102 orang dengan Simple Random Sampling. Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis Spearman. Hasil penelitian ini Terdapat Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Nyeri dan Penatalaksanaaanya terhadap Sikap Perawat dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Pasca Pembedahan di RSUP Persahabatan Jakarta dengan nilai P=0,003 ?=0,05 . Disarankan perawat untuk tetap meningkatkan pengetahuan dan sikapnya dalam penatalaksanaan nyeri pada pasien pasca pembedahan sehingga dapat menjaga kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit.
ABSTRACT
Pain post operative is still recognized as a main problem in the world. The pain generally leads to a state of discomfort feeling, delay healing, prolonge length of stay. This study examined the correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan. The design of this study using correlational descriptive with cross sectional approach. This participants of this study consisted of 102 nurses with simple random sampling method. The result of Spearman analysis indicates that there is a correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan Jakarta, with p value 0,003 0,05 . Recomendation for nurses is to keep improving knowledge and atttude regarding pain and its management towards patients post operative in order to improve the quality of health care service in hospital.
2017
S68861
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Iwan Guntoro
Abstrak :
Pembedahan di daerah toraks dan abdomen sering menimbulkan komplikasi pascabedah terutama mempengaruhi sistem pernapasan yang mempunyai risiko besar terjadi penyulit pascabedah. Kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran yang meliputi kemajuan teknik pembedahan, obat-obatan dan cara anestesi memungkinkan untuk melakukan tindakan bedah pada kasus-kasus dengan kelainan kardiopulmoner yang sebelumnya tidak dapat dioperasi sehingga konsekuensinya angka morbiditi dan mortaliti pascabedah dapat meningkat. Untuk mengurangi kekerapan komplikasi pare pascabedah dan menurunkan morbiditi dan morta.liti serta masa penyembuhan yang lebih cepat maka diperlukan persiapan prabedah yang baik. Persiapan prabedah ini diperlukan untuk dapat : 1. Mengidentif kasi faktor risiko yang berhubungan dengan penderita dan operasinya. 2. Memisahkan penderita termasuk dalam kelompok risiko rendah atau tinggi. Pilihan jenis pembedahan misalnya segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi dan lain-lain didasarkan pada ukuran lesi, letak lesi, faal pant dan penyakit yang mendasari tetapi penentuan terakhir dilakukan pada saat pembedahan. Pemeriksaan faal paru selain berguna untuk pemeriksaan penunjang diagnostik penyakit part juga untuk menilai perkembangan perjalanan penyakit paru tertentu, efek pemberian pengobatan, deteksi dini penyakit paru tertentu, menilai prognosis penyakit dan mengetahui toleransi operasi. Pemeriksaan ini dapat memperoleh prediksi faal pant penderita pascabedah paru serta risiko selama dan sesudah pembedahan sehingga dapat diambil tindakan penanggulangan menjelang pembedahan. Salah sate cara untuk mengetahui faal part adalah pemeriksaan dengan menggunakan spirometri. Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan faal paru sederhana yang paling sering dilakukan karena murah, praktis dan mudah digunakan tetapi cukup memberi informasi yang diperlukan. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mendeteksi pengaruh berbagai faktor risiko yang hares diperhatikan sebelum dilakukan bedah toraks terhadap faal paru penderita setelah pelaksanaan bedah toraks. Peneliti ingin melihat apakah faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi faal paru penderita pascabedah toraks. Penelitian serupa belum pernah dilaksanakan.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam. Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama. Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik. Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
ABSTRACT Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours. Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour. Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant. Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Eprina Nadeak
Abstrak :
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan tindakan revaskularisasi pada pembuluh darah koroner yang tersumbat, operasi mayor, pemulihan yang lebih lama dan resiko komplikasi tinggi. Prevalensi kualitas tidur buruk cukup tinggi pada pasien paska operasi CABG. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien paska operasi CABG. Metode penelitian ini menggunakan cross sectional, consecutive sampling dengan jumlah 100 responden. Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), International Physical Activity Questionnaire (IPAQ), dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kualitas tidur buruk (51%) cukup tinggi dibandingkan kualitas tidur baik (49%). Fraksi ejeksi (p 0,031; OR 4,718) dan usia (p 0,039; OR 3,309)) memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur paska operasi CABG pada hasil analisis bivariat. Hasil regresi logistik: fraksi ejeksi, usia, beta bloker dan diabetes melitus memiliki hubungan dengan kualitas tidur paska operasi CABG, fraksi ejeksi (p 0,017 OR 5,520) sebagai prediktor kualitas tidur. Implikasi: perawat sebaiknya melakukan pengkajian dan indentifikasi kualitas tidur dengan memperhatikan variabel tersebut, sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan kualitas tidur pasien paska operasi CABG. ......Coronary Artery Bypass Graft (CABG) is a revascularization procedure for coronary artery occlusion, major surgery, longer recovery time and high risk of complication. Prevalence of poor sleep quality is quite high in patient post-CABG surgery. This study aims to identify factors associated with sleep quality in patient post-CABG surgery. This research method used cross sectional, consecutive sampling with 100 respondents. The questionnaires used ini this study were Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), International Physical Activity Questionnaire (IPAQ), dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS). The results showed that the prevalence of poor sleep quality (51%) was quite high compared to good sleep quality (49%). Ejection fraction (p 0,031 OR 4,718) and age (p 0,039; OR 3,309) and had a significant relationship with post-CABG sleep quality on the results of bivariate analysis. Results of logistic regression: ejection fraction, age, beta blockers and diabetes mellitus had a relationship with post-CABG sleep quality, ejection fraction (p 0,017; OR 5,520) was a dominant factor of sleep quality. Implication: nurses should conduct assessment and identification of sleep quality and be considered of those variables, so that nurse can determine the appropriate intervention to improve sleep quality in patient post-CABG surgery.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Ristiyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Fistel enterokutan (FEK) mengakibatkan sepsis, malnutrisi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Tujuan penelitian ini supaya diketahuinya faktor risiko yang mempengaruhi penyembuhan FEK. Penelitian ini dirancang secara potong lhe purpose of this study be discovered the risk factors that affect ECF healing. The study was designed as a cross-sectional retrospective analytic, by recording medical records for the period January 2007 - December 2011 at Cipto Mangunkusumo Public Hospital. Obtained 69 cases, the appropriate inclusion criteria 57 cases, aged 17-76 years, the highest in the group 31-45 years, male 37 cases, 54 cases of post-operative, 3 cases of spontaneous. Factors that affect healing is albumin levels> 3.0 mg / dl 3.8 times, low output fistula 2.9 times, colon fistula site 2.9 times, Subjective Global Assessment A and B 1.6 times. Factors that affect healing is good nutrition, low output fistula, colon fistula site.intang retrospektif analitik, dengan mencatat rekam medis penderita pada periode Januari 2007 - Desember 2011 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 69 kasus, yang sesuai kriteria inklusi 57 kasus, usia 17–76 tahun, terbanyak pada kelompok 31–45 tahun, laki-laki 37 kasus, 54 kasus pasca operatif, 3 kasus spontan. Faktor yang memengaruhi penyembuhan adalah kadar albumin >3,0 mg/dl 3,8 kali, fistel low output 2,9 kali, lokasi fistel kolon 2,9 kali, Subjective Global Assessment A dan B 1,6 kali. Faktor yang memengaruhi penyembuhan adalah nutrisi baik, fistel low output, lokasi fistel kolon.
ABSTRACT
Enterocutaneous fistula (ECF) resulting in sepsis, malnutrition, fluid and electrolyte imbalance. The purpose of this study be discovered the risk factors that affect ECF healing. The study was designed as a cross-sectional retrospective analytic, by recording medical records for the period January 2007 - December 2011 at Cipto Mangunkusumo Public Hospital. Obtained 69 cases, the appropriate inclusion criteria 57 cases, aged 17-76 years, the highest in the group 31-45 years, male 37 cases, 54 cases of post-operative, 3 cases of spontaneous. Factors that affect healing is albumin levels> 3.0 mg / dl 3.8 times, low output fistula 2.9 times, colon fistula site 2.9 times, Subjective Global Assessment A and B 1.6 times. Factors that affect healing is good nutrition, low output fistula, colon fistula site.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Riandhika
Abstrak :
Salah satu upaya pencegahan komplikasi pasien post operasi adalah mobilisasi dini paska operasi. Perawat berperan penting menilai kemampuan mobilisasi tersebut. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien fraktur ekstremitas bawah post operasi ditujukan agar penilaian mobilisasi dapat komprehensif. Studi literatur terhadap penelitian-penelitian dengan topik tersebut bersumber dari platform publikasi internet dengan mencari berdasarkan kata kunci dan menentukan kriteria kelayakan berdasarkan populasi, intervensi, komparasi, dan outcomes. Sebanyak 11 artikel diperoleh dan dilakukan asesmen kualitas untuk melihat risiko bias hasil penelitian. Hasil studi mengidentifikasi 9 faktor internal dan 6 faktor eksternal yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi dini pasien diharapkan dapat meningkatkan edukasi pasien selama fase perioperatif. ......One of the efforts to prevent complications in postoperative patients is early mobilization after surgery. The nurse have an important role in assessing the ability of this mobilization. Identifying the factors that influence early mobilization of postoperative lower limb fracture patients is intended for a comprehensive assessment of mobilization. Literature studies on research on these topics are sourced from internet publication platforms by searching based on keywords and determining eligibility criteria based on population, intervention, comparison, and outcomes. A total of 11 articles were obtained and quality assessment was carried out to see the risk of bias in the study results. The results of the study identified 9 internal and 6 external factors that influence the early mobilization of patients. Knowledge of the factors that influence early mobilization of patients is expected to improve patient education during the perioperative phase.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Maya Suryana
Abstrak :
Latar Belakang: Reperfusi koroner sangat penting untuk menyelamatkan miokardium yang mengalami iskemia namun tindakan ini ternyata juga dapat mengakibatkan cedera miokardium yang dikenal sebagai jejas reperfusi Manifestasi klinisnya berupa komplikasi pasca BPAK diantaranya aritmia penurunan curah jantung dan perioperatif infark miokard Stres oksidatif merupakan salah satu inisiator utama kejadian jejas reperfusi Allopurinol sebagai inhibitor efektif enzim xantin oksidase dapat menurunkan stres oksidatif dengan menghambat pembentukan reactive oxygen species Sehingga diharapkan pemberian allopurinol pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri yang akan menjalani BPAK dapat menurunkan kejadian komplikasi pasca operasi Tujuan: Mengetahui efek allopurinol terhadap komplikasi pasca operasi BPAK low cardiac output syndrome yang dinilai dengan penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi kematian dalam masa rawat perioperatif infark miokard dan aritmia pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri Metode: Penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda 34 subjek dipilih secara konsekutif pada September November 2015 Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu 16 orang mendapat allopurinol 600mg dan 18 orang mendapat plasebo Obat per oral diberikan 1 hari sebelum dan 6 jam sebelum operasi Pengamatan kejadian komplikasi pasca operasi dimulai sejak pelepasan klem silang aorta hingga pasien selesai perawatan Hasil: Penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok p 0 047 Ini berarti penggunaan allopurinol berpotensi mengurangi penggunaan inotropik dan IABP pasca operasi BPAK Proporsi kematian dalam masa rawat pasca operasi BPAK pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu 6 25 vs 5 6 p 1 000 Sedangkan untuk kejadian aritmia pada kedua kelompok terdapat perbedaan bermakna dengan total proporsi 31 vs 66 p 0 039 dengan jumlah aritmia terbanyak pada kedua kelompok adalah fibrilasi atrium Kejadian perioperatif infark miokard tidak didapatkan pada penelitian ini sehingga efek pemberian allopurinol terhadap kejadian tersebut tidak dapat dinilai Kesimpulan: Pemberian allopurinol sebelum operasi pada pasien PJK dengan disfungsi ventrikel kiri berpotensi menurunkan kejadian low cardiac output syndrome LCOS yang terlihat dari rendahnya penggunaan obat inotropik dan IABP pasca operasi dan menurunkan kejadian aritmia pasca operasi BPAK ......Background: Reperfusion of coronary blood flow is important to resuscitate the ischemic or hypoxic myocardium However the return of blood flow to the ischemic area can result paradoxical cardiomyocyte dysfunction this is referred to as ldquo reperfusion injury rdquo Clinical manifestations of reperfusion injury post CABG surgery are arrhythmias decrease cardiac output and perioperative myocardial infarct Oxidative stress has been confirmed as one of the main initiator in myocardial injury at ischemic and reperfusion state Allopurinol as an effective inhibitor of xanthine oxidase XO can reduce the oxidative stress by blocking the formation of reactive oxygen species ROS Pre operative allopurinol on CAD's patient with LV dysfunction is expected reduce the complications of post CABG surgery Objective: To analyze effects of pre operative administration of allopurinol on complications of post CABG surgery low cardiac output syndrome which is measured by the use of post surgery inotropic and IABP hospital mortality perioperative myocardial infarction and arrhythmias in CAD's patient with LV dysfunction Methods: This study is a double randomized clinical trial 34 CAD's patients with LV dysfunction were randomly selected by consecutive sampling methods from September November 2015 They were divided into two groups Sixteen patients were given 600 mg dose of allopurinol per oral one day before and 6 hours before surgery and the rest received placebo Complications of post CABG surgery were observed since the aortic cross clamp off until discharged Results: The use of post surgery inotropic and IABP found significantly lower in allopurinol group p 0 047 There was no significant difference in proportion of death in post operative hospitalization period in both groups 6 25 vs 5 6 p 1 000 While for the incidence of arrhythmias was found significantly different in the two groups 31 vs 66 p 0 039 with atrial fibrillation as the most common arrhythmia No perioperative myocardial infarction was found in this study therefore effects of allopurinol to the event is unknown Conclusions: Pre operative administration of allopurinol may reduce the complications of post CABG especially the use of inotropic and IABP and occurrence of arrhythmias
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
E S Zul Febrianti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Keberhasilan operasi TF usia terlambat memiliki kegagalan karena risiko sindrom curah jantung rendah akibat disfungsi ventrikel sebelumnya. Tujuan: mengetahui efek disfungsi ventrikel hasil kateterisasi terhadap luaran jangka pendek sindrom curah jantung rendah dan mortalitas pascakoreksi TF. Metode: penelitian kohort retrospektif data rekam medis. Pasien TF pascakateterisasi diagnostik periode 1 Januari 2015-31 Desember 2016, diikuti dan dievaluasi luaran pascaopersinya berupa mortalitas, sindrom curah jantung rendah dan sindrom respon inflamasi sistemik SRIS . Hasil: terdapat 186 pasien kateterisasi, memiliki 114 data hemodinamik lengkap, 92 menjadi subjek penelitian. Rentang usia 6 bulan-23 tahun 6 bulan, laki-laki lebih banyak daripada perempuan 49 53,3 banding 43 46,7 . Status gizi kurang 64 69,9 , abses serebri 6 6,5 , riwayat spell 64 69,6 , mengalami hemokonsentrasi 56 60,9 , tekanan akhir diastolik ventrikel kanan TDAVKa >12 mmHg 44 47,8 dan ventrikel kiri TDAVKi >12 mmHg 46 50 . Karakteristik pascabedah adalah SRIS 42 45,7 , mortalitas 16 17,4 dan sindrom curah jantung rendah 64 69,6 . Analisis bivariat terhadap mortalitas bermakna untuk saturasi udara ruangan [OR 0,94 IK 0,88-1,003; p=0,037 ], bermakna terhadap sindrom curah jantung rendah adalah peningkatan TDAVKa p=0,017 dan TDAVKi p=0,024 , spell berulang p=0,03 dan SRIS p
ABSTRACT
Background successful TF correction at late age has failure because low cardiac output syndrome risk due to known ventricular dysfunction before. Objective to determine the effect of ventricular dysfunction catheterization measurement on short term outcome, comprises of low cardiac output syndrome LCOS and mortality. Methods a retrospective cohort study of medical record. TF child performed diagnostic catheterization from 1 January 2015 31 December 2016, followed and evaluated surgery outcome. Results 186 TF catheterization patients that period, with 114 had complete hemodynamic data, only 92 as research subjects. The age range was 6 months 23 years 6 months, boys were more than girls 58 55.2 vs 46 43.8 . Undernourish was 64 69.9 , 6 6.5 cerebral abscesses, 64 69.6 had spell history, hemoconcentration 56 60.9 , right ventricular end diastolic pressure RVEDP 12 mmHg 44 47.8 and left ventricular end diastolic pressure LVEDP 12 mmHg 46 50 . Outcome for SIRS 42 45.7 , mortality 16 17.4 and LCOS 64 69.6 . Bivariate analysis of predictor variables on mortality was significant for room air saturation, OR 0.94 IK 0.88 1.003, p 0.037 , significant for LCOS was elevated RVEDP variable p 0,017 and LVEDP p 0,024 , recurrent spell p 0,03 and SIRS p
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mumpuni
Abstrak :
Penanganan nyeri pada pasien yang dilakukan oleh profesi perawat lebih banyak mengacu pada pendekatan terapi medis dan farmakologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh therapeutic touch terhadap nyeri pasien pasca operasi. Penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimental yang dilakukan pada 60 orang responden, terdiri dari 30 orang kelompok intervensi dengan therapeutic touch dan 30 orang kelompok kontrol dengan teknik napas dalam. Penelitian berlangsung di ruang rawat bedah pasien dewasa RSUD Pasar Rebo. Data dikumpulkan dari bulan April hingga Oktober 2012. Hasil penelitian dengan uji Wilcoxon Signed Ranks menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara skala nyeri sebelum dan sesudah tindakan baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (nilai p = 0,000). Hasil uji Mann-Whitney pun memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada penurunan skala nyeri antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (nilai p = 0,000). ...... Pain management for patients by nurses refers to medical therapy and pharmacological approaches. This study aimed to determine the effect of therapeutic touch on post-operative pain. This study used a quasi-experimental design conducted on 60 respondents, comprised 30 person for intervention group (therapeutic touch) and 30 person for control group (deep-breaths technique). The study conducted in the surgical ward for adult patients at Pasar Rebo Hospital Jakarta. Data collected from April until October 2012. The result of Wilcoxon Signed Ranks test showed a significant difference between the pain scale before and after treatment either the intervention group or the control group (p value = 0.000). The Mann-Whitney test's result also showed a significant difference in pain reduction between the scale of the intervention group with the control group (p value = 0.000).
Jakarta: Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta I, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>