Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mahmutarom HR.
Abstrak :
Negara Indonesia sampai saat ini masih tergolong sebagai negara berkembang, suatu istilah untuk menyebut negara yang belum maju. Oleh sebab itu, pembangunan di segala bidang masih terus dilakukan sampai sekarang. Masa pembangunan itu sendiri identik dengan masa perubahan ke tingkat yang lebih tinggi, yang meliputi bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Sedangkan dalam mewujudkan pembangunan itu sendiri tidak dapat lepas dari sumber dana untuk pembiayaannya. Pada masa yang lalu, sumber keuangan negara tersebut dapat tercukupi dengan mengandalkan sumber dana dari sektor minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun 1985-1986, sumber devisa negara dari sektor minyak dan gas bumi masih berkisar pada angka kurang lebih 70%. Akan tetapi, keadaan dunia internasional pada waktu itu tidak begitu menguntungkan perekonomian Indonesia yang masih sangat tergantung dari sektor minyak dan gas bumi tersebut. Hal ini disebabkan beberapa penghasil minyak dan gas bumi di Timur Tengah terlibat dalam peperangan, sehingga banyak membutuhkan biaya untuk keperluan angkatan perangnya. Cara termudah adalah dengan memompa minyak sebanyak-banyaknya, sehingga persediaan minyak di pasaran dunia menjadi melimpah. Persediaan minyak yang membawa dampak merosotnya harga minyak secara tajam, bahkan mencapai tingkat yang serendah-rendahnya , yaitu US $8 per barel dari harga patokan US$18 per barel.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hardika Aji Drajatsatria
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan hukuman mati di Indonesia ditinjau dari aspek politik hukum pidana. Permasalahan yang diangkat ialah pertama, apa dasar politik hukum pidana oleh para pembuat kebijakan memasukan hukuman mati dalam jenis hukuman pidana. Kedua, jenis tindak pidana apa saja yang dapat diancamkan dengan hukuman mati ditinjau dari frasa kejahatan paling serius, dimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) dasar politik hukum pidana diaturnya hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah berdasarkan tujuan pemidanaan baik tujuan pembalasan ataupun pemidaan sebagai sebuah tujuan. (2) jenis tindak pidana yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan paling serius didasarkan oleh instrument hukum internasional yang terkait dan dibandingkan dengan kejahatan yang di Indonesia dianncamkan dengan hukuman mati. ...... This main of this study is the arrangements about the death penalty in Indonesian in terms of aspect criminal legal policy. The problem is, first, what political policy makers criminal legal policy include the death penalty as a criminal punishment. Second, what are types of crime that can be threatened with the death penalty in terms of the most serious crime. This research is a normative juridical research, which some of the data are based on the related literatures. The results of this study stated that, (1) criminal legal policy in the regulation of the death penalty in Indonesia regulatory purpose of retribution and utilitarian theory. (2) Types of offenses classified as the most serious crime to compare International human right instrument with Indonesian law regulation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, Kevin Bryan Simon
Abstrak :
Penelitian ini membedah tentang sewa pacar, dengan memulai dari sejarah dan perkembangan konsep dari pacaran sebagai objek yang disewakan dalam sewa pacar, lalu melanjutkan pada praktik sewa pacar itu sendiri dengan menggunakan ilmu kriminologi sebagai pisau bedahnya, kemudian melihat hasil dari pembedahan tersebut dengan menggunakan lensa politik hukum pidana dan lensa hukum pidana, juga menyarankan metode yang tepat untuk menanggulangi sewa pacar. Penelitian ini menggunakan gabungan dari metode penelitian non-doktrinal dan metode penelitian doktrinal. Sewa pacar dalam pembedahan secara kriminologis menghasilkan bahwa sewa pacar adalah kriminogen atau sesuatu yang menciptakan adanya tindak-tindak pidana dan menempatkan pemberi jasa sewa pacar sebagai pihak yang rentan terhadap kejahatan. Dalam pandangan lensa politik hukum pidana, sewa pacar telah bertentangan dengan tujuan dari politik hukum pidana yang selaras dengan tujuan dari keseluruhan politik kriminal Indonesia. Keseluruhan politik kriminal Indonesia atau disebut juga social defence planning merupakan bagian yang terintegrasi dengan politik sosial negara Indonesia. Politik sosial negara Indonesia diatur dalam Rencana Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), sehingga tujuan dari politik kriminal ini juga selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang memperhatikan semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sewa pacar menjadi bertentangan dengan politik hukum pidana karena keberadaan dari sewa pacar mengancam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangan lensa hukum pidana, sewa pacar secara kualifikasi bukan merupakan tindak pidana, oleh sebab tidak adanya delik yang secara khusus mengatur tentang sewa pacar. Akan tetapi secara konseptual, unsur-unsur yang terkandung dalam sewa pacar seperti: menawarkan, menyepakati dan memberikan jasa seksual, itu ada diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama dan baru maupun peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP, khususnya delik yang berhubungan dengan bidang kesusilaan masyarakat. Proses untuk menghubungkan antara sewa pacar dan tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum, yaitu penafsiran hukum. ......This research dissects the phenomenon of renting a boyfriend/girlfriend starting from the history and development of the concept of dating as an object that is being rented out in said phenomenon, then continuing to the practice of renting a boyfriend/girlfriend itself using criminology as a scalpel to further looking at the results through the lenses of criminal law and political criminal law while also suggest appropriate methods for dealing with boyfriend/girlfriend rent. This research uses a combination of doctrinal and non-doctrinal research methods. Renting a boyfriend/girlfriend  analysed through criminological perspective resulting in it being a criminogen, something that concoct criminal acts and subjecting the perpetrator of renting a boyfriend/girlfriend  as a party vulnerable to crime. From the perspective of political criminal law, renting a boyfriend/girlfriend is contrary to the objectives of criminal legal politics which are in line with the objectives of the entire Indonesian criminal politics. The entire Indonesian criminal politics or also known as “social defence planning” is an integrated part of the social politics of the Indonesian state. The social politics of the Indonesian state are regulated in the National Development Plan (Law Number 25 of 2004 concerning the National Development Planning System), so that the goals of criminal politics are also in line with national development goals which pay attention to all areas of the life of the Indonesian nation. Renting a girlfriend is in conflict with criminal law politics because the existence of renting a boyfriend/girlfriend threatens the areas of life of the Indonesian. From a criminal law perspective, renting a boyfriend/girlfriend is not a criminal offence because there are no offences specifically regulating renting a boyfriend/girlfriend. However, conceptually, the elements contained in renting a boyfriend/girlfriend, such as: offering, agreeing to and providing sexual services, are regulated by the old and new Criminal Code (KUHP) as well as other laws and regulations outside the Criminal Code, in particular offences related to the field of public morality. The process of connecting between renting a girlfriend and criminal acts in criminal law is carried out using the legal discovery method, namely legal interpretation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Justitia Avila Veda
Abstrak :
[ABSTRAK Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa "Raja" dan "Ratu" menjadi "Presiden" dan "Wakil Presiden". Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto, ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di beberapa negara lain.
ABSTRACT ;Defamation towards President and Vice President of Republic of Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those articles were maintained after getting through a conformation?replacement of ?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime, neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it, Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions supported with studies on historical documents regarding defamation towards the head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries., Defamation towards President and Vice President of Republic of Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those articles were maintained after getting through a conformation?replacement of ?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime, neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it, Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions supported with studies on historical documents regarding defamation towards the head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries.]
2015
S60722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library