Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Penniman, Howard R.
New Jersey: D. Van Nostrand, 1962
320.973 PEN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Abrori
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada peran jawara di Banten sebagai elemen sosial yang nampak mempunyai pengaruh kuat di Banten dan seringkali mengambil sikap yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai Banten dan Jawara, seperti Kartodirdjo (1984), Hamid (1987), dan Tihami (1992) memperlihatkan bahwa jawara memang sudah lama menjadi elemen sosial yang berpengaruh karena tidak sedikit diantara mereka yang menjadi pemimpin masyarakat untuk bidang ekonomi, bidang politik (birokrasi) atau bidang agama. Sebagai pemimpin masyarakat atau elit sosial, jawara juga mendapat dukungan anak buah jawara yang hampir tersebar di seluruh wilayah Banten. Keberadaannya sebagai elit sosial yang berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, memperlihatkan bahwa jawara adalah orang-orang yang ikut serta berpartisipasi politik. Dalam hal ini, akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di Banten. Kemudian dipilihlah sebuah organisasi jawara yang bemama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang sekretariat pusatnya terdapat di Serang. Dipilihnya organisasi tersebut mengingat para jawara yang akan dijadikan informan sesuai dengan konsep yang telah dibuat, tidak menetap pada suatu desa tertentu tetapi menyebar di beberapa desa atau kecamatan. Selain itu, Serang merupakan lbukota Propinsi Banten dimana suhu politik cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa daerah lain. Pada kasus jawara, perilaku politik mereka difokuskan pada budaya politik (pengetahuan, keyakinan dan sistem nilai yang mereka anut) dan kepemimpinan jawara. Untuk meneliti budaya politiknya, digunakan teori yang dibuat oleh Almond dan Verba. Untuk meneliti tentang kepemimpinannya, digunakan penjelasan kekuasaan oleh Weber, Parsons, Lasswell dan Mills. Dari hasil kajian beradasarkan data yang diperoleh, pola perilaku politik jawara termasuk kepada pola perilaku pragmatic. Perilaku inilah yang mendorong para jawara untuk cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka bahwa pemimpin (termasuk pemimpin pemerintahan eksekutif dan legislatif) itu harus dihormati. Mereka yakin pemimpin tersebut sah secara hukum karena terpilih melalui pemilihan umum. Cara ini dipercaya oleh mereka sebagai bentuk demokrasi. Namun, alih-alih berjuang untuk negara dengan doktrin "bela diri bela bangsa bela negara", perilaku politik mereka tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Ini terlihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jihad untuk mengejar kepentingan materi'. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenarnya adalah kepentingan ekonomi. Untuk kepentingan ekonomi itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal. Karena sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional. Pengejaran nilai eknomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural. Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pala hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai amitma. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis. Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dan mitra-mitranya juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial dimana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya control (pengawasan) terhadap lembaga-lembaga bersebrangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki. Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah terjadinya decivilasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmi Septanti Kurniawati
Abstrak :
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia berdampak pada seluruh aktivitas kehidupan, tidak terkecuali aktivitas politik. Pada masa pandemi Covid-19, Indonesia memiliki agenda politik yaitu pelaksanaan Pilkada 2020 yang awalnya ditetapkan dalam Undang-Undang akan dilaksanakan pada September 2020. Situasi pandemi berdampak pada penyelenggaraan pemilu yang harus disesuaikan agar keselamatan manusia tetap terjaga. Salah satunya berdampak pada regulasi yang mengatur pilkada tahun 2020. Penelitian ini fokus membahas proses politik dalam penetapan jadwal Pilkada 2020 masa Pandemi Covid-19 yang melibatkan berbagai stakeholder, yaitu KPU, Pemerintah, DPR, Satgas Covid-19, dan pegiat masyarakat sipil. Dengan menggunakan metode kualitatif, pengambilan data dikumpulkan secara primer melalui wawancara mendalam, dan data sekunder berupa dokumen yang relevan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori kebijakan publik yang digagas oleh William Dunn. Aplikasi teori kebijakan publik fokus pada dua tahap yaitu agenda setting dan formulasi kebijakan. Penelitian ini menemukan pada tahap agenda setting terdapat isu kesehatan, keberlanjutan kepemimpinan, anggaran, politisasi bantuan sosial dan partisipasi politik yang dimunculkan oleh stakeholders formal dan informal. Pada tahap formulasi kebijakan, Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri merupakan aktor dominan dalam proses penetapan jadwal pelaksanaan Pilkada yang dimundurkan dari 22 September menjadi 9 Desember 2020. Hasil tersebut berimplikasi pada teori Dunn bahwa penetapan jadwal pilkada serentak 2020 pada tahap formulasi kebijakan tidak dilibatkannya stakeholders informal, karena kebijakan penetapan jadwal Pilkada Serentak 2020 hanya melibatkan stakeholder formal. ......The COVID-19 pandemic has hit the world and has had an impact on all activities of life, including political activities. During the COVID-19 pandemic, Indonesia has a political agenda, namely the implementation of Local Elections in 2020 which has been stipulated in the rule of law. However, the COVID-19 pandemic has an impact on political activities that must be adapted to the Covid-19 pandemic situation so that political activities can be carried out properly and human safety is maintained. This study aims to examine the political process of determining the schedule for the Local Election in 2020. This study uses a qualitative approach with a case study method, data collection uses primary data and secondary data, then is analyzed using data reduction, data presentation and conclusion drawing. The theory used in this research is the public policy theory initiated by William Dunn. The application of public policy theory focuses on two stages, namely agenda setting and policy formulation. The results showed that at the agenda setting stage, there were issues of health, leadership sustainability, budget, politicization of social assistance and political participation raised by formal and informal stakeholders. At the policy formulation stage, the Ministry of Home Affairs is the dominant actor who sets the schedule for the implementation of the Local Election on December 9, 2020. These results have implications for Dunn's theory that the determination of the Local Election schedule in 2020 at the policy formulation stage does not involve informal stakeholders, because the policy for setting the Local Election schedule in 2020 only involves formal stakeholders.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandler; Susan M
Abstrak :
Recently, there has been a significant growth in the number of public policy centers on academic campuses across the country, but questions have emerged about how successful the academics, researchers, and professionals in those institutions are influencing public policy and improving policymakers deliberations.
Washington: bimonthly, 2006
150 PPS 37 (2-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
DeLeon, Patrick H
Abstrak :
Psychology's expertise as a behavioral science is essential to effectively address society's most pressing concerns. Advocacy for clients and the public good-and in turn, for the profession of psychology occurs on multiple levels through active participation in local and federal legislatures, agencies
Washington: bimonthly, 2006
150 PPS 37 (2-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irsal Mursalin Dhalu Prasojo
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas perlawanan yang dilakukan dua kelompok pendukung sepakbola di Mesir yaitu Ultras Ahlawy dan Ultras White Knights dalam Revolusi Mesir 2011. Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana transformasi kelompok Ultras yang apolitis menjadi kelompok politis. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kesimpulan skripsi ini adalah kelompok Ultras berhasil melahirkan perlawanan dalam bentuk gerakan sosial baru. Untuk melahirkan gerakan sosial baru ini, kelompok Ultras melakukan proses framing isu sosial, memanfaatkan kesempatan politik, dan menggunakan media sosial.
ABSTRACT
This undergraduate thesis explains about the resistance launched by two groups of football supporters in Egypt, Ultras Ahlawy and Ultras White Knights in Egyptian Revolution 2011. This paper will explain how the two Ultras groups transformed from apolitical groups and become political groups. This undergraduate thesis will use qualitative approach. The conclusion of this paper is the Ultras groups succeded in generating a resistance in the form of new social movement. To generate this new social movement, the Ultras groups framed social issues, took advantage of political opportunity, and used social media.
2015
S60938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neng Endah Fatmawati
Abstrak :
Penelitian ini meneliti tentang strategi gerakan sosial kelompok yellow shirt di Thailand dalam menjatuhkan pemerintahan Yingluck Shinawatra. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif melalui studi literatur. Teori yang digunakan yaitu teori gerakan sosial social movement dari Doug McAdam, Sydney Tarrow, dan Charles Tilly. Mereka menegaskan tiga strategi penting dalam menentukan keberhasilan sebuah gerakan sosial yaitu framing, resource mobilization, dan political process. Kelompok yellow shirt menyusun strategi gerakan sosial untuk menjatuhkan pemerintahan Yingluck Shinawatra yang dianggap melakukan berbagai tindakan kontroversi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa strategi gerakan sosial kelompok yellow shirt di Thailand melalui strategi framing, resource mobilization, dan political process, telah terbukti berhasil menjatuhkan pemerintahan Yingluck Shinawatra. ...... This research examines about social movement strategy of yellow shirt group to overthrow Yingluck Shinawatra government in Thailand. Qualitative method used in this research through study literature. Social movement theory used in this research from Doug McAdam, Sydney Tarrow, and Charles Tilly. They describe three strategies to determine the success of social movement such as framing, resource mobilization, and political process. The yellow shirt group arranged the social movement strategy to overthrow Yingluck Shinawatra government which reputed to carry out controversial acts. The result of this research show that the social movement of yellow shirt group in Thailand through framing, resource mobilization, and political process strategy was succeed to overthrow Yingluck Shinawatra government.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S67408
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Milenia Lembang
Abstrak :
Pada April 2015, Hillary Clinton mengumumkan di YouTube tentang pencalonannya sebagai presiden Amerika Serikat. Pengumumannya disambut oleh berbagai kalangan, bahkan lembaga survei opini publik memprediksikan kemenangan Clinton dalam pemilu 2016. Namun hasil pemilu menunjukkan hal sebaliknya. Banyak faktor yang mengakibatkan kekalahannya, termasuk perubahan dalam politik Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun, politik Amerika Serikat dipenuhi dengan praktik spin yang hanya menguntungkan para elit. Namun belakangan ini, telah terjadi gerakan anti-elit sebagai akibat krisis keuangan tahun 2008 yang menyebabkan para kelas pekerja kehilangan pekerjaan dan rumah mereka. Situasi ini memburuk karena orang-orang melihat Clinton sebagai wajah dari elit global. Selain itu, Clinton telah dihadapi oleh banyak skandal dan isu, terutama terkait peretasan e-mail dan Clinton Foundation. Ditambah, Clinton mempunyai hubungan yang buruk dengan media, yang membuat peliputan mengenai Clinton negatif. Media mempunyai peran dalam membuat citra seorang politikus dan ini sesuai dengan teori agenda-setting yang mengatakan bahwa media dapat membentuk persepsi publik. Riset ini akan meninjau hubungan Hillary Clinton dengan spin-timnya, outlet media nasional Amerika Serikat, dan publik selama masa pemilihan presiden di 2016. Riset ini menemukan bahwa Clinton dan timnya telah menjalin hubungan yang buruk dengan media karena Clinton berlindung dibalik Clintonesque-nya sebagai front-stage performance. Selain itu, riset ini menemukan pentingnya menjalin hubungan dengan media di dalam lingkungan demokrasi liberal. ......In April 2015, Hillary Clinton announced on YouTube about her United States presidential candidacy. Her announcement was widely received, even the public opinion pollster predicted that Clinton was going to win the 2016 election. However, the election results showed the opposite. Many factors contribute towards her loss, which include the changes within the United States politics. Throughout the years, the United States politics had been filled with spin practices who benefit only the elites. However, there has been a movement against the elite in recent years as a result of the 2008 financial crash that caused the working class to lose their jobs and homes. This situation worsened as Clinton has been deemed as the pinnacle of the global elite. Moreover, Clinton was faced with many scandals and issues, in particular regarding the leaked e-mails and Clinton Foundation. In addition to that, Clinton had a rough relationship with the media, and it caused the media to cover negative stories about Clinton. The media has a role in making the image of the politician and this is aligned with the agenda-setting theory that states that the media shapes what the public thinks. This research will observe Hillary Clinton’s relationship with her spin-teams, the United States national media outlets, and the public during the 2016 Presidential election campaign. From the findings, the research has found that Clinton and her spin-teams had run a bad media relation as her front-stage performance would be concealed under her Clintonesque façade. This research has also underlined the importance of media relations in liberal democracy setting.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library