Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syahirul Alim
Abstrak :
NU sebagai salah satu kekuatan sosial-politik di Indonesia memiliki serangkaian pengalaman yang panjang, baik ketika menjadi organisasi sosial keagamaan maupun ketika berubah menjadi organisasi politik. Organisasi yang pernah dicap sebagai "tradisionalis" oleh sementara kalangan ini ternyata mendapat tempat cukup penting dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Paling tidak, berbagai karya ilmiah yang dilakukan untuk mengamati perkembangan sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini menempatkan NU sebagai fenomena menarik ketika dihadapkan dengan proses perubahan sosial di Indonesia. NU tidak lagi menjadi kekuatan sosial-politik yang marjinal terutama setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Bahkan, salah seorang pemimpin utamanya, K.H. Abdurrahman Wahid diakui sebagai salah satu tokoh popular yang disegani semua pihak, sehingga kepiawaiannya dalam membangun NU, berhasil membawanya ke kursi kepresidenan dalam suatu pemilihan umum yang demokratis pada 1999. Perubahan sosial-politik yang terjadi pasca Orde Baru diakui telah berhasil membuka peluang yang cukup besar bagi proses liberalisasi politik, sehingga semua elemen masyarakat yang tersebar dalam berbagai kelompok kepentingan, organisasi politik maupun organisasi sosial mulai melibatkan diri secara aktif kedalam kegiatan politik. Reformasi jelas telah mendorong secara luas peran politik masyarakat yang didentifikasikan melalui fenomena bermunculannya partai politik. (Huntington: 2003). NU sebagai salah satu elemen dari bangsa ini ternyata terdorong untuk kemudian terjun kembali secara aktif kedalam dunia politik, hal ini jelas .dari munculnya beragam partai yang juga berafiliasi kepada NU. Kemunculan beberapa partai politik yang berafiliasi NU juga telah merubah pola perjuangannya selama ini dari gerakan kultural menjadi gerakan struktural. Perubahan strategi perjuangan yang dilakukan NU dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana perubahan sistem politik terjadi pasca Orde Baru semakin membuka peluang kebebasan masyarakat untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Keadaan ini biasanya ditandai oleh peningkatan partisipasi politik dalam masyarakat serta kesediaan individu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sistem politik yang ada (Welch: 1995). NU memang telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat penting, terutama dimulai sejak dekade 80-an, ketika NU dibawah pengaruh kuat KH. Abdurrahman Wahid menjalankan manuver Khittah. Strategi ini diambil NU untuk mengurangi tekanan politik pemerintah Orde Baru yang semakin membesar. Oleh karena itu, Khittah tidak pernah menyurutkan semangat berpolitik NU. Politik NU dilaksanakan melalui strategi kultural yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran politik warganya. Upaya cerdik NU jelas merupakan bagian dari survival NU dalam menghadapi setiap perubahan zaman. Terbukti, NU tetap bertahan sebagai organisasi massa yang sangat besar dan berpengaruh dalam wacana perkembangan sosial politik di Indonesia. Namun, ketika tatanan sosial politik mulai direkonstruksi dan diperbaharui pasca Orde Baru, NU nampaknya mengambil bagian dari proses pembaruan tersebut. Strategi kultural yang selama ini dijalankan mulai mengalami pergeseran ke arah strategi struktural dengan ditandai oleh pembentukan partai politik yang berafiliasi NU sebagai aktualisasi dari peran politik NU selama ini. Kajian mengenai perubahan orientasi NU pasca Orde Baru akan dibahas dengan serangkaian penelitian yang mengungkap fenomena yang menyebabkan mengapa NU melakukan perubahan orientasinya dari gerakan kultural manjadi gerakan politik. Pengungkapan fenomena ini terkait dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan pengalaman pribadi, pengamatan teks sejarah serta melibatkan serangkaian wawancara dengan orang-orang yang terlibat langsung dalam objek kajian yang sedang diteliti. Dari serangkaian penelitian ini, dapat diungkap sebab-sebab mengapa NU melakukan perubahan terhadap strategi perjuangan politiknya: 1. Terpinggirkannya NU oleh sistem politik Orde Baru yang selama hampir 15 tahun NU benar-benar berada dalam kondisi politik yang terjepit. NU misalnya dipaksa untuk berfusi dengan PPP sehingga mengakibatkan aspirasi politik NU yang dititipkan kedalam PPP tidak sepenuhnya terakomodasi 2. Keputusan Khittah yang kontroversial mengakibatkan ketidakjelasan arah politik NU, antara menerima Khittah dan meninggalkan politik praktis, atau menolak dan terus terlibat secara aktif dalam politik. Khittah mengakibatkan kepolitikan NU tidak memiliki pijakan yang pasti karena munculnya tekanan, baik dari kalangan internal maupun eksternal NU 3. Pasca Orde Baru yang ditandai oleh liberalisasi politik, sehingga memungkinkan lahirnya partai politik berjumlah banyak. NU, dalam hal ini tidak rela jika harus kehilangan lebih dari tiga juta suara warganya yang akan menjadi ajang rebutan beragam partai politik. Akibatnya, NU mendirikan partai politik sendiri yang sedianya dapat menampung seluruh aspirasi politik warga NU, yaitu PKB. Bahkan, akibat pluralitas po1itik warga NU, muncul juga beberapa partai yang juga mengidentifikasikan dirinya partai warga NU. (Rincian Isi Tesis: ix, 158 halaman, Bibliografi: 65 buku, 4 jurnal, 9 artikel)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif
Abstrak :
Tesis ini meneliti tentang Radikalisme Islam dengan Studi tentang Gerakan Politik Majelis Mujahidin dalam Penegakkan Syari'at Islam periode 2000-2003. Interval waktu ini merupakan rentang waktu dimana pemikiran dan aksi serta gerakan Majelis Mujahidin menunjukan watak radikalisme. Misalnya, penolakan Majelis Mujahidin atas azas Negara Pancasila, penolakan terhadap kepemimpinan wanita, hingga munculnya ide dan gagasan tentang perlunya syariat Islam diformalkan dalam konstitusi negara. Kenyataan ini, memunculkan pertanyaan bagi penulis, mengapa gerakan politik Majelis Mujahidin mendesak tentang pemberlakuan syari'at Islam dan menolak secara total semua ideologi yang berasal dari luar Islam. Penulis menggunakan metode deskriptif analitis kwalitatif dengan pendekatan deduktif artinya dari teori ke praktek Sebuah metode penelitian yang berusaha menggambarkan realitas sosial yang komplek melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfakan konsep-konsep yang bisa menjelaskan gejala sosial. Dalam pengumpulan data digunakan adalah studi pustaka/dokumen dan wawancara. Sementara teori yang digunakan untuk menelusuri radikalisme Islam dalam gerakan politik Majelis Mujahidin adalah teori radikalisme Islam. Untuk membantu mengungkapkan gerakan politik Majelis Mujahidin, penulis menempatkan parsi khusus pada sejarah gerakan radikalisme Islam, mulai dari asal muasal radikal isme Islam dalam konteks gerakan politik, Ikhwanul Muslimin, Jamaat i Islamiah, Darul Islam dan Masyumi. Berdasarkan teori dan metode yang digunakan tersebut, serta data-data yang diperoleh dilapangan, maka dapat disimpulkan bahwa radikalisme Islam dari Gerakan Politik Majelis Mujahidin merupakan pemikiran atau ide dan gagasan radikal. Hal ini disimplilkan, setelah penulis melakukan penelitian tentang asal mula munculnya Majelis Mujahidin maupun konteks perkembangan selanjutnya sebagaimana rentang waktu studi ini (2000-2003). Ini menunjukan bahwa teori radikalisme merupakan reaksi terhadap kondisi yang sedang berlangsung, masih relevan. Berdasarkan hal tersebut di atas ditemukan beberapa faktor kondisi yang turut mendorong lahirnya pemikiran radikal dan kemudian memicu terjadinya radikalisme Islam dalam gerakan politik Majelis Mujahidin, antara lain: Panama, Suasana pasca perang dingin diawal tahun 1980, khususnya setelah beberapa aktivis Islam era Presiden Soeharto melarikan diri keluar negeri. Para pejuang penegak syari'at Islam ini ikut ambil bagian dalam perang di Afganistan, bersekutu dengan rezim Taliban, dan mulai bergaul dengan aktivis Islam secara Internasional. Kedua, intimidasi dan diskriminasi rezim Soeharto terhadap para mubalik dan pendak'wah Islam yang menuntut tentang penegakkan syari'at Islam dan yang menolak azas tunggal Pancasila. Ketiga, kondisi kebangsaan dan kenegaran yang mengalami krisis moneter sejak 1996 sampai pada kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998 dari kursi kepresidenan. Maka era reformasi dan upaya-upaya penyelesaian krisis yang tidak kunjung selesai dan menemukan format ideal untuk mengeluarkan bangsa dan krisis multidimensional yang menimpa ummat dan bangsa, adalah faktor yang cukup berpengaruh terhadap kehendak radikal untuk menegakkan syari'at Islam dalam konstitusi negara sebagai sebuah jawaban untuk menata dan meperbaiki ummat dan Bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila, dianggap tidak tepat dan relevan lagi dengan kebutuhan bangsa dan negara. Dengan demikian, radikalisme Islam sebagai kerangka teoritis masih memiliki relevansi atas realitas dan kondisi gerakan politik Majelis Mujahidin dalam konteks pemikiran dan aksinya. Dengan demikian, penulis menemukan bahwa radikalisme Islam dalam konteks gerakan politik Majelis Mujahidin, tidak hanya reaksi atas fanatisme keagamaan semata, respon terhadap kondisi yang sedang berkembang, intimidasi dan diskriminasi rezim Orde Baru, kegagalan revormasi, akan tetapi radikalisme juga sangat dipengaruhi oleh faktor beberapa aktor atau tepatnya peran para tokoh Islam yang telah sejak lama memperjuangkan penegakkan syari'at Islam dalam konstitusi negara.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Nur Alamsyah
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini tentang gerakan politik masyarakat dalam proses pembentukan daerah baru di Indonesia. Peran elit dalam pemekaran menentukan, sebaliknya gerakan massa dari bawah dianggap sebatas massa dalam pembentukan daerah. Kenyataannya pada setiap proses pembentukan daerah di Indonesia, masyarakat berpartisipasi untuk pembiayaan maupun aksi gerakan.Pembentukan Kabupaten ParigiMoutong menarik terkait mengapa kelompok-kelompok gerakan pemekaran muncul dan bagaimana strategi kelompok-kelompok tersebut, serta bagaimana bentuk persaingan dan konsensusnya.Teori utama yang digunakan adalah teori struktur kesempatan politik dari Dough McAdam, Jhon McCharty dan Mayerd N.Zald.Teori inimenekankan bahwa gerakan sosial dimungkinkanjika terdapat kesempatan politik, mobilisasi, dan proses pembingkaian. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan kasus gerakan politik pada proses pembentukan Kabupaten Parigi Moutong Tahun 1999-2002. Pengumpulan data diperoleh melalui tahapan:, studi data sekunder, pra wawancara, wawancara mendalam, segmentasi makna data dan analisis data.Hasil penelitian ini menemukan bahwa kelompok gerakan pemekaran menentukan pembentukan Kabupaten Parigi Moutong. Keberhasilan gerakan kelompok dengan aksi beragam dengan memanfaatkan kesempatan reformasi, perubahan aturan, bangkitnya gerakan mahasiswa serta lahirnya kompetisi kepartaian. Gerakan dengan menggunakan instrumen budaya tersebut dapat mendorong mobilisasi sumber daya kelembagaan formal dan nonformal dalam mendukung pembentukan daerah melalui inisiatif DPR-RI. Melalui proses pembingkaian issu dengan media alternatif, serta pemanfaatan instrumen kearifan lokal melalui silaturrahmi dan musyawarah serta penggunaan bantaya ruang pertemuan adat ,melahirkan motivasi, ikatan dan konsensus kuat dalam gerakan ini. Temuan tersebut mengkonfirmasi teori struktur kesempatan politik dan menambahkan elemen baruuntuk faktor proses pembingkaian pada elemen budaya yang spesifik dalam konteks gerakan politik di Kabupaten Parigi Moutong.a
ABSTRACT
This research expounds the position of the public rsquo s political movement during the formation process of a new district in Indonesia. Because the realization of forming a new district is determined by the elites, the birth of a new district is often equated with elite domination. While the mass movement is not visible and is seen as unrelated to the formation process, the mass movement can become potential funders and can become an asset in the formation process itself.The formation process brings into light the questions on the emergence of various expansion group movements and their strategies, as well as the disputes and consensus caused by these movements.The main theoryused in this dissertation is the theory of political opportunity structure by Dough McAdam, Jhon McCharty and Mayerd N. Zald. This theory accentuates that social movements may emerge if a political opportunity, a resource mobilization structure, and a framing process is present. The qualitative method with a case study on the Parigi Moutong District in order to understand the political movement in the formation process of the Parigi Moutong District in 1999 2002. The data are collected through secondary data study, pre interviews, in depth interviews, data segmentation, and data analysis.This research shows that political movements are vital to the formation process of the Parigi Moutong District. The political process such as the development of opinions, the mass action in Parigi Moutong, the urgent action the Donggala District and Province, the lobbying and negotiation with the central government, to the utilization of the initiative mechanism of DPR RI is executed by the expansion group movement until the parliamentary session and the definitive formation of the ParigiMoutong District.Confirming the theory of political opportunity structure, the political movement groups rsquo influence are made possible by the presence of a political opportunity. This opportunity enables the mobilization structure of resources and the framing process with the alternative media, as well as optimization with local wisdom. The discussions in the bantaya traditional meeting room , and an act of hospitality as the instrument of local culture has given birth to a political bond and consensus in the district expansion movement. This finding is a new element that complements the theory of political opportunity structure for cultural framing in the local context of Parigi Moutong District rsquo s formation process.
2016
D1718
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garda Arian Perdana
Abstrak :
Populisme merupakan sebuah instrumen politik yang efektif dalam realm demokrasi; populisme dapat mengartikulasikan apa yang menjadi kehendak mayoritas masyarakat, yang seringkali tidak selalu rasional, sebagai diskursus untuk menekan tatanan pemerintahan domestik. Keterkaitan antara politik domestik dengan hubungan internasional menjadikan fenomena kebangkitan populisme problematis, sebab narasi-narasi yang banyak diangkat justru merupakan anti-tesis terhadap apa yang membentuk stabilitas tatanan dunia internasional saat ini. Kemunculan populisme sayap kanan yang semakin lazim di berbagai tataran politik domestik kontemporer mengisyaratkan adanya sebuah tren baru dalam dinamika politik internasional yang menyebabkan narasi-narasi populisme sayap kanan radikal menjadi lebih diminati dan memperoleh basis politik yang besar di tingkat domestik; serta menghasilkan tekanan yang besar terhadap keberlangsungan tata kelola dunia internasional saat ini. Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana perkembangan narasi-narasi populisme dalam diskursus politik internasional pasca Perang Dunia II, serta lebih jauh lagi berupaya untuk menganalisis dan menjelaskan mengapa varian populisme sayap kanan kemudian mampu mendominasi diskursus politik internasional kontemporer.
Populism is an effective political instrument within the realm of democracy; which articulates what was considered the general will of the society, which often proved to be irrational, as the counter-narrative to the dominance of established political elites and their discourses. The linkage between domestic politics and international relations has framed the rise of the populists to be problematic: as the narrative that they (populists) endorse has pushed the idea of anti-globalization, anti-establishment, and anti-internationalist, which poses a threat to the very stability of contemporary international order. The rise of right-wing populism that prevails on many domestic-level politic, implies the existence of a new trend on the dynamic of international politic which favored the narrative of radical right-wing populism into the mainstream political discourses. This writing attempts to signify the development of the narrative of right-wing populism within the discourse of post-World War international political order. It also attempts to analyze and explain why the variety of right-wing populism has successfully dominating the discourses of contemporary international politics.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aay Muhammad Furkon
Abstrak :
Pemikiran al-Ikhwan al-Muslimun yang diwakili Hasan al-Fianna dan Sayyid Quthub di Mesir ternyata diadopsi ke dalam gerakan sosial politik Islam di berbagai negara, tanpa terkecuali di Indonesia. Salimat al-Agldcrlr al-Islamiyah yang jadi tema pemikiran Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub merupakan fondasi bagi munculnya berbagai gerakan Islam. Dan implikasi dari salimat al-Agidah al-Islamiyah adalah terjadinya pengokohan terhadap Islam dan kenegaraan yang tidak memiliki keterpisahan. Sungguhpun demikian, pada tataran praktis ketidakterpisahan Islam dan politik acapkali diwarnai oleh kekacauan konsepsional, sehingga penyatuan Islam dan politik yang dianggap aksiomatik itu dalam pratiknya tidak serta merta menimbulkan kemaslahatan. Disinilah lalu, pentingnya konsep tarbiyah sebagaimana digagas al-Ikhwan al-Muslimun. Sebab tarbiyah dalam konsepsi al-Ikhwan al-Muslimun adalah upaya substansiasi untuk tujuan kemaslahatan dalam konteks hubungan yang tak terpisahkan antara Islam dan politik. Terjemahan karya-karya Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub ke dalam bahasa Indonesia dan besarnya animo mahasiswa Indonesia belajar keislaman ke Timur Tengah merupakan faktor terjadinya transmisi di Indonesia. Di dalamnya termasuk juga tersedianya sarana masjid kampus untuk mempermudah para aktifis dakwah kampus untuk melakukan segala aktifitas keislaman. Seiring dengan berlangsungnya proses demokratisasi, maka gerakan Islam di kampus-kampus perguruan tinggi semakin leluasa mengembangkan kiprahnya. Kenyataan ini mengkondisikan berlangsungnya transmisi pemikiran Hasan al-Banna dengan intensitas yang tinggi. Menarik menelaah kenyataan di atas dalam kaitannya dengan eksistensi Partai Keadilan. Karena pemikiran al-Ikhwan al-Muslimun yang diwakili Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub ketika diadopsi Partai Keadilan sebagai bagian pemikiran politik terjadi modifikasi. Bahkan beberapa demon tentang hubungan Islam dan politik berada pada posisi yang kontradiktif dibandingkan dengan hubungan Islam dan politik dalam perspektif Partai Keadilan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library