Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sanusi
Abstrak :
Ketahanan nasional merupakan integrasi seluruh aspek kehidupan (gatra), termasuk gatra politik. Peningkatan ketahanan nasional berarti juga meningkatkan ketahanan politik. Ada dua esensi ketahanan politik, yakni partisipasi politik dan kedewasaan politik. Pengembangan partisipasi dan kedewasaan politik dapat dilakukan melalui jalur pendidikan sekolah, termasuk di sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana peran sekolah dasar bagi peningkatan ketahanan politik. Pendidikan politik di sekolah dasar dapat juga dijadikan wadah untuk menumbuhkan kesadaran dan kepadulian siswa terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sekolah dasar memiliki peran penting dalam menanamkan sikap dan perilaku yang kondusif terhadap pengembangan partisipasi dan kedewasaan politik kendati partisipasi politik dalam arti yang nyata balum dapat dilakukan oleh siswa sekolah dasar, akan tetapi sikap dan perilaku yang kondusif bagi pengembangan partisipasi dan kedewasaan politik dapat diajarkan sejak dini termasuk pada jenjang sekolah dasar. Penyelidikan dilakukan terhadap 94 orang siswa kelas VI pada sekolah dasar negeri di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sikap dan perilaku partisipatif siswa sekolah dasar dapat dilakukan melalui empat proses, yakni : (1) membuka kesempatan yang luas bagi anak siswa untuk mampu dan berani mengemukakan pendapatnya di kelas maupun di luar kelas, (2) memotivasi perhatian siswa terhadap isu-isu politik (3) mendorong keikutsertaan siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler, dan (4) menjadikan pemilihan ketua kelas sebagai wadah latihan demokrasi. Sikap dan perilaku yang kondusif bagi kedewasaan politik di sekolah dasar dapat dikembangkan dengan cara : (1) memfasilitasi perbedaan pendapat di kalangan siswa sehingga mereka mampu menyelesaikan perbedaan pendapat (konflik) dengan menggunakan cara-cara yang positif (2) mendorong kesediaan siswa untuk mentaati peraturan sekolah, dan (3) menumbuhkan kesediaan siswa untuk hidup berdampingan kendati diantara mereka terdapat perbedaan suku, agama, ras, dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Pendidikan politik di sekolah dasar tidak memerlukan mata pelajaran khusus. Partisipasi maupun kedewasaan politik dapat diaplikasikan dalam berbagai mata pelajaran. Kesediaan mentaati peraturan dan sportivitas misalnya dapat dikembangkan dalam kegiatan olah raga. Pendidikan politik juga dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian siswa terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara. Materi pelajaran seperti ilmu bumi, sejarah, bahasa, Pancasila, dan agama dapat cukap efektif dalam menumbuhkan kecintaan siswa terhadap bangsa dan negara. Media belajar seperti melalui gambar dinding yang memuat peta Indonesia, tempat-tempat bersejarah, gambar peristiwa penting, dan hal-hal yang terkait dengan perjalanan hidup bangsa cukup efektif dalam menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Dengan keterbatasannya, sekolah dasar memiliki peran penting bagi pendidikan politik siswa sekolah dasar. Analisis penelitian menunjukkan bahwa perkembangan sikap dan perilaku siswa sekolah dasar sangat tergantung pada cara mendidik guru di sekolah dan orang tua di rumah. Dengan demikian peningkatan peran pendidikan politik di sekolah dasar tentu saja mempersyaratkan kompetensi guru sekolah dasar.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T 7998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Firdaus
Abstrak :
Penelitian ini berkisar tentang aktifitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita) dalam melakukan pendidikan politik kepada kelompok perempuan yang ada di masyarakat. Aktiftas PPSW ini dalam perjalanannya menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi partsipasi politik perempuan di masyarakat yaitu di kelurahan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Penelitian ini dilatarbelangi dengan kondisi makro Indonesia setelah kejatuhan rejim Orde Baru dimana terjadi partisipasi politik masyarakat. Kondisi seperti itu juga membuat kelompok-kelompok perempuan, yang selama ini termarginalkan dalam politik, ikut berpartisipasi dalam berbagai hal. Tak terkecuali anggota kelompok perempuan yang berada di lapis bawah dan menamakan dirinya kelompok "Melati" yang selama ini didampingi PPSW di daerah Pondok Rangon, juga ikut berpartisipasi politik dalam lingkup komunitasnya. Dari latar belakang persoalan seperti disebut di atas, pertanyaan penelitin diajukan seputar; pertama, bagaimana gambaran partisipasi politik di kalangan anggota kelompok perempuan lapis bawah (kelompok Melati) yang ada di Pondok Rangon, Jakarta Timur. Kedua, bagaimana gambaran pendidikan politik sebagai bentuk sosialisasi politik yang dilakukan PPSW terhadap anggota kelompok perempuan lapis bawah. Ketiga, bagaimana dampak pendidikan yang dilakukan PPSW dengan partisipasi politk perempuan lapis bawah yang selama ini terjadi di Pondok Rangon. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitati Hal ini dilakukan untuk bisa menggambarkan partisipasi politik anggota kelompok perempuan Melati, dan pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini di Pondok Rangon, dan bagaimana dampak pendidikan politik itu secara mendetail. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan politik yang dilakukan PPSW selama ini mempunyai pengaruh pada tingkatan anggota kelompok yang menjadi kader lokal. Sedangkan pada tingkatan anggota kelompok Melati lainnya, dampak pendidikan tersebut kurang banyak manfaatnya, bahkan bagian kelompok ini hanya memanfaatkan kelompok Melati sebagai sarana untuk simpan pinjam semata. Atau dengan meminjam analisa Caroline Q.N. Moser, seorang analisis gender, bahwa bagian kelompok perempuan ini hanya menggunakan kelompok sebagai wahana untuk pemenuhan kebutuhan "praktis" semata. Rekomendasi dari hasil peneletian ini, PPSW selaku LSM pendamping harus melakukan refleksi terhadap pendidikan politik yang selama ini dilakukan terhadap kelompok perempuan dampingannya. Dalam konteks itu, pendidikan "community organazing" yang menjadi "awal (inti)" dalam strategi pendidikan politik yang digagas PPSW, harus dicermati ulang dalam implementasinya dilapangan. Sementara itu, pada tingkat kelompok Melati, anggota yang menjadi kader harus terus melakukan tugas-tugas "pengorganisasiannya" secara kontinue, terkhusus di lingkup komunitas Pondok Rangon.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Kusumawardani
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai perbandingan komunikasi politik antara tokoh politik pria dan wanita di dalam media online Indonesia untuk periode Oktober 2013 di dalam pemerintahan demokratis. Dalam tesis ini ditemukan hasil bahwa perbedaan isi pemberitaan antara tokoh politik pria dan wanita di dalam media online tidak semata-mata hanya diakibatkan oleh ideology patriarkhi semata yang berkembang di dalam masyarakat, namun juga bisa diakibatkan oleh beberapa faktor lain diantaranya seperti kebijakan parpol, proses pembuatan berita di dalam media digital yang lebih cenderung bersifat bebas dikarenakan siapapun bisa memberikan pemberitaan apapun tanpa ada yang akan melakukan pengecekan kembali, dan adanya persepsi masyarakat mengenai keterlibatan perempuan dalam bidang politik yang cenderung negatif. Dengan adanya kondisi tersebut, maka membuat proporsi pemberitaan pria dan wanita memang cenderung berbeda dimana pemberitaan tokoh politik pria lebih besar dibandingkan dengan tokoh politik wanita. Oleh karena itu, harus ada pembahasan lebih lanjut lagi terkait dengan fungsi dari masing-masing pihak diantaranya media massa, tokoh politik, dan parpol dalam rangka membentuk komunikasi politik yang efektif di masa pemerintahan demokratis hingga mampu terwujudnya pendidikan politik bagi masyarakat melalui informasi yang disampaikan. ......The focus of this study is to compare the political communication between male and female politicians by Indonesia’s online media during October 2013 period in democratic government. Based on the result, it has founded that the differences between male and female politicians concerning their political communication by online’s media was not only triggered by patriarchal ideology but also by other factors such as political party policy, the process of news manufacture in digital media where in digital media people can post anything and no one able to check it, and public perception about women in politics. Those factors could have an effect in our news proportion regarding to Indonesia’s politician where males politician receive bigger proportion than females politician. Therefore, there should be further discussion related to the function of each, including the media, politicians, and political parties in order to form an effective political communication in the establishment of a democratic government in order to increase the political education among people.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library