Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simbolon, Yosmeita Dame
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S33168
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erny Sagita
Abstrak :
ABSTRAK
Kitosan merupakan polimer alam yang bersifat kationik. Sifat kationik tersebut membuat kitosan dapat berinteraksi dengan polimer anionik membentuk kompleks polielektrolit (KPE). Dalam penelitian ini, pektin digunakan sebagai polimer anionik yang berinteraksi secara ionik dengan kitosan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi KPE kitosan-pektin yang akan digunakan sebagai matriks dalam sediaan tablet mengapung. Larutan kitosan dan pektin 0,3% b/v dicampur dengan perbandingan 1:9, 3:7, 1:1, 7:3 dan 9:1 pada pH 4,5 dan 5,0. Kondisi terbaik untuk menghasilkan KPE adalah pada pH 5,0 dengan perbandingan larutan kitosan dan pektin = 3:7. Perbedaan karakteristik KPE kitosan-pektin dengan polimer asalnya ditunjukkan dengan analisis gugus fungsi, analisis termal, daya mengembang dan kekuatan gel. Selanjutnya KPE digunakan sebagai matriks dalam sediaan tablet mengapung dengan famotidin sebagai model obat. KPE juga dikombinasikan dengan hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa KPE dapat menahan pelepasan famotidin selama 10 jam. Kombinasi dengan HPMC dapat membantu KPE menahan pelepasan famotidin hingga 20 jam. Tablet yang hanya mengandung KPE sebagai matriks hanya dapat bertahan mengapung hingga 12 jam, sedangkan tablet dengan kombinasi KPE dan HPMC dapat bertahan mengapung hingga 24 jam.
ABSTRACT
Chitosan is a natural cationic polymer. That cationic property makes chitosan can form polyelectrolite complex (PEC) with anionic polymer. In this research, pectin was used as anionic polymer that interact ionically with chitosan. The aim of this research is to produce and characterize chitosan-pectin PEC that would be used as matrix in floating tablet. The solutions of chitosan and pectin 0,3% w/v were mixed in ratio 1:9, 3:7, 1:1, 7:3 and 9:1 with pH of the solution 4,5 and 5,0. The best condition to produce PEC was in pH 5,0 with ratio of chitosan and pectin = 3:7. The differences between chitosan-pectin PEC characteristic and its origin polymer were shown by functional group analysis, thermal analysis, swelling capacity and gel strength. The PEC was then used as matrix in floating tablet with famotidin as a model. PEC was also combined with hydroxypropilmethylcellulose (HPMC) in different concentrations. The results of the dissolution study showed that PEC could retard the release of famotidin for 10 hours. PEC in combination with HPMC could retard the release of famotidin for 20 hours. Tablet that only contains PEC as matrix could remain buoyant for 12 hours while tablet with combination of PEC and HPMC could remain buoyant for 24 hours.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S32816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anondini Febrian Ganestia
Abstrak :
ABSTRAK
Alginat merupakan polimer alam yang bersifat anionik. Sifat anionik tersebut membuat alginat dapat berinteraksi dengan polimer kationik membentuk kompleks polielektrolit (KPE). Dalam penelitian ini, gelatin digunakan sebagai polimer kationik yang berinteraksi secara ionik dengan alginat. Larutan alginat dan gelatin 2% b/v dicampur dengan perbandingan 3 : 7 dan 4 : 7. Kondisi terbaik untuk menghasilkan KPE adalah perbandingan larutan alginat dan gelatin 4 : 7. Perbedaan karakteristik KPE alginat - gelatin dengan polimer asalnya ditunjukkan dengan analisis gugus fungsi, analisis termal, daya mengembang dan kekuatan gel. Selanjutnya KPE digunakan sebagai mikrosfer dengan verapamil HCl sebagai model obat. Mikrosfer dibuat menggunakan metode semprot kering. Pada penelitian ini formulasi dibuat dengan menggunakan perbandingan polimer dan obat. Formulasi dibuat dalam 4 formula terdiri dari formula 1 (2:1) dan formula 2 (3:2), serta formula 3 dan 4 sebagai pembanding yang dibuat dari alginat dan gelatin. Dari hasil penelitian diperoleh diameter rata-rata mikrosfer sebesar 22,95 ? 25,46 μm dengan efisiensi penjerapan verapamil HCl berkisar antara 76 - 95%. Hasil uji disolusi selama 8 jam formula 1 dapat menahan pelepasan obat hingga 50% dan formula 2 dapat menahan pelepasan obat hingga 44%. Berdasarkan persamaan Bannakar diperoleh data bahwa mikrosfer formula 1 dapat dikonsumsi untuk 12 jam dan formula 2 dapat dikonsumsi selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa mikrosfer komplek polielektrolit alginat ? gelatin berpotensi digunakan sebagai matriks dalam sediaan lepas lambat.
ABSTRACT
Alginate is anionic natural polymers. Because of its anionic characteristic, alginate is able to interact with cationic polymer and form polyelectrolyte complex (PEC). In this study, gelatine is used as cationic polymer which interacts ionically with alginate. Alginate liquid and gelatine 2% b/v are mixed with ratio 3:7 and 4:7. The best condition to produce polyelectrolyte complex (PEC) is in ratio 4:7. Different characteristic between PEC and its initial polymers are analyzed using Fourier Transform Infrares (FT?IR), differential scanning calorimetry (DSC), swelling, and strength gel. Then PEC as microspheres with verapamil HCl is used as drug model. Microspheres are made using dry spray method. In this research, formulations are made by comparising the polymer and the drug. Formulations are prepared in 4 formulas consisting of formula 1 (2: 1) and formula 2 (3: 2), while formula 3 and 4 are the comparisons made from alginate and gelatine. This research results, the average diameter of microspheres approximately 22,95 - 25,46 μm, drug efficiency of verapamil HCl range between 75 - 95 %. Dissolution test for 8 hours shows that formula 1 can hold drug release until 50% and formula 2 can hold drug release until 44%. Based on Bannakar equation, formula 1 can used for 12 hours and formula 2 can use for 24 hours. It shows that alginate ? gelatine polyelectrolyte complex microspheres become potential as matrix in drug release system.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42058
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistomo
Abstrak :
Sediaan tertahan di lambung merupakan sediaan yang didesain untuk dapat memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam lambung sebagai tempat terjadinya absorbsi obat di dalam tubuh. Sistem penghantaran mukoadhesif merupakan salah satu bentuk sediaan tertahan di lambung dengan mekanisme penempelan pada mukosa lambung. Pada penelitian sebelumnya, telah diteliti KPKX dengan beberapa variasi perbandingan kitosan dengan xanthan (1:1, 3:1, dan 6:1), dan diketahui KPKX 1:1 memiliki daya mengembang yang sesuai untuk dikembangkan sebagai sediaan mukoadhesif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan eksipien kompleks polielektrolit kitosan-gum xanthan (KPKX) sebagai matriks sediaan granul mukoadhesif tertahan di lambung. Pada penelitian ini KPKX 1:1 digunakan sebagai matriks pada granul mukoadhesif dengan perbandingan obat dengan KPKX (1:1, 1:2, dan 1:3), dengan diltiazem HCl sebagai model obat. Eksipien KPKX yang terbentuk tersebut kemudian diformulasikan menjadi granul mukoadhesif. Granul F2 yang mengandung perbandingan diltiazem HCl dengan KPKX 1:1 dinilai sebagai granul terbaik karena mampu tetap menempel di mukosa lambung hingga 8 jam berdasarkan uji wash-off dan 12 jam berdasarkan uji bioadhesif in-vitro. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa KPKX dapat digunakan sebagai matriks mukoadhesif.
Gastro-retentive drug delivery system (GRDDS) are designed to prolong the dosage residence time of dosage forms in stomach as one of drug absorbtion site. Mucoadhesive drug delivery system, is one of many GRDDS kind with adhesion mechanism to gastric mucosa. In previous study chitosan-xanthan gum polyelectrolyte complex (CXPC) had been produced in some variations (1:1, 3:1, and 6:1), and CXPC 1:1 showed better swelling index which suitable for sustained release dosage forms. The aim of this research is studying the ability of CXPC as matrix for mucoadhesive granules dosage form matrix. In this study CXPC 1:1 was used as the matrix in the mucoadhesive granules with drug-CXPC ratio of 1:1, 1:2, and 1:3, using diltiazem HCl as a drug model. The obtained CXPC was then formulated into mucoadhesive granules. F1 granules which were formulated using CXPC and diltiazem HCl in ratio of 1:1, considered as the best formulation because it can adhere on gastric mucosa up to 8 hours based on wash-off test and 12 hours based on in-vitro bioadhesive test. From this study it can be concluded that the CXPC can be used as a mucoadhesive matrix.
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S56622
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahagia Wiba Cyntia
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk memformulasikan serbuk inhalasi tertarget makrofag dibutuhkan eksipien dengan karakteristik yang sesuai untuk dapat membawa obat sampai makrofag. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kombinasi kitosan dan gum xanthan memiliki indeks mengembang yang baik pada pH makrofag sehingga dapat dijadikan sebagai eksipien tertarget makrofag. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat serbuk inhalasi menggunakan kitosan-xanthan KX sebagai pembawa yang dapat menahan pelepasan obat pada cairan paru pH 7,4 dan memfasilitasi pelepasan obat pada cairan makrofag paru pH 4,5 . KX dibuat dengan mencampurkan kitosan dan gum xanthan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1. KX kemudian dikarakterisasi meliputi penampilan, bentuk morfologi, uji termal, spektrum inframerah, derajat keasaman, dan viskositas. Serbuk kering inhalasi dibuat dengan menggunakan rifampisin sebagai model obat dan lima eksipien berbeda yaitu kitosan, gum xanthan, KX l:1, 1:2, 2:1. Serbuk inhalasi dikarakterisasi penampilan, morfologi, kadar air, distribusi ukuran partikel, kadar zat aktif, efisiensi penjerapan, dan pelepasan obatnya. Serbuk inhlasi dengan karakteristik terbaik yaitu formula 3 dengan eksipien KX 1:1 yang menghasilkan rendemen 22,48 , rentang ukuran 1,106 ndash; 3,580 m, efisiensi penjerapan sebanyak 120,162 , dan dapat melepas obat sebanyak 3,145 dalam medium pH 7,4 dan sebanyak 23,774 dalam medium pH 4,5. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa eksipien KX 1:1 dapat digunakan sebagai pembawa dalam formulasi serbuk inhalasi rifampisin.
ABSTRACT
Suitable excipient with certain characteristics is required in formulating inhalation powder to deliver drug into macrophage. Previous study had shown that the combination of chitosan and gum xanthan had remarkable swelling properties at macrophage condition pH 4.5 , thus it is suitable to be used as a macrophage targeted excipient. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin using chitosan xanthan CX as a carrier that can sustain drug release in lung fluid pH 7.4 and facilitate drug release in pulmonary macrophage fluid pH 4,5 . CX was prepared by mixing the chitosan and xanthan gum with the ratio 1 1, 1 2, and 2 1. Physical appearance, morphology, thermal properties, functional group, acidity, and viscosity of CX were then characterized. The inhalation powder were formulated by using rifampicin as a drug model and five different excipients which were chitosan, gum xanthan, and CX 1 1, 1 2, 2 1. Physical appearance, morphology, moisture content, and drug release of each formula of inhalation powder was evaluated. This study showed that rifampicin CX 1 1 was the best formula with yield of 22.48 , partical size range of 1.106 ndash 3.580 m, entrapment efficiency of 120.162 , and release 3,145 of rifampicin at pH 7.4 and 23.774 of rifampicin at pH 4.5. Based on these results, it can be concluded that CX 1 1 is a suitable excipient to formulate dry powder inhalation of rifampicin.
2017
S69422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Dian Septysari
Abstrak :
Film transdermal merupakan sistem penghantaran obat yang diaplikasikan melalui kulit untuk menghantarkan obat ke sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari eksipien kompleks polielektrolit kitosan-xanthan (KPKX) sebagai eksipien pembentuk film yang dibuat dengan mencampurkan larutan gum xanthan 1% ke dalam larutan kitosan 1% dengan cara diteteskan dan disertai pengadukan. KPKX yang diperoleh dikarakterisasi gugus fungsi, indeks mengembang, kekuatan gel, dan sifat mekanik filmnya. Film transdermal dibuat dengan menggunakan KPKX 1:1 sebagai matriks, propilenglikol-gliserol (8:2) 50% sebagai plasticizer, dan ketoprofen sebagai model obat. Film transdermal ketoprofen yang dihasilkan memiliki sifat mekanis yang baik dengan persentasi elongasi sebesar 108,70 ± 1,56% dan tensile strength sebesar 791,05 ± 5,30 N/m2. Uji disolusi in vitro menunjukkan pelepasan ketoprofen dari film transdermal ketoprofen sebesar 99,57 ± 4,67% selama 12 jam dengan mekanisme difusi terkendali. Uji penetrasi in vitro menunjukkan bahwa penetrasi in vitro dari film transdermal ketoprofen sebesar 12,34 ± 0,22 mg/cm2 selama 12 jam dengan kecepatan penetrasi 1,051 ± 0,074 mg/cm2.jam. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa KPKX merupakan eksipien yang baik digunakan sebagai pembentuk film transdermal.
Transdermal film is a drug delivery system that is applied through the skin to deliver drugs to the systemic. This present study was intended to evaluate the ability of chitosan-xanthan polyelectrolyte complex (CXPC) as film-forming excipient which were made by dropwise a solution of 1% xanthan gum in a solution of 1% chitosan and aided with stirring. The obtained CXPC was characterized, including its functional group, swelling index, gel strength, and film mechanical properties. Transdermal films made using CXPC 1:1 as matrix, propylene glycol-glycerine (8:2) 50% as plasticizer, and ketoprofen as model of drug. Ketoprofen transdermal film which were produced from CXPC possessed good mechanical properties with elongation percentage of 108.70 ± 1.56% and the tensile strength of 791.05 ± 5.30 N/mm2. The in-vitro drug release study showed that 99.57 ± 4.67% of ketoprofen has been released from transdermal film in 12 hours by diffusion-controlled mechanism. In-vitro drug release study showed that 12.34 ± 0.22 mg/cm2 of ketoprofen able to penetrate through skin membrane with the flux of 1.051 ± 0.074 mg/cm2.hour. Therefore, it can be concluded that CXPC had good characteristics to be applied as excipient transdermal film.
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S57662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Mayangsari
Abstrak :
ABSTRAK
Gelatin merupakan polimer alam yang bersifat kationik. Sifat kationik tersebut membuat gelatin dapat berinteraksi dengan polimer anionik membentuk kompleks polielektrolit (KPE). Dalam penelitian ini, karaginan digunakan sebagai polimer anionik yang berinteraksi secara ionik dengan gelatin. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi KPE gelatin-karaginan yang akan digunakan sebagai basis dalam sediaan film bukal. Larutan gelatin dan karaginan masing-masing dibuat 3% (b/v) dicampur dengan perbandingan 1:1. Perbedaan karakterisasi KPE gelatin-karaginan dengan polimer asalnya ditunjukan dengan analisis gugus fungsi, analisis termal, daya mengembang, kekuatan gel dan uji mukoadesif. Selanjutnya KPE digunakan sebagai basis dalam tiga formula sediaan film bukal. Formulasi sediaan dibuat dengan memvariasikan konsentrasi propilen glikol sebagai plastisizer yaitu pada konsentrasi 20%, 30% dan 40%. dengan ketoprofen sebagai model obat. Film bukal formula dua dengan konsentrasi propilen glikol 30% memiliki kekuatan bioadesif terbesar yaitu 7,17 gF.
Abstract
Gelatine is a natural cationic polymer. That cationic character makes gelatine can interact with anionic polymer to form polyelectrolyte complex (PEC) . In this research, carrageenan is used as anionic polymer that interact ionically with gelatine. The purpose of this research is to produce and to characterize gelatin-carrageenan PEC that will be used as basis of bucal film. Gelatine solution and carrageenan, each of it is made 3% (b/v), are mixed with a ratio of 1:1 (v/v). The differences between gelatine-carrageenan PEC and its origin polymer are shown by functional group analysis, thermal analysis, swelling capacity, gel strength, and mucoadhesive test. The PEC is then used as basis for 3 formula of bucal film . The formulation is also combined with propylene glycol as plastisizer with concentration of 20%, 30% and 40% with ketoprofen as a model. The mucoadhesive test shows that the highest bioadhesive strength of PEC gelatine-carrageenan bucal film with propyleneglycol concentration of 30% is 7.17 gF.
Universitas Indonesia, 2012
14-17-300794733
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rozi Fadjri
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan kompleks polielektrolit kitosan-xanthan (KPKX) dan menggunakannya sebagai matriks dalam tablet lepas terkendali dengan sistem mengapung. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kitosan, yang bermuatan positif pada suasana asam, dan xanthan, yang bemuatan negatif, dapat membentuk kompleks polielektrolit yang memiliki daya mengembang yang baik untuk sediaan dengan pelepasan terkendali. KPKX dibuat dengan cara melarutkan kitosan (1,0% b/v) dan xanthan (1,0% b/v) di dalam medium masing-masing kemudian mencampurkan keduanya pada pH 4,3-4,5 dengan perbandingan 1:1. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi secara fisik, kimia, dan fungsional. Selanjutnya, KPKX digunakan sebagai matriks dalam sediaan tablet mengapung dengan 2 variasi jumlah polimer pembentuk matriks (35,71% dan 57,14%). Asam sitrat dan natrium bikarbonat digunakan sebagai gas forming dalam 2 variasi (14,29% dan 21,43%). Kitosan, xanthan, dan campuran fisik keduanya digunakan sebagai polimer matriks pada formula pembanding. Diltiazem HCl digunakan sebagai model obat. Tablet dibuat dengan metode granulasi basah dan dikempa menjadi tablet 700 mg. Seluruh tablet mengapung yang dihasilkan memenuhi persyaratan fisik yang tertera di Farmakope Indonesia. Tablet mengapung F3 yang mengandung 57,14% KPKX dan 21,43% gas forming menunjukkan karakteristik yang terbaik dengan floating lag time 39,33 ± 1,53 menit dan dapat mengapung hingga 12 jam. Tablet F3 juga terbukti dapat menahan pelepasans obat hingga 12 jam dan menunjukkan profil pelepasan obat yang sesuai dengan kinetika orde nol. ...... The aim of this study was to investigate the ability of chisotan-xanthan polyelectrolyte complex (CXPC) and use it as matrix of controlled release tablet with floating system. The previous study has shown that chitosan, which have positive charge in acid condition, and xanthan, which have negative charge, could form polyelectrolyte complex which have good swelling index for controlled release dosage forms. CXPC was prepared by dissolving chitosan (1.0% w/v) and xanthan (1.0% w/v) in their medium then mix them in pH 4.3-4.5 with a ratio of 1:1. The obtained CXPC were characterized physically, chemically, and functionally. Furthermore, CXPC was used as matrix of floating tablet in two variations (35.71% and 57.14%). Citric acid and sodium bicarbonate were used as gas forming in two variations (14.29% and 21.43%). Chitosan, xanthan, and physical mixture of both were also used as comparison formula. Diltiazem HCl was used as drug model. Tablet was formulated by wet granulation method and compressed into 700 mg tablets. All floating tablets fulfilled all the Pharmacopoeia requirements. Floating tablets containing 57.14% CXPC and 21.43% gas forming (F3) have shown the best characteristic with 39.33 ± 1.53 minutes of floating lag time and 12 hours of floating time. This formula revealed a profile of controlled drug release and appoached to zero-order kinetics model.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S56895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Triantoro
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kompleks polielektrolit kitosan-xanthan (KPKX) sebagai bahan penyalut tablet untuk memberikan pelepasan terkendali. Polielektrolit pada umumnya memiliki daya mengembang yang tinggi hanya pada pH tertentu sehingga kecepatan pelepasan obat menjadi tidak konstan selama berada di sepanjang saluran pencernaan. Melalui kompleksasi polielektrolit, didapatkan daya mengembang yang stabil pada rentang pH yang luas. Pada jam ke-12, KPKX memiliki daya mengembang dalam medium pH 1,2; 5,0; dan 7,4 berturut-turut sebesar 16,94 ± 1,47%; 18,01 ± 3,01%; dan 24,26 ± 2,14%. KPKX 1% menunjukkan kekuatan gel sebesar 7,13 ± 0,45 gF. KPKX menunjukkan adanya peningkatan tensile strength dibandingkan kedua senyawa asalnya. Hasil pengujian menunjukkan tensile strength film KPKX sebagai F1 sebesar 460 N/m2. Tablet inti dibuat dengan metode kempa langsung dengan verapamil HCl sebagai model obat. Penyalutan dilakukan pada tablet verapamil HCl hingga didapat penambahan bobot sebesar 5,4%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan KPKX sebagai bahan penyalut mampu memberikan pelepasan terkendali yang lebih baik dan stabil bila dibandingkan dengan kitosan dan gum xanthan. Dalam 12 jam, jumlah verapamil HCl yang dilepaskan adalah sebanyak 40,96 ± 4,58%. Pelepasan terkendali dari tablet salut KPKX mengikuti pelepasan orde nol dengan mekanisme pelepasan mengikuti prinsip difusi non-Fickian pada medium asam dan basa. ...... The study was intended to investigate the ability of chitosan-xanthan polyelectrolyte complex (CXPC) as coating material for tablets to provide sustained-release behavior. Polyelectrolytes usually have higher swelling index only at certain pH. Therefore, drug release rate becomes unstable along the gastrointestinal tract. Through polyelectrolyte complexation, the swelling index showed good stability in wide range of pH. After 12 hours, the swelling index of CXPC in medium of pH 1.2, 5.0, and 7.4 were 16.94 ± 1.47%, 18.01 ± 3.01%, and 24.26 ± 2.14% respectively. CXPC 1% showed the gel strength of 7,13 ± 0,45 gF. CXPC showed an increase in tensile strength compared to both the previous compounds. The test showed the tensile strength of CXPC film as F1 was 460 N/m2. Core tablets were made by using direct compression method and verapamil HCl was used as drug model. Verapamil HCl tablets were coated by CXPC until they got 5,4% additional weight. Based on the study, the use of CXPC as coating material was able to provide better and more stable sustained-release behavior compared to chitosan and xanthan gum. Within 12 hours, the amount of released verapamil HCl was 40,96 ± 4,58%. Sustained-release behavior of CXPC-coated tablets followed zero-order release with mechanism of non-Fickian diffusional release in acidic and basic medium.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S56631
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library