Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Topo Santoso
Abstrak :
Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja lama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana, yaitu sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. Terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana. Pengkajian terhadap hubungan antarlembaga di atas, khususnya antara polisi dan jaksa, menjadi suatu yang sangat mendesak apabila diingat bahwa ternyata sejak masa penjajahan hingga hari ini antara kedua lembaga penegak hukum di atas masih sering timbul masalah, terutama yang berkorelasi dengan tugas penyidikan, tidak saja penyidikan terhadap tindak pidana khusus tetapi juga tindak pidana umum. Tesis ini meneliti tentang rumusan konseptual mengenai kedudukan, tugas, wewenang dan fungsi kepolisian dan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, perkembangan hubungan antara polisi dan jaksa pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP dilihat dari aspek yuridis, sosiologis maupun politis, perbandingan kewenangan penyidikan polisi dan jaksa di Indonesia baik dalam tindak pidana umum maupun dalam tindak pidana khusus, pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP. Pada masa sebelum KUHAP, keterlibatan serta pengetahuan jaksa dalam penyidikan sangat besar. Disamping itu, tidak diperlukan adanya penghubung seperti prapenuntutan. Hal ini berlangsung terus sampai munculnya keinginan polisi untuk tidak lagi menjadi pihak kedua dalam bidang penyidikan. Polisi ingin menjadi penanggung jawab dalam kepolisian yustisiil atau kepolisian represif, tidak lagi di bawah jaksa. Hal ini memunculkan suatu persaingan profesionalitas antara polisi dan jaksa, sebab pihak jaksa atas alasan sejarah, perbandingan dengan negara lain, serta efektifitas penyidikan dan penuntutan tetap menginginkan memegang peran dalam bidang penyidikan. Dengan KUHAP, semakin jelas adanya pemisahan fungsi antara polisi dan jaksa. Antara mereka dihubungkan dengan suatu bentuk koordinasi fungsional, yaitu pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberitahuan dihentikannya penyidikan, perpanjangan penahanan, serta penyerahan berkas perkara yang jika belum lengkap dilakukan prapenuntutan. Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan dibentuklah koordinasi secara institusional melalui lembaga makehjapol dan lain-lain. Dalam perjalanan, konfigurasi hubungan polisi dan jaksa ternyata menghadapi masalah-masalah yang berakibat tidak dicapainya peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak dicapainya rasa keadilan. Masalah-masalah itu antara lain bolak-baliknya berkas dari polisi ke jaksa dan sebaliknya tanpa waktu yang jelas, tidak selesainya perkara karena berkas yang sudah diserahkan jaksa tidak pernah kembali lagi ke jaksa, penyerahan pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan berkas perkara sehingga jaksa tidak mengikuti sejak awal, dan sebagainya. Ketentuan yang menghubungkan polisi dan jaksa pada masa KUHAP merupakan suatu penemuan penting yang sebenamya dapat menjembatani dua hal. Pertama, koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa yang harus bekerja secara terpadu dalam suatu sistem peradilan pidana; kedua, kesadaran bahwa sebenarnya terdapat masalah antara polisi dan jaksa terutama menyangkut siapa yang berhak menyidik atau siapa yang bertanggung jawab dalam penyidikan atau sejauh mana peranan jaksa dalam bidang penyidikan. Dengan demikian, koordinasi fungsional seperti pemberitahuan dimulainya penyidikan, penghentian penyidikan, perpanjangan penahanan serta lembaga pra-penuntutan merupakan suatu formula kompromi untuk mencapai efektifitas proses peradilan pidana, tetapi dalam konfigurasi penegak hukum yang sudah berbeda dibanding pada masa HER di mana jaksa merupakan magistraat sedangkan polisi help magistraat. Sayangnya, terdapat kerancuan pemahaman serta penafsiran terhadap ketentuan tersebut. Yang muncul dalam praktik kemudian adalah bahwa polisi berada dalam satu kotak sementara jaksa di dalam kotak yang lain (Topo Santoso, Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davis, Frederick T
Abstrak :
American criminal justice may be one of the best known - and most influential - systems of criminal justice in the world, but also the least understood: countless films and television series portray American police officers, prosecutors and lawyers, but over 95 percent of criminal matters result in guilty pleas, and trials are becoming vanishingly scarce as people accused of crime choose to strike a deal with increasingly powerful prosecutors. Sentencing 'reform' has led to a burgeoning prison population that is by far the highest among economically advanced countries. Meanwhile, American prosecutors have gained increasing (and largely unchecked) power to apply US criminal laws to worldwide corporations and individuals with little or no connection with the country. American Criminal Justice: An Introduction provides a readable, comprehensive review of the American criminal process behind these and other problems.
United Kingdom: Cambridge University Press, 2019
e20528757
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Soebekti
Abstrak :
Dengan adanya era reformasi dewasa ini dituntut keterbukaan di segala bidang telah mempengaruhi terbukanya kritik masyarakat terhadap perilaku aparat maka perlu peningkatan kesadaran tentang bidang tugas Polisi yaitu "Pelayan" terutama pelayanan anggota Polisi dalam berkomunikasi dengan masyarakat pelapor baik komunikasi verbal maupun non verbal. Tujuan penelitian ini untuk menemukan ciri-ciri komunikasi verbal dan non verbal yang menimbulkan ekspresi simbolik dalam interaksi tersebut. Penelitian ini bersifat Studi Kasus, deskriptif dan kualitatif dengan mempergunakan metode penelitian terlibat dan wawancara bebas dilakukan di ruangan penerima laporan Polres Metro Jakarta Barat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ciri-ciri komunikasi verbal maupun non verbal para petugas penerima laporan belum dimengerti arti pentingnya ciri-ciri komunikasi tersebut yang berakibat persepsi masyarakat terhadap dirinya berbeda.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himawan Santoso
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses dalam promosi jabatan bagi Perwira Pertama, dengan mencoba memahami persepsi dan pandangan baik dari anggota Polri yang berpangkat Perwira Pertama, Pimpinan Organisasi/ Kesatuan Polri dan Pejabat Personalia yang menyelenggarakan Pembinaan Personil, serta perangkat Ketentuan dan Kebijaksanaan dalam Pembinaan Personil Polri. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat sejauh manakah penyelenggaraan dari proses dalam promosi jabatan bagi Perwira Pertama. Untuk memperoleh informasi yang mendalam dari subyek penelitian, metode yang digunakan utamanya adalah metode kwalitatif dengan pendekatan diskriptif dan studi etnografis, dengan pengamatan terhadap subyek penelitian dan memanfaatkan wawancara yang mendalam, serta mengedarkan Kuesioner kepada Perwira Pertama. Adapun ruang lingkup penelitian difokuskan pada proses dalam promosi jabatan yaitu persyaratan, kewenangan serta prosedur dalam promosi jabatan bagi Perwira Pertama, yang mencakup perangkat ketentuan dan kebijaksanaan yang ada dikaitkan dengan bagaimana pelaksanaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan walaupun proses dalam promosi jabatan bagi Perwira Pertama sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan namun dalam pelaksanaannya dirasakan lmbat, kurang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan organisasi yang harus serba cepat dan tepat. Hal itu disebabkan karena jalur birokrasi yang ada, serta masih adanya kesan bahwa promosi jabatan hanya berlaku bagi para Perwira Pertama yang dikenal oleh pimpinan maupun pejabat personil. Terjadinya penyimpangan dalam promosi jabatan akan menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan bagi organisasi yaitu suasana kerja yang tidak nyaman dan juga menimbulkan semangat kerja yang rendah bagi para Perwiranya. Hal demikian akan menimbulkan citra yang kurang menguntungkan bagi Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mandey, Max Everhart
Abstrak :
Di satu pihak Polri sangat diterapkan kehadirannya di tengah masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan kondisi yang tertib serta patuh kepada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi, dalam kenyataanya, Polri tidak selalu dapat memuaskan harapan semua pihak. Diduga bahwa faktor utamanya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Polri, dan untuk mengatasinya diperlukan adanya penyesuaian pendidikan dan latihan di lingkungan Polri termasuk pendidikan S1 di PTIK. Berangkat dari dugaan tersebut di atas maka tujuan penelitian ini di samping berusaha mengungkap tingkat relevansi kurikulum S1 PTIK dengan tugas Kepolisian dan pelaksanaan kurikulumnya, juga pola pembinaan tenaga akademik yang dilaksanakan di PTIK selama ini, kendalakendala yang dihadapi, dan akhirnya dapat mengemukakan pola yang dianggap lebih sesuai untuk diterapkan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei. Besar sampel seluruhnya 296 orang yang terdiri dan 100 lulusan, 146 pengelola pendidikan, dan 50 pengguna lulusan PTIK. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, untuk mengembangkan PTIK sebagai lembaga pembentuk sumber daya manusia Polri ternyata banyak faktor yang terkait seperti: kualitas talon, mutu tenaga akademik, fasilitas belajar mengajar, lingkungan, dan sistem kurikulum. Dari apa yang menjadi fokus penelitian terungkap bahwa, tingkat relevansi kurikulum S1 PTIK dengan tugas Kepolisian menurut persepsi pengelola, lulusan, dan pengguna lulusan termasuk dalam kategori kurang. Demikian halnya dengan pelaksanaan kurikulum di PTIK ternyata masih termasuk ke dalam kategori kurang memadai. Sedangkan dari faktor mutu tenaga akademik, khususnya yang terkait dengan pembinaan tenaga akademik terungkap bahwa: tenaga akademik di PTIK di samping membutuhkan pembinaan dalam hal pengembangan kompetensi mengajar, baik dalam hal pengembangan sistem instruksio-nal maupun penguasaan materi pelajaran, juga membutuhkan pembinaan untuk mengembangkan kemampuan meneliti, mengikuti pendidikan lanjut yakni program pasca sarjana dan program-program non-gelar, peningkatan kemampuan manajerial, dan pembinaan untuk dapat berperan serta dalam program pengabdian pada masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi para dosen, staf, dan pimpinan di PTIK, untuk memperbaiki dan mengembangkan materi dan pelaksanaan kurikulum, serta pola pembinaan tenaga akademik yang lebih sesuai untuk diterapkan.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Kusnadi
Abstrak :
Banyak faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya suatu perbuatan jahat, diantaranya disebabkan karena niat dan kesempatan sudah bersatu dan saling mempengaruhi. Dimana hal itu berawal dari adanya Faktor Korelatif Kriminogen (FKK), Police Hazard (PH) sehingga timbullah Ancaman Faktual (AF ) berupa penyimpangan perilaku kejahatan. Kepadatan arus kendaraan, penumpang menuju ke Pelabuhan Penyeberangan Merak Bakauheni merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan terjadinya perbuatan jahat (kejahatan). Dimana hal ini dapat dibuktikan pada periode tahun 2001 dengan adanya peningkatan kepadatan jumlah kendaraan dan penumpang menuju Palau Sumatra melalui Penyeberangan Merak Bakauheni (wilayah Pulomerak) tahun 2001, mempengaruhi terjadinya peningkatan kejahatan dan begitupun juga sebaliknya. Akan tetapi di dalam aspek pengendaliannya, kejahatan maupun kepadatan arus kendaraan dan penumpang itu tidak akan terjadi perubahan apabila dalam arti jumlah personil/pelaksana di lapangan serta sarana dan prasarana (fasilitas penunjang) masih tetap. Sehingga untuk itu perlu adanya penambahan dan pengaturan yang baik dari pelaksana di lapangan, serta adanya pembenahan, penambahan sarana dan prasarana (fasilitas) penunjang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T3647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Rahmat Idnal
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini tentang membahas tentang kegiatan penertiban permukiman liar di Muara Angke yang dilakukan oleh petugas tramtib dan Polisi. Perhatian utama dalam penulisan tesis ini adalah bahwa kegiatan penertiban yang dilakukan oleh petugas tramtib dan polisi di Muara Angke selama ini dengan memberdayakan keberadaan para preman yang dianggap tokoh oleh warga penghuni liar. Pendekatan yang digunakan adalah metode kualitatif dengan metode etnografi. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, pengamatan terlibat dan wawancara berstruktur dan tidak berstruktur. Hasil penelitian menunjukan: 1) Kawasan permukiman liar yang terdapat di Muara Angke pada awalnya merupakan penguasaan sebagian lahan yang dilakukan oleh orang-orang kaum pendatang yang memanfaatkan lahan-lahan yang masih kosong milik Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PT PKPP & PPI) Dinas Petemakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta; 2) kegiatan penertiban yang dilakukan di permukiman liar Muara Angke selama ini dilakukan dengan dua metode yang berbeda, pertama dilakukan oleh aparat tramtib kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dan kedua dilakukan oleh UPT PKPP & PPI dengan menggunakan komunitas preman yang dianggap tokoh oleh warga hunian liar, yang selama ini dikenal dengan sebutan tramtib india; 3) kelompok preman yang terdapat di permukiman liar adalah kelompok preman dari bugis-makasar dan kelompok preman dari kulon; 4) para korban penertiban permukiman liar mendapatkan kompensasi dari UPT PKPP & PPI berupa uang kerohiman yang jumlahnya sama dengan tidak melihat kondisi dan fisik bangunan; 5) Cara kerja para preman di permukiman liar Muara Angke adalah dengan mengunig lahan-lahan yang masih kosong kemudian menjualnya kepada warga hunian liar baru yang akan menempatinya; 6) pola hubungan patron klien yang terjadi di permukiman liar Muara Angke adalah patron klien antara preman dengan warga hunian liar dan patron klien antara polisi dengan para preman; 7) metode pendekatan yang dilakukan oleh Polsek KP3 Pelabuhan Sunda Kelapa terhadap para preman di kawasan permukiman liar adalah dengan metode pendekatan persuasif dengan cara melibatkan para preman untuk menjaga dan mengawasi sarana dan prasarana milik UPT PKPP & PPI Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta, seperti penjagaan blongblong ikan, penjagaan tambak-tambak dan pejagaan kapal-kapal hasil sitaan Polsek KP3 Pelabuhan Sunda Kelapa. Implikasi kajian dari tesis ini adalah: 1) Ketegasan dalam penegakan Perda DKI Jakarta No. 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Wilayah DKI Jakarta terhadap bangunan liar yang ditempati oleh para pendatang liar di Muara Angke harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan agar jumlahnya tidak terus bertambah; 2) perlu adanya kejelasan status dan pemberian kekuatan hukum yang tetap kepada pihak UPT PKPP & PPI Dinas Petemakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DK1 Jakarta, sehingga setiap kegiatan penertiban yang akan dilakukan oleh pihaknya memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak rawan terhadap gugatan PTUN dari pihak lain; 3) Setiap kegiatan penertiban dan penggusuran yang akan dilakukan, hendaknya selalu dipikirkan dampak konflik yang ditimbulkan dari penertiban tersebut, yaitu mengenai relokasi ternpat tinggal selanjutnya dan memperbanyak pembuatan rumah-rumah sederhana layak huni atau rumah susun yang harganya sebagian merupakan subsidi dari pemerintah; 4) penerapan sanksi sesuai Perda harus diterapkan kepada para warga hunian liar yang masih memanfaatkan lahan kosong yang telah dilakukan penertiban.
ABSTRACT
This thesis discusses about the order enforcement activities at illegal settlement in Muara Angke conducted by public order officers and police officers. The main concern in this thesis writing is that the law enforcement activities conducted by public order officers at Muara Angke during the time by empowering the existence of thugs considered as figures by the squatters. The approach used is qualitative method with ethnography method. Data collection carried out through observation, participatory observation and structured and non structured interviews. The research results indicate: (1) Illegal settlement located at Muara Angke in the beginning was control of land conducted by migrants utilizing the unoccupied land belong to Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PT PKPPP & PPI) Husbandry, Fishery and Marine Agency Capital Jakarta; 2) the order enforcement conducted in the illegal settlement of Muara Angke during the time conducted with to different methods, first conducted by public order officers of Penjaringan District North Jakarta and second conducted by UPT PKPP & PPI by using thugs community considered as figure by squatters, which during the time known with India public order enforcers; 3) thugs groups in the illegal settlement are thugs groups from Bugis-Makassar and thugs group from Kulon, 4) the eviction victims received compensation from UPT PKPP & PPI in form of kerohiman money which the amounts were the same without considering the building conditions and physic; the work method of thugs at the illegal settlement Muara Angke was by dividing the unoccupied land then sold them to the new squatters who will place them; 6) relations pattern of patron client occurred in illegal settlement Muara Angke are patron client between thugs and squatters and patron client between police and thugs; 7) the approach method conduced by Precinct Police Station KP3 Sunda Kelapa Port toward the thugs in the illegal settlement is by persuasive method by involving the thugs to safeguard and oversee the means and facilities belong to UPI PKPP & PPI of Fishery and Maritime Agency of Capital Jakarta, such safeguarding fish catching, embankments, and vessels of confiscation result of Precinct Police Station KP3 Sunda Kelapa Port. Research implications of this thesis are : 1) Decisiveness in enforcement Bylaw of Capital Jakarta No. 11/1988 concerning Public Orderliness of Jakarta Region toward illegal buildings occupied by the illegal migrants at Muara Angke should be conducted in consistent and sustainable way in order that their number does not increase; 2) it requires clarification of status and permanent legal force granting to the to UPT PKPP & PP Husbandry, Fishery and Maritime Agency of Capital Jakarta, so each orderliness activities to carry out by its side has a strong legal basis and not vulnerable to administrative legal suit from other party; 3) Each order enforcement and eviction to conduct should be always considered their conflict impacts emerged from order enforcement, namely, concerning relocation their next homes and increase the number of simple and decent homes or flats which the prices a part is subsidy from the government; 4) the imposition of sanctions pursuant to Bylaw should be applied to the squatters who still utilize the vacant lands which have been ordered.
2007
T20481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Taufikurrahman Badruzzaman
Abstrak :
Pada studi terdahulu, ekspresi emosi pelapor ditemukan berperan dalam mempengaruhi persepsi kredibilitas laporan kasus kekerasan seksual. Meskipun ekspresi emosi pelapor tidak berkaitan dengan kejujuran dan kebenaran laporan, laporan yang menunjukkan pelapor dengan ekspresi emosi negatif ditemukan lebih dipersepsikan kredibel dibanding laporan dari pelapor dengan ekspresi emosi netral atau disebut juga sebagai Emotional Victim Effect (EVE). Untuk lebih jauh memahami pengaruh EVE pada persepsi kredibilitas laporan kasus kekerasan seksual, peneliti melakukan penelitian eksperimen dengan melibatkan petugas kepolisian Indonesia (N=140) yang direkrut melalui Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Partisipan polisi mendapatkan video stimulus yang berisikan tayangan seorang perempuan dewasa muda melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Peneliti melakukan manipulasi variabel ekspresi emosi yang mempresentasikan pelapor dengan ekspresi emosi negatif dan ekspresi emosi netral. Temuan utama menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari ekspresi emosi negatif pelapor terhadap persepsi petugas polisi terkait kredibilitas laporan kekerasan seksual. Namun, temuan eksploratif menunjukkan adanya kehadiran EVE pada dua aspek persepsi kredibilitas laporan dari pelapor dengan ekspresi emosi negatif. Temuan penelitian ini menyarankan adanya peningkatan kapasitas bagi petugas polisi terkait isu korban kekerasan seksual dan juga pengembangan metode dalam investigasi kredibilitas yang lebih objektif dan akurat. ......Previous studies shown that the emotional expression of complainant was found to play a role in influencing the credibility of sexual violence allegation report cases. Although complainant's emotional expression is not related to the honesty and veracity of the complainant's statement, reports from complainant with negative emotional expressions were found to be perceived as more credible than reports from complainant with neutral emotional expressions or also known as the Emotional Victim Effect (EVE). To further understand the effect of EVE on perceived credibility of sexual violence case reports, researcher conducted an experimental study involving Indonesian police officers (N=140) who were recruited from Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian and Special Unit for Women and Children Case or Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Police participants received a stimulus video containing footage of a young adult woman reporting sexual violence she had experienced. Present study manipulated the emotional expression variable which presented the complainant with negative emotional expressions and neutral emotional expressions. The main finding show that there is no significant effect of complainant's negative emotional expressions on police officer perceptions regarding the credibility of the sexual assault report. However, exploratory findings indicate the presence of EVE on two aspects of the perceived credibility of report from complainant with negative emotional expressions. The findings of this study suggest capacity building for police officers regarding the issue of victims of sexual assault and also the development of methods in investigating credibility that are more objective and accurate.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyo Wira Nugroho
Abstrak :
Tesis ini membahas pengamanan PT. Chevron Pacific Indonesia di kawasan Duri. Perhatian utama tesis ini menyangkut manajemen sistem keamanan yang dilaksanakan di kawasan Duri Camp dan Duri Field, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Petugas Jasa Pengamanan dan Management Security PT.CPI dengan bantuan kepolisian setempat. Penelitian menggunakan pendekatan manajemen dengan metode kualitatif, serta teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara dan kajian dokumen. Penelitian dengan metode kualitatif dan pendekatan manajemen, dimaksudkan untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada sesuai dengan maknanya dari sudut pandang manajemen yang diberikan dan dipahami oleh. Petugas Jasa Pengamanan, Management Security PT.CPI dan Kepolisian di wilayah penelitian. Hasil metode menunjukkan bahwa kegiatan pengamanan yang dilaksanakan oleh Petugas Jasa Pengamanan, Management Security PT.CPI dan Kepolisian menggunakan pendekatan manajemen yaitu melalui suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Namun pendekatan manajemen yang dilakukan ini belum menciptakan sistem pengamanan yang terpadu dan maksimal, sehingga di kawasan Duri masih terdapat beberapa pengnganan masalah dari potensi ancaman, kejahatan dan bentuk-bentuk gangguan keamanan yang terjadi belum menunjukan hasil yang balk demikian juga upaya taktis dalam implementasi hubungan dan koordinasi yang maksimal dan optimal antara Polri, Petugas Jasa Pengamanan dan Management Security PT.CPI belum terwujud. Yang pada akhirnya menyebabkan warga masyarakat yang melakukan aktifttasnya merasa kurang nyaman dan sangat menghambat produktivitas perusahaan. Penerapan konsep-konsep mengenai Pemolisian Komuniti atau Community Policing terhadap petugas keamanan sangat berpengaruh terhadap penuntasan masalah keamanan. Dengan memberdayakan potensi masyarakat, dalam hal ini petugas keamanan PT.CPI pada wilayah kerjanya, sangat mernbantu Polri dalam tugas mencegah terjadinya bentuk-bentuk gangguan keamanan. Sehingga permasalahan yang selama ini selalu tidak terselesaikan oleh Polri dalam hal pemenuhan jumlah personil Polri apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini. Upaya yang dilakukan oleh PT.CPI untuk memberi pelayanan keamanan kepada warga masyarakat adalah dengan menunjuk Badan Usaha Jasa Pengamanan dan Penyelamatan (BUJPP) sebagai mitra kerja. Dalam kegiatan pengamanan Petugas Jasa Pengamanan, Management Security PT.CPI dan Petugas Polri setempat melakukan hubungan sosial dengan warga masyarakat, dengan pola melibatkan secara aktif peran serta masyarakat dalam posisi yang setara dalam menjaga siskamtibmas dan juga melakukan tindakan pelayanan keamanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan warga masyarakat akan rasa aman, tertib, dan nyaman dalam melakukan aktifitasnya di kawasan Duri. Implikasi dari tesis ini adalah perlunya perbaikan manajemen sistem keamanan yang dilaksanakan dengan mengutamakan konsep Pemolisian Komuniti oleh Petugas Polri dan Petugas Jasa Pengamanan serta Management Security PT.CPI di dalam turut serta atau keterlibatan masyarakat secara Iangsung. Adanya suatu keterpaduan dalam melaksanakan kegiatan pengamanan di PT.CPI berdasarkan pasal 14 huruf f No. 2 tahun 2002 yaitu Polri bertugas melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Dengan demikian khususnya Direktorat Bina Mitra Polda Riau, sebagai pembina fungsi teknis untuk lebih pro-aktif mengadakan pembinaan dalam bentuk program kerjasama dan evaluasi secara konsisten terhadap Manajemen Sistem Keamanan PT.CPI di kawasan Duri.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T18437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yuanita Indriani
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang dipersempit ruang lingkupnya pada aparat kepolisian sebagai pejabat penyidik dalam proses interogasi. Kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk tujuan-tujuan tertentu dikualifikasikan sebagai penyiksaan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah diratifikasi ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1998. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif-evaluatif ini, ditemukan putusanputusan yang memidana pelaku penyiksaan dengan pasal tentang penganiayaan dalam KUHP. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal tentang penganiayaan masih belum tepat digunakan dalam memidana pelaku penyiksaan yang memiliki kualifikasi kejahatan yang lebih berat daripada tindak pidana penganiayaan. ...... The focus of this study is regarding violence committed by law enforcement officers (which in this particular study is narrowed down to the scope of police officers as investigators) in the interrogation process. Violence committed by a public official for certain purposes is qualified as torture as it is mentioned in the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) that has been ratified with Law No. 5 of 1998. Based on this descriptive-evaluative study, it is found that there are court decisions that convict perpetrators of torture with articles regarding persecution from the Indonesian Criminal Code (KUHP). The result of this study shows that the application of articles regarding persecution is still not yet appropriate to be used in convicting perpetrators of torture, since it is qualified as a more serious crime than the crime of persecution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>