Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Dwi Wicaksono
Abstrak :
Latar belakang: Operasi sesar merupakan salah satu tindakan yang paling sering dilakukan dibidang obstetrik bahkan hingga dalam satu rumah sakit. Angka kejadian infeksi daerah operasi sesar sangat bervariasi pada seluruh dunia berkisar pada 3-15%. Proses terjadinya IDO merupakan suatu proses multifaktorial yang meliputi mulai dari persiapan perioperatif, kondisi pasien, jenis operasi, jenis kuman dan lain-lain. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, pola kuman, dan faktor risiko kejadian infeksi daerah operasi (IDO) di RSCM tahun 2016-2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cohort retrospective. Subyek penelitian ini merupakan pasien yang menjalani operasi sesar di RSCM pada tahun 2016-2018 yang direkrut menggunakan metode consecutive sampling. Dari data yang didapatkan dilakukan analisis bivariat dan multivariat untuk menentukan faktor risiko terjadinya IDO pasca operasi sesar Hasil: Didapatkan sebanyak 2.052 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Sebanyak 85 kasus infeksi daerah operasi (IDO) didapatkan dari 2.052 tindakan yang dilakukan (4,14%). Sebanyak 85 kelompok kasus IDO dan 1.967 kelompok kasus kontrol diikutsertakan dalam analisis faktor risiko. Kuman paling sering didapatkan pada kultur kasus infeksi daerah operasi pasca operasi sesar adalah Staphylococcus aureus (16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%), Enterococcus faecalis (9,4%), dan lainnya (21,2%). Variabel yang berpengaruh terhadap kejadian IDO pasca secar adalah gawat janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95 % 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121). Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian IDO pasca SC adalah gawat janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95 % 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121).
Background: Caesarean section is one of the most performed operations in the field of obstetrics and even in hospital. The incidence of infections in cesarean section varies greatly around the world at 3-15%. Surgical site infection is a multifactorial process that starts from the perioperative preparation, the patient, the type of surgery, the type of germ and other factors. Objective: To determine the characteristics of patients, bacterial patterns, and risk factors for the incidence of surgical site infection (SSI) in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2016-2018. Method: This study was an observational study using a retrospective cohort method. The subject of this study were patients undergoing cesarean section in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2016-2018 recruited using consecutive sampling method. Based on the data obtained, bivariate and multivariate analysis were conducted to determine the factors affecting after caesarean section SSI Result: A total of 2.052 subjects were included in the study. There were 85 cases of surgical site infection (SSI) out of 2.052 operations (4.14 %). A total of 85 SSI case groups and 1.967 control groups were included in the risk factor analysis. Bacteria most commonly found in surgical site infection culture were Staphylococcus aureus (16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%), Enterococcus faecalis (9,4%), and others (21,2%). Variable associated with SSI in this study is fetal distress (p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 CI 95% 1,066-3,121). Conclusion: Factors influencing the incidence of SSI after SC was fetal distress (p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 CI 95% 1,066-3,121).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Gozali Surono
Abstrak :
Masalah kesehatan yang terjadi secara global saat ini adalah resistensi antimikroba. Resistensi ini menyebabkan meningkatnya mortalitas penyakit, memanjangnya lama hari rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Salah satu strategi yang diusung untuk menanggulangi resistensi ini adalah dengan menerapkan pola kuman sebagai acuan dalam perumusan panduan penggunaan antibiotika yang rasional. Pola kuman berguna bagi para klinisi untuk membantu memberikan petunjuk dalam pemberian terapi empiris. Pola kuman juga berfungsi untuk menunjukkan tren sensitivitas jenis kuman terhadap suatu jenis antibiotika. Indonesia menunjukkan kepeduliaannya dengan membuat suatu peraturan tentang Program Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA). Rumah sakit Santa Maria merupakan rumah sakit swsata yang sudah menerapkan pola kuman dalam panduan penggunaan antibiotika. Penelitian yang dilakukan terhadap kasus infeks jaringan lunak di RS Santa Maria mendapatkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan jenis kuman yang paling banyak ditemukan di kasus infeksi jaringan lunak dan pada uji sensitivitas antibiotika masih mempunyai derajat sensitivitas yang cukup baik terhadap golongan cephalosporin generasi ketiga. Pola kuman ini juga mendorong para klinisi agar memberi pengobatan sesuai dengan panduan antibiotika yang diberlakukan di RS Santa Maria. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa dengan penerapan pola kuman terhadap panduan penggunaan antibiotika, pasien mempunyai outcome sembuh dengan lama hari rawat yang lebih pendek (5.45 hari vs 4.3 hari dengan P<0.001), biaya belanja obat antibiotika berkuurang (Rp.79.982.730 vs Rp.41.020.622) dan rata-rata total biaya yang lebih efisien (Rp.13.854.266 vs Rp.11.930.250). Hal ini dikarenakan jumlah penggunaan antibiotika yang berkurang setelah PPRA. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam ere PPRA di RS Santa Maria adalah mengoptimalkan pemakaian penggunaan jenis antibiotika spektrum sempit dan peningkata kualitas pengumpulan data pola kuman dengan teknik yang benar, alat yang menunjang dan sumber daya manusia yang berkompetensi di bidangnya . Beberapa hal yang harus diperhitungkan oleh rumah sakit terkait pola kuman ini adalah manfaat yang didapat haruslah lebih besar nilainya daripada biaya investasi, biaya operasional, dan biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan baik terhadap pasien, klinisi dan rumah sakit.
Global health issue that is crucial nowadays problems is antimicrobial resistance. This resistance leads to increased disease mortality, extended length of stay and increased cost of treatment. One of the strategies that is carried out to overcome this resistance is to apply antibiogra, patterns as a reference in the formulation for rational use of antibiotics guidelines. Antibiogram patterns are useful for clinicians in giving empirical therapy thorough an educated guess. Antibiogram patterns are also useful to show trends of antibiotic sensitivity againts certain type of germ. Indonesia shows its concern by making a regulation on the Antimicrobial Stewardship (AMS). Santa Maria Hospital, a private hospital has applied antibiogram patterns to formulate antibiotic guidelines. This thesis was conducted on soft tissue infections cases found in Santa Maria Hospital . The result was that Staphylococcus aureus is the most commonly germ found in cases of soft tissue infections and still has a moderate sensitivity to antibiotic such as third generation of cephalosporin. This antibiogram pattern also encourages clinicians to treat patient diagnosed with soft tissue infection based on the antibiotic guidelines that applicable in Santa Maria Hospital. The results of this study found that with the application of antibiogram patterns to formulate antibiotic guidelines, brings benefit such as not only patients were recovered from the infection but also recovery with shorter length of stay (and 5.45 days vs 4.3 days with P<0.001), cost expenses for phharmacy logistic decreased (Rp.79.982.730 vs Rp.41.020.622) and decreased mean of treatment cost (Rp.13.854.266 vs Rp.11.930.250). The reason for this to happened is that the amount of antibiotic used to treat pastient is decreased after AMS . Some matter that need to be improved in the AMS program at Santa Maria Hospital is to optimize the use of narrow spectrum antibiotics and to improve the quality of collecting data for antibiogram pattern by improving techniques, supporting tools and competent human resources. Consideration that must be taken into account is that regarding this antibiogram pattern bring benefits for patients, clinicians and hospitals which is more important than the investment costs, operational costs, and maintenance costs.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhil Ardiyansyah
Abstrak :
Latar belakang: Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) merupakan masalah prostat yang umum terjadi pada laki-laki, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat disebabkan oleh PPJ akibat dari obstruksi pada Bladder outlet, instrumentasi, bahkan akibat dari sistoskopi atau kateterisasi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola kuman dan kuman terbanyak yang menyebabkan ISK pada pasien PPJ di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Metode: Data dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito mulai Januari 2001 sampai Desember 2011. Pola kuman dan sensitivitas obat dicatat. Hasil: Terdapat 92 pasien dengan usia 46-95 tahun yang didiagnosis dengan PPJ dan Prostatitis. Didapatkan 81,40% merupakan bakteri gram negatif, 9,3% bakteri gram positif, dan 9,3% jamur. Kemudian didapatkan Streptococcusfaecalis (11,62%) merupakan bakteri gram positif terbanyak yang ditemukan di dalam kultur urin. Obat yang dipakai untuk sensitivitas melipuit : Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim-Sulfamethoxazole. Kesimpulan: Bakteri paling banyak yang ditemukan pada pasien dengan BPH adalah Pseudomonas aerogenosa (25.58%) dan bakteri yang paling jarang ditemukan adalah Citrobacterfreundii (2.32%). Menurut penelitian ini, 82.05% pasien BPH dengan infeksi saluran kemih sensitif terhadap pengobatan dengan Imipenem, diikuti dengan Amikacin (74.35%).
Background: Benign prostatic hyperplasia (BPH) is the most common condition in men with prostate problems. Urinary tract infection can be caused by BPH due to Bladder outlet obstruction, instrumentation either from cystoscopy or catheterization. Objective: The aim of this study is to describe microorganism pattern and the most common caused urinary tract infection in BPH patient hospitalized in Dr. Sardjito general hospital. Method: Data were retrospectively collected from Dr. Sardjito general hospital medical record patients from January 2011 to December 2011. Microorganism pattern and drug sensitivity data were collected. Results: There were 92 patients age 46-95 years old diagnosed histophatologically as BPH and prostatitis. The 81.40% microorganism pattern were Gram negative bacteria, 9.3% Gram positive bacteria and 9.3% yeast. On the other hand , Streptococcus faecalis (11,62%)is the main gram positif bacteria found in the urine culture. The drug used for sensitivity including; Amikacin, Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Cefepim, Cefpiron, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefuroxime, Chloramphenicol, Fosfomycin, Gentamycin, Nalidixic acid, Imipenem, Netilmicin, Nitrofurantoin, Norfloxacin, Tetracyclin, Tobramycin, Vancomycine, Ciprofloxacine, Trimethoprim, and Sulfamethocazole. Conclusion: The most frequent bacteria found in BPH patients is Pseudomonas Aerogenosa (25.58%) and the least frequentbacteria is Citrobacter freundii (2.32%). According to this study, 82.05% UTI patients sensitive to Imipenem medication, followed by Amikacin (74.35%).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library