Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cindy Ameliani Putri
"Transaksi digital semakin mendominasi sistem perdagangan di era ini. Pengenaan PPN atas konsumsi dalam Daerah Pabean, dikenakan tanpa melihat dari mana asal barang dan/atau jasa tersebut, termasuk yang berasal dari luar Daerah Pabean. Penelitian ini membahas tentang kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang tertuang di dalam PMK No. 48/PMK.03/2020. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengenaan PPN PMSE di Indonesia yang ditinjau dari prinsip pemajakan atas e-commerce serta membandingkan pengenaan PPN PMSE di Indonesia dengan GST of Digital Services di Singapura. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan paradigma post positivist dengan jenis penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan PPN PMSE di Indonesia masih belum memenuhi prinsip kepastian dan prinsip efektivitas karena atas sanksi yang diatur dalam PMK No. 48/PMK.03/2020 adalah sanksi yang diatur dalam UU KUP sementara yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE bukan merupakan BUT, selain itu hingga saat ini belum bisa melakukan monitoring, pengawasan, dan mendapatkan data pembanding untuk memastikan Pemungut PPN PMSE telah comply. Adapun terkait perbandingan dengan Indonesia-Singapura, ditemukan beberapa perbedaan yaitu Indonesia memungut PPN melalui mekanisme Penunjukan Pemungut PPN PMSE sedangkan di Singapura harus mendaftarkan diri secara mandiri apabila telah mencapai treshold. Kemudian, Singapura memiliki sistem pengawasan atas transaksi digital melalui mekanisme National Payment Gateway (NPG). Dengan adanya permasalahan tersebut, pemerintah diharapkan untuk segera membuat peraturan yang jelas dan tidak multitafsir dan atas sistem pengawasan berupa NPG yang diterapkan di Singapura tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Negara Indonesia untuk memastikan bahwa para pemungut PPN PMSE telah comply.

Digital transactions increasingly dominate trading systems in this era. The imposition of VAT on consumption in the Customs Territory, imposed regardless of where the goods and/or services come from, including those from outside the Customs Territory. This study discusses the policy of Value Added Tax on the utilization of Intangible Taxable Goods (BKP) and/or Taxable Services (JKP) from outside the Customs Territory within the Customs Territory through Electronic System Trade (PMSE) contained in PMK No. 48/PMK.03/2020. This study aims to analyze the imposition of PMSE VAT in Indonesia which is reviewed from the principle of taxation on e-commerce and compare the imposition of VAT pmse in Indonesia with GST of Digital Services in Singapore. The research method used is a quantitative approach with a post positivist paradigm with descriptive research types. The types of data used are primary and secondary data with data collection techniques of literature studies and field studies through in-depth interviews. The results of this study concluded that the application of VAT PMSE in Indonesia still does not meet the principle of certainty and principle of effectiveness because the sanctions stipulated in PMK No. 48/PMK.03/2020 are sanctions stipulated in the Kup Law while designated as PMSE VAT collectors are not PE, other than that until now have not been able to monitor, supervise, and obtain comparative data to ensure that pmse VAT collectors have complied. As for the comparison with Indonesia-Singapore, there are some differences, namely Indonesia collects VAT through the mechanism of Appointment of VAT Collectors PMSE while in Singapore must register independently if it has reached treshold. Then, Singapore has a surveillance system for digital transactions through the National Payment Gateway (NPG) mechanism. With these problems, the government is expected to immediately make clear and not multi-interpretation regulations and on the npg surveillance system implemented in Singapore can be used as a consideration for the State of Indonesia to ensure that the PMSE VAT collectors have complied."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Fakhri Jamal Yusuf
"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengubah tugas dan fungsi pengawasan KPP Badan dan Orang Asing (Badora) untuk melaksanakan pengawasan terhadap pemungut PPN PMSE. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan yang dialami oleh Account Representative (AR) di KPP Badora dalam melakukan pengawasan terhadap Pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dengan menggunakan model ADKAR. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan mixed method. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AR mengalami hambatan dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemungut PPN PMSE berdasarkan model ADKAR. Pada aspek awareness dan desire tidak ditemukan hambatan bagi AR dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemungut PPN PMSE. Namun pada aspek knowledge, ability, dan reinforcement terdapat hambatan bagi AR dalam melakukan pengawasan terhadap pemungut PPN PMSE. Pada aspek knowledge, AR masih kurang memahami proses bisnis pemungut PPN PMSE. Pada aspek ability, terdapat beberapa hambatan yaitu belum adanya data pembanding nilai transaksi dan jumlah traffic, sistem informasi pengawasan yang belum mendukung, dan pengenaan sanksi yang belum dapat ditindaklanjuti. Pada aspek reinforcement, AR belum didukung dengan proses bisnis pengawasan yang sesuai dengan karakteristik pemungut PPN PMSE.

The Directorate General of Taxes (DGT) has changed the duty and supervisory function of the KPP Badan dan Orang Asing (Badora) to supervise Value-Added Tax (VAT) Collectors on Trading Through Electronic Systems (TTES). This research aims to analyze the obstacles faced by Account Representatives (AR) at KPP Badora in supervising TTES VAT collectors using the ADKAR model. A case study approach with mixed methods was employed in this research, with data collected through questionnaires and interviews. The results showed that ARs experienced obstacles in supervising PMSE VAT collectors based on the ADKAR model. While no significant obstacles were identified in the aspects of awareness and desire, challenges were evident in the aspects of knowledge, ability, and reinforcement. In the knowledge aspect, ARs lacked a comprehensive understanding of the business processes of TTES VAT collectors. In the ability aspect, obstacles included the absence of comparative data on transaction values and traffic volume, an insufficiently supportive supervisory information system, and unenforceable sanctions. Finally, in the reinforcement aspect, ARs were not supported by a supervisory business process tailored to the specific characteristics of TTES VAT collectors."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzara Pawa Pambika
"Melalui Perppu 1/2020 (UU 2/2020) pemerintah mengatur regulasi pemajakan ekonomi digital. Regulasi tersebut berusaha mengatur pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) melalui pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE). Namun, masih belum terdapat kelanjutan penerapan kebijakan PPh PMSE dan PTE. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tantangan dan strategi Indonesia dalam menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital. Selain itu, turut dikaji kebijakan PPh ekonomi digital yang telah diterapkan di Prancis, Vietnam, dan India. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui studi kepustakaan serta studi lapangan berupa wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tantangan penerapan PPh ekonomi digital karena hingga saat ini UU PPh yang berlaku (UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) dan P3B mendefinisikan BUT hanya dengan kehadiran fisik, belum mencakup kehadiran ekonomi signifikan. Kemudian, terdapat pula berbagai permasalahan internasional seperti, isu alokasi permajakan, double taxation, double counting, serta tax certainty. Isu tersebut berakibat pada belum tercapainya finalisasi konsensus PPh ekonomi digital secara global, yakni Pilar 1 OECD. Kendati demikian, Indonesia terus melakukan upaya strategi seperti persiapan dasar hukum mengadopsi Pilar 1 OECD dalam Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, dan terus proaktif dalam pembahasan konsensus global. Kemudian, berdasarkan studi yang telah dilakukan, ditemukan di Prancis terdapat kebijakan DST untuk memajaki ekonomi digital, sementara Vietnam menggunakan mekanisme FCT, serta India dengan Equalization Levy. Namun, ketiga negara tersebut belum sepenuhnya berhasil menerapkan kebijakan PPh ekonomi digital sebab adanya penolakan dan ancaman dagang dari Amerika Serikat, serta masih perlunya penyempurnaan atas kebijakan yang ada.

Through Perppu 1/2020 (Law 2/2020), government regulates taxation of digital economy. The provision seeks to regulate taxation on trade through electronics system (PMSE) through the imposition of Value Added Tax (VAT), Income Tax (PPh), and Electronic Transaction Tax (PTE). However, there is still no continuation of implementation PPh PMSE and PTE. This thesis aims to analyze Indonesia's challenges and strategies in implementing income tax policies on digital economy. Also, examine tax regulations that have been implemented in France, Vietnam, and India. This research uses qualitative approach also qualitative data collection techniques with literature and field studies through in-depth interviews. The results show there are challenges in implementing digital economy income tax since the applicable Income Tax Law (Law on Harmonization of Tax Regulations) and P3B define BUT only by physical presence, not covering significant economic presence. Then, there are issues of tax allocation, double taxation, double counting, and tax certainty. This issue caused finalization problem of global digital economy income tax consensus, OECD Pillar 1. Nevertheless, Indonesia continues to carry out various strategies such as preparing legal basis for adopting OECD Pillar 1 (Article 32A Income Tax Law) and continues to be proactive in discussing global consensus. In France, there is DST policy to tax digital economy, while Vietnam uses the FCT and India has an Equalization Levy. However, those three countries have not fully succeeded in implementing income tax policies on digital economy due to trade rejection and threats from United States, and the need to improve existing policies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library