Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 228 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Boifasius Aji Kuswiratmo
Abstrak :
Tesis ini menguraikan mengenai permasalahan hukum yang timbul dari adanya Perjanjian Pengalihan Piutang (cessie) antara Goal Trading Assets, Ltd. dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban dari Goal Trading Assets, Ltd. selaku kreditur baru terhadap pelunasan utang dari PT. XYZ yang merupakan debitur yang berhutang. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode penelitian normatif dikarenakan menggunakan data sekunder sebagai alat pengumpulan datanya. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai hak dan kewajiban yang timbul dari Goal Trading Assets, Ltd dalam kedudukannya selaku kreditur baru terhadap aset yang dijadikan jaminan utang oleh PT. XYZ dalam kedudukannya selaku debitur, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Goal Trading Assets, Ltd. apabila terdapat bukti kepemilikan aset yang menjadi jaminan hutang dinyatakan ilang oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementrian Keuangan Republik Indonesia serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Goal Trading Assets, Ltd. untuk mendapatkan pelunasan hutang dari PT. XYZ. Hasil penelitian ini adalah hak yang timbul dari Perjanjian Pengalihan Piutang (cessie) adalah hak tagih atas hutang-hutang dari PT. XYZ, sedangkan kewajiban yang timbul adalah kewajiban dari kreditur baru untuk melakukan pendaftaran Goal Trading Assets, Ltd. sebagai kreditur baru pada dokumen-dokumen bukti kepemilikan aset yang dijadikan jaminan hutang oleh PT. XYZ. Dalam hal terdapat bukti kepemilikan aset yang menjadi jaminan hutang dinyatakan hilang, khususnya sertipikat hak atas tanah yang menjadi jaminan hutang maka Goal Trading Assets, Ltd. dapat mengajukan permohonan penerbitan sertipikat pengganti atas sertipikat hak atas tanah yang menjadi jaminan utang. Selain itu, untuk menjamin pelunasan hutang dari PT. XYZ, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Goal Trading Assets, Ltd. adalah lelang eksekusi atas jaminan hutang dari PT. XYZ.
The thesis is described of the legal problem that arises because of The Agreement of Transfer of Receivable (cessie) between Goal Trading Assets, Ltd. with Indonesian Bank Restructuring Agency (BPPN) then give to rights and obligations for Goal Trading Assets, Ltd as a new creditor against the debt of PT. XYZ that is a debitor being indebted. The study is done in qualitative by normative research method because of using the secondary data as the data gathering. Issues discussed is about rights and obligations arising from Goal Trading Assets, Ltd. in benefice as a new creditor against assets which were become debt collateral by PT. XYZ in benefice as a debitor, the legal action that can be done by Goal Trading Assets, Ltd. if there are some proof of ownership of the assets was declared missing by Directorate General of State Assets of Finance Minister Regulation of Republic of Indonesia and the legal action that can be done by Goal Trading Assets, Ltd. to get the repayment of debt by PT. XYZ. The result of research is the right which was arisen from The Agreement of Transfer of Receivable (cessie) is the right of prommisory notes of the payable of PT. XYZ, whereas the obligation that arises is the responsibility of a new creditor to register as a new creditor for Goal Trading Assets, Ltd on last documents of the ownership proof assets that used as debt collateral by PT. XYZ. In the event that there is evidence of ownership of assets that became collateral debt was declared missing, especially land rights certificates to guarantee the debt, Goal Trading Assets, Ltd. may apply for issuance of a replacement certificate for the certificate of land rights to be guaranteed the debt. In addition, to ensure the repayment of debt of PT. XYZ, then the remedy can be done by Goal Trading Assets, Ltd. is the execution of the collateral debt auction of PT. XYZ.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31164
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Reynold M.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1982
S16813
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Asmanah
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradakso Hadiwidjojo
Abstrak :
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih dari 7% pada tahun 1989 dan 1990 merupakan indikator ekonomi yang menggembirakan, apalagi dengan menyimak pernyataan-pernyataan pemerintah yang menginginkan pertumbuhan ekonoini yang konstan sekitar 5?7% per tahun dengan tirigkat inflasi dipertahankan pada satu digit. Pertumbuhari ekonomi yang konstan dan stabil lebih mudah diikuti dilandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melonjak-lonjak menakjubkan tetapi bersifat sementara. Dengan semakin berkembangnya kegiatan bisnis, peranan bank sebagai financial institution juga semakin besar. Bank sangat besar peranannya dalam menyediakan jasa-jasa keuangan bagi dunia usaha. Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy) yang dilakukan pemerintah untuk mendinginkan mesin ekonomi yang overheated sedikit banyak mempengaruhi kemampuan bank untuk menyediakan dana bagi dunia usaha. Pasar Keuangan dunia juga masih mengalami overcrowding karena besarnya biaya transformasi dan liberalisasi sosial di negara-negara komunis. Untuk memperoleh pinjaman juga semakin sulit dengan adanya credit Crunch, yaitu keadaan dimana bank-bank semakin berhati-hati dalam memberikan kredit dan sernakin selektif dalam memilih nasabah. Hal tersebut juga disebabkan karena dunia perbankan harus memenuhi Capital adequacy ratio (CAR), yaitu perbandingan antara modal dengan asset sebesar 8%, yang disyaratkan oleh Bank of International Settlements. Di Indonesia, CAR perbankan harus mencapai 5% pada Maret 1992, 7% pada Maret 1993 dan 8% pada Desember 1993. Ketetapan agar Loan to Deposit Ratio (LDR) tidak melebihi batas tertentu juga membuat pihak perbankan bersikap konservatif dan melakukan strategi konsolidasi. Tingkat kemacetan kredit yang tinggi telah mendorong banyak bank untuk menyalurkan dana yang mahal tersebut ke sektor?sektor yang relatif kecil resikonya. Bahkan ada kecenderungan bahwa bank-bank di Indonesia lebih suka membeli SBI yang tidak beresiko dari pada menyalurkan dananya untuk kegiatan bisnis dan investasi yang mempunyai resiko. Akibatnya pengendoran TNP yang dilakukan pemerintah tidak terasa efeknya bagi dunia usaha. Hal tersebut rnenyebabkan banyak perusahaan-perusahaan tidak mendapatkan cukup dana untuk melakukan ekspansi usaha ataupun sekedar mempertahankan operation activities mereka sehari-hari. Dengan semakin banyaknya transaksi bisnis yang menggunakan mekanisme kredit untuk pembayaran jasa atau produk yang telah dijual, fund shortage akan semakin terasa dan semakin besar efeknya terhadap kegiatan operasional perusahaan sehari-hari. Mengingat keterbatasan bank dalam pendanaan dunia usaha, kegiatan ANJAK PIUTANG (FACTORING) merupakan alternatif yang sangat menggembirakan bagi para pengusaha. Meningkatnya volume kredit yang berskala besar dengan kegiatan penagihannya yang dirasakan semakin rumit dan menyita waktu serta perhatian yang lebih intensif telah menyebabkan factoring mendapat tempat dan mendapatkan porsi bisnis yang semakin besar. Karya akhir ini dibuat untuk membahas peranan factoring dalam perekonomian Indonesia sebagai instrumen perangsang bagi dunia bisnis dan investasì, termasuk pemanfaatan factoring dalam meningkatkan kegiatan ekspor non-migas.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayuningsih
Abstrak :
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. BUMN sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga dituntut untuk dapat menghasilkan keuntungan yang nantinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam pelaksanaanya, BUMN kerap mendapatkan hambatan karena banyaknya peraturan yang tidak harmonis, seperti yang dialami oleh BUMN di sektor perbankan. Masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan piutang Negara yang mengatur penyelesaian piutang negara, dan penetapan kekayaan BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 (g), membawa implikasi terhadap pengelolaan kekayaan BUMN sebagai entitas badan hukum yang terpisah sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 angka 1. Penyertaan modal yang bersumber dari APBN yang dilakukan oleh negara melalui pemerintah pada BUMN hingga saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Penggolongan kekayaan negara atas kekayaan yang dimiliki oleh BUMN membatasi ruang gerak manajemen bank BUMN untuk lebih leluasa dalam mengambil keputusan khususnya yang terkait dengan pengelolaan kredit macet. Meskipun sejak 2006, piutang bank BUMN telah dikelola sendiri oleh bank BUMN pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang berlandaskan pada Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara. Namun, karena masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 membuat bank BUMN tidak berani menyelesaikan kredit macet dengan menggunakan mekanisme hapus tagih (hair cut). Akibatnya, banyak debitor yang merasa dirugikan terhadap perbedaan perlakuan tersebut, seperti yang dialami oleh Grup Aspalindo, debitur PT Bank Negara Indonesia Tbk yang mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 77/PUU-IX/2011 menetapkan bahwa frasa-frasa negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dicabut, berakibat pada piutang BUMN bukan piutang negara, dan bank BUMN diberi kewenangan untuk menyelesaikan kredit bermasalah dengan mekanisme hapus tagih. ......State Owned Enterprises (SOE) which all or most of its capital derived from separated state wealth, is one of economic actors despite private enterprises and cooperatives.In running their businesses, SOEs, privates and cooperatives perform mutual support based on economic democracy. SOEs as a government’s arm is also required to be able generate profits than can later be used as much as possible for people’s prosperity, However, in its implementation, SOEs often get obstacles because there are many not harmonious rules, as experienced by SOEs in banking sector. The application of Law No.49 prp 1960 regarding State Receivables Committee and the Determination of SOEs wealth as part of State Wealth as stated on Law 17/2003 regarding State Finance Article 2 (g) lead implications for state-owned property management as a separate legal entity as stated in Law No.19/2013 regarding State-Owned Enterprises Article 1 Paragraph 1. The equity which derived from State Budget through the government to SOEs is still being prolonged debate. State wealth classification on SOEs’ property restricts state-owned bank management to be more flexible in making decisions especially related to non-performing loan management. Although since 2006, state-owned bank receivables have been managed by themselves after the issuance of Government Regulation No.33/2006 regarding Government Regulation Amendment No.14/2005 on Procedures for State/Regions Receivables Removal based on Supreme Court Decision No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 stating that state-owned banks receivables are not state’s receivables. However, because there is still controversy in defining state wealth and the enactment of Law No.49 prp/1960 makes state-owned banks are doubtful to end non-performing loan using hair cut mechanism as done by private banks. As a result, many debtors are feel aggrieved against the different treatment, as experienced by Aspalindo Group, debtor of PT Bank Negara Indonesia Tbk. At last Aspalindo Group filed a judicial review of Law No.49 prp/1960 to the Constitutional Court. In the decision No. 77/PUU-IX/2011 the Constitution Court set that state phrases contained in Law No.49 Prp/1960 revoked, resulting SOEs receivables is not the state and state-owned banks is authorized to solve non-performing loan using hair cut mechanism.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bachtiar Siradjuddin
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia Suniati Boenjanto
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1983
S16868
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Ratna Widjaja
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1985
S17156
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wenny Roza
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S25807
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvira Emilia Salam
Abstrak :
Dalam kehidupan bermasyarakat terutama di bidang ekonomi sering ditemukan para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan. Mengenai perikatan ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum yang terangkum dalam bab I-IV yang berisi asas-asas umum perikatan dan bagian khusus yang terangkum dalam bab V-XVIII yang berisi aturan yang mengatur tentang perjanjian. Perjanjian adalah sebab yang menimbulkan perikatan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemukan perselisihan antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor tersebut yaitu tidak ditaatinya ketentuan dari pasal 1320 KUHPer yang mengatur mengenai syarat sah dari suatu perjanjian. Jika ketentuan dari pasal tersebut tidak dipenuhi maka akan akibat yang ditimbulkan adalah batalnya perjanjian atau perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Perjanjian kredit yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas yang belum berbadan hukum sangat mengandung resiko bagi pihak kreditur. Karena dalam hal ini perseroan tidak dapat diminta pertangung-jawabannya, melainkan Direksi dan Komisarislah yang harus bertangung jawab penuh terhadap perjanjian yang dibuatnya. Begitu pula dalam hal perjanjian kredit yang dilakukan oleh bank sebagai institusi perbankan. Dalam hal melakukan perjanjian kredit bank seharusnya mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan juga undang undang lainnya. Dalam Hal ini para pihak haruslah sudah mengerti hak dan kewajiban masing-masing. Apabila perjanjian yang dibuat antara para pihak batal demi hukum. Maka kreditur dalam hal ini pihak yang dirugikan harus mengetahui apa yang menjadi hak mereka bila kerugian tersebut menimpa, sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang dengan sendirinya tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>