Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
"ABSTRAK
Halaman Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak digunakan untuk menanggulangi kejahatan. Selama tahun 1997 pidana penjara yang dijatuhkan sebauyak 59.672 yang terdiri dari 58.195 terhadap pelaku tindak pidana laki-Iaki dan 1.477 pelaku tindak pidana perempuan. Pidana penjara sebagai suatu. derita diharapkan rnanfaatnya untuk mencegah kejahatan memenuhi rasa keadilan dan sebagai cara untuk memperbaiki atau membina pelaku kejahatan.
Pidana penjara pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan reaksi negara akibat adanya suatu tindak pidana dan diformulasikan ke dalam undang-undang hukum pidana, pelaksanaan pidana penjara lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan, karena tujuan .pidana untuk pembalasan. Setelah Indonesia merdeka, keadaan ini masih berlangsung, sehingga DR. Sahardjo terdorong untuk menghapuskan penderitaan orang-orang di Penjara, pemikirannya dituangkan pada saat menerima gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Indonesia dalam llmu-hukum tanggal 5 Juli 1963.dengan judul : ?Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek?.
Menurutnya tujuan pidana penjam adalah sebagai knnsep sangat manusiawi. Pelaksanaan pemikiran tersebut diimplementasikan ke dalam undang-undang RI nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya tidak membawa perbaikan terhadap orang-orang di penjara, lembaga pemasyamkatan nidak potensial sebagai tempat rehabilitasi narapidana. Dari kenyataan demikian pelaksanaan pemasyarakatan perlu diperbaharui agar tujuan penjatuhan pidana berupa pemasyarakatan dapat terwujud.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah, ketentuan pidana penjara apakah telah berorientasi pada konsep pemasyarakatan, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara apakah menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan, pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap pidana penjara, faktor yang memiliki keterkaitan dalam upaya mengimplementasikan sistem pemasyarakatan, upaya yang diajukan bagi pembaharuan pemasyrakatan di Indonesia.
Berdasarkan hasil peneiitian, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana sebagaimana dalam undang-undang RI nornor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pelaksanaannya belum bemjalan efekiitl pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum menjamin bekas narapidana diterima rnasyamkat karena pembinaan sangat terbatas sehingga tidak cukup bekal berkornpetisi di masyaxakat. Kecenderungan buruknya pelayanan pembinaan narapidana, terbukti banyaknya peristiwa buruk yang
terjadi di lembaga pemasyarakatan, sehingga pemasyarakan sebagai tujuan pidana penjara menjadi ?tertunda? sehingga sulit untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan.
Menurut pandangan masyarakat pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan mereka yang dirugikan akibat kejahatan. Pidana penjara harus mengandung suatu pembalasan yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, pidana penjam harus membuat pelakunya menjadi jera, tobat.
Menurut pandangan penegak hukum pidana penjara lebih dipahami untuk melindungi masyarakat, pidana penjara salah satu sarana untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Sebagai suatu derita, pidana penjara diyakini bertujuan untuk pembalasan maupun menjerakan pelaku, Serta melindungi kepentingan negara dan masyarakat.pidana penjara dianggap suatu cara untuk melakukan pembinaan.
Faktor yang erat kaitannya dengan implentasi sistem pemasyarakatan sebagai faktor penentu adalah kualitas pembinaan. Pembinaan yang diterapkan sepatutnya menjadikan narapidana memiliki kesadaran hukum. Untuk itu petlu didukung petugas yang profesional dan pendidikan keterampilan. peraturan perundang-undangan, infrastruktur, dan penghargaan atas hak-hak nampidana seperti pemberian insentif.
Reorientasi sistem pembinaan, perlu disempumahn antara lain pendidikan keterampilan, pendidikan agama dan diberikan hak-haknya, serta perlu dibina dengan memanfaarkan tenaga ahli (behavorial scientist) maupun orientasi dirumah singgah. Penegak hukum menjadi penentu apakah pidana peniara akan menjadi pemasyarakatan atau pemenjataan. Penegak hukum harus memahami dijatuhkan pidana penjara bukan bertujuan pembalasan, tetapi mempunyai tujuan khusus yaitu mengembalikan narapidana ke masyarakat. Oleh karen itu, pembentuk undang-undang saatnya merumuskan di dalam RUU KUHP yang memberikan kewenangan kepada Hakim agar dalam keputusannya mencantumkan teori hukuman apa yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman. Hakim diberi kebehasan mempertimbangkan kerugian yang diderita korban dan korban tidak keberatan atas pidana yang dijatuhkan. Hakim saatnya mempertimbangkan pemberian ganti kerugiau dan pemenuhan kewajihan adat.
Rekomendasi, perlu pembaharuan falsfah pemidanaan, dalam hal ini harus ditegaskan kembali makna dan tujuan pidana penjara, untuk itu perlu ada kesamaan pemahaman antara penegak hukum, petugas pemasyarakatan serta pembentuk undang- undang (legislator) maupun masyarakat mengenai makna dan tujuan pidana penjam.Perlu kejelasan arah dan apa tujuan pidana penjara yang hendak dicapai, perlu penggantian dan penarnbahan infrastruktur untuk mendukung proses pemasyarakatan, serta meningkatkan kemampuan petugas dan penegakaan disiplin dan tanggung jawab dengan mengaplikasikan ilmu pemasyarakatan. Amandemen UU RI No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Swastanisasi dalam mengelola lembaga pemasyarakatan, mendirikan rumah singgah dengan melibatkan kalangan perguman tinggi dan masyarakat, mengembangkan penjara terbuka (open prison). Jaminan perlindungan hukum kepada bekas narapidana dan perlu merevitalisasi peran dan sumbangan akademi ilmu pemasyarakatan dalam pengembangan pemasyarakatan narapidana."
2004
D1028
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Poernomo
Yoyakarta: Liberty, 1986
365 BAM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
P.Prasetyo Sidi Purnomo
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
T44111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
"ABSTRAK
Halaman Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak digunakan untuk menanggulangi kejahatan. Selama tahun 1997 pidana penjara yang dijatuhkan sebauyak 59.672 yang terdiri dari 58.195 terhadap pelaku tindak pidana laki-Iaki dan 1.477 pelaku tindak pidana perempuan. Pidana penjara sebagai suatu. derita diharapkan rnanfaatnya untuk mencegah kejahatan memenuhi rasa keadilan dan sebagai cara untuk memperbaiki atau membina pelaku kejahatan.
Pidana penjara pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan reaksi negara akibat adanya suatu tindak pidana dan diformulasikan ke dalam undang-undang hukum pidana, pelaksanaan pidana penjara lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan, karena tujuan .pidana untuk pembalasan. Setelah Indonesia merdeka, keadaan ini masih berlangsung, sehingga DR. Sahardjo terdorong untuk menghapuskan penderitaan orang-orang di Penjara, pemikirannya dituangkan pada saat menerima gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Indonesia dalam llmu-hukum tanggal 5 Juli 1963.dengan judul : ?Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek?.
Menurutnya tujuan pidana penjam adalah sebagai knnsep sangat manusiawi. Pelaksanaan pemikiran tersebut diimplementasikan ke dalam undang-undang RI nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya tidak membawa perbaikan terhadap orang-orang di penjara, lembaga pemasyamkatan nidak potensial sebagai tempat rehabilitasi narapidana. Dari kenyataan demikian pelaksanaan pemasyarakatan perlu diperbaharui agar tujuan penjatuhan pidana berupa pemasyarakatan dapat terwujud.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah, ketentuan pidana penjara apakah telah berorientasi pada konsep pemasyarakatan, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara apakah menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan, pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap pidana penjara, faktor yang memiliki keterkaitan dalam upaya mengimplementasikan sistem pemasyarakatan, upaya yang diajukan bagi pembaharuan pemasyrakatan di Indonesia.
Berdasarkan hasil peneiitian, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana sebagaimana dalam undang-undang RI nornor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pelaksanaannya belum bemjalan efekiitl pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan belum menjamin bekas narapidana diterima rnasyamkat karena pembinaan sangat terbatas sehingga tidak cukup bekal berkornpetisi di masyaxakat. Kecenderungan buruknya pelayanan pembinaan narapidana, terbukti banyaknya peristiwa buruk yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, sehingga pemasyarakan sebagai tujuan pidana penjara menjadi ?tertunda? sehingga sulit untuk menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan.
Menurut pandangan masyarakat pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan mereka yang dirugikan akibat kejahatan. Pidana penjara harus mengandung suatu pembalasan yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, pidana penjam harus membuat pelakunya menjadi jera, tobat.
Menurut pandangan penegak hukum pidana penjara lebih dipahami untuk melindungi masyarakat, pidana penjara salah satu sarana untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. Sebagai suatu derita, pidana penjara diyakini bertujuan untuk pembalasan maupun menjerakan pelaku, Serta melindungi kepentingan negara dan masyarakat.pidana penjara dianggap suatu cara untuk melakukan pembinaan.
Faktor yang erat kaitannya dengan implentasi sistem pemasyarakatan sebagai faktor penentu adalah kualitas pembinaan. Pembinaan yang diterapkan sepatutnya menjadikan narapidana memiliki kesadaran hukum. Untuk itu petlu didukung petugas yang profesional dan pendidikan keterampilan. peraturan perundang-undangan, infrastruktur, dan penghargaan atas hak-hak nampidana seperti pemberian insentif.
Reorientasi sistem pembinaan, perlu disempumahn antara lain pendidikan keterampilan, pendidikan agama dan diberikan hak-haknya, serta perlu dibina dengan memanfaarkan tenaga ahli (behavorial scientist) maupun orientasi dirumah singgah. Penegak hukum menjadi penentu apakah pidana peniara akan menjadi pemasyarakatan atau pemenjataan. Penegak hukum harus memahami dijatuhkan pidana penjara bukan bertujuan pembalasan, tetapi mempunyai tujuan khusus yaitu.mengembalikan narapidana ke masyarakat. Oleh karen itu, pembentuk undang-undang saatnya merumuskan di dalam RUU KUHP yang memberikan kewenangan kepada Hakim agar dalam keputusannya mencantumkan teori hukuman apa yang dijadikan dasar penjatuhan hukuman. Hakim diberi kebehasan mempertimbangkan kerugian yang diderita korban dan korban tidak keberatan atas pidana yang dijatuhkan. Hakim saatnya mempertimbangkan pemberian ganti kerugiau dan pemenuhan kewajihan adat.
Rekomendasi, perlu pembaharuan falsfah pemidanaan, dalam hal ini harus ditegaskan kembali makna dan tujuan pidana penjara, untuk itu perlu ada kesamaan pemahaman antara penegak hukum, petugas pemasyarakatan serta pembentuk undang- undang (legislator) maupun masyarakat mengenai makna dan tujuan pidana penjam.Perlu kejelasan arah dan apa tujuan pidana penjara yang hendak dicapai, perlu penggantian dan penarnbahan infrastruktur untuk mendukung proses pemasyarakatan, serta meningkatkan kemampuan petugas dan penegakaan disiplin dan tanggung jawab dengan mengaplikasikan ilmu pemasyarakatan. Amandemen UU RI No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Swastanisasi dalam mengelola lembaga pemasyarakatan, mendirikan rumah singgah dengan melibatkan kalangan perguman tinggi dan masyarakat, mengembangkan penjara terbuka (open prison). Jaminan perlindungan hukum kepada bekas narapidana dan perlu merevitalisasi peran dan sumbangan akademi ilmu pemasyarakatan dalam pengembangan pemasyarakatan narapidana."
2004
D702
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S6178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S6148
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wemby Adhiatma Satrio Prayogo
"Tesis ini membahas mengenai pidana penjara yang dilaksanakan di rumah tahanan yang seharusnya dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan. Hal mengenai tempat pelaksanaan pidana sebenarnya sudah diatur dengan cukup baik dalam beberapa peraturan di Indonesia salah satunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan jika lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pidana penjara sementara rumah tahanan adalah tempat untuk seorang yang berstatus sebagai tersangka/terdakwa menjalani masa tahanannya. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri, dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, desertasi, artikel dan berita online. Kesimpulan dari penelitian ini ditemukan adanya narapidana yang menjalani pidana penjaraanya di rumah tahanan, termasuk para pejabat yang dijatuhi pidana penjara namun ditempatkan di rumah tahanan. Efektifitas pembinaan di rumah tahanan menjadi dipertanyakan karena sarana dan prasarananya yang berbeda dengan lembaga pemasyarakatan, selain itu pembinaan di lembaga pemasyarakatan sendiri diragukan efektivitasnya. Perlu adanya suatu pembaruan dalam undang-undang pemasyarakatan agar menjadi lebih jelas untuk masalah fungsi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan terutama untuk masalah penempatan tahanan dan narapidana, kemudian fasilitas yang perlu ditambah agar pembinaan bisa menjadi efektif serta diperlukan suatu bentujk pemidanaan alternatif yang menggantikan pidana penjara untuk mencegah terjadinya Overcrowded, baik di rumah tahanan dan juga lembaga pemasyarakatan.

This thesis discusses imprisonment which is carried out in a detention center which should be carried out in a correctional facility. Matters regarding the place of the execution of the crime are regulated quite well in several regulations in Indonesia, one of which is Law Number 12 of 1995 concerning Corrections. In this law, if the correctional facility is a place to carry out sentences while the detention house is a place for a person who is a suspect/defendant to serve his term of detention. The method used in this research is the normative juridical using primary legal materials in the form of regulations, government regulations, and ministerial decrees, and secondary legal materials in the form of books, journals, theses, theses, dissertations, articles, and online news. The conclusion of this study found that there are prisoners serving prison terms in detention centers, including officials who were sentenced to imprisonment but were placed in detention centers. The effectiveness of guidance in a detention center is questioned because the facilities and infrastructure are different from those of the correctional facility, besides that, he can trust the guidance in the correctional institution itself. There is a need for reform in the law so that it becomes clearer for the problem of the function of prisons and detention centers, especially for the problem of placing prisoners and prisoners, then the facilities that need to be added so that guidance can be effective and an alternative form of punishment is needed to prevent overcrowding, both in detention centers and prisons."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raindi Andreas
"Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai Analisis Penerapan Pasal 12 ayat (4) juncto Pasal 71 KUHP dalam studi kasus Robert Tantular. Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan 3 (tiga) masalah pokok, yakni : pertama, bagaimana pemaknaan tentang Gabungan Tindak Pidana/Concursus/Samenloop dalam Pengaturan Hukum Pidana di Indonesia ; kedua, bagaimana kaitan Pasal 71 KUHP tentang Delik Tertinggal dengan ketentuan maksimum total pidana penjara, terkhususnya Pidana penjara sementara waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP ; ketiga, Bagaimana ketepatan Penerapan 2 Pasal tersebut dalam perkara-perkara di Indonesia, terkhususnya perkara Robert Tantular. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa banyak penegak hukum di Indonesia tidak memahami penerapan 2 Pasal tersebut dan cenderung mengabaikan ketentuan pada Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 71 KUH Pidana pada beberapa Perkara di Indonesia. Seperti yang terjadi pada perkara yang dihadapi oleh Robert Tantular yang menghadapi 4 proses ajudikasi/persidangan, dimana total pidana yang dijatuhkan terhadap dirinya berjumlah 21 tahun, dimana total vonis ini telah melampaui batas maksimum pidana penjara selama waktu tertentu, yakni 20 tahun. Sehingga kesalahan Penegak Hukum dalam menerapkan 2 Pasal tersebut, mengakibatkan ketidak pastian dalam penjatuhan total vonis pidana bagi Robert Tantular karena telah bertentangan dengan ketentuan jumlah maksimum pidana penjara selama waktu tertentu, yakni telah melampaui 20 tahun dan juga telah bertentangan dengan penerapan Pasal-Pasal tentang Gabungan Tindak Pidana.

This thesis presents the results of research or studies regarding the Analysis of the Application of Article 12 paragraph (4) in conjunction with Article 71 of the Criminal Code in the Robert Tantular case study. The problem which is used as the object of research in this thesis is related to 3 (three) main problems, namely: first, how is the meaning of Combined Crime / Conc discourse / Samenloop in Criminal Law Arrangements in Indonesia; secondly, how does Article 71 of the Criminal Code on Delicacy Offense with the maximum provision of total imprisonment, especially temporary imprisonment as regulated in Article 12 paragraph (4) of the Criminal Code; third, how is the accuracy of the application of these 2 articles in cases in Indonesia, especially in the case of Robert Tantular. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusion from this research is that many law enforcers in Indonesia do not understand the application of these 2 Articles and tend to ignore the provisions in Article 12 paragraph (4) and Article 71 of the Criminal Code in several cases in Indonesia. As happened in the case faced by Robert Tantular, who faced 4 adjudication / trial processes, where the total number of crimes imposed against him was 21 years, where the total sentence has exceeded the maximum imprisonment limit for a certain time, namely 20 years. So that the Law Enforcement's mistake in applying the 2 Articles, resulted in uncertainty in the imposition of the total criminal sentence for Robert Tantular because it had contradicted the maximum number of imprisonment provisions for a certain period of time, which had exceeded 20 years and was also contrary to the application of the Articles on Combination. Criminal act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2   >>