Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marina Kurniawati
"Pegawai yang melakukan tindak pidana dan penyelewengan dapat di berhentikan dari jabatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang menjadi masalah adalah banyak Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan merasa dirinya masih layak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, padahal sudah terbukti menjadi pelaku tindak pidana dan mendapatkan hukuman berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Di dalam Undang Undang Aparatur Sipil Negara belum menjelaskan secara rinci mengenai sanksi admnistrasi kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana narkotika.Kejahatan Narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa dan merupakan tindak pidana khusus, tindak pidana khusus berbeda dengan tindak pidana biasa dan pengaturannya juga berbeda dengan aturan pidana biasa. Untuk itu dibutuhkan aturan jelas mengenai tidak pidana narkotika yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah doctrinal. Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis Sanksi Administrasi Pegawai Negeri Sipil yang terlibat kasus pidana narkotika di Indonesia. Selain itu, memberikan analisis mengenai konsep Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana narkotika di Indonesia berdasarkan Peraturan Perundang Undangan dan menganalisis penjatuhan hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil terkait kasus pidana narkotika. Hasil dari penelitian adalah bahwa terdapat inkonsistensi antara Undang Undang kepegawaian dengan peraturan pendelegasiannya,serta dalam Hukum Kepegawaian di Indonesia masih belum membahas tentang tindak pidana berulang terutama dalam tindak pidana khusus berupa tindak pidana narkotika. Selain itu,  Hakim di Indonesia  memiliki perbedaan pendapat mengenai tindak pidana berencana dan tidak berencana, ada hakim yang mengganggap tindak pidana narkotika adalah tindak pidana berencana namun ada juga yang mengganggap narkotika adalah tindak pidana tidak berencana.

Civil Servants who commit criminal offenses and fraud can be terminated from their position as Civil Servants, the problem is that many dismissed Civil Servants feel that they are still eligible to become Civil Servants, even though they have been proven to be perpetrators of criminal acts and received sentences based on judicial decisions that are legally binding. The Law on State Civil Apparatus has not explained in detail about administrative sanctions for Civil Servants who commit narcotics crimes. Narcotics crimes are extraordinary crimes and are special crimes, special crimes are different from ordinary crimes and their arrangements are also different from ordinary criminal rules. For this reason, clear rules are needed regarding narcotics crimes committed by Civil Servants. The method used in this study is doctrinal. The purpose of this study is to analyze the administrative sanctions of civil servants involved in narcotics criminal cases in Indonesia. In addition, providing analysis of the concept of Disciplinary Punishment of Civil Servants who commit narcotics crimes in Indonesia based on laws and regulations and analyze the imposition of disciplinary punishment for Civil Servants related to drug criminal cases. The result of the study is that there are inconsistencies between the Civil Service Law and its delegation regulations, and in the Civil Service Law in Indonesia still does not discuss repeated crimes, especially in special crimes in the form of narcotics crimes. . In addition, judges in Indonesia have different opinions regarding premeditated and unplanned crimes, there are judges who consider narcotics crimes to be premeditated crimes but there are also those who consider narcotics to be unplanned crimes."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhud Prabowo Mukti
"Penelitian ini menganalisis pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana Tindak Pidana Khusus. Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai hak-hak narapidana dan syarat pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang itu dalam PP. Pelaksanaan hak-hak narapidana berupa remisi dan pembebasan bersyarat diatur lebih lanjut dalam PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi. kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisir, yang diklasifikasikan dalam PP ini sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan sistem Sistem Pemasyarakatan, dan pengaturan tersebut berbeda materi muatan dengan peraturan diatasnya yaitu UU No. 12 Tahun 1995 yang tidak membedakan pemberian remisis dan pembesan bersyarat antara narapidana tindak pidana umum dan tidak pidana khusus. Perbedaan perlakuan dalam PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana tindak pidana khusus atas haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat atas dasar untuk memenuhi keadilan masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Temuan penulis adalah, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kurang menekankan pada pembinaan yang merupakan program lembaga pemasyarakatan, sehingga pengetatan pemberian remisis dan pembebasan bersyarat lebih kepada pembalasan dendam kepada warga binaan pemasyarakat (WBP) dengan kasus extra ordinary crime. Kedua, adalah adanya upaya penghukuman terhadap narapidana oleh pemerintah, dan ketiga, adalah adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap WBP dengan kasus extra ordinary crime yang keseluruhan nilai yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 tersebut adalah telah melanggar asas-asas Pemasyarakatan, Hak Asasi Manusia dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang lebih tinggi diatasnya.

This study analyzes the granting of remission and parole for inmates Special Crimes . Article 14 paragraph ( 1 ) of Act Number 12 of 1995 concerning Corrections governing the rights of prisoners and conditions of exercise of prisoners delegate more about the settings in government regulations . Implementation of the rights of prisoners in the form of remission and parole further stipulated in Regulation No.99 of 2012 on the Second Amendment Governemnt Regulations Number 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Implementation of the Rights of prisoners were set tightening granting remission and parole for inmates terrorism , narcotics , corruption. serious crimes and transnational organized crime , which is classified as a crime in this Government Regulations extraordinary ( extraordinary crime ) . Such arrangements are not in line with the objective system Correctional System , and the different settings substance of the rules above , namely Law No. 12 of 1995 which does not distinguish granting conditional remisis pembesan between inmates and the general crime and criminal not special . Differences in the treatment of Government Regulation 99 of 2012, to convict a criminal act specifically on the right to get remission and parole on the basis to meet the community justice is a form of discrimination . The findings of the authors is , first , the Government Regulation No. 99 of 2012 is less emphasis on the development of a program of correctional institutions , thus tightening granting parole remisis and more to revenge the correctional prisoners in the case of extraordinary crime . Second , is the effort punishment of prisoners by the government , and the third , is the existence of a form of discrimination against prisoners with extraordinary crime cases that the overall value contained in the Government Decree 99 of 2012 is to have violated the principles of Corrections , Human Rights and of course it is not in accordance with the principles of the formation of legislation that higher regulations thereon ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surempi Rahardjo
"ABSTRAK
Korupsi sangat merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara dan telah merajalela di bumi Indonesia sejak masa Orde Lama hingga masa Orde Baru sekarang. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika pelaku tindak pidana korupsi itu dihukum yang setimpal dengan perbuatannya menurut hukum yang berlaku. Pemerintah dalam menghadapi tindak pidana korupsi, telah melakukan berbagai upaya yang antara lain adalah dengan membentuk UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat ketentuan-ketentuan yang eksepsional baik di bidang hukum materiil maupun di bidang hukum formil. Ketentuan-ketentuan yang eksepsional itu diciptakan dengan·maksud untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Sekarang tinggal pelaksanaannya, yang semua itu sangat bergantung kepada faktor manusianya, yaitu para penegak hukum. Dengan demikian diharapkan agar para penegak hukum dapat bertindak tegas tanpa pandang bulu, sehingga tindak pidana korupsi di tanah air kita ini dapat diberantas dengan tuntas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Emiliya Febriyani
"Perkembangan kegiatan ekonomi global telah berpengaruh terhadap lahirnya berbagai jenis kejahatan baru di bidang ekonomi. Sebagai instrumen utama dalam penanggulangan kejahatan ekonomi di Indonesia, UU Drt No. 7 Tahun 1955 sudah tidak relevan dan sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan fungsinya. Dalam penelitian ini diuraikan pertama, pengaturan tindak pidana ekonomi di Indonesia; kedua, kekhususan UU Drt No. 7 Tahun 1955 sebagai undang-undang pidana khusus dalam penanggulangan kejahatan ekonomi; dan ketiga, konsep pengaturan tindak pidana ekonomi yang sebaiknya diterapkan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan dan dilengkapi dengan data primer berupa hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan: pertama, pengaturan tindak pidana ekonomi Indonesia tidak terlepas dari pengaruh peninggalan kebijakan hukum pidana Belanda, yaitu pengaturan dalam arti sempit atau hanya terbatas dari yang terdapat di dalam UU Drt No. 7 Tahun 1955; kedua, sebagai hukum pidana khusus di luar ketentuan hukum pidana umum, UU Drt No. 7 Tahun 1955 memiliki kekhususan, baik kekhususan dalam hukum pidana materiil maupun kekhususan dalam hukum pidana formil; dan ketiga, dalam menghadapi berbagai jenis permasalahan tindak pidana ekonomi di Indonesia, perlu pengaturan tindak pidana ekonomi yang disesuaikan dengan arah kebijakan pembangunan hukum pidana Indonesia, yaitu kodifikasi hukum pidana nasional dan menghapus UU Drt No. 7 Tahun 1955. Dalam penelitian ini diajukan proposal yaitu melakukan peninjauan kembali terhadap delik-delik ekonomi di luar UU Drt No. 7 Tahun 1955, menyusun kriteria penggunaan sanksi pidana terhadap kegiatan ekonomi, dan meningkatkan profesional aparat penegak hukum dalam menghadapi perkembangan kejahatan ekonomi yang semakin canggih.

The development of global economic activity has influenced the birth of various new types of crime in the economic field. As the main instrument in overcoming economic crime in Indonesia, Emergency Law No. 7 of 1955 is no longer relevant and is no longer able to carry out its functions. In this study, first described, the regulation of economic crime in Indonesia; second, the specificity of Emergency Law No. 7 of 1955 as a special criminal law in dealing with economic crimes; and third, the concept of regulating economic crimes that should be applied in Indonesia. This research is normative legal research using secondary data through library research and is equipped with primary data in the form of interviews. The results of the study show: first, the regulation of Indonesian economic crimes cannot be separated from the influence of the legacy of the Dutch criminal law policy, which is a regulation in a narrow sense, which is only limited to what is contained in Emergency Law No. 7 of 1955; second, as a special criminal law outside the provisions of general criminal law, Emergency Law No. 7 of 1955 has specificity, both in material criminal law and in formal criminal law; and third, in dealing with various types of economic crime problems in Indonesia, it is necessary to regulate economic crimes that are adjusted to the direction of the development policy of Indonesian criminal law, namely the codification of the national criminal law and the abolition of Emergency Law No. 7 of 1955. In this study, a proposal was proposed, namely to review the economic offenses outside of Emergency Law No. 7 of 1955, compiling criteria for the use of criminal sanctions against economic activities, and improving the professionalism of law enforcement officers in dealing with the development of increasingly sophisticated economic crimes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library