Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riko
Abstrak :
Tesis ini adalah upaya penelusuran penolakan Subjek yang terkandung di dalam teks Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kritis dan metode perpustakaan. Untuk menopang pernyataan tesis, penelitian ini memanfaatkan konsep otonomi, konsep objektivasi, dan konsep strukturalisme. Hasil penelitian ini adalah Ludwig Wittgenstein telah memperlakukan bahasa dan subjek sebagai entitas yang terpisah, dan sekaligus menempatkan subjek ke dalam posisi yang inferior di hadapan bahasa. Selain itu, Ludwig Wittgenstein secara implisit menolak kehadiran subjek yang otonom di dalam bahasa. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa Ludwig Wittgenstein di dalam Philosophical Investigations menolak kehadiran subjek dalam menentukan makna kata. ...... This master's thesis is an attempt to reveal the refutation of Subject within Ludwig Wittgenstein Philosophical Investigations. This research is conducted through critical analysis method and library reseach method. In support of the thesis statement I took the benefit from the concept of authonomy, the concept of objectivation and the concept of structuralism. This research shows that Ludwig Wittgenstein considers language and Subject as a separate entity, and simultaneously regards Subject as inferior to language. In addition, Ludwig Wittgenstein implicitly refuses the presence of autonomy subject on behalf of language. Therefore, I conclude that Ludwig Wittgenstein in his Philosophical Investigations refuses the presence of Subject to determine the meaning of the word.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Sakir
Abstrak :
Pada pemikiran awal di dalam Tractatus Logico-philosophicus Wittgenstein I beranggapan bahwa bahasa yang bermakna adalah bahasa yang memiliki kriteria sebagai proposisi. Setidaknya, terdapat tiga ciri khas bahasa yang termasuk ke dalam proposisi. Pertama, bahasa harus tersusun ke dalam term subjek dan term predikat. Kedua, bahasa harus mengandung pengertian benar atau salah. Ketiga, bahasa harus dapat menjelaskan bahasa yang lain yang mengikutinya. Dalam konteks ini, proposisi menjadi satu-satunya bahasa yang benar, baik, ideal. Tetapi, di kemudian hari di dalam Philosophical Investigations Wittgenstein II mempertanyakan kembali hakikat bahasa yang terdapat Tractatus. Menurutnya, makna bahasa tidak semata-mata harus direduksi ke dalam proposisi-proposisi. Fakta menunjukkan bahwa ada beragam permainan-permainan bahasa yang diikuti pula oleh peraturan-peraturan yang mengikat di dalam setiap permainan-permainan bahasa tersebut. Dalam konteks ini, setiap bahasa memiliki keunikan masing-masing sehingga tidak dapat ditentukan maknanya hanya melalui bentuk logis proposisi. Makna bahasa di luar proposisi terkait dengan spasiotemporal peristiwa bahasa. Di sini, bahasa tidak hanya dilihat sebagai ekspresi pikiran, tetapi bahasa lebih dipahami sebagai tindakan seseorang. Misalnya, menyanyi, berdoa, berkhutbah, mementaskan lakon, menggerutu, berpuisi, melawak, dan memarahi. Bahasa mengakar dalam bentuk-bentuk kehidupan. Bahasa seperti ini adalah bahasa natural atau sering disebut sebagai bahasa sehari-hari. Bila dicermati dengan baik, maka akan nampak bahwa gagasan dasar Tractatus mengakar dalam kebudayaan modern. Hal ini terlihat dari keinginannya untuk mengedepankan metodologi baku yang bersifat universal. Sementara, gagasan-gagasan yang terkandung di dalam Investigations cenderung muncul sebagai wacana baru yang dipicu oleh sikap kritis kebudayaan postmodern. Gagasan-gagasan ini mengangkat nilai-nilai dekonstruksionisme, pluralisme, dan relativisme. Gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang reseptif terhadap perbedaan-perbedaan. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut harus dilihat sebagai fakta yang menyatakan bahwa realitas sebenarnya terpecah-pecah (pragmented reality). Kenyataan ini akan membawa kedewasaan bagi masyarakat dalam kondisi `sosial-budaya' yang melingkupinya. inilah realitas yang selalu menjadi harapan; tidak ada diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library